Part 38
==MetBaca==
Pelan tapi pasti, mobil silver itu melaju membelah jalanan kota. Matahari sudah kembali ke peraduannya beberapa menit yang lalu menyisakan semburat-semburat tipis berwarna jingga hingga akhirnya ikut menghilang meninggalkan gelap.
Adzan maghrib baru saja selesai berkumandang, kamacetan kota perlahan mulai terurai. Untuk yang ingin segera sampai dirumah tanpa perlu berbaur dengan kemacetan, mungkin ini saat yang tepat.
Namun berbeda dengan Gracia. Laju kendaraannya makin lama makin pelan. Beberapa kali bahkan harus diklakson pengemudi lain dari belakang. Namun tampaknya dia tidak peduli atau mungkin lebih tepatnya dia tidak menyadarinya. Fokusnya sedang berada di tempat lain.
Hingga akhirnya satu bunyi keras dan panjang dari klakson pengemudi lain menyadarkannya. Buru-buru dia menepikan mobilnya dan berhenti di pinggir jalan antah-berantah. Seatbelt dilepas hampir bersamaan dengan mesin dimatikan. Satu tarikan napas panjang dari mulut Gracia menandakan bahwa kali ini dia sedang lelah membawa 'beban' hidupnya.
Dari luar, fisiknya memang tampak biasa saja. Tapi di dalam, hati dan pikirannya sedang tawuran sejak tadi. Gracia mengangkat kepalanya menghadap ke atas dengan punggung yang masih bersandar dikursi, perlahan matanya dia pejamkan.
1 menit
2 menit
5 menit
Masih tak bergerak di posisi, tampak beberapa bulir air menetes di pipinya. Hening yang terdengar tapi bulir air itu makin deras saja tanpa bisa direm. Lengan bajunya yang mulai basah sama sekali tak dia hiraukan. Ada yang lebih penting dari itu. Jiwanya perlu diselamatkan.
Entah sudah berapa lama waktu berlalu, merasa kondisi sudah lebih baik maka dengan sisa tenaga yang ada, akhirnya Gracia kembali memegang kemudi dan bergerak menyelesaikan tugas untuk pulang kerumah.
Setengah jam kemudian, mobilnya mulai masuk halaman rumahnya sendiri. Tampak lampu teras sudah menyala. Artinya sudah ada penghuni lain dirumah itu. Dengan malas, Gracia berjalan masuk hingga sampai di ruang tengah. Langkahnya terhenti saat matanya bertemu dengan mata lain. Sosok itu sedang berdiri bersandar pada meja makan.
Hanya saling pandang. Semua betah dengan egonya masing-masing. Tak ada yang berniat membuka percakapan. Meski di mata Gracia tampak lawan bicara ingin mengatakan sesuatu padanya, tapi dia tak ingin berharap karena jika benar ada yang ingin disampaikan harusnya itu sudah terucap 5 menit yang lalu.
"Kakak langsung ke atas. Selamat istirahat." Ucap Gracia akhirnya. Berucap dengan terburu-buru kemudian naik tanpa menoleh sedikitpun.
Sedangkan Shani. Tak ada yang bisa dilakukannya selain menatap punggung Kakaknya yang terus bergerak naik hingga menghilang dari pandangannya. Dia terlalu cupu untuk memulai. Entah karena dia mulai berasa bersalah atau aura kakaknya yang terlalu mengintimidasi.
Tapi sepertinya dia terlambat menyadari. Entah sejak kapan itu terjadi, mulai malam ini kah? Atau malam-malam sebelumnya? Dia tak tahu. Tatapan mata itu, tatapan seorang Gracia yang biasanya dingin namun menenangkan ketika melihatnya kini berbeda. Malam ini tatapan itu seperti tak bernyawa.
Reflek Shani segera mencari sesuatu di ponselnya yang sejak tadi masih dia pegang. Dia harus bertemu seseorang malam ini.
"Nin, aku boleh nginep dirumah kamu malam ini?"
--------------
"Arrrgghhhhhhh!!!!"
Gracia terbangun karena dering ponselnya sendiri. Dengan terengah-engah dan wajah penuh keringat, segera dia meraih ponselnya di meja samping.
Tepat tengah malam.
Ternyata tak sengaja dia tertidur lalu mimpi buruk.
"Ya?" Ucap Gracia sambil mengatur napasnya sendiri.
"..........."
"Respon tuan rumah?"
".........."
"Oke. Malam ini langsung eksekusi saja tanpa saya. Masih ada yang perlu saya dibereskan sedikit lagi disini."
".........."
"Saya percaya anda ahlinya untuk urusan bersih tanpa jejak."
".........."
"Tunggu kode. Standby saja kapanpun itu."
"......."
"Oke."
Panggilan terputus. Ponsel dia lempar begitu saja ke sisi kasur yang kosong. Sambil menghela nafas panjang, Gracia kemudian beranjak kemudian berjalan keluar kamar.
Dia berjalan menuju sisi seberang. Menuju satu pintu tertutup di pojok lain. Berdiri cukup lama sebelum akhirnya memutar gagang pintunya.
Klik.
Pintu terbuka. Bau khas ruangan yang sangat familiar di hidungnya selama puluhan tahun. Tanpa permisi dia berjalan masuk begitu saja karena tidak ada siapa-siapa di dalam kamar itu.
Shani tidak tidur di rumah malam ini. Dia tau meski adiknya itu pergi tanpa pamit. Berjalan pelan menscreening satu per satu isi kamar itu. Memastikan tidak ada satupun yang terlewat di matanya.
Tidak ada yang berubah satupun sejauh kepalanya bisa mengingat tiap detail kamar ini dari terakhir dia masuk kesini. Bahkan benda yang hilang pun dia ingat dengan jelas. Hanya satu yang hilang itu, foto Vino.
Lelah menjelajahi isi kamar, Gracia akhirnya duduk di tepian ranjang. Tangannya bergerak mengelus pelan bantal kepala yang sering Shani pakai untuk tidur. Cukup lama sampai akhirnya dia menyerah lalu membaringkan diri disitu juga. Meringkuk dengan tangan masih tetap mengelus mesra bantal itu.
"Maaf."
Gumam Gracia pelan sebelum akhirnya memejamkan mata, diam tak sadarkan diri.
----------------
Entah sejak jam berapa Gracia sudah duduk sempurna di kursi kebesarannya. Dia menjadi manusia yang datang paling pertama diantara bawahannya yang lain. Meski kepagian, tidak ada hal bermanfaat yang dia lakukan sejak tadi. Hanya duduk diam, melamun, sesekali menyeruput kopinya yang mulai dingin, berdiri dekat jendela menatap semrawutnya kota pagi itu, lalu duduk kembali. Begitu terus, berulang.
Bahkan beberapa kali ponselnya berdering, tak satupun dia respon. Sekedar melirik melihat siapa yang menelponnya pun urung dia lakukan. Seperti jiwa dan raganya sedang terpisah ruang dan waktu. Beda alam.
"Morning my lophhh..."
Suara seseorang mengangetkannya. Tau siapa yang datang, Gracia hanya mengangkat kedua alisnya kemudian memilih menghabiskan kopinya daripada merespon sapaan pagi itu.
"Aku bawain kamu sarapan. Makan yuk."
Gracia hanya menggeleng pelan.
"Aku suapin aja ya."
Gracia melotot tak terima. Manusia di depannya malah tertawa.
"Makanya makan. Daripada aku suapin.
"Enggak. Makasih."
"Untuk menyakiti diri sendiri itu butuh tenaga Gre. Kamu harus kuat biar bisa terus nyakitin diri sendiri. Aku mana bisa nyakitin kamu. Jadi makan ya."
"Nanti."
"Sekarang aja. Kalau dingin ga enak."
"Nanti." Gracia masih kukuh dengan pendiriannya.
"Untuk terakhir kalinya. Setelah itu aku ga akan minta apapun lagi dan ga akan datang kesini lagi buat nyari kamu dan ganggu kamu."
Kalimat terakhir si lawan bicara meninggalkan tanda tanya besar di pikiran Gracia. Gracia mengalihkan pandangannya, menelisik dalam wajah orang di depannya itu. Mencari manakala ada bibit-bibit candaan dalam ucapannya tadi seperti yang biasa dia dengar. Sayangnya tidak ada.
"Kesambet?" Pikirnya dalam hati.
"Aku tau kamu tersiksa ada aku disamping kamu. Jangankan minta lebih, jadi temen aja kayaknya susah ya kita. Aku tau kamu orangnya terlalu kaku dan dingin. Saking percaya dirinya, aku pikir bisa runtuhin tembok di hati kamu karena sekuat apapun manusia, pasti punya titik lemahnya. Tapi nyatanya hampir 1 dekade ngejar kamu, seinci progress pun ga bisa aku lakuin." Ucap orang itu sambil terkekeh.
"But don't worry aku bilang gini bukan buat nyalahin kamu karena terlalu keras dan ga punya hati sebagai manusia. Aku aja yang ga pernah sadar diri, makanya hidup aku ga pernah tenang karena aku ga pernah ikhlas nerima semuanya."
"Harusnya aku sadar, kalau memang kamu takdir aku, tanpa perlu aku kejar sampai kepala ketemu kaki pun kamu akan datang dengan sendirinya. Menggandeng tangan aku mesra seperti yang selama ini aku mimpiin. Tapi yah namanya hidup, kita ga pernah bisa maksa sesuatu yang tak seharusnya jadi milik kita. So for the last time? Makan sama aku?" Tanya orang itu lagi.
Gracia diam. Menatap kaku orang di depannya kini. Mencerna kata demi kata yang diucapkannya.
"Fiony, kamu-------"
"Aku menyerah Gre. Aku lepasin kamu. Aku pengen hidup tenang mulai hari ini. Dan aku serius." Fiony memotong cepat ucapan Gracia. Seperti paham apa yang Gracia pikirkan.
"Kamu------" Mendadak Gracia bingung harus menjawab apa. Antara merasa tidak enak hati dan tak siap dengan obrolan serius yang tiba-tiba ini.
"Gausah dipikirin. Makan aja. Nih." Ucap Fiony menyodorkan sendok pada Gracia. Wajahnya tetap full senyum tapi Gracia tau dari sorot matanya masih tersisa gurat kesedihan yang berbalut dengan kelegaan. Benar, Fiony sedang berusaha mengikhlaskannya sekarang.
Akhirnya dengan canggung, Gracia mengambil sendok itu dari tangan Fiony dan menarik satu box makanan dari dalam plastik.
Mereka berdua makan dalam diam. Hingga akhirnya Fiony membuka percakapan lagi.
"Chi-----" Mendadak dia menjeda ucapannya setelah teringat itu hal yang tabu diucapkan saat ini. Akhirnya dengan sedikit memelankan suaranya, dia kembali melanjutkan ucapannya.
"Mereka dijemput sama seorang laki-laki tadi malam. Kalau boleh tau mereka siapa Gre?" Tanya Fiony setengah berbisik.
"Bukan siapa-siapa, hanya aku bayar karena aku ga mungkin jemput mereka sendiri."
"Kaku banget kek tembok. Aku tanya mau dibawa kemana, tuh cowok diem aja ga ada ekspresi. Mana bajunya item-item kayak mau layat."
Gracia tak menjawab, hanya tersenyum sangat tipis dan lebih memilih melanjutkan makannya.
"Rencanamu setelah ini?" Tanya Fiony lagi.
"Nothing." Balas Gracia acuh dengan tetap fokus pada makannya.
Tiba-tiba ada tangan yang menyentuh tangannya. Cukup membuatnya kaget. Tapi Fiony tidak peduli, malah mendekatkan kursinya pada Gracia, menarik tangannya kemudian menggenggamnya erat.
"Kamu harus bahagia Gre. Apapun yang terjadi. Jika Shani sumbernya, lakukan. Aku tahu kamu tidak mungkin melakukan sesuatu tanpa akal sehat. Gracia Natio selalu bergerak penuh pertimbangan dan realistis."
Gracia hanya diam menatap tangannya yang masih dipegang erat Fiony.
"Entah kapan kita akan bertemu lagi setelah ini. Beberapa hari lagi aku balik ke Prancis. Jika suatu saat takdir mempertemukan kita lagi, aku harap kita berdua bertemu dengan kondisi yang jauh lebih baik dari sekarang. Janji Gre?"
"Gre?" Fiony menuntut jawaban karena Gracia masih saja tak bersuara.
Anggukan pelan dari Gracia akhirnya Fiony dapatkan. Meski jawabannya kurang memuaskan tapi dia tetap berharap Gracia menepatinya.
"Jangan ingkar ya. Kalau kamu ga bahagia, aku bakal cari kamu dan nikahin kamu saat itu juga. Toh sama-sama ga bahagia kan, jadi mending kita nikah aja biar adil."
Fiony kemudian tertawa renyah melihat Gracia yang spontan menatapnya seperti seseorang yang ingin membunuhnya.
"Muaccchh."
"Fiony!"
Gracia dengan cepat menarik tangannya. Tatapan jijik dia layangkan pada Fiony karena berani mencium tangannya tanpa ijin.
"Ck pelit amat Gre! Dikit doang!"
"Pulang aja! Mau kerja." Usir Gracia.
"Iya ini mau pulang kok." Ucap Fiony kemudian bergerak membereskan sampah makan mereka diatas meja.
"Aku pamit ya. Makasih udah ditemenin sarapan. Jaga diri baik-baik. If you're not happy with me, at least be happy without me." Ucap Fiony menatap Gracia cukup lama sebelum akhirnya berdiri sambil menenteng tasnya.
"Hmmm. Kamu juga." Balas Gracia singkat dengan sedikit senyum. Kali ini tidak terpaksa.
"Nah senyum gitu dong daritadi. Kan adem liatnya."
"Pulang." Balas Gracia lagi.
"Iya iya." Fiony akhirnya pergi dari hadapannya. Namun baru berjalan sampai pintu dia balik badan.
"Ehhmm Gre, Anindhita itu sahabatnya Shani dari SMA kan?"
Gracia mengangguk disertai tatapan penuh tanya.
"Thanks infonya." Fiony tersenyum lebar kemudian pergi dengan cepat keluar dari ruangan Gracia sebelum diusir lagi.
----------------
Gracia sengaja lembur dan pulang hampir tengah malam. Chat dari Shani yang tiba-tiba setelah lama mereka perang dingin pun dia terima satu jam yang lalu.
Meski hanya menanyakan dimana keberadaannya, chat itu hanya dia biarkan terbaca begitu saja tanpa balasan.
Dengan langkah gontai, Gracia masuk lift yang membawanya ke tempat dimana mobilnya diparkir. Kantornya sudah sepi. Hanya tersisa 2 orang security yang berkeliling menjalankan tugasnya.
Dengan kecepatan sedang, mobilnya dia lajukan keluar area gedung. Jalanan cukup sepi. Hanya ada satu dua mobil yang menyalipnya sejak tadi.
Tapi entah mengapa, sejak keluar kantor tadi perasaannya tidak enak. Makin tidak enak lagi saat dia tau ada mobil yang berjalan dibelakangnya tak berniat menyalip sejak keluar dari kantor tadi. Padahal mobil-mobil lain sudah melakukannya. Iseng dia mencoba mengerjai dengan merubah kecepatan mobilnya naik turun. Yang terjadi? Mobil di belakangnya tetap mengikutinya.
Dengan mode waspada Gracia merogoh isi tasnya. Mengeluarkan satu pistol dengan peluru lengkap. Benda tambahan di tasnya yang dia bawa sejak keluar kantor tadi karena merasa hidupnya sedang tidak aman.
Tanpa banyak pertimbangan apalagi jalanan makin sepi, hanya ada mobil mereka, Gracia menaikkan kecepatan mobil ke titik maksimal yang dia bisa. Melesat cepat meninggalkan mobil di belakangnya.
Tapi sepertinya dia tidak dibiarkan pergi begitu saja karena mobil di belakangnya kini mulai mengejarnya.
"Sial!" Gracia memukul stirnya dengan keras sambil berusaha tetap memastikan mobilnya dikendarai aman dengan kecepatan setinggi itu. Indikator bensin mulai berkedip. Bensinnya dibatas limit sedang dia tidak tau sedang berada dimana sekarang.
Saking paniknya, entah jalan mana yang dia lewati tadi. Yang pasti itu bukan jalan menuju rumahnya.
Maka dengan usaha terakhir yang dia bisa sambil terus berdoa memohon keselamatan, kecepatan makin ditambah. Berusaha menambah jarak agar dia punya waktu untuk sekedar lari dari mobilnya dan bersembunyi ditempat yang aman.
Dorr!!
Mobil silver itu oleng seketika. Sepertinya manusia-manusia jahat yang mengikutinya mulai menembaki ban mobilnya. Satu ban belakang pecah.
"No!!" Teriak Gracia dari dalam mobil.
Gracia kesulitan mengendalikan laju mobilnya hingga akhirnya.
Ckiiiiiiiiitt.....
Brakk!!!
Duaaarr!!
Siapapun yang berada disitu pasti menyaksikan bagaimana mobil silver itu menabrak pembatas jalan, lalu terseret tak terkontrol hingga percikan api muncul dan mulai membakarnya perlahan. Berakhir menerobos pagar jembatan dan terjun bebas ke bawah menghampiri derasnya arus.
Prang!!
Suara benda pecah diruang tengah seketika membangunkan Shani. Buru-buru dia menghampiri sumber suara dan menemukan figura besar foto mereka bertiga yang sejak beberapa tahun lalu terpasang anggun disitu kini hancur berserakan.
"Kak......."
-TBC-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro