Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 32


Bagiku Dia Cantik, Belum Tentu Bagimu. Wajar. Karena Keindahan Terletak Antara Mata yang Memandang dan Hati yang Mencintai.





==Hai==








Pernahkah kamu merasa waktu disekelilingmu berhenti tiba-tiba? Seperti ada seseorang yang menekan tombol Pause. Ingin protes, tapi ada yang menarik semua keberanianmu untuk bicara. Tidak ada tombol lain yang bisa dipilih, Skip misalnya. Dan jika tombol pause itu ditekan sekali lagi, waktu memang akan bergerak kembali, namun semua akan berbeda, rasanya sepertinya dunia dan segala isinya jatuh menimpamu. 

Mungkin itulah yang dirasakan Gracia. Mendadak dia merasa kesulitan bernafas, seperti ada ribuan batu akik yang menghantam dadanya. Semua terjadi saat suara yang tidak di harapkan menyapa indera pendengarannya saat ini. Kondisi tak jauh berbeda terjadi pada orang didepannya juga. Fiony berdiri dengan mata melotot yang bila disenggol sedikit saja mungkin bakal gelinding tuh biji mata, menatap horor seseorang yang kini berdiri beberapa meter tak jauh dari tempat mereka. 

"Ss-Shani...." Panggil Gracia dengan suara yang mungkin hanya bisa didengar makhluk tak kasat mata disekitarnya.

"Apa maksudnya ini Kak?" Tanya Shani perlahan melangkah maju. 

"Shani, maaf kita-----" Tak kalah panik, Fiony pun berusaha menjelaskan karena dia sadar semua terjadi juga karena ulahnya. Dia harus bertanggung jawab.

"Aku mau bicara sama Kak Gre." Ucap Shani memotong perkataan Fiony.

Gracia mendesah pasrah. Kepalang tanggung. Percuma menyangkal karena mungkin Shani sudah mendengar semua yang mereka bicarakan tadi. 

Fiony pun kembali menutup mulutnya rapat-rapat. Perlahan dia menoleh menatap kasihan pada Gracia. Untuk pertama kalinya selama mengenal Gracia, baru kali ini dia bisa melihat dengan jelas kerapuhan perlahan menggerogoti image tangguh wanita yang tak pernah pergi dari hatinya selama ini. Membangun kerajaannya sendiri di dasar hati paling dalam yang tak bisa dijangkau siapapun. Lalu Diam dan tenang disana. Hingga akhirnya Fiony sadar, yang sudah menetap terlalu dalam memang baiknya tidak dikorek lagi, dipaksa naik ke permukaan karena itu hanya akan membunuh mereka berdua dengan perlahan. 

"Aku mau bicara sama Kak Gre." Lagi-lagi, suara Shani menganggu kekhusyukan dua orang yang sedang berperang dengan pikirannya masing-masing.

"Gre." Panggil Fiony. 

Gracia menatap Fiony dengan tatapan seseorang yang sedang menyimpan beban. Akhirnya dia mengangguk.

"Ngobrol lagi lain waktu. Kamu pulang aja istirahat." Ucap Gracia pelan pada Fiony.

"Hape aku on 24 jam. Mobil aku bensinnya full. If you need something you can-----" 

"Thanks Fio. Kita ketemu lain waktu?" Ucap Gracia menegaskan kembali ucapannya. Berharap agar wanita itu segera meninggalkan mereka berdua di tengah situasi yang tidak mengenakkan ini. 

Fiony diam beberapa saat kemudian membalas Gracia hanya dengan senyuman. Tak lama dia berjalan meninggalkan Gracia. Langkahnya terhenti saat berada beberapa centi dari tempat Shani berdiri. Dengan suara pelan berharap Gracia tidak mendengar walaupun itu mustahil, dia menatap Shani sedikit tajam.

"Don't punish her for something she can't control. You know your sister better than anyone."

Terdengar sangat cepat dalam satu tarikan napas. Namun Fionybisa memastikan Shani mendengar apa yang dia katakan. Setelah itu dia pergi masuk ke mobilnya, segera meninggalkan kediaman Natio bersaudara itu.

1 detik

3 detik

10 detik

1 menit berlalu dan tak ada satupun yang memulai baik Shani maupun Gracia. Keduanya masih berdiri kaku di teras rumah. 

"Kita bicara di dalam." Ajak Gracia akhirnya mengambil insiatif terlebih dahulu.

Gracia masuk duluan membiarkan pintu depan terbuka berharap Shani segera menyusulnya. Tak lama terdengar pintu ditutup dan dikunci saat dia duduk di kursi ruang tengah. Menunggu apa yang selanjutnya akan terjadi.

Lama menunggu lagi-lagi tak ada suara. Tidak ada pertanyaan apapun yang ditujukan padanya. Gracia berdiri ketika melihat Shani justru hendak naik ke atas, kembali ke kamarnya.

"Ga jadi ngomong?" Tanya Gracia mencegah langkah Shani. Padahal bisa saja dia memulai duluan. Menjelaskan semuanya. Tapi dengan cepat dia berubah pikiran karena dia masih perlu tahu apakah Shani benar-benar mendengar semuanya atau tidak. 

Shani berhenti. Namun tetap bungkam. Tak juga berniat menatap Kakaknya. Entah apa yang sedang dipikirkannya, Gracia tak mampu menebak.

"Shani?" 

Helaan nafas berat keluar dari mulut Gracia. "Oke ga masalah kalau kamu ga mau ngomong. Kita bisa----"

"Aku bakal lupain semuanya Kak." Ucap Shani akhirnya menyela ucapan Gracia. 

"Maksud kamu?" Gracia masih belum mengerti kemana arah pembicaraan adiknya ini. Melupakan apa? atau melupakan siapa?

"Aku bakal lupain semua pembicaraan yang kudengar antara Kak Gre dan wanita di luar tadi asal------"

"Asal?" Tanya Gracia sedikit kesal ketika Shani menjeda kalimatnya.

Tak segera menjawab, Shani justru berbalik berjalan mendekati Gracia. Gracia hanya mengangkat kedua alisnya cukup tinggi ketika Shani menatapnya tak berkedip. Tidak ada perasaan was-was seperti tadi saat pembicaraan dia dan Fiony terdengar oleh Shani. Waktu cukup membuatnya bisa sedikit berpikir dengan tenang dan menyiapkan semua jawaban kelak jika Shani menuntut penjelasan. 

Jika sekarang adalah waktunya dia harus mengatakan semuanya, dia siap berikut konsekuensinya. Prinsipnya sekarang udah kecebur setengah badan, kenapa ga dicelupin aja semua sekalian.

Lomba tatap-tatapan itu masih terus berlangsung antara keduanya. Tak tahu siapa yang akan menang karena tak juga ada yang membuka mulut, akhirnya Gracia mendesah keras. 

"Kita akan begini sampai kapan? Kalau mau ngomong sekarang!" Tanya Gracia dengan nada cukup tinggi.

"Kenapa Kak Gre marah? Bukankah harusnya itu aku?" Balas Shani mulai terpancing.

"Silahkan! Mau ngomong,mau marah bebas!"

"Shani bakal coba lupain semua yang Shani dengar di depan tadi asal Kak Gre bilang sama Shani kalau itu semua ga bener. Kak Gre cuma bohong supaya wanita tadi ga lagi ngejar-ngejar Kak Gre. Shani gapapa kok jadi tumbal alasan Kak Gre karena Shani tau Kak Gre bingung harus alasan apalagi buat nyuruh wanita itu pergi. Meskipun alasannya ga masuk akal, pada akhirnya Shani tetap adiknya Kak Gre kan?"

Krek!! 

Kalau suara hati yang patah bisa terdengar oleh telinga manusia, mungkin Shani bisa mendengar apa yang Gracia rasakan sekarang. 

Kalimat terakhir yang keluar dari mulut Shani cukup menampar Gracia sekarang. Gracia tidak ingin menyangkal lagi. Sungguh dia lelah. Menyimpan semua sendirian selama bertahun-tahun. Tiap malam diam-diam menangisi diri sendiri. Ini bukan keinginannya. lebih dari 10 Tahun mencoba membunuh, menikam berkali-kali perasaannya agar mati namun yang terjadi justru sebaliknya. Akhirnya dia pasrah, berusaha menguatkan diri saja, bersembunyi dibalik tembok kokoh bernama Kakak meski harus mengabaikan kebahagiaannya sendiri. 

Pilihan Gracia hanya ada dua sekarang. Memakai kembali topengnya agar Shani tetap bersamanya atau menyerah pada keadaan dan mulai jujur pada diri sendiri. Walau imbalannya nanti dia mungkin akan kehilangan Shani untuk selamanya.

"Kak?" Pikiran Gracia buyar setelah mendengar Shani memanggilnya. Ditatapnya kembali adiknya sebelum menarik napas dalam.

"Aku masih adik kamu kan?" Tanya Shani mengulang kembali pertanyaan. Seperti menegaskan pada Gracia bahwa Kamu jangan pernah berharap lebih dari ini.

Gracia mengangguk kemudian menjawab pelan. "Iya."

"Jadi aku benar kan tadi kalau Kak Gre bohong sama wanita itu?" Tanya Shani lagi.

Gracia memalingkan mukanya kemudian menggeleng. Shani melotot kaget.

"Kak!" Shani sedikit membentak kemudian mengusap wajahnya kasar.

"Kak liat aku." Ucap Shani dengan nada lebih rendah dibanding tadi. Dia mencoba menekan emosinya. Gracia menurut saja. "Aku butuh Kak Gre bilang kalau ini semua cuma kebohongan Kak. Aku butuh itu." Pinta Shani sedikit memelas.

Gracia menggeleng lemah sekali lagi kemudian menatap Shani dengan penuh penyesalan. Biarlah dia menyesal sekarang karena mencoba untuk jujur daripada dia menyesal nanti karena terus berbohong  entah ke Shani atau dirinya sendiri.

"Jadi.......yang di depan tadi itu.....i-itu, itu semua benar?" Tanya Shani mulai takut kali ini.

Gracia mengangguk namun juga bingung kenapa disaat seperti ini mendadak kemampuannya bicaranya menghilang?

"Jawab aku Kak. Aku ga butuh isyarat." Sindir Shani.

"Iya." Jawab Gracia singkat.

"Iya apa?" Tuntut Shani.

Gracia mengambil napas lagi sebelum menjawab.

"Iya, Aku mencintai Adik aku sendiri." Fiuhhhh. Lega? Mungkin iya. Gracia merasa ada sebongkah batu yang kini terangkat dari tubuhnya. Batu yang selalu menjadi bebannya kemanapun dia pergi.

Tapi itu semua tak berlangsung lama. Bebannya memang menghilang namun ada tangan lain yang kini sedang mengangkatnya begitu tinggi ke atas kemudian dalam sekejap mata membantingnya kembali ke dasar. 

"Jika tau adik sendiri, kenapa masih diteruskan?" Tanya Shani menatap Gracia datar. "Kakak berharap apa dari aku?" Tanya Shani lagi.

"Gak ada." Jawab Gracia singkat. Karena kenyataannya memang Gracia tidak mengharapkan apapun. Jika dia berharap bisa memiliki Shani lebih dari sekedar hubungan Kakak-Adik, tentu dia sudah melakukannya dari dulu. Anggap saja Gracia munafik, tapi dia tidak mau egois. 

"Kalau gitu buang jauh-jauh perasaan terlarang Kakak itu. Shani berusaha keras untuk tidak menjudge apapun ke Kakak. Shani anggap untuk kali ini Kak Gre Khilaf." 

Gracia hanya diam. Tak berniat merespon meski hanya satu kata.

"Selama ini panutan Shani cuma Kakak selain mendiang Ayah sama Ibu. Sekarang Shani cuma punya Kakak, tolong jangan bikin Shani merasa sendirian sekarang. Masalah kita udah banyak Kak, jangan tambah lagi dengan kita harus memikirkan juga perasaan Kakak yang tidak pada tempatnya itu."

"Maaf." Ucap Gracia mengangguk. Mungkin Shani benar. Tak seharusnya dia memupuk harapan meski hanya 0,00000001 persen kemungkinan perasaannya akan terbalas. Dia harus tetap berpikir realistis.

Shani hanya memandang Gracia dengan iba. Meski dalam hati dia masih tidak menyangka Kakaknya sendiri menyimpan perasaan lebih padanya. Padahal dia tahu ada banyak orang yang rela berlutut di kaki Gracia supaya mereka diterima. Selama ini Shani hanya mengira mungkin Kakaknya belum menemukan seseorang yang cocok dengan hatinya. 

"Shani juga minta maaf kalau Shani bersikap seperti ini. Shani sayang Kakak makanya Shani ga mau Kak Gre salah jalan. Ini ga bener. Saling mengingatkan, itu kan gunanya saudara?"

Lagi-lagi Gracia hanya menggangguk. Dia paham dia tak akan pernah bisa menang berdebat karena kali ini dia memang salah.

"Shani ke kamar Kak, mau tidur. Semoga Shani bisa lupain semua yang terjadi hari ini." Tanpa menunggu jawaban Gracia, Shani pergi begitu saja. 

Kepalanya terasa begitu berat. Belum selesai dirinya lepas sepenuhnya dari Vino, muncul lagi masalah baru yang tak disangka-sangka. Kenapa sumber masalah hidupnya harus berasal dari orang-orang terdekatnya yang begitu dia sayang? Shani hanya bisa menghela napasnya kasar kemudian masuk ke kamar dan mengunci pintunya.





---------------------





Pulang dari rumah Indah dengan membawa bonus muka lebam akibat sikap reflek sahabatnya yang ga tau diri itu, dengan sedikit menahan rasa nyut-nyutan di pipinya Ara mondar-mandir di kamarnya. Terus terngiang di kepalanya suara Chika yang meminta untuk segera menolongnya keluar dari keluarga lucknut itu. Tapi dia bingung harus melakukan apa. Dia tak punya power apapun untuk melakukan semuanya sendiri, KTP aja baru jadi.

Hingga setengah jam berlalu, sesi mondar mandir dia hentikan. Dengen cepat dia berjalan ke arah kasur mengambil tas yang tadi dia lempar begitu saja.

"Ah!! persetan sama semuanya." Dengan cepat dia mengetikkan sesuatu di ponselnya. Tak lama ponselnya berdering.

"Jadi gini......" Ara terlihat berbicara dengan seseorang, suaranya pelan. Meski sedang berada dikamar sendirinya yang dia yakini masih kedap suara, tapi tak ada salahnya antisipasi.

Tak sampai 5 menit ponselnya dia matikan kemudian bergerak membanting dirinya ke kasur dengan posisi telungkup. Diam cukup lama hingga akhirnya dia membalikkan badannya menatap kosong langit-langit kamarnya, mungkin pengep.

"Yuk Ra! Kamu pasti bisa! Kalau dulu bisa kenapa sekarang enggak?" Ucapnya berbicara sendiri. Seperti memberi semangat pada diri sendiri bahwa ini keputusan terbaik yang bisa dia lakukan.

Tak lama dia memejamkan mata, dia harus tidur cukup malam ini karena mungkin besok akan menjadi hari yang berat.




----------------




Pagi ini cukup cerah namun kondisi dua Natio di rumah besar itu tidak juga lebih baik. Perdebatan semalam antara keduanya, meski berujung Gracia mengalah pada permintaan Shani, nyatanya Shani masih memperlakukannya layaknya dia tak terlihat disitu. 

Duduk bersama dalam satu meja, namun tak ada satupun yang berniat memancing percakapan apapun. Hingga akhirnya terdengar suara sendok beradu dengan piring tanda Shani sudah selesai dengan sarapannya.

"Shani duluan Kak." Gracia hanya menghela nafas. Setidaknya dia masih dianggap ada.

"Hmmm." Balas Gracia membiarkan Shani meninggalkannya tanpa berniat memperpanjang percakapan.

"Kak." Gracia menghentikan gerakan minum kopinya kemudian menoleh kebelakang. Shani berdiri beberapa langkah di belakangnya dengan masih tetap  membelakanginya. Dengan raut heran karena mengira Shani sudah keluar dari rumah nyatanya belum, Dia menunggu dengan sabar apa yang ingin Shani katakan. 

"Kenapa?" Tanya Gracia.

Shani berbalik. "Nanti aku pulang telat. Mau ketemu Vino."

"Ngapain?"

Shani diam. Terlihat ragu untuk menjawab. 

"Ngapain?" Tanya Gracia sekali lagi.

"Making a chance." Jawab Shani pelan.

Gracia berdiri. Mendorong kursi ke belakang kemudian bergerak mendekat pada Shani.

"Yang ngajak ketemu, Kamu atau Vino?"

"Aku yang mau ketemu dia."

Wajah Gracia seketika mengeras mendengar jawaban Shani.

"Bagian mana yang kamu belum paham kalau Vino ga akan milih kamu?"

"Shani masih sangat yakin Vino terpaksa lakuin itu. Ini semua bukan keinginan dia. Dia cuma takut konsekuensinya jika dia milih Shani, dia akan kehilangan semuanya. Vino pasti berpikir Shani juga akan ninggalin dia karena dia ga punya apa-apa. Shani cuma mau ngeyakinin dia kalau apapun kondisi dia, Shani tetap terima dia apa adanya." Tanpa ragu Shani menjawab.

"Kamu-----"

"Aku ga minta ijin Kakak buat ketemu Vino. Tapi aku juga ga mau bohong sama Kakak kalau aku nanti pulang telat. Shani udah gede Kak. Ijinkan sekali ini aja Shani buat keputusan sendiri tanpa harus ada campur tangan Kakak." Lanjut Shani dengan cepat sebelum Gracia mengatakan sesuatu. 

Gracia melongo mendengar jawaban Shani. 

Sambil memijat pelan keninnya, Gracia menjawab. "Oke. Lakukan sesukamu. Gak usah pikiran keselamatan kita berdua. Biar itu jadi urusan Kakak."

Bagi Gracia itu murni hanya sebagai bentuk usaha terakhirnya melindungi Shani meski dia tidak tahu bagaimana nasib mereka nanti jika Shani bersikeras ingin bersama Vino. Tapi bagi Shani itu terdengar seperti sebuah sindiran di telinganya.

"Kenapa Kakak bisa berpikir Shani sejahat itu?"

"Maksud Kamu?

"Kakak nyindir Shani kan? Kakak mau bilang Shani egois kan?"

"Bukan itu mak-----"

"Kenapa ga ngaku aja sih Kak. Shani ngerti kok kenapa dari dulu Kakak ga pernah suka Vino. Kakak sengaja misahin kita demi keuntungan Kakak sendiri. Demi perasaan menjijikan Kakak itu. Kakak yang egois disini! Bukan Shani!"

"Shani!!"

Nada nyaring dari keduanya terdengar menggema di seantero rumah pagi buta begini. Keduanya mulai kehilangan kontrol.

"Kupikir percakapan kita soal ini cukup sampai tadi malam. Kenapa masih kamu ungkit? Mau kamu apa?!!!"

"Shani ga bisa lupa Kak! Justru Shani semakin takut karena kita hanya tinggal berdua disini sekarang. Kak Gre saja tidak bisa mengontrol perasaan Kak Gre sendiri, ga ada jaminan besok atau lusa Kak Gre bisa control perlakuan Kak Gre ke Shani. Coba Kakak bayangin ada di posisi Shani, Keluarga satu-satunya tempat bergantung selama ini, ternyata dialah yang paling menghancurkan. Vino memang menyakiti Shani, tapi apa bedanya sama Kakak?!!"

Nafas Gracia terhenti seketika mendengar ucapan Shani. 

"Mungkin hidup sebatang kara itu lebih baik!" Gumam Shani pelan namun masih bisa didengar cukup jelas oleh Gracia.

Tak lagi mengatakan apapun karena Gracia juga diam. Shani akhirnya pergi secepatnya meninggalkan rumah itu. Terdengar pintu depan dibanting cukup keras bersamaan dengan tertatihnya Gracia mencari kursi terdekat yang bisa dia raih. Kakinya lemas seketika seperti tak bertulang. Pandangan matanya gelap, dadanya sesak seperti sedang berada di ruang sempit dan gelap. Pikirannya kacau. Hanya satu kalimat yang kini terus berputar di kepalanya. Satu kalimat terakhir Shani.


Mungkin hidup sebatang kara itu lebih baik.










-TBC-




































Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro