Part 30
Happy Satnite
==😌✌️😌==
Keduanya masih berdiri, saling berpelukan. Masih terdengar pelan suara tangisan tertahan dari mulut seseorang. Sedangkan seseorang yang lain hanya berdiri mematung. Tak ada satu dua patah kata yang terdengar sekedar sebagai penenang. Tapi bukan berarti dia tak melakukan apapun. Tangannya bergerak naik turun mengelus punggung lawan bicaranya.
Dia yang tak ikut menangis merasa tak perlu mengatakan apapun. Karena kata-kata manis manapun di dunia ini tidak akan mampu memperbaiki sesuatu yang menyangkut hati. Perasaan yang telah hancur itu tak akan mudah sembuh hanya dengan kata-kata. Dia paham betul, bukan kata-kata yang akan memperbaikinya, tapi waktu. Maka ketika dia masih sanggup memberikan hal lain selain hati yang dia punya untuk orang ini sebagai penebus rasa bersalah karena telah menyakitinya, mungkin akan dia berikan.
Pelukan itu makin erat terasa, hingga sesak yang kini dia tahan. Entah sudah berapa lama waktu berlalu, kaki mulai kesemutan karena lama berdiri. Akhirnya satu sikap diambil.
"Fiony." Ucap Gracia pelan.
"Hmmm?" Untungnya ada respon dibalik suara yang serak dan sesenggukan itu.
"Duduk? Aku pegel berdiri daritadi." Jawab Gracia hati-hati.
Tanpa menjawab Fiony melepaskan pelukannya, menatap mata Gracia dengan sendu. Muka merah dan mata bengkak itu terlihat untuk pertama kalinya oleh Gracia setelah bertahun-tahun mengenal sosok di hadapannya ini. Dia yang selalu terlihat kuat dan optimis dengan senyum tawa yang tak pernah luntur di wajahnya, mendadak terlihat rapuh sekarang. Mungkin benar kata orang, kadang yang paling banyak tertawa adalah yang paling banyak menyimpan rasa sakit. Gracia benci kenyataan kalau dia salah satu penyebab rasa sakit itu.
Tak lama Fiony menggeleng.
"Aku pulang aja kayaknya. Muka aku jelek. Make up-nya pasti luntur gara-gara air mata ga ada akhlaq ini." Mendengar itu Gracia hanya tersenyum tipis.
"Kamu gapapa?" Tanya Gracia kemudian menepuk dahinya sendiri. Merutuki kebodohannya. Anak orang udah nangis gitu kenapa masih nanya sih? Umpatnya dalam hati.
Fiony hanya terkekeh kemudian menghapus air mata yang masih tersisa.
"Gapapa. Udah sering diginiin kok. Udah tahan banting." Fiony mencoba bercanda. Tapi yang terdengar di telinga Gracia malah sebaliknya.
"Yaudah aku duluan ya Gre. Kamu pulangnya hati-hati." Ucap Fiony buru-buru pergi. Namun lagi-lagi langkahnya terhenti di pintu.
"Gre..." Panggilnya.
Gracia yang masih belum bergerak, hanya memandang kosong punggung Fiony yang menjauh itu pun menjawab.
"Ya?"
"Aku berubah pikiran." Ucap Fiony. Gracia menaikkan kedua alisnya. Tidak paham dengan maksud perkataan Fiony.
"Sampai akhirnya aku tau siapa orang yang kamu cintai itu dan apa dia lebih pantes buat kamu dibanding aku, aku belum mau lepasin kamu."
Deg. Jantung Gracia mendadak berdetak lebih cepat. Dia menatap Fiony tidak percaya. Sayangnya setelah mengucapkan itu Fiony kini menghilang di balik pintu.
-----------------
Gracia sudah duduk di lobby Rumah sakit sejak 10 menit yang lalu. Merasa mustahil Shani akan menghubunginya meminta dijemput, maka lebih baik dia datang sebelum adiknya itu selesai. Benar saja, sesuai perkiraannya jam praktek Shani selesai setengah jam dari sekarang. Menunggu setengah jam hanya melihat orang keluar masuk bukan ide yang buruk. Pikirnya dalam hati.
Dua hari berturut-turut bersikeras antar jemput Shani berharap situasi diantara mereka sedikit lebih baik, nyatanya sama saja. Shani masih tetap tak mau bicara padanya. Tadinya dia berpikir Shani masih butuh waktu untuk pulih dari patah hatinya, tapi jika dia juga harus terkena imbasnya, mungkin ini bukan hanya soal Vino lagi. Gracia harus tau jawabannya sekarang.
Sibuk dengan ponselnya hingga tak sadar seseorang kini berdiri di hadapannya.
"Ekheeemm." Deheman itu sontak membuat Gracia kaget dan mengangkat kepalanya.
"Kakak udah daritadi?" Ternyata Shani.
"Setengah jam." Jawab Gracia kemudian memasukkan ponselnya kedalam tas dan berdiri.
"Maaf Kak aku----"
"Bicara nanti. Ayo pulang." Potong Gracia kemudian berjalan lebih dulu meninggalkan Shani.
Shani hanya menghembuskan nafasnya kemudian mengikuti langkah Gracia. Dia sadar dia memang sudah bersikap melampaui batas. Kakaknya itu jarang marah, bahkan dikeadaan yang menurutnya paling menjengkelkan sekalipun, Gracia hanya diam, tidak ada konfrontasi. Lebih memilih mundur di tengah situasi dan kembali jika dia sudah merasa baik-baik saja.
Tidak ada yang terjadi saat di mobil waktu perjalanan pulang mereka. Shani yang sejak tadi ingin membuka percakapan merasa tidak yakin dan akhirnya lebih memilih diam ketika melihat kerutan di kening Gracia dan raut wajah yang tegang.
Mobil silver itu bergerak perlahan masuk ke garasi rumah hingga akhirnya berhenti. Mesin dimatikan namun tak ada satupun yang berniat keluar dari mobil. Gracia masih duduk diam memegang kemudi. Shani yang bahkan kini bernafas pun takut lebih memilih menunduk.
"Aku turun ya Kak." Ucap Shani akhirnya melepas seatbelt. Tak tahan dengan situasi tak mengenakkan ini.
Tak ada jawaban dari Gracia. Namun dia juga mengikuti Shani, melepas seatbeltnya kemudian turun dari mobil.
"Mau sampai kapan kayak gini?" Tanya Gracia ketika melihat Shani akan naik ke kamarnya. Gracia merasa sudah cukup dia diam dan terus memupuk harapan kosong bahwa Shani akan bicara padanya.
Langkah Shani terhenti, namun tak ada niat untuk balik badan dan menatap Kakaknya.
"Kakak minta maaf." Suara Gracia lagi ketika tak juga mendapatkan balasan apapun dari Shani. "Hukum Kakak apapun yang kamu mau untuk kesalahan yang dibuat, asal jangan diam."
Shani mengepalkan erat kedua tangannya, perasaan bersalahnya makin menjadi-jadi.
"Udah ga mau ngomong sama Kakak? Udah ga butuh Kakak?" Tanya Gracia lagi.
"Kak---" Ucapan itu terhenti. Masih betah memunggungi Gracia, Shani bingung mau mengatakan apa.
"Please. Say something." Gumam Gracia. Meski pelan, namun dia yakin Shani mendengarnya.
Helaan nafas berat terdengar dari mulut Shani. "Aku masih belum bisa lepasin Vino." Ucapnya kemudian dengan cepat dalam satu tarikan napas.
"Lalu?" Tanya Gracia.
"Aku masih ingin dia balik sama aku."
"Dia tunangan adik kamu sekarang." Jawab Gracia.
"Aku tau. Tapi aku ga bisa nyerah gitu aja disaat aku tau ini juga bukan keinginan mereka, ini paksaan Kak."
"Kamu mau melakukan apa?" Tanya Gracia masih mencoba tenang.
Shani diam, sesaat kemudian dia menggeleng.
"Berjuang sendiri itu melelahkan Shani." Jawab Gracia.
"Maksud Kakak?"
"Kamu ga inget kemarin dia bahkan dengan sangat sadar nglepasin kamu. Lebih memilih kehilangan kamu daripada gengsinya? Kenapa harus capek mikirin dia yang belum tentu sekarang lagi mikirin kamu."
"Tapi kita ga tau apa yang sebenarnya terjadi sama mereka. Bisa aja kan dia diancam."
"Kalau dia benar mencintai kamu, dia ga akan begitu gampangnya melepaskan hubungan yang dia bangun bertahun-tahun demi sebuah gengsi. Apalagi dia seorang laki-laki. Kamu masih berharap kembali dan bergantung pada laki-laki kayak gitu?"
"10 tahun Kak dia menjagaku dengan baik. Hanya karena kesalahan dia ga mau kehilangan semua yang udah dia perjuangkan selama ini, kenapa harus dianggap fatal? Aku tau Kakak dari awal memang ga pernah suka sama Vino. Dia tidak melakukan kesalahan saja Kakak selalu memandangnya buruk, apalagi dia melakukannya? Sampai sekarang aku bahkan ga tau alasannya kenapa Kakak ga pernah suka sama Vino." Tanya Shani yang kini berbalik menatap Gracia.
"Bukannya udah terbukti, dia lebih memilih harga dirinya dibanding kamu sekarang?" Tanya Gracia.
"Ga adil Kak ketika Kakak hanya fokus pada kesalahan yang dia buat sekarang, padahal selama ini dia berusaha mati-matian supaya Kakak mau terima dia." Ucap Shani tak mau kalah.
"Ga adil juga ketika kamu hanya fokus pada seseorang yang kata kamu menjaga kamu selama 10 tahun ini dan mengabaikan seseorang yang menjaga kamu hampir seluruh hidupnya hingga saat ini, berbuat seolah-olah ini semua kesalahannya karena ga melakukan apapun untuk merubah keadaan."
"Emang iya kan Kak? Kita hanya diam melanjutkan hidup, sedang di satu sisi kita ga tau apa yang sedang Chika hadapi disana. Dia bahagia atau tidak."
"Jadi ini semua tentang Chika atau tentang Vino?" Tanya Gracia masih tak habis pikir dengan isi pikiran adiknya ini.
"Dua-duanya."
"Lalu kenapa masih diam disini?"
"Maksud Kakak?"
"Kalau merasa bisa melakukan sesuatu untuk mendapatkan Vino kembali, kenapa masih berdiri disini? Kenapa kemarin ga mencoba mencegah pertunangan mereka terjadi?"
"Karena Kak Gre pasti bakal larang dan aku ga akan bisa bantah!" Ucap Shani sedikit keras.
Gracia kaget dengan ucapan Shani. Bukan rasa marah yang muncul saat ini tapi kecewa. Jadi selama ini yang ada di pikirannya adiknya adalah dia seorang Kakak otoriter yang hanya memaksakan kehendak? Ini baru Shani. Apa selama ini Chika juga merasakan hal yang sama?
Shani yang melihat perubahan raut wajah Gracia pun seketika menjadi sadar kalau dia salah bicara. Padahal bukan begitu maksudnya. Tapi semua sudah terlanjur terucap, mau menariknya agar tidak menyakiti hati Gracia pun rasanya mustahil.
"Kak aku----"
"Berarti memang ini salah Kakak."
"Kak bukan gitu. Aku-----"
"Maaf kalau Kakak selalu maksain sesuatu tanpa pernah bertanya apa keinginanmu." Potong Gracia kemudian menunduk. "Maaf karena masih mengganggap kamu anak kecil yang masih perlu diawasi dan dijaga. Maaf untuk semuanya."
"Kak pleasee..." Kondisi berbalik. Shani menggeleng keras tidak setuju dengan apa yang baru saja Gracia ucapkan. Menatap sedih Gracia yang kini sedang berusaha keras mengontrol dirinya.
"Andaikan Papa sama Mama masih ada, tentu Kakak udah dihukum berat karena memperlakukan kamu dengan tidak baik selama ini." Gracia mengangkat kepalanya, tersenyum getir menatap Shani.
"Kak Gre...." Gracia yang mati-matian menahan air matanya agar tidak jatuh di hadapan Shani, namun nyatanya justru Shani yang menangis sekarang.
"Kamu benar, Kakak yang salah. Ga perlu takut Kakak bakal larang. From Now on, Do anything you want, Your decicions is your own responsibility." Gracia maju mendekat kemudian menepuk pelan pipi Shani. "Just be careful. Okay?" Tambah Gracia tak lama menurunkan tangannya kemudian pergi begitu saja meninggalkan Shani.
Setelah Gracia meninggalkannya, Shani yang tak kuasa berdiri lebih lama lagi memilih duduk disalah satu kursi yang berada didekatnya. Menarik napas dalam sambil mencerna apa yang baru saja terjadi. Tangannya terangkat mengelus pelan dadanya. Masih terbayang sorot mata kekecewaan yang Gracia tampakkan padanya tadi dan itu membuatnya sesak nafas.
Bagaimana bisa seperti ini? Rasanya seperti Gracia baru saja meninggalkannya, memutuskan hubungan dengannya. Dan yang membuatnya merasa ditampar begitu keras adalah kenyataan bahwa perasaan ditinggalkan Kakaknya sendiri ternyata lebih menyakitkan dibanding perasaan ditinggalkan Vino.
Diruangan lain tampak Gracia sedang mondar-mondir seperti cacing abis disiram air garam. Berusaha sekuat tenaga untuk tidak terlalu memikirkan permasalahannya dengan Shani. Toh dia sudah ambil keputusan tidak lagi mencampuri terlalu banyak urusan kehidupan adiknya.
Membiarkan Shani memilih jalannya sendiri. Dia hanya seorang Kakak dan dia tidak berhak berlaku layaknya orang tua bagi Shani. Hingga akhirnya acara mondar-mandirnya dia hentikan. Bergerak merogoh sesuatu didalam tas yang tadi dia lempar begitu saja ke atas meja.
"Fiony? Ada waktu sore ini?" Ucap Gracia berbicara dengan ponselnya.
----------------
Shani keluar dari kamarnya saat hari menjelang gelap. Dia turun untuk melihat suasana rumah yang sepi. Lampu ruangan bawah bahkan belum dinyalakan sama sekali. Dia bergerak menyalakan semua lampu dibawah sambil berpikir apakah Gracia masih berada di kamarnya atau tidak. Iseng dia menengok keluar dan melihat mobil Silver milik Gracia tidak ada di tempatnya, berganti dengan mobil asing yang dia tak tau itu milik siapa. Itu artinya? Gracia sedang pergi dengan seseorang dan dia sendiri disini.
Mungkin lebih baik dia keluar, belanja sesuatu untuk dimasak jadi ketika nanti Gracia pulang, dia berharap mereka akan duduk makan berdua sambil pelan-pelan dia bisa minta maaf atas sikap kekanak-kanakannya tadi. Merasa itu ide yang baik, Shani bergegas kembali ke kamarnya bersiap menjalankan rencananya.
Di tempat lain, tepatnya di taman kota. Tampak dua orang kini sedang duduk di bangku taman. kedua bahu mereka saling menempel dengan kepala salah satu bersandar di atas bahu yang lainnya.
"Gre.." Panggil Fiony yang masih tak juga mengangkat kepalanya dari bahu Gracia. Kesempatan tidak datang dua kali, maka akan dia gunakan sebaik-baiknya. Pikirnya.
"Hmmm?"
"Makasih udah ajak aku jalan-jalan sore ini. Bolehkan aku anggap ini kencan pertama kita?" Tanya Fiony.
Gracia hanya tersenyum tipis. "Bebas." Ucap Gracia yang masih fokus menatap sekelilingnya. Taman ini makin malam justru makin ramai.
"Terus kencan keduanya kapan?" Tanya Fiony lagi. Gracia hanya tersenyum merasa tak perlu menjawab pertanyaan ini.
"Aku ga mau ya kita pergi berdua gini cuma sekali ini aja." Ucap Fiony mulai merajuk.
"Liat situasi nanti ya." Balas Gracia pelan.
"Oke. Kalau nunggu kamu yang ajak lagi pasti lama, aku aja deh besok yang ajak tapi kamu harus mau." Gracia diam saja. Entah karena tertekan atau karena melamun jadi dia tak mendengar apa yang Fiony katakan.
"Gre kamu denger aku ga sih?" Tanya Fiony kemudian mengangkat kepalanya menatap Gracia sewot.
"Eh iya. terserah kamu aja." Balas Gracia menatap Fiony antara bingung dan panik.
"Weekend ini gimana?" Tanya Fiony dengan senyum sumringah.
Mata Gracia melebar. Mau menolak takut menyakiti lagi. Mau menerima, dia sendiri tak yakin dengan kemampuannya mengontrol diri. Takut emosi.
Akhirnya pasrah. Hanya anggukan pelan yang Gracia berikan. Namun agak sedikit menyesal karena anggukan itu malah kini membuatnya sesak nafas karena tiba-tiba Fiony menariknya dan memeluknya erat layaknya boneka teddy bear.
"Lepasin dong. Ga bisa nafas." Pinta Gracia pelan.
"Eh maaf. Maaf. Aku lagi hepi banget soalnya." Ucap Fiony menatap Gracia tak enak.
"Hepi kok mau bunuh orang." Ucap Gracia lagi dalam hati.
""I-iya g-gapapa. Pulang sekarang ya. Udah gelap." Tanya Gracia.
"Ehmm iya deh. Biar kamu bisa istirahat. Tapi aku mau beli es krim disana dulu ya sebelum kita balik ke mobil?"
"Oke." Balas Gracia kemudian berdiri.
"Shani apa kabar Gre?" Tanya Fiony saat mereka berada di dalam mobil.
"Baik."
"Dia baik-baik aja setelah putus dari pacarnya itu?"
"Sepertinya." Balas Gracia seadanya dengan pandangan tetap fokus ke depan. Memperlihatkan gesture malas menanggapi.
"Dia udah move on belum ya?" Tanya Fiony dan Gracia hanya mengangkat kedua bahunya acuh.
"Soalnya aku ada kenalan temen dokter juga di rumah sakit tempat kerja Shani kemarin. Lagi cari istri. Siapa tau cocok mereka."
Ckiiiittt... Bugggh....
"Gracia!!! Jidat aku!!" Teriakan Fiony teredam tangannya sendiri.
"Upsss maaf. Kamu gapapa?"
"Gapapa gimana? Benjol ini kayaknya." Ucap Fiony sambil mengusap dahinya yang terbentur dashboard mobil.
"Seatbeltnya dipake makanya." Jawab Gracia dengan raut tak merasa bersalah sedikitpun.
"Ya mana kutau kamu bakal rem mendadak begini. Lagian kita ga pergi jarak jauh, jadi aku males pasang seatbelt." Kilah Fiony.
"Salah siapa? Deket apa jauh tetep harus pake seatbelt biar aman." Gracia tak mau kalah.
"Kok malah nyalahin aku. Kamu itu kenapa rem mendadak ga ngomong-ngomong sih!"
"Garis bawahi kata 'mendadak'. Kalau ngomong dulu, itu kata ga ada harga dirinya. Lagian ada kucing lewat, nanti ketabrak kalau aku ga ngerem." Gracia masih tak mau mengalah.
"Issshh!" Hanya geraman kesal yang akhirnya Fiony perlihatkan. Kalau alasannya karena ada hewan lewat dia bisa apa.
"Tapi perasaan tadi aku ga liat ada kucing di depan." Ucap Fiony yang penasaran. Pasalnya meski bukan dia yang menyetir, dia juga tau kondisi jalanan di depannya bagaimana.
"Ada tadi."
"Gak ada Gre. Halu kamu."
"Bisa jadi." Jawab Gracia masa bodo.
"Iya kamu yg halu. Aku yang benjol." Keluh Fiony.
"Aku kan ga sengaja."
"Iya."
"Hmmm."
"Jadi gimana soal Shani tadi?" Fiony masih kekeh ingin menjodohkan Shani dengan temannya itu.
"Yang tadi mana?"
"Ituu...Soal aku mau ngenalin dia ke temen aku. Boleh ga setelah sampai rumah aku ngomong sama dia? Dia dirumah kan?" Tanya Fiony.
"Gre." Panggil Fiony lagi karena Gracia tak kunjung merespon.
"Ga sekarang. Biar dia gini dulu aja." Jawab Gracia akhirnya.
"Lha kenapa? Bukannya bagus ya, jadi malah ngebantu dia buat cepet nglupain mantannya itu."
"Ga sekarang."
"Tapi Gre, cuma kenalan doang masa ga boleh?"
"Ga sekarang." Gracia masih kekeh dengan pendiriannya kemudian melepas seatbelt dan keluar dari mobil karena kini mereka sudah sampai dengan cukup aman meski ada yang benjol kepala.
"Kalau aku suruh ketemu kamu dulu aja gimana Gre?" Tanya Fiony lagi sambil berlari menyusul Gracia.
"Buat apa?"
"Biar kamu bisa nilai dulu orangnya. Pantes ga dia kalau deketin Shani."
"Aku lagi ga ada waktu ngurusin hal kayak gitu."
"Demi adik kamu lhoo. Masak kamu ga mau luangin waktu sedikit aja."
"Kok ngatur."
"Apa bedanya sama kamu?" Ucap Fiony kali ini dengan nada lebih serius. Langkah Gracia terhenti sebelum dia sempat buka pintu.
"Maksudnya apa?" Gracia berbalik menatap Fiony tak suka.
"Aku ngatur. Lalu apa bedanya sama kamu? Shani udah bukan anak kecil, biarian dia tentuin sendiri apa maunya. Aku pengen ketemu dia malam ini aja kamu larang. Itu apa kalau bukan ngatur."
"Terserah. Kamu cuma orang luar yang ga tau apa-apa."
"Aku yang ga tau atau kamu yang ga pandai nutupi?" Pertanyaan Fiony kali ini sukses membuat Gracia melongo. Mau memancing masalah apalagi dia kali ini? Pikir Gracia.
"Kalau mau nyari ribut, mending pulang aja. Aku udah ga mood nanggepin kamu." Usir Gracia kemudian berbalik hendak membuka pintu.
"Orang yang kamu cinta itu. . . Shani kan?"
"Fiony!!!"
Entah bagaimana caranya, Fiony bahkan tidak melihat pergerakan Gracia yang begitu cepat. Karena kini Gracia sedang berdiri di hadapannya dan mencengkram kerah bajunya.
"Kamu ngomong apa!!!!" Teriak Gracia lagi makin mempererat cengkraman bajunya.
Bukannya takut, Fiony malah makin berani menatap Gracia.
"Shani! Dia kan orang yang kamu cinta?"
Plak.
Cengkraman keras di kerah bajunya kini berganti dengan tamparan di pipinya. Seketika Gracia mundur, kaget dan kemudian menyesal dengan apa yang terjadi.
"Fiony. Maaf Aku-----" Gracia panik. Ucapannya tertahan karena Fiony mengangkat tangannya menyuruhnya berhenti bicara.
"Thanks Gre. Aku pantes kok dapetinnya karena udah lancang ngomong kayak gini. Tapi dengan begini aku makin yakin sama feeling aku."
"Fiony-----"
"Jangan nyangkal lagi Gre. Ga capek apa mendem ini semuanya sendirian? Ga ada yang salah sama perasaan kamu. Tapi yang jadi pertanyaan kenapa harus Shani? Shani adik kamu?"
Gracia menunduk. Sepertinya percuma berbohong pada seseorang seperti Fiony. Bahkan sudah ditampar seperti tadipun bukannya mundur malah makin berani. Fiony terlalu pintar membaca pikirannya atau mungkin dia saja yang bodoh hingga siapapun bisa dengan mudah membacanya.
"Aku benar kan? Orang yang kamu cinta selama ini hingga kamu ga bisa buka hati kamu buat aku itu Shani, adik kamu sendiri?" Tanya Fiony yang kini maju selangkah mendekat pada Gracia.
"Jawab Gre. Atau aku cium kamu sekarang sampai kamu mau jawab jujur." Mata Gracia melotot mendengar ancaman Fiony barusan.
"Mau jawab atau mau aku cium? Bodo amat babak belur kamu gebukin yang penting jawab." Gracia hanya menatap Fiony memelas.
"Aku tanya sekali lagi. Orang yang kamu cinta selama ini itu Shani?" Fiony mendekat lagi memonyongkan bibirnya bersiap mencium jika Gracia tetap diam.
Gracia mundur selangkah. Fiony maju selangkah. Begitu terus hingga Gracia terjebak diantara pintu dan tubuh Fiony.
"Udah mentok tuh. Jawab Gre."
Pasrah. Gracia menghela nafas dalam sebelum akhirnya mengangkat kepalanya.
"Iya. Dia Shani." Ucap Gracia sepelan mungkin takut jika nanti didalam Shani mendengar semuanya.
Brakk!!
"Kak Gre!"
Keduanya menoleh untuk kemudian menatap horor seseorang yang kini berdiri di belakang mereka.
"Shani!!"
TBC.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro