Part 34
Diam adalah bahasa cintaku untukmu. Sebab Diam membalut ketakutanku menjadi keberanian akan penolakanmu.
==Ini malming ternyata==
Sebagian orang mengawali paginya dengan semangat dan senyuman dari orang-orang terkasih. Sebagian yang lain memulainya dengan umpatan dan cacian tak ada habisnya atas ketidak-beruntungan mereka dalam hidup. Daripada membuka mata kemudian lelah menghadapi gelombang emosi sendiri, lebih baik kembali melanjutkan mimpi. Meski tidak bisa memilih mimpi seperti apa yang akan terjadi, setidaknya mimpi tidak akan menyakitimu secara nyata.
Gracia mungkin sedang menjadi bagian dari orang-orang yang kurang beruntung itu. Katakan saja dia sedang mengalami pagi terburuk dalam hidupnya. Perasaan sendiri dan tidak diinginkan itu kini sedang menusuk mentalnya tak cukup sekali. Tapi tenang saja, Gracia belum akan gila dalam waktu dekat ini. Kalau hanya menghadapi masalah hidup dengan berbagai bentuk dan cetakan, dia sudah lolos audisi sejak lama.
Entah sudah berapa banyak waktu terbuang sia-sia. Laptop di atas meja yang tadinya menyala dengan semangat berapi-api kini terpaksa sleep kembali karena ngambek tidak tersentuh. Kertas-kertas yang menumpuk meminta perhatiannya pun kini menjadi dingin dan kaku layaknya pajangan. Konsentrasinya hilang digondol wewe. Yang masih betah dipikirannya hanya pertengkarannya dengan Shani tadi pagi. Detail demi detail kalimat yang terlontar dari mulut Shani pun masih bisa ia ulang sekarang.
Akhirnya Gracia sadar jika dia telah membuang waktu percuma. Serentak dia berdiri dari kursinya. Diraihnya ponsel di atas meja dan tak lama terpantau sedang menghubungi seseorang.
"Mario saya keluar sampai setelah jam makan siang. Kalau ada yang cari saya, suruh kembali besok saja." Ucap Gracia.
"Thanks." Panggilan dimatikan. Tak mau repot membereskan meja, dia berjalan menjinjing tasnya keluar ruangan.
20 menit duduk di belakang kemudi berjalan tak tentu arah, rasanya seperti telah berjam-jam berkeliling kota. Tak punya tujuan dan tak berniat juga pulang ke rumah, akhirnya dia belokan mobilnya ke salah satu coffeshop yang sepertinya baru buka di dekat situ. Gracia bahkan tidak peduli sedang ada dimana dia pastinya. Sekarang dia haus dan dia butuh kopi, itu yang penting.
Proses memilih, memesan kemudian menunggu sampai kopi itu berada di tangannya tidak lama. Dia memutuskan untuk minum kopinya di mobil saja. Tak ada waktu untuk sekedar duduk di dalam sambil nyeruput-nyeruput tjakepht si kopi sampai habis. Apa itu relaksasi? Yang dia butuhkan adalah solusi bukan relaksasi apalagi imunisasi.
Baru saja tangan memegang kenop pintu hendak keluar, matanya menangkap penampakan tak biasa yang baru saja lewat di depannya dari pintu kaca. Keningnya mengkerut dalam, tapi otaknya mengajaknya untuk bergerak cepat sebelum penampakan itu hilang begitu saja.
Tanpa pikir panjang dan tanpa mempedulikan kopi di tangannya terguncang jiwanya akibat gerakan setengah berlari mengejar target. Gracia melewati mobilnya yang terparkir di luar dan berlari ke pinggir jalan berusaha mendekat. Tidak salah apa yang dia liat tadi. Langkahnya makin dia percepat hingga akhirnya....
"Chika!"
"Ara!"
Teriak Gracia dengan nafas tersengal-sengal. Dua bocil yang merasa terpanggil itu menghentikan langkahnya tapi tak berani menoleh ke belakang.
"Mampus Kita Chik." Bisik Ara pada Chika.
"Kenapa kita berhenti sih Ra, bego banget! Lanjut jalan aja harusnya pura-pura ga denger!" Omel Chika.
"Reflek anjir! Udah lama ga ketemu tapi masih aja horor denger suaranya."
"Abaikan! Jalan cepet! Jalan!" Chika menggandeng tangan Ara. Menariknya untuk segera pergi darisitu.
"Stop kalian berdua!" Teriak Gracia lagi. Suaranya makin kencang terdengar. Hingga akhirnya satu postur yang cukup familiar kini berdiri di depan mereka.
Keduanya menunduk. Tak berani melakukan kontak mata. Perang batin kini terjadi pada Chika. Dia rindu, amat sangat rindu pada sosok dihadapannya kini. Ingin memeluknya erat tapi dia tidak sanggup. Bukan saatnya menjadi lemah sekarang. Dia hanya tidak ingin orang di depannya ini menggagalkan semua rencana mereka.
"Mau kemana?" Tanya Gracia sesaat setelah mengambil napas dalam-dalam.
Keduanya saling sikut sebelum akhirnya menggeleng pelan, tak ada yang berani bersuara.
"Kalian bolos?" Tanya Gracia bersikeras menuntut jawaban.
Satu menggeleng, satu mengangguk. Gracia memutar matanya malas. Dia tau ada yang tidak beres dengan dua bocah ini. Sejak dia berdiri di depan mereka, beberapa kali mereka menengok ke belakang. Seperti takut akan sesuatu.
"Ayo ikut!" Ajak Gracia menganggandeng tangan Chika. Mau tidak mau keduanya mengangkat kepala.
"T-tapi Kak....?" Ucap Ara menggantung.
"Mobilnya disitu." Tunjuk Gracia. Coffeshop-nya hanya berjarak beberapa puluh meter dari tempat mereka sekarang.
Saling sikut terjadi lagi. Chika menatap Ara meminta jawaban.
"Makin lama kalian mikir, makin cepet kita bertiga mati disini." Ucap Gracia santai. Sepertinya dia mulai paham apa yang terjadi sekarang.
Ara mendesah pelan. Kemudian mengangguk pada Chika sebagai tanda setuju. Gracia benar. Semakin lama mereka berdiri di tempat terbuka seperti ini, semakin besar peluang mereka akan ditemukan. Si nenek lampir itu pasti akan mengerahkan semua bodyguardnya untuk mencari mereka sampe ke lubang tikus sekalipun.
"Ikut Kak Gre aja." Ucap Ara yang dihadiahi tatapan melotot dari Chika.
"Daritadi kek." Ucap Gracia. Belum sempat Chika menjawab, tangannya sudah ditarik paksa oleh Gracia. Dengan pasrah Ara juga mengikutinya.
Sampai di mobilnya, Gracia menyuruh Chika duduk di disampingnya. Sedangkan Ara dibelakang. Suasana masih cukup tegang di dalam mobil karena Gracia belum juga menstarter mobilnya.
"Pasti kalian lagi bikin ulah kan?" Tanya Gracia. Setidaknya mereka cukup aman disini untuk sementara waktu pikirnya. Dia harus melakukan sedikit sesi interogasi pada dua bocah ini sebelum mengambil sikap.
Chika dan Ara terlihat bingung harus menjawab apa dan memulai darimana. Gracia bukan tipe orang yang mudah dibohongi. Apalagi yang membohonginya adalah 2 bocah kemarin sore. Mereka berdua juga tak ada niat berbohong. Terlebih Ara, dia masih percaya Gracia tidak mungkin melakukan sesuatu yang akan mencelakai mereka semua.
"Ceritain semuanya dan jangan boong!" Ulang Gracia sedikit tegas kali ini. Dia mulai gerah karena tidak ada satupun yang mau meresponnya.
Makin takut disembur Gracia dan makin bahaya jika mereka terlalu lama disini, akhirnya Chika menoleh pada Ara.
"Kamu aja yang ngomong."
Ara mendengus. "Bagian ga enaknya aja kasih ke gue." Ucapnya dalam hati.
"Cepetan!" Ucap Gracia lagi.
"Kita kabur Kak." Ucap Ara cepet. Gracia tersenyum tipis karena apa yang terjadi tidak jauh meleset dari pikirannya.
"Kenapa?"
"Chika mau dipaksa nikah sama Kak Vino." Gracia manggut-manggut saja mendengar ucapan Ara.
"Terus kamu ga terima dan bawa kabur dia gitu?" Tanya Gracia.
"Ih enggak ya Kak. Ini rencana kita berdua. Chika yang minta aku bawa dia kabur dari keluarga itu." Ara sewot. Dia tak mau jika hanya dia yang disalahkan karena bawa kabur anak orang.
"Bener?" Kali ini pandangan Gracia beralih pada Chika. Menuntut kebenaran sekali lagi dari omongan Ara.
Chika mengangguk namun tak mau menatap Gracia.
"Lihat Kakak kalau ngomong Chika." Perintah Gracia dengan nada lebih lembut kali ini. Meski kini Gracia tak lagi berhak sepenuhnya atas hidup Chika, bagaimanapun juga dia masih menganggap Chika bagian dari hidupnya. Masih terasa menyakitkan ketika kemarin Anak ini diambil paksa begitu saja dari tangannya. Padahal susah payah dia bersama Shani membesarkan dan merawatnya. Memastikan dia tumbuh dengan baik tanpa kekurangan apapun. Sekarang bolehkah Gracia egois mengambil kembali adik bungsunya itu?
Chika menurut meski terpaksa. Padahal sejak tadi setengah mati dia menahan diri untuk tidak menatap Kakaknya. Dia tidak ingin terlihat cengeng karena menangis disitu. Kini bisa dilihatnya lagi si pemilik wajah tegas bermata teduh itu. Hanya cukup menatapnya saja, like a magic, maka semua semangat hidupnya yang telah hilang muncul kembali, bahkan berkali-kali lipat jumlahnya.
"Iya Kak. Chika ga mau nikah sama Kak Vino. Keluarga itu ga sayang sama Chika. Mereka cuma mau manfaatin Chika buat kepentingan mereka sendiri." Ucap Chika. Air matanya tak lagi bisa ditahan. Akhirnya menangis di depan Gracia.
Melihat itu hati Gracia seperti ada yang mencubit begitu keras. Bukan ini yang dia inginkan. Sudah mencoba ikhlas melepas Chika kembali ke keluarga kandungnya. Berharap anak ini akan diperlakukan lebih baik nyatanya tidak. Ikatan darah tidak menjamin seseorang diperlakukan sebagaimana mestinya.
"Lalu kalian memutuskan kabur?" Tanya Gracia lagi.
"Gak ada jalan lain Kak. Melawan sama aja bunuh diri." Ucap Chika.
"Kabur juga sama aja bunuh orang lain. Sadar kan?" Tanya Gracia. Entah akan terjadi atau tidak, jika dua bocah ini berhasil kabur tanpa bertemu Gracia, pasti akan berimbas juga padanya maupun Shani. Wanita tua itu pasti mencurigai mereka dan tidak akan berhenti menganggu hidup mereka.
"Terus kita harus gimana Kak?" Chika akhirnya menunduk, tangisnya makin menjadi. Ara juga diam seribu bahasa. Dilema apakah cara mereka ini benar atau salah. Jikapun mereka salah, Ara juga tidak akan mau kembali lagi. Buat apa kembali pada keluarga yang tidak peduli padanya sedikitpun.
Gracia akhirnya menghela nafas berat. Tangannya terulur naik mengelus pelan kepala Chika. Dia tau langkah apapun yang diambil sekarang rasanya tidak ada yang benar. Dia harus berpikir cepat karena sudah terlanjur ikut campur sekarang. Pura-pura tidak tahu dan membiarkan mereka berdua pergi itu juga sangat tidak dibenarkan. Bagaimanapun dua bocah ini masih butuh perlindungan seseorang yang lebih tua.
"Ga usah nangis. Pasang seatbelt-nya sekarang." Perintah Gracia pada Chika. Mobilnya mulai dinyalakan.
Dengan cepat Chika menatap Gracia sambil menyeka air matanya.
"Kita mau kemana Kak?" Pertanyaan yang sama keluar dari mulut Ara dan Chika bersamaan.
"Kompak bener." Gracia mendengus. "Ikut aja, daripada jalan kaki ga jelas kayak tadi."
Bibir keduanya menyunggingkan senyum tipis. Mulai salah tingkah, namun tidak lagi bertanya, memilih pasrah membiarkan Gracia membawa mereka entah kemana.
----------------------
30 menit kemudian mereka berhenti di sebuah tempat parkir basement. Mesin mobil dimatikan. Namun tidak ada yang turun sebelum dapat aba-aba dari Gracia. Bukannya turun Gracia malah mengambil ponsel lalu menelpon seseorang.
"Sorry, aku udah di basement."
"Oke. I'm on my way."
Setelah mematikan panggilan dan menyimpannya ponselnya kembali. Gracia melepas seatbeltnya dan menyuruh mereka berdua turun.
"Tasnya bawa sekalian." Perintahnya.
"Iya Kak." Ucap keduanya bersamaan.
Gracia memandu mereka naik lift menuju lantai 20. Membawa mereka bertemu seseorang yang tadi sempat dia kirimi pesan minta bertemu. Hingga akhirnya mereka berhenti tepat di depan pintu, di ujung lorong. Pintu diketuk. Tak butuh waktu lama pintu itu terbuka lebar.
"Graciaaaaa." Seseorang muncul dari pintu menyapa Gracia dengan senyum terlampau lebar kemudian memeluknya erat. Mengundang tanya dari kedua bocah yang berdiri di belakang. Siapa gerangan manusia ini? Hebot banget. Pikir mereka.
"Boleh masuk?" Tanya Gracia mencoba melepaskan diri dari pelukan. Dia berusaha menahan diri untuk tetap bersikap sopan.
"Oh iya lupa. Yuk masuk." Dengan cengengesan, Orang itu mundur, memberikan space agar ketiganya masuk kemudian menutup pintu dibelakangnya.
"Duduk yuk. Mau minum apa?" Tanya tuan rumah mempersilahkan mereka duduk.
"Nanti aja. Aku perlu bicara berdua sama kamu sekarang bisa?" Ucap Gracia to the point.
Melihat keseriusan dalam nada bicara Gracia, akhirnya si tuan rumah mengangguk mengerti.
"Kita ke kamar aku aja gimana?" Tawarnya.
"Mana aja boleh asal ga disini." Ucap Gracia.
"Oke. Ikut aku." Si Tuan Rumah berdiri diikuti Gracia. Namun sebelum beranjak pergi Gracia menatap dua bocah yang juga menatapnya bingung.
"Kalian diem disini sampai Kakak balik." Ucapnya kemudian pergi tanpa menunggu jawaban.
Gracia masuk ke ruangan 4x4 itu. Suasana khas kamar yang menggambarkan karakter si pemilik. Matanya mengitari sekeliling sampai akhirnya satu pertanyaan menghentikan semuanya.
"Jadi apa yang terjadi sebenarnya?"
"Rumit. Tapi tujuan utamaku kesini sebenarnya mau minta tolong. Terkesan tidak tahu malu memang karena aku sadar selama ini memperlakukanmu tidak baik, tapi masih percaya diri datang minta tolong." Gracia mulai panjang lebar.
"Gree. Kamu sangat diperbolehkan minta apa aja sama aku. Aku udah menawarkan diri kemarin, aku siap kapanpun kamu butuh. Tapi jangan berpikir lantas aku akan minta imbalan. Buang jauh-jauh pikiran itu. We're friends right?"
"I know. Tapi aku tetap merasa jahat sama kamu Fiony."
"Aku tahu diri kok Gre. Ada hal lebih penting dari sekedar persoalan perasaan. Aku benar?"
Gracia mengangguk.
"Jadi apa yang terjadi? Selama ingatanku belum rusak bener yang diluar itu Chika bukan? Bukannya dia udah------"
"Iya itu masalahnya." Potong Gracia. "Mereka berdua kabur. Apesnya aku malah ketemu mereka. Tapi aku juga ga bisa diem aja."
"Gre kamu tahu resikonya bukan kalau memilih menyembunyikan mereka?"
"Aku tahu. Tapi aku ga bisa nutup mata gitu aja biarin mereka ambil langkah ceroboh kayak gini. Bisa kabur sejauh mana dua bocah itu hanya dengan modal 1 tas ransel doang."
"Tapi dengan bawa mereka kesini kamu secara tidak langsung mendukung langkah ceroboh itu Gre."
"Kamu punya cara yang lebih baik selain bawa mereka balik lagi ke kandang macan?" Gracia malah balik bertanya.
Fiony diam.
"Ga usah ikut mikirin. Biar itu jadi urusan aku. Aku kesini cuma mau nitipin mereka sebentar sampe aku dapat dapet cara lebih baik bawa mereka. Aku janji ga akan lama, itu juga kalau kamu ga keberatan." Fiony masih saja diam menatap Gracia.
"Tapi kalau kamu ga bisa juga----"
"Boleh. Boleh banget." Balas Fiony cepat. Setidaknya jika dua bocah itu ada disini, Gracia akan lebih sering datang kesini. Meski bukan dia yang ditemui tapi kan lumayan dia punya kesempatan lebih banyak curi-curi pandang.
"Beneran?"
"Bener Gre. Ga akan ada yg kepikiran mereka disini. Daripada kamu taruh di hotel atau tempat kamu yang lain, kemungkinan untuk ditemukan masih lebih besar."
"Itu yang aku pikirin."
"Mereka aman disini. Kamu tenang aja."
Akhirnya Gracia bisa sedikit bernapas lega.
"Thanks Fio. Aku utang budi sama kamu."
"Siapa Budi? Utang kencan sama aku aja gimana?" Fiony kumat.
"Aa-aa ituu------"
Fiony cekikikan. "Just kidding Gre. Kamu kalau sama aku kenapa kek orang tertekan terus sih?"
"Pikir sendiri." Dengus Gracia.
"Iya maaf. Masalah dua bocah itu selesai. Sekarang aku mau tanya soal kamu." Ucap Fiony yang sekarang berdiri lebih dekat pada Gracia.
"Apa?"
"Kamu baik-baik aja?" Tanya Fiony dengan mimik wajah lebih serius kali ini.
"Kamu liatnya gimana?" Pertanyaan dibalas pertanyaan oleh Gracia.
"Kamu tau maksud aku. Hubungan kamu sama Shani gimana? Aku pikir kamu tadi hubungin aku karena masalah itu. Ternyata bukan. So aku masih pengen tau apa yang terjadi antara kalian berdua setelah aku pergi."
"Kita bisa bahas yang lain aja ga?" Sungguh Gracia malas membicarakan hal ini. Kepalanya sudah mau pecah rasanya memikirkan nasib dua bocah diluar itu belum lagi nasibnya sendiri.
Fiony menggeleng lemah. Mungkin dia sedang terlihat baik-baik saja sekarang. Terlihat sudah bisa mengikhlaskan Gracia untuk orang lain. Tapi di dalam hatinya dia masih berteriak keras, tidak rela jika dia harus kalah. Tapi jika saingannya adalah Shani, maka pantasnya disebut bagaimana pertarungan mereka?
"Aku cuma pengen tau aku harus bersikap bagaimana dan aku ada di posisi mana antara kalian berdua. Kamu ga mau aku mati penasaran kan?"
Uuuggghhh. Gracia mengeluh dalam hati. Kalau tidak ingat dia baru saja minta pertolongannya, mungkin udah ditinggal pergi daritadi. Tapi bukan Fiony namanya kalau berhenti sebelum mendapatkan apa yang dia mau.
"Makin buruk." Ucap Gracia akhirnya.
"Apanya?"
"Ck. Hubungan aku sama Shani."
"Dia marah?" Tanya Fiony. Gracia hanya mengangguk ogah-ogahan.
"Mungkin jijik lebih tepatnya." Tambah Gracia. Fiony hanya mengangguk mengerti sambil menatap Gracia penuh empati.
"Setelah ini kamu mau bagaimana sama Shani?"
Gracia hanya mengangkat kedua bahunya. "Mungkin menuruti keinginannya."
"Apa itu?" Tanya Fiony makin penasaran.
"Menghilangkan perasaannya."
"Bisa?"
"Bisa ga bisa itu yang harus terjadi."
Makin bergejolak hati Fiony melihat Gracia seperti ini. Rasa kasihan, kesal, sedih bercampur jadi satu. Dia tau rasanya, dia paham betul bagaimana sulitnya. Menghapus perasaan yang sudah terlanjur ada tidak semudah ketika memunculkan perasaan itu sendiri.
"Berat Gre, karena aku juga sedang merasakan hal yang sama. Tapi aku perlu memuji keberanianmu karena terus mempertahankan perasaanmu meski tau gak akan terbalas. Jika tau sejak awal akan menjadi usaha yang sia-sia kenapa tidak dihilangkan sejak dulu?" Pertanyaan yang sejak kemarin ingin sekali Fiony tanyakan pada Gracia. Jika harus ada orang lain di hati Gracia kenapa itu Shani? Kenapa bukan dia aja?
"Because I know I can be with her." Gumam Gracia pelan.
"Maksud kamu? Sorry aku underestimated. Tapi dia adik kamu, adik kandung kamu. Bagaimana kamu berpikir bisa bersamanya?" Rasa penasarannya makin menjadi-jadi. Jawaban Gracia sedari tadi bukannya malah menyembuhkan tapi makin memperparah rasa penasarannya.
Sayangnya Gracia tidak lagi menjawab malah merubah topik.
"Kayaknya kita udah kelamaan disini. Aku mau cek mereka dulu diluar. Takut kabur lagi."
"Gre seriously? Tanggung banget ini. Greee....issshhh."
Yang dipanggil makin tidak peduli. Memilih keluar dari kamar secepatnya.
-------------
Langit berubah senja ketika Gracia memarkirkan mobilnya di Garasi. Tidak ada mobil lain disebelahnya, itu artinya Shani juga belum pulang. Setelah meninggalkan apartement Fiony dengan tidak lupa memberi kultum pada dua bocah tadi agar jangan melakukan hal bodoh dulu tanpa seijinnya, Gracia kembali ke kantor.
Berjam-jam dia duduk bukan untuk bekerja, tapi dilema memikirkan apakah Shani perlu tau kejadian siang tadi atau tidak. Yang terjadi pada Chika meski ada hubungannya dengan Vino, Chika tetaplah adik bagi mereka. Hingga waktunya pulang Gracia belum juga memutuskan. Baru akhirnya dia yakin -Shani harus tau- ketika dia masuk kedalam rumah. Ketika akan naik ke lantai atas, terdengar dari luar suara mesin mobil.
Diurungkan niatnya untuk naik, bermaksud ingin menyapa adiknya itu.
"Katanya pulang telat?" Tanya Gracia ketika Shani berjalan mendekatinya.
"Hmmm."
"Udah makan?"
"Masih kenyang. Kakak makan sendiri aja ya malam ini?"
"No prob. Shan tadi----"
"Kak, Shani capek. Bisa kita ngobrol lagi lain waktu?" Potong Shani cepat.
"O-okay sorry. Kakak cuma-----"
"Ya ya Shani tau kita lagi ga baik-baik aja dan Kakak sedang berusaha memperbaikinya. Tapi sekarang bisa tolong kasih waktu Shani buat istirahat? Kasih waktu Shani buat mikirin ini semua. Jangan samakan Shani dengan Kakak yang kayaknya baik-baik aja ngadepin masalah kayak gini. Shani ga sekuat itu."
"Okay, Maaf" Jawab Gracia lalu memejamkan matanya sambil menghela nafas.
"Apapun yang terjadi di rumah ini, Shani minta mulai sekarang kita urus urusan masing-masing dulu. Shani permisi Kak."
Gracia masih berdiri kaku setelah Shani meninggalkannya. Tak berniat sedikitpun menyalahkan sikap Shani kali ini. Murni ini semua kesalahannya. Mungkin ini karmanya karena berani menaruh perasaan pada adik sendiri. Mereka masih tinggal bersama tetapi mengapa rasanya Shani kini sangat jauh darinya?
Hingga akhirnya pikiran itu muncul kembali. Yang sempat terlintas di pikirannya tadi pagi ketika mereka bertengkar. Haruskah dia melakukan itu? Padahal baru saja siang tadi resmi bebannya bertambah.
Pelan dia mulai meraba pegangan tangga, bertumpu padanya seakan kedua kakinya sedang tak mampu menopang beban tubuh sendiri. Jika memang ini solusi terbaik semua masalah maka dia akan lakukan apapun resikonya. Entah kena angin apa, seperti orang kesurupan, secepat kilat Gracia mengambil ponselnya mencari satu kontak yang mungkin sudah bertahun-tahun tidak dia hubungi.
Panggilan sempat tak terjawab meski tersambung, namun dia tak menyerah dan mencoba sekali lagi.
"Hello Sir. Sorry I don't have much time, so I'm straight to the point. I need your help as soon as possible........."
"................"
"I'll explain later, but I need your approval now."
"............."
"Thank you so much. See you soon"
Panggilan ditutup disusul Gracia duduk di anak tangga sambil menghela nafas panjang.
Besok adalah titik awal memulai hari yang panjang dan melelahkan. Ucapnya dalam hati.
TBC.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro