Part 40
==Misi, numpang up==
Tidak ada lagi hari baik untuk wanita paruh baya ini. Sisi temperamennya makin akut ketika semua yang dia mau tidak berjalan sesuai keinginannya. Kesehatannya makin sering terganggu. Tekanan darah yang tinggi dan tidak stabil membuat dia terpaksa harus banyak bersabar. Padahal sabar tidak pernah ada dalam kamus hidupnya. Selain karena sudah di warning keras oleh dokter, tentunya dia masih sayang dirinya sendiri. Dia masih ingin hidup lebih lama untuk membereskan semua kekacauan ini.
Ya, Amanda Archer. Wanita angkuh konglomerat. Pengusaha tangguh tapi tidak pernah percaya siapapun termasuk keluarganya sendiri. Selama hidup apapun yang dia inginkan pasti dengan mudah dia raih. Sayang roda berputar, kali ini dia harus kalah telak bersaing dengan keadaan.
"Maaf, permisi Bu." Tiba-tiba lamunannya harus terhenti ketika salah satu asistennya datang menghampirinya.
"Kenapa?" Ucapnya dengan muka kesal.
"Ada yang mau bertemu Ibu."
"Siapa?"
"Pak Alvin Bu. Beliau bersikeras ingin menemui Ibu meski security depan sudah berusaha mengusirnya."
Amanda memicingkan matanya. Aura yang sejak awal sudah tidak enak berubah makin tidak enak saja.
"Usir! Jika dia masih memaksa katakan saja kalau perusahaan dia bisa saya bikin bangkrut lebih parah hari ini juga."
"Baik Bu."
"Satu lagi, hari ini saya tidak ingin diganggu siapapun. Kalau kalian tidak bisa mengatasi itu, saya pastikan ini hari terakhir kalian kerja disini!"
"Baik Bu. Saya permisi." Tanpa pikir panjang, asisten itu buru-buru keluar dari ruangan Amanda.
Setelah asistennya pergi, Amanda kini menghempaskan punggungnya di kursi kebesarannya. Kepalanya terasa pening. Sejak dirinya kehilangan jejak cucu kebanggaannya, disaat itu pula dia tidak tahu harus berbuat apa. Kekalahan adalah hal yang paling dia benci. Prinsip yang selalu dia pegang sejak masih muda, tidak masalah berkorban banyak hal, kehilangan banyak hal asalkan dia selalu menang.
Baru sebentar merasakan ketenangan, kini dirinya harus terganggu lagi dengan kehadiran asistennya.
"Apalagi?" Tanya Amanda mulai marah.
"M-maaf Bu, Ada----------"
Belum selesai si asisten mengutarakan maksudnya. Terdengar suara berat seorang pria masuk diikuti beberapa pria lain dibelakangnya.
"Selamat siang Bos kita yang terhormat, Ibu Amanda------Archer?"
Sapaan pria itu reflek membuat Amanda melotot kemudian segera berdiri dari kursinya.
"Maaf Bu, Saya sudah-----"
"Kamu keluar sekarang!!" Perintah Amanda dengan tatapan lurus tak berpindah sedikitpun dari tamu tak diundang itu.
"Baik Bu, Saya permisi." Buru-buru asisten itu berlari keluar karena melihat aura Bosnya yang makin menyeramkan saja.
Hening selama beberapa saat, hanya ada adegan saling tatap antara dua orang yang berkepentingan di ruangan itu.
"Aku tidak dipersilahkan duduk?" Tanya pria itu santai tapi dengan raut muka datar.
"K-Kamu?"
"Kenapa kaget begitu? Harusnya kamu senang aku kembali."
"T-tapi b-bagaimana m-mungkin?" Ucap Amanda pelan. Wajah mulai terlihat pucat.
"Santai saja Amanda. Kamu melihatku seperti melihat setan atau jangan-jangan kamu sedang berpikir bahwa aku mayat yang bangkit dari kubur?" Tanya pria itu lagi sambil menaikkan satu alisnya. Wajah yang tadinya datar kini makin datar saja.
Mata Amanda meneliti tamu tak diundang itu dari ujung kaki hingga ujung kepala. Berharap bahwa matanya kini sedang memanipulasi otaknya. Dia ingin segera bangun dari mimpinya atau setidaknya sadar dari halusinasinya. Sayangnya ini semua terlalu nyata.
"Mendekat saja. Pastikan bahwa ini bukan mimpi." Ucap si Pria itu lagi seperti tau isi kepalanya.
Amanda terduduk kembali di kursinya. Tampak raut wajahnya begitu shock melihat siapa yang sedang berdiri di depannya.
"Masih tidak percaya?" Tanya pria itu lagi.
Amanda hanya menggeleng pelan.
"A-aku bahkan menyaksikan sendiri mereka menimbun tubuhmu dengan tanah. H-how c-could you-------"
"Surprise that I'm still alive? Normally, seseorang akan bahagia melihat orang yang pernah meninggalkannya kini kembali lagi. Tapi sepertinya khusus kamu itu pengecualian." Suara pria itu kini terdengar lebih berat.
"I don't have much time. So, I'll make it simple. You, Listen to me!" Tunjuk Pria itu pada Amanda lalu berdiri lebih mendekat.
Wajah pria itu kini terlihat lebih jelas di mata Amanda ketika jarak mereka makin dekat. Mau tidak mau dia harus meyakini bahwa ini bukan mimpi. Bahwa seseorang yang sedang berdiri di depannya kini adalah 1 diantara jutaan manusia yang dia pikir mustahil akan dia temui lagi di dunia ini kecuali dia mati.
Tapi sepertinya kali ini takdir sedang mempermainkannya.
"Aku akan berikan apapun yang kamu mau asalkan jangan pernah bohongi aku. Aku yakin kamu masih ingat dengan kalimat ini? Selama ini aku tidak pernah salah menilai seseorang, tapi ternyata kamu membuktikan kalau aku hanya manusia biasa yang bisa salah. Jadi terimakasih untuk itu." Ada jeda sebentar sebelum Pria itu kembali melanjutkan ucapannya.
"Bukannya mendapat sebuah kesetiaan sebagai imbal baliknya, aku justru menciptakan satu manusia serakah dan berhati iblis seperti kamu. Silahkan berbangga hati karena sudah berhasil mendapatkan semua yang kamu mau sampai hari ini. Karena mulai besok siap-siap untuk telan kembali semua kesombongan itu."
Amanda mengepalkan erat tangannya. Mungkin karena terpengaruh aura hitam pekat yang dibawa oleh pria itu. Mendadak emosinya membuat dia berdiri lalu menentang pria itu. Sebuah dosa besar baginya jika terlihat lemah dihadapan siapapun. Merusak image Amanda yang sudah dia bangun selama ini.
"Apa mau kamu sebenarnya?!!!" Teriaknya pada pria itu.
"Kenapa masih bertanya? Apa yang kamu rebut dari aku itu terlalu banyak. Tentu saja mau kuambil kembali."
"Ga usah mimpi bahwa ini semua punya kamu! Ini milik aku yang aku bangun sendiri! Coba saja ambil kalau bisa! Amanda yang kau lihat sekarang bukan lagi boneka lemah yang kau pelihara dulu. Aku ga akan biarin siapapun mengusik ketenangan hidupku!"
"Kamu lucu! Padahal belum ada 5 menit aku datang dan kamu bilang aku mengusik ketenangan hidupmu? Tidak mau mencoba jadi aku? Bertahun-tahun merawat seorang pembunuh dan pencuri untuk kemudian dia yang mengantarmu dengan paksa ke pemakamanmu sendiri dengan senyum kebanggaannya?! Ironis sekali!!"
"Apa maksud kamu?!" Tubuh Amanda bergetar mendengar kalimat sindiran yang ditujukan padanya.
"Kamu lupa bahwa aku yang sering mengajarimu bermain licik? Bodohnya, itu justru kau gunakan untuk menipu orang yang mengajarimu menipu. Aku sudah mengawasimu sejak lama, dan kalau aku mau seharusnya kamu sudah membusuk di penjara sejak dulu. Tapi kupikir-pikir itu ga seru! Penjara hanya akan membatasi langkahku untuk memberi pelajaran padamu. Don't you interested in getting some lessons from me?" Tanya pria itu dengan senyum licik.
Amanda lantas membuang muka, muak menatap lebih lama pria itu. Terlebih senyumnya. Senyumnya yang tidak pernah dia suka. Senyum yang ditakuti semua orang, bahkan keluarganya sendiri.
"Pergi kamu darisini!! Aku ga sudi liat muka kamu!!" Usir Amanda dengan penekanan.
"Tentu. Dan menyaksikan pelan-pelan kejatuhan seorang wanita superpower. Jatuh karena tersandung keangkuhannya sendiri." Ucap Pria itu sambil tertawa.
"Bajingan kamu!"
"Upsss. Sorry. But I'm serious. Kamu...adalah targetku sekarang!" Ucap Pria itu menunjuk Amanda dengan wajah serius. Kemudian memakai kacamatanya hitamnya lagi dan bergegas keluar dari ruangan itu.
Tak berselang lama ketika ruangan sepi kembali, Amanda berteriak kemudian melempar beberapa barang dari atas mejanya.
"AAAARGGGGHHHH!! BRENGSEKK KAMU JONATHAN!!!"
------------------
Shani hanya duduk melamun tak bergerak sedikitpun di ruangannya bahkan setelah 1 jam berlalu dari waktu prakteknya berakhir. Entah kenapa sejak tadi malam perasaannya tak enak. Ditambah ga ada angin ga ada hujan tiba-tiba pigura besar yang terpajang diruang tengah berisi foto mereka bertiga jatuh berserakan. Makin membuat perasaannya makin tak karuan.
Sudah ratusan kali Shani membuka chatroom Gracia, tak ada satupun respon yang dia dapatkan. Puluhan pesan, puluhan panggilan semua terabaikan begitu saja. Bahkan beberapa pesan terakhirnya hanya berakhir pending.
Disaat seperti ini, kalimat Anin terakhir kali terasa begitu nyata terdengar kembali di telinga. Padahal itu sudah berlalu beberapa hari yang lalu.
Terlambat dan Menyesal
Dua kata itu terus berputar di kepalanya. Beberapa hari yang lalu kata itu tak terlalu mengusiknya, tapi mulai hari ini itu terasa menganggu dan cukup membuatnya ketakutan.
"Kak Gre, kamu dimana?" Gumamnya pelan kemudian menjatuhkan kepalanya di meja.
Namun beberapa menit kemudian, dia terlonjak kaget oleh suara dering ponselnya sendiri. Tanpa ragu dia mengambilnya dari dalam kantong jasnya. Senyum yang dia munculkan berharap jika itu panggilan dari seseorang yang dia tunggu harus luntur seketika, dipatahkan begitu saja oleh ekspektasi.
"Halo." Meski kecewa, Shani tetap merespon panggilan itu karena penasaran dengan si penelpon.
"Selamat sore Nona Shani."
"Iya Pak Mario. Ada apa ya?" Ucap Shani sambil mengerutkan kening heran.
"Maaf Bu, saya mengganggu. Apakah hari ini Bu Gracia baik-baik saja? Saya telpon berkali-kali, beliau tidak merespon." Mata Shani melebar mendengar ucapan Mario.
"Hari ini Kakak tidak ke kantor?"
"Tidak Nona. Padahal hari ini ada jadwal meeting dan klien sudah datang. Bu Gracia jarang atau bahkan tidak pernah seperti ini. Maaf saya agak mengkhawatirkan beliau. Saya pikir Nona Shani tau kondisinya, makanya saya telpon kesini."
"............"
"Halo Nona?"
"Pak Mario terakhir bertemu Kakak kapan?"
"Kemarin sore Nona. Waktu itu saya diminta pulang duluan sama beliau, saya pikir beliau mau lembur terus kecapean."
"...................."
"Halooo? Nona Shani?"
Tiba-tiba saja Shani merasa pusing teramat sangat. Kalau tidak ada dikantor, lalu kakak dimana?
"Nona baik-baik aja? Halo?"
"Pak, Kak Gre ga pulang kerumah dari semalam. Justru saya pikir hari ini dia sudah di kantor. Chat saya dari kemarin juga ga ada satupun yang dia balas."
"Ooohh gitu ya. Baiklah. Maaf Nona saya menganggu."
"Eh tunggu Pak."
"Ya?"
"Apa kemarin sore Kak Gre terlihat baik-baik aja?"
"Yang saya lihat secara fisik baik-baik aja, cuma memang semangat kerjanya menurun sejak beberapa hari yang lalu. Tapi saya ga berani tanya karena saya pikir mungkin ada masalah pribadi. Ada apa ya Nona? Apa terjadi masalah serius dengan Bu Gracia?"
"Ohh gapapa Pak, saya cuma tanya aja. Pak nanti kalau terima kabar duluan soal Kak Gre, saya tolong dikasih tau ya. Siapa tau nanti datang ke kantor."
"Baik Nona. Permisi."
Panggilan ditutup. Tanpa pikir panjang Shani langsung berdiri dari kursinya sambil menarik tas dan jas prakteknya. Dalam pikirannya saat ini, dia harus sampai di rumah sesegera mungkin. Siapa tau ada keajaiban bisa melihat kakaknya disana.
Tapi lagi-lagi si ekspektasi menipunya. Dirumah dia hanya bertemu dengan kesunyian. Alhasil dia melempar dirinya sendiri ke sofa. Entah mengapa hari ini begitu melelahkan. Dia cape hidup seperti ini, dia rindu saat-saat kakak dan adiknya masih berada lengkap dirumah ini. Meski tanpa kehadiran orang tua, tapi itu menenangkan dan menghangatkan perasaannya. Entah kapan momen itu akan terulang kembali.
Shani terlonjak kaget saat mendengar ada yang menekan bel pintu depan. Sepertinya dia sempat tertidur di tempat yang sama. Bergegas dia berdiri lalu bergerak ke pintu depan.
Raut keheranan muncul saat melihat siapa yang bertamu saat hari sudah gelap seperti ini.
"Selamat malam." Ucap si tamu.
"M-Malam. Bapak-bapak ini siapa? Ada perlu apa?" Tanya Shani kemudian melihat tampilan si Bapak dari atas hingga bawah. Shani tau mereka siapa. Terbukti dari seragam coklat yang dia gunakan. Berdiri dengan 2 orang lagi yang berpakaian seragam sama. Yang dia bingungkan kehadiran orang-orang ini dirumahnya untuk apa.
"Benar ini kediaman Mbak Gracia Natio?"
"Iya Benar Pak. Bapak ada perlu apa cari Kakak saya?"
Bapak itu tidak menjawab namun mengeluarkan suatu benda yang dibungkus kantong plastik.
"Mbak kenal benda ini?" Tanya Bapak itu sambil menyerahkannya pada Shani.
Dengan ragu Shani menerima benda itu dari tangan si Bapak. Tak perlu lama berpikir, karena dia hapal sekali benda ini milik siapa. Seketika tubuhnya bergetar hebat.
"I-ini plat mobil milik kakak saya. A-apa yang terjadi?" Tanya Shani masih memandang plat nomor mobil yang hampir patah jadi dua itu dengan tangan gemetar.
"Mbak bisa ikut kami? Ada yang perlu kami tunjukkan pada mbak."
"Pak, bisa tolong jelaskan dulu apa yang terjadi?" Mata Shani memanas. Isi kepalanya mulai jahat padanya. Kalau dia tidak ingat bahwa dia sendiri sekarang, mungkin dia sudah pingsan saat ini juga karena berbagai skenario buruk sudah tercipta di otaknya saat ini.
Bapak itu menghembuskan nafasnya pelan. Terlihat seperti berhati-hati menyampaikan sebuah kabar buruk kepada orang lain.
"Maaf mbak, tadi pagi kami mendapat laporan ada jembatan rusak parah di jalan cendana. Karena minimnya saksi dan alat bukti jadi kami tidak bisa langsung memastikan apa penyebabnya. Baru sore ini kami bisa simpulkan bahwa semalam telah terjadi kecelakaan di lokasi itu. Plat mobil ini baru satu-satunya alat bukti yang kami punya saat ini."
Tiba-tiba Shani merasa sesak nafas. Jantungnya berdetak sangat cepat melebihi batas normal.
"L-lalu k-kakak s-saya?"
Bapak itu hanya menggeleng lemah.
"Cuaca buruk semalam membuat kita agak kesulitan mencari keterangan lebih. Asumsi sementara, mobilnya jatuh ke sungai lalu hanyut beserta pengemudinya."
Seketika pandangan matanya buram, pijakan kakinya mendadak kehilangan tenaga. Beruntung Shani segera memegang kusen pintu. Kalau tidak mungkin dia sudah jatuh saat itu. Si Bapak hanya diam sambil menatap cemas.
Shani memejamkan mata sejenak sambil menarik napas dalam. "Pak bawa saya kesana sekarang."
Sampai dilokasi, Shani hampir kehilangan akal sehatnya. Dadanya seperti sedang ditekan batu besar. Sesak dan nyeri ketika melihat situasi begitu kacau. Bahkan melihat bagaimana derasnya arus sungai dibawah dan rusaknya jembatan membuat dia tak mau lagi membayangkan situasi seperti apa yang sedang dialami Kakaknya malam itu.
"Kak, kesakitan seperti apa yang sedang kau rasakan sekarang?" Ucapnya dalam hati. Meski dengan air mata yang terus mengalir, dia harus tetap optimis kakaknya masih hidup, hanya terluka di luar sana. Setidaknya pikiran itu lebih baik daripada pikiran-pikiran buruk lain yang muncul.
Akhirnya Shani menyerah, dia tak sanggup lagi menanggungnya sendirian. Dia butuh orang lain. Sadar atau tidak, entah kontak yang dia hubungi benar atau tidak, tangisannya makin pecah ketika mendengar suara seseorang di seberang.
"Aniiiin........."
-------------------
Seminggu berlalu sejak kabar kecelakaan Gracia, kondisinya tidak juga lebih baik. Polisi masih terus melakukan pencarian. Kabar baiknya sebagian besar puing-puing mobil milik Gracia sudah ditemukan. Kabar buruknya, pengemudinya belum bisa dipastikan bagaimana nasibnya.
Shani sendiri sudah seperti mayat hidup. Setiap hari hanya meratapi kehilangannya. Membuat Anin mau tidak mau harus pindah sementara tinggal bersama Shani. Takut terjadi hal yang tidak diinginkan.
"Shan, makan ya...."
Hanya gelengen kepala yang Anin dapat. Begitu terus yang terjadi setiap hari. Menyaksikan sahabatnya duduk diam di kamar Gracia selama berjam-jam, berhari-hari. Bahkan memilih tidur disana.
"Kamu harus makan kalau masih ingin ketemu Kak Gre. Apa jadinya nanti ketika dia kembali dan liat kondisi kamu kayak gini?"
Masih tak ada jawaban.
"Shani."
"Aku bakal makan kalau dia udah berdiri di depan aku."
Anin hanya menghembuskan nafas keras. Kesal karena Shani menjadi berkali-kali lipat keras kepalanya.
"Terserah kamu aja." Percuma marah dan memaksa, karena Shani justru akan menyerang balik dan mengunci dirinya lebih lama di kamar. Itu akan lebih berbahaya lagi bagi Anin.
Hingga di hari-hari berikutnya tak juga ada kemajuan, Badan Shani menyerah. Dia tak bangun meski sudah diguncang keras oleh Anin. Alhasil semua berujung suntikan obat beberapa kali ditambah sambungan botol infus karena Shani divonis dehidrasi dan malnutrisi.
--------------
Anin yang sedang duduk di pinggiran ranjang dekat Shani berbaring kaget setengah mati ketika Shani tiba-tiba bangun dan duduk.
"Shani? Kamu bangun?" Perlahan Anin mencoba memegang tubuh Shani.
"Kak Gre?" Kalimat pertama yang terucap dari mulut Shani kali setelah 3 hari tidak sadar.
Anin lalu mengganti posisi duduknya sehingga bisa lebih jelas menatap Shani.
"Kak Gre?" Panggil Shani sekali lagi.
Dalam pandangan Anin, sorot mata Shani tidak fokus. Mungkin dia belum sepenuhnya sadar.
"Kamu mau minum?" Tanya Anin.
Shani hanya menggeleng.
"Kak Gre?" Lagi-lagi itu yang dia ucapkan membuat Anin hanya meringis sedih.
"Kamu sembuh dan kita cari Kak Gre lagi ya." Kalimat Anin reflek membuat Shani menatap Anin shock.
Seketika Shani menangis dan menarik tubuh Anin. Memeluknya dan menggelayut seperti anak kecil.
"Kak Gre bilang dia marah sama aku. Ga mau ketemu aku dan nyuruh aku buat berhenti nyariin dia." Ucap Shani disela tangisnya dengan suara terbata namun masih cukup jelas terdengar.
Seketika Anin paham apa yang terjadi, mengapa Shani tiba-tiba bangun lalu mencari kakaknya.
"Cuma mimpi. Ga beneran terjadi. Kalaupun Kak Gre ada dia ga mungkin ngomong kayak gitu."
"Bagaimana kalau dia beneran benci aku makanya dia pergi ga balik?" Suara lemah itu masih saja terus mendebat hal yang tak terjadi sambil menangis. Lebih tepatnya mendebat isi pikirannya sendiri.
"Ga mungkin. Itu cuma mimpi. Makanya sembuh terus kita cari Kak Gre lagi ya?"
"Aku cape hidup kayak gini Nin."
"Hush! Ga boleh bilang gitu. Kamu lelah karena kamu sakit, ga sadar berhari-hari. Sembuh ya? Jangan sampai Kak Gre pulang liat kamu kayak gini. Dia pasti marah."
Mungkin karena kehabisan tenaga untuk menangis, Shani akhirnya melepas pelukannya lalu merebahkan diri kembali.
"Kamu jangan banyak gerak dulu. Aku ambilin makan. Oke?" Perintah Anin yang hanya diangguki pelan oleh Shani.
Merasa mendapat sinyal baik, tak peduli Shani mengerti atau tidak, Anin bergegas keluar dari kamar.
Baru beberapa langkah keluar dari kamar, tak sengaja dirinya berpapasan dengan Mario.
"Pak Mario masih disini? Kirain saya udah pulang." Tanya Anin, karena tadi Mario datang menjenguk.
"Iya nunggu dibawah daritadi, takut kalau kalian butuh apa-apa. Nona Shani udah sadar?" Tanya Mario.
"Sudah Pak baru aja. Ini saya mau ambilin makan."
"Syukurlah. Kira-kira kondisinya gimana? Ada perubahan?" Tanya Mario dengan raut wajah cemas.
Mendengar pertanyaan itu, Anin hanya menggeleng lemah. "Saya takut psikisnya kena Pak. Saya bingung mau gimana lagi."
Mario hanya menghembuskan nafas pelan. "Cara terbaik ya kita harus segera temuin Bu Gracia, bagaimanapun kondisinya. Cuma tadi polisi baru menghubungi saya, besok adalah hari terakhir. Kalau masih belum ketemu juga, pencarian mau dihentikan karena sudah terlalu lama."
"GAK BISA!!!!" Suara protes keras terdengar dari belakang mereka berdua. Mario dan Anin kaget karena melihat Shani tiba-tiba berdiri tegak di belakang mereka.
Anin sedikit meringis sambil mengepalkan tangannya erat. Menyesal kenapa mereka harus mengatakan itu di depan pintu kamar yang masih terbuka.
"Shani kenapa bangun?" Tanya Anin yang hanya diabaikan Shani.
"Pak, gak masalah kalau polisi mau berhenti nyari. Tapi saya enggak. Tolong siapin orang buat nyari Kak Gre. Bayar mereka berapapun itu saya ga peduli. Cari sampe ketemu!" Ucap Shani dengan suara tegas meski terengah-engah membuat Mario dan Anin saling bertatapan.
Tak lama kemudian, Anin pun ikut bersuara.
"Turutin aja Pak. Mendadak sembuh dia." Ucap Anin pada Mario sambil melirik ke arah Shani.
-----------------
Benar saja, Penghentian urusan pencarian oleh polisi langsung dilanjutkan oleh pasukan bayaran yang disiapkan Mario atas permintaan Shani. Pencarian sampai dilakukan ke tempat-tempat yang menurut orang lain mustahil jasad seseorang bisa sampai kesana. Di pikiran Shani ga ada yang mungkin, karena bagi dia Gracia masih hidup hanya sedang 'terdampar' di suatu wilayah antah berantah dan belum ada tenaga untuk pulang. Tugas dia adalah menjemputnya.
Seperti mendapat keajaiban, Kondisi Shani sekarang sudah lebih baik. Sudah bisa sedikit menerima kenyataan bahwa hidup harus terus berlanjut meski di situasi lain, optimisnya terhadap suatu hal masih overlimit. Katakanlah orang-orang terdekatnya mulai menyerah dan mengikhlaskan kepergian Gracia. Namun Shani tidak.
Membuat Anin, satu-satunya orang yang tak pernah absen ada di samping Shani bersyukur akan kesembuhan Shani sekaligus khawatir. Dia khawatir ketika nanti kenyataan yang Shani dapat tidak sesuai dengan harapannya, Sahabatnya itu akan jatuh terpuruk lebih parah dari sebelumnya.
Dan kini, genap satu bulan sejak 'hilang'nya Gracia, aktifitas Shani mulai normal seperti biasa. Sudah kembali bekerja dirumah sakit sambil terus memantau orang-orang yang dia bayar untuk mencari Gracia.
"Selamat sore Nona Shani, Mbak Anin." Sapa Mario yang kini berdiri di ruang tamu bersama seorang pria.
"Sore Pak. Jadi Maksud Pak Mario ngumpulin kita sore ini apa?" Tanya Shani.
"Ada sesuatu yang mau saya sampaikan Nona. Ehmm lebih tepatnya Bapak disamping saya ini yang mau menyampaikannya. Silahkan Pak." Ucap Mario mempersilahkan Pria yang bersamannya tadi untuk bicara.
"Makasih Pak Mario. Untuk Nona Shani, mungkin lupa sama saya meski kita beberapa kali ketemu dulu. Saya Indra, Pengacaranya Bu Gracia."
"Oh iya Pak Indra, Maaf saya lupa." Ucap Shani.
"Gapapa Nona, mungkin saya langsung ke inti aja ya. Pertemuan kita ini sebenarnya atas permintaan dari Bu Gracia, Beliau-------"
"Kak Gre? Kapan Bapak ketemu dia?" Ucap Shani menggebu tak sadar memotong ucapan.
"Shan, sabar dulu! Dengerin dulu penjelasan Pak Indra sampai selesai." Anin menarik tangan Shani yang hampir berdiri dari kursi untuk duduk kembali.
Shani tak merespon apapun, namun tetap menuruti kata Anin untuk duduk kembali meski dengan raut wajah tak sabar.
"Maaf Nona Shani, terakhir saya ketemu Bu Gracia beberapa hari sebelum kita mendengar kabar Bu Gracia hilang. Pertemuan saya dengannya waktu itu untuk membuat ini." Lanjut Pak Indra sambil menyodorkan sebuah Map pada Shani.
Dengan cepat Shani membuka map itu. Matanya makin terbuka lebar ketika mengetahui apa isinya.
"Surat wasiat?" Ucap Shani pelan.
"Iya Nona, semua sudah tertulis jelas disitu. Saya disini hanya sebagai perantara secara legalnya saja. Mungkin yang saya sampaikan ini hanya beberapa poin dari keseluruhan karena terkait dengan Pak Mario juga. Jadi Bu Gracia menyerahkan semua aset termasuk perusahaan yang sedang berjalan ini untuk dialih nama menjadi milik Shani Natio. Mulai hari ini semua kendali ada di Nona. Dan untuk masalah operasional keseharian perusahaan, bila Nona Shani belum siap, maka tanggung jawab penuh akan dibantu Pak Mario sampai Nona bersedia mengambil alih."
Shani membaca satu per satu kata demi kata yang tertulis di surat wasiat itu dengan perasaan tak menentu.
Satu pertanyaan yang kini muncul di kepalanya.
Surat wasiat ini dibuat hanya beberapa hari sebelum Kakaknya dinyatakan hilang. Apa yang sebenarnya terjadi sama kamu waktu itu Kak? Kebetulankah? Sudah Firasat? Atau ini sesuatu yang sudah kamu rencanakan?
-TBC-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro