Part 28
==SelamatMalam==
Suasana pagi yang masih tak berubah sejak beberapa minggu yang lalu. Tidak ada lagi tingkah random seseorang ketika makan atau sekedar sahut-sahutan obrolan tak berfaedah yang terdengar di telinga Gracia. Meski terkadang baginya itu menjengkelkan, tapi jujur dia sangat merindukan momen itu.
Seperti pagi ini. Duduk sendiri di meja makan bersama secangkir kopi yang hanya dilihat saja tanpa sekalipun dia sentuh. Secangkir kopi yang menghangatkan namun berubah dingin karena sikapnya. Dicuekin. Lebih memilih asik merangkai isi pikiran sendiri dengan sepotong-sepotong kejadian yang terjadi belakangan ini. Mencoba mencari dimana sumber kesalahannya hingga mereka harus menanggung beban seperti ini lagi. Tak mau menyalahkan takdir, tapi bolehkah sedikit saja dia mengeluh tentang hidupnya?
Sesekali ekor matanya melirik ke arah tangga. Dalam hati berharap seorang yang lain, yang masih tinggal bersamanya turun lalu mengajaknya bicara. Minimal membalas sapaannya agar dia merasa tak sendirian di dunia ini.
Entah karena memang kebetulan atau doanya dikabulkan, terdengar derit pintu terbuka dari lantai atas ketika Gracia sedang mengangkat cangkir kopinya. Tak lama suara tapak sepatu terdengar berjalan menuruni tangga disusul siluet seseorang dengan jas putihnya.
Sudah ditebak, sosok itu hanya berjalan melewatinya tanpa sedikitpun menyapanya. Akhirnya Gracia memilih mengalah, menekan egonya demi mengajak bicara duluan.
"Sarapan dulu Shani." Ucapnya sebelum Shani berjalan keluar.
"Ga laper." Langkah Shani terhenti untuk menjawab namun tak ada niat sedikitpun untuk menoleh menatap kakaknya.
"Bawa bekal aja gimana? dimakan nanti kalau laper."
"Ga usah. Jajan aja nanti."
"Oke. Mau berangkat sekarang?" Tanya Gracia tak ingin memaksa.
"Iya."
"Kakak anter ya."
"Ga usah Kak. Aku ga mau kalau pulangnya harus repot naik taksi."
"Kakak jemput. Bilang aja mau pulang jam berapa."
"Ga usah. Nanti repot."
"Sejak kapan Kakak suka ngeluh sama urusan kalian?"
Shani diam. Tak berminat menjawab.
"Shan..."
"Ga usah Kak. Aku berangkat sendiri aja." Jawaban yang sangat tidak diinginkan Gracia. Mendadak emosinya naik. Tapi sebisa mungkin masih dia tahan.
Tak ingin buang-buang waktu dengan perdebatan tanpa ujung, Gracia segera meraih tasnya dikursi dan kunci mobil yang daritadi dia letakkan di atas meja.
"Ayo. Nanti kesiangan." Ucap Gracia kemudian melewati Shani begitu saja.
Shani menghela nafas sebelum akhirnya mengikuti langkah Gracia keluar rumah. Dia hafal diluar kepala bagaimana gelagat Gracia jika sudah terpancing emosi. Tidak ada lagi pertanyaan negosiasi, yang ada hanya perintah tanpa sedikitpun celah untuk dibantah.
Hening. Tak ada percakapan apapun yang terdengar hingga mobil Gracia berhenti di depan lobby rumah sakit. Keduanya masih saja diam, tak bergerak juga tak bersuara. Merasa tak nyaman dengan situasinya, Shani akhirnya mencoba bicara.
"Kak ak. . . "
"Chat jam berapa kamu selesai. Kakak jemput." Potong Gracia sebelum Shani sempat mengucapkan sesuatu. Bahkan ketika mengucapkan itu Gracia lebih memilih untuk tetap fokus ke depan dibanding menatap Shani.
"Iya." Segera saja Shani membuka pintu mobil lalu keluar, berjalan cepat masuk ke dalam tanpa sedikitpun menoleh ke belakang hanya untuk mengatakan 'hati-hati' atau 'jangan ngebut' seperti yang biasanya dia katakan jika Gracia mengantarnya.
Sedang yang masih di dalam mobil pun tak lama setelah Shani keluar, lebih memilih langsung melajukan mobilnya pergi dengan cepat menjauh dari rumah sakit itu.
---------------------
Keluar dari gerbang rumah sakit, Gracia membawa mobilnya ke arah yang bukan ke kantornya. Andaikan jalanan tidak ramai seperti saat ini, mungkin dia sudah menginjak pedal gas memacu mobilnya melebihi batas rata-rata.
Tidak sampai 15 menit dia berbelok ke sebuah tempat yang sebenarnya sudah jarang sekali dia datangi. Tempat yang hanya dia datangi ketika dia merasa tak mampu lagi membendung emosinya, Tempat yang menurutnya bisa menerimanya dengan lebih baik tanpa harus menuntutnya bicara banyak hal. Karena banyak bicara adalah kelemahannya.
Bugh....Bugh....Bugh....
Suara itu terdengar berkali-kali. Bersumber dari satu orang di tengah ruangan. Tarikan nafas pendek, keringat mengucur deras dari pelipis, wajah penuh kelelahan menjadi pemandangan yang jarang dilihat saat ini. Apalagi tubuh yang hanya berbalut tanktop dan celana pendek saja, serta tangan yang tertutup handwrap membuat siapapun tak akan menyangka jika seseorang yang berdiri di tengah ruangan itu adalah seorang wanita dingin yang terbiasa bersetelan rapi dan sehari-hari hanya duduk di belakang meja.
"Liat kamu dengan gaya berbeda seperti sekarang, bukannya bikin aku takut malah bikin aku tambah ehmmmm. . . .gitu loooch." Suara seseorang tiba-tiba menghentikan gerakan Gracia.
Gracia melotot kaget saat melihat seseorang yang tidak dia harapkan ada disini.
"Kenapa bisa disini?" Tanya Gracia datar.
"Ya bisa."
"Tau darimana?"
"Aku kan cenayang." Jawab orang itu dengan nada tengil.
"Fiony!" Nada Gracia sedikit membentak.
"Aku ngikutin kamu." Jawab Fiony santai, tak ada takut-takutnya.
"Tukang nguntit." Gumam Gracia.
"Ih ga sengaja ya. Tadi kan kerumah kamu, liat mobil kamu keluar gerbang, ya udah aku ikutin aja. Kirain abis anterin Shani langsung ke kantor, ternyata kesini. Kamu kok ga pernah ajak aku kesini sih Gre?" Ucap Fiony dengan cemberut.
"Ga penting."
"Penting tauk. Kapan lagi bisa liat kamu dengan tampilan kayak sekarang. Jadi bikin aku pengen nyerang deh." Ucap Fiony kemudian tertawa.
"Setres."
"Seriusan deh Gre. You look. . . Sekseeh." Ucapnya dengan nada sensual yang dibuat-dibuat.
Tak ingin membalas. Gracia lebih memilih melepaskan handwrap-nya kemudian berjalan mengambil handuk yang tergeletak di kursi panjang dekat tembok. Meraih botol isotonik dan meneguk isinya hingga tersisa setengah.
Masih dengan nafas yang sedikit terengah-engah, Gracia memilih untuk duduk daripada melanjutkan kegiatannya tadi. Mood-nya berubah karena kedatangan satu orang ini.
"Kok ga dilanjut? Padahal aku mau liat loh." Tanya Fiony yang ikut duduk disamping Gracia.
"Gak."
"Kenapa?" Tanya Fiony yang sedikit menggeser posisi duduknya lebih mendekat pada Gracia.
Gracia yang menyadari itu pun ikut menggeser posisi duduknya, jika Fiony mendekat maka Gracia menjauh. Begitu terus hingga akhirnya Gracia mentok di ujung kursi. Geser sekali lagi maka bisa dipastikan dia jatuh.
"Nanti jatuh Gre."
"Mending jatuh daripada kamu pepet." Ucap Gracia tanpa ekspresi. Tetap memandang lurus ke depan.
Mendengar itu Fiony yang tadinya senyum-senyum saja mendadak merubah ekspresinya. Tak lama dia menarik diri menjauh dari Gracia.
"Maaf."
"Hmm." Gracia masih tampak acuh. Lebih memilih menghabiskan isotoniknya. keduanya masih dalam mode diam hingga Gracia tiba-tiba berdiri dan mulai merapikan barang-barangnya.
"Aku duluan ya." Ucap Gracia sambil menggendong tasnya.
Niat ingin melangkah pergi harus tertunda ketika mendengar ucapan Fiony.
"Aku semenjijikkan itu ya di mata kamu? Aku sadar kok aku memang manusia yang layak kamu benci karena aku selalu ganggu kamu." Gracia masih berdiri diam. Belum mau untuk merespon satu katapun.
"Tau gak aku bersyukur banget dulu kita sempat lost contact, karena dengan begitu aku ga perlu capek ngejar kamu dan kamu ga perlu capek hindarin aku. Aku bahkan sempat maki diri sendiri karena nasibku yang kurang beruntung harus ketemu kamu lagi. Kupikir aku bakal biasa aja karena sebelumnya aku udah baik-baik aja tanpa kamu, tapi nyatanya enggak gitu. Pertahananku runtuh dalam sekejap saat pertama kali liat kamu lagi. Dan kamu tau apa yang otak sialanku ini bilang ke aku? Kamu harus coba sekali lagi karena mungkin aja hasilnya akan beda. Bodohnya aku nurut. Meski 99% aku tetep yakin hasil sama aja, tapi setidaknya aku masih punya 1% untuk kuperjuangkan." Helaan nafas dalam mengakhiri ucapan Fiony yang cukup panjang itu.
"Apa itu artinya sekarang aku juga kehilangan 1% itu?" Tanya Fiony yang kini mengangkat kepalanya menatap Gracia. Gracia masih saja diam, tak ingin balas menatap karena dia tak ingin melihat kesedihan di mata orang lain, apalagi dia penyebabnya.
Kebungkaman Gracia sampai detik ini membuat Fiony akhirnya mengerti dia memang terlalu naif berharap kesempatan yang tak akan pernah dia dapatkan. Berusaha menekan semua emosi agar tidak tumpah disitu, Fiony bersikeras menampilkan senyum terbaik di wajahnya. Dia tahu dia pasti terlihat aneh sekarang, tapi dia tak ingin Gracia mengasihaninya.
"Maafin aku ya. Udah ga bisa bikin kamu balas cinta aku, sekedar usaha jadi temen kamu pun aku tetep ga bisa. Fiony bego banget sih Loe." Ucap Fiony sambil menoyor kepalanya sendiri kemudian tertawa.
Beberapa menit tak juga mendapatkan respon, Fiony akhirnya berdiri.
"2 minggu lagi kontrak aku sama perusahaan kamu selesai. Setelah itu aku janji ga akan pernah muncul lagi di depan muka kamu. Jangan nyimpen dendam sama aku lama-lama ya? Aku takut hidup aku ga akan tenang sampai besok aku mati." Ucap Fiony masih berharap Gracia mulai merespon.
Namun lagi-lagi dia harus mengumpat dalam hati karena Gracia masih saja diam. Ini Gracia ga mendadak jadi bisu kan habis pukulin itu sandsack? Apa dia kesurupan setan ruangan ini? Kan dia sendirian daritadi. Pikir Fiony dalam hati sedikit merasa ngeri.
"Y-yaudah. A-aku pergi ya Gre. Kamu jangan lama-lama sendirian disini, nanti makin kesurupan. Bye." Setelah mengucapkan itu Fiony mengambil langkah seribu. Ingin keluar secepatnya dari ruangan itu.
Namun akhirnya suara Gracia menghentikannya ketika dia sampai di pintu.
"Fio....."
------------------------
Ara sedari tadi duduk gelisah di bangkunya. Udah kayak orang kena ambeien. Sejak pagi tadi tidak ada satupun penjelasan dari guru yang nyantol di otaknya. Perasaan ingin segera jam istirahat menggebu-gebu sejak tadi. Dia ingin bicara pada Chika karena sejak bertemu di gerbang tadi pagi, gadis itu menatapnya tak biasa. Ara merasa Chika itu masih pacarnya meski sekarang statusnya adalah tunangan kakaknya juga. Bodo amat. Pikirnya.
"Ssst Ra."
"Ara. Woy!" Terdengar bisik bisik di samping dan belakangnya. Namun Ara tidak peduli, lebih memilih fokus mencoret-coret bukunya. Membuat mahakarya berbentuk benang kusut yang estetik.
"Nyet. Woy!"
"ARA!!" Kali ini bukan bisikan yang dia dengar dari sekelilingnya, tapi teriakan yang bersumber dari depan bersamaan dengan sebuah benda melayang mengenai kepalanya. Reflek dia melempar pulpennya kemudian menatap ke depan. Dilihatnya Penghapus papan tulis kini tergeletak anteng di mejanya.
"Saya Bu?" Ucapnya pelan masih bingung dengan apa yang terjadi.
"Mampus! Bentar lagi dihukum ini." Terdengar bisikan di belakangnya. Sumbernya siapa lagi kalau bukan Aldo dan Sholeh.
"Kamu daritadi ga dengerin saya kan?"
"D-denger kok Bu."
"Kalau denger, saya ga mungkin manggil kamu sampai suara saya abis."
"Ah masa sih Bu?" Tanya Ara makin bingung.
"Sekarang keluar dari kelas saya."
"T-tapi Bu..."
"Keluar! Saya ga suka dicuekin pas pelajaran saya. Apalagi diduakan!" Ucap Gurunya.
"Lah Bu..."
"Keluar!! Berdiri di depan pintu sampai pelajaran saya selesai!!"
"Ck! Iya bu iya." Ara mengalah. Mulai berjalan keluar kelas dan berdiri persis di depan pintu.
Dia sempat menengok ke dalam dan melihat Aldo maupun Sholeh menutup mulutnya seperti menahan tawa, membuatnya mendengus kemudian mengacungkan jari tengah pada mereka berdua. Dilihatnya juga Chika yang menatapnya namun tak lama dia kembali memalingkan muka.
1 jam lebih berdiri membuat kaki Ara rasanya seperti nutrijell. Namun semua terbayar ketika akhirnya bel istirahat berbunyi.
"Lain kali kamu ngelamun pas pelajaran saya. Hukumannya lebih berat daripada ini." Ucap Gurunya ketika keluar ruangan.
"Iya Bu Maaf."
"Hmmm." Sepeninggal gurunya dan sebagian besar murid sudah keluar kelas, Ara segera berlari masuk lagi kedalam menemui seseorang yang sejak tadi pagi sudah gatal ingin ia temui.
"Chika." Ucapnya ketika berdiri di dekat meja Chika.
Chika yang masih sibuk dengan buku-bukunya pun hanya menatapnya sekilas kemudian memilih sibuk kembali dengan buku-bukunya daripada meladeni Ara.
"Chika kita harus bicara."
"Ga perlu."
"Kok ga perlu sih? Harus! Kita harus bicara."
"Mau bicara apa? Ga ada yang penting juga."
"Semuanya. Soal aku, soal kamu. Semuanya."
"Bicara apalagi? Ga akan ada yang berubah. Nasib aku tetep akan kayak gini." Ucap Chika kemudian bersandar ke kursinya.
"Kok pasrah sih?"
"Terus aku harus gimana? Ngelawan? Kamu pikir aku sekuat itu? Aku sendirian sekarang. Kak Gre, Ci Shani dimana sekarang mereka? Ga ada yang bantuin aku. Dan kamu? Apa yang bisa aku andelin dari kamu? Tau kamu selama ini bohongin aku siapa kamu sebenarnya dan bagaimana kamu tak berdaya diperlakukan oleh keluargamu, udah cukup buka mata aku kalau ga ada cara lain selain pasrah sama keadaan." Jelas Chika dengan nada menahan emosi.
"Tapi Chik...."
"Stop Ra! Demi keselamatan kita semua, ada baiknya sekarang kita jaga jarak. Kamu ga usah deket-deket aku. Minggir aku mau lewat." Chika kemudian berdiri sedikit mendorong tubuh Ara agar menjauh darinya.
"Uuggggghhh." Ara menggeram frustasi kemudian meraih tangan Chika dan menariknya membawanya keluar kelas.
Chika yang ditarik seperti itu pasrah saja. Sebenarnya dia juga tak ingin menyerah seperti yang dikatakan tadi. Tapi dia juga tak bisa apa-apa jika sendirian. Dilihatnya Ara menariknya ke toilet karena tidak mungkin juga membawanya ke tempat yang terbuka mengingat bodyguard mereka ada dimana-mana.
"Masuk." Ara mendorong Chika masuk lalu mengunci pintunya.
Ara perlahan mendekat pada Chika, memepetnya ke tembok kemudian menaruh kedua tangannya di sisi kepala Chika. Tubuh keduanya hampir saja menempel.
"Dengerin aku." Bisik Ara.
---------------
"Fio." Panggil Gracia seketika membuat Fiony menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Gracia.
"Ya?" Tanya Fiony. Jantungnya kali ini berdebar kanan kanan kiri. Gracia jarang memanggilnya dengan nada lembut seperti itu. Apakah itu artinya?
"Aku ga pernah benci kamu." Ucap Gracia lagi. Kali ini posisi tubuhnya menghadap Fiony. Matanya fokus menatap mata Fiony.
Gracia terlihat menghela nafas sebelum melanjutkan kembali ucapannya.
"Dari dulu aku ga pernah benci kamu. Kesel pasti iya. Jika kamu berpikir aku ga pernah buka hati buat kamu, kamu salah. Ga hanya sekali dua kali aku coba. Kamu baik, kamu menyenangkan, siapapun pasti ga akan bosen berlama-lama sama kamu. Dan kamu pantes disayangi." Jeda Gracia.
Sudut bibir Fiony sedikit terangkat ke atas. Entah ini pertanda baik atau buruk, apapun itu dia sudah siap mendengarkan. Pengalaman berkali-kali ditolak dan diabaikan sudah cukup membuatnya setegar batu kali. Jika dulu bisa kenapa sekarang tidak kan? Walau mungkin nanti dia harus melewati fase menangis berhari-hari, mengurung diri di kamar sampai mirip zombie baru keluar apabila akhirnya keinginannya tak terkabul.
"Dan siapapun pasti beruntung memiliki kamu. Tapi..........tapi maaf aku harus katakan ini sekali lagi. Maaf jika bukan aku orangnya. Andaikan semudah itu berpindah perasaan, tentu udah sejak lama aku pilih kamu. Aku udah coba, tapi aku....." Ucap Gracia mulai tidak yakin akan melanjutkan kalimatnya.
"Gre..." Potong Fiony.
"Ya?"
"It's Okey. Aku ngerti. Jangan minta maaf untuk sesuatu yang gak bisa kita kendalikan. Aku cuma nglakuin hal yang menurut aku benar, turutin kata hati aku. Kamu juga berhak lakuin apa yang menurut kamu benar menurut hati kamu."
"Maaf." Ucap Gracia kemudian menunduk.
"Stop it! Jangan ucapin itu lagi. Aku gapapa." Ucap Fiony kemudian memutus kontak mata dengan Gracia. Mencoba melihat kemana saja asal bukan Gracia. Seperti dia takut Gracia akan melihat hatinya sedang terkoyak perlahan.
"Gre...." Panggil Fiony lagi namun masih tetap enggan menatap Gracia.
"Hmm?"
"Apa orang yang kamu cinta itu juga mencintai kamu seperti aku?" Tanya Fiony kemudian memejamkan mata, bersiap dihantam kenyataan pahit sekali lagi.
"Aku ga yakin." Ucap Gracia ragu.
Jawaban Gracia reflek membuat Fiony membuka matanya kembali dan menatap Gracia dengan penuh tanya.
-TBC-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro