Part 26
==GoodNight==
Wanita berpostur rata-rata itu kini sedang duduk termenung di kursi ruang kerjanya menatap kosong tumpukan kertas-kertas penuh angka. Dia sudah duduk disitu bahkan sebelum bawahannya yang lain datang, namun hingga saat ini, saat jam hampir menunjukkan waktu jam makan siang, tak ada satu pekerjaan pun yang dia selesaikan.
Kantung matanya mulai terlihat sekarang, berat badannya turun beberapa kilo akibat makan tidak teratur. Padahal dia orang yang sangat menjaga kesehatan mengingat selama belasan tahun hidup bersama orang-orang yang menjadikan kesehatan itu nomor satu.
Lelah duduk tegak, akhirnya dia melepaskan kacamatanya, menyandarkan punggungnya pada kursi ternyaman menurutnya saat ini. Berangkat paling pagi, pulang paling larut. Kebiasaan baru yang dijalaninya saat ini. Sebagian besar harinya dia habiskan di ruang kerjanya karena rumah baginya saat ini sudah bukan lagi tempat tujuan akhir untuk sejenak meletakkan semua beban hidup.
Sekarang semua sudah berubah.
"Lunch Timeeeee." Teriakan seseorang yang tiba-tiba saja masuk ke ruangannya membuatnya reflek mengangkat kepalanya karena kaget.
"Kebiasaan!" Umpatnya. Berharap orang yang baru saja masuk ruangannya tanpa ijin itu mendengar kekesalannya.
"Hehe maaf. Aku bawain kamu makan siang." Ucap orang itu. Bibirnya bilang maaf tapi wajahnya tak menampakkan rasa bersalah sedikitpun.
"Ga minta."
"Emang. Kan inisiatif aku sendiri Gracia."
"Makan aja sendiri." Ucap Gracia masih menolak.
"Maunya makan sama kamu."
"Punya tangan. Makan sendiri."
"Maunya sama kamu." Orang itu makin mendekat kemudian berdiri persis di depan Gracia.
"Gak ma......"
"Sssssttt Diem!" Orang itu menempelkan jari telunjuknya pada bibir Gracia.
"Turunin tangan kamu Fiony! Bau!" Gracia menarik paksa telunjuk Fiony, menjauhkannya dari bibirnya.
"Ihh enak aja! Aku pake lotion ya!" Merasa tak terima, Fiony mencium tangannya sendiri memastikan yang dikatakan Gracia itu tidak benar.
"Terserah." Gracia hampir saja kembali fokus pada setumpuk kertas di hadapannya namun naas tangannya ditarik Fiony.
"Makan dulu. Ayo!" Paksa Fiony.
"Gak mau. Jangan maksa!" Gracia melepas paksa tangannya yang masih dipegang Fiony.
"Aku cuma minta kamu makan siang sama aku. Bukan minta kamu nikahin aku."
"Aku bilang eng...."
"Pilihannya cuma dua, Makan atau nikahin aku sekarang!" Potong Fiony menatap Gracia setengah melotot. Membuat Gracia bungkam seketika.
"Bangke bener!" Umpat Gracia dalam hati.
Tak lama diapun beranjak pergi dari hadapan Fiony, mengambil satu Lunchbox dari dalam plastik kemudian duduk di sofa. Dengan diam dan sedikit emosi dia membuka kotak itu kemudian memasukkan sesendok penuh makanan ke dalam mulutnya.
Bukannya marah atau kesal karena ditinggal Gracia begitu saja, Fiony justru tersenyum. Dia masih berdiri di tempatnya, menatap Gracia lamat-lamat.
"Kalau aku tau cara kayak gini akhirnya bikin kamu mau makan, harusnya udah aku lakuin dari kemarin-kemarin. Ga perlu nerima pengusiran kamu berkali-kali." Ucap Fiony dalam hati kemudian menyusul Gracia duduk di sofa dan ikut makan bersamanya.
"Abisin ya." Ucap Fiony setelah duduk di samping Gracia.
"Hmm." Jawab Gracia sekenanya tanpa mau memandang Fiony sedikitpun.
Menit demi menit berlalu, semua fokus dengan makanan masing-masing. Hingga akhirnya Gracia meletakkan kotak makannya di meja setelah suapan terakhir masuk ke dalam mulutnya. Mengambil sebotol air mineral di depannya, meneguknya hingga tersisa setengah botol.
"Mau buah ga? Aku bawa kok. Aku kupasin ya?" Tawar Fiony.
"Gak usah makasih." Tolak Gracia kali ini dengan nada lebih halus.
Keduanya diam selama beberapa saat untuk kemudian Fiony membuka percakapan kembali.
"Ehm Gre?"
Suara Fiony membuat Gracia mau tidak mau menoleh padanya dengan menaikkan satu alisnya.
"Sore ini jalan keluar yuk." Ajak Fiony.
"Lembur." Jawaban singkat Gracia membuat Fiony menghela nafas dalam.
"Hari ini aja. Besok-besok gapapa kalau mau lembur lagi." Fiony masih pantang menyerah.
"Gak bisa." Yang diajak juga masih bersikeras dengan pendiriannya.
Fiony lagi-lagi menghela nafas dalam.
"Ya udah kalau gitu aku temenin kamu disini sampe kamu selesai kerja."
"Gak perlu."
"Aku ga nanya kamu mau apa enggak. Itu udah keputusan final. Aku nemenin kamu disini. titik." Ucapan Fiony barusan serta merta membuat Gracia menatapnya sengit.
"Mau kamu apa?"
"Mau aku, orang yang aku sayang, aku yang aku cinta ga cepet gila ngadepin masalahnya sendiri." Gracia diam kemudian membuang pandangan ke arah lain.
"Kamu butuh refreshing Gre. Memang cara itu ga akan nyelesaiin masalah kamu, tapi setidaknya cara itu bisa bikin pikiran kamu lebih jernih."
Gracia masih saja diam.
"Aku tau kamu pantang minta tolong pada siapapun. Aku akui kamu perempuan yang hebat, perempuan yang kuat. Tapi superhero manapun tetep butuh teman-temannya untuk membantunya memenangkan peperangan."
Kini giliran Gracia yang menghela nafasnya. Menyandarkan punggungnya pada sofa kemudian memejamkan mata.
Fiony mencoba meraih tangan Gracia. Meski takut-takut tapi tidak ada salahnya mencoba, pikirnya. Untung saja tidak ada perlawanan dari Gracia. Lawan bicaranya itu masih saja diam tak bergerak.
"Aku tau aku ga bisa bantu apa-apa. Tapi aku udah pernah bilang sama kamu, kapanpun kamu butuh seseorang untuk jadi teman cerita aku bakal jadi pendaftar pertama. Ga masalah jika hanya sebagai pendengar tanpa boleh bicara sedikitpun. Liat aku seperti temen-teman kamu yang lain, bukan sebagai pengganggu yang harus kamu jauhi sejak dulu." Fiony mengeratkan genggaman tangannya pada Gracia.
Gracia yang sejak tadi diam akhirnya membuka matanya, kembali duduk tegak kemudian menatap Fiony. Pandangannya kemudian dia alihkan pada tangan mereka berdua yang saling bertaut. Fiony yang menyadari arah pandang Gracia itupun segera melepaskan genggaman tangannya dengan cepat.
"Maaf." Ucapnya pada Gracia.
"Makasih." Ucap Gracia pada Fiony akhirnya.
"A-apa Gre....?" Takut salah dengar, Fiony meminta Gracia mengatakan kembali kalimat terakhirnya.
"Makasih." Ucap Gracia sekali lagi.
"B-buat a-apa?" Fiony melongo, menatap takjub pada perempuan di depannya ini.
"Makan siangnya." Ucap Gracia sambil mengelus pelan pundak Fiony kemudian beranjak duduk kembali di meja kerjanya.
"I-iya sama-sama." Balas Fiony sedikit tersipu. Entah kenapa perubahan sikap Gracia kali ini meski hanya seujung kuku cukup membuat hatinya berdebar-debar.
"Aku mau kerja lagi." Ucap Gracia yang kini sudah memegang kertas dan pulpen ditangannya.
"Ah iya." Fiony yang mengerti bahwa dirinya diusir pun berdiri kemudian membereskan bekas makan mereka di meja.
"Aku pulang ya." Gracia hanya mengangguk tanpa sedikitpun mengangkat kepalanya dari kertas yang dipegangnya.
Terdengar kembali suara Gracia, seketika menghentikan gerakan Fiony yang sudah memegang handle pintu.
"Aku mau ke taman kota sore ini." Ucapan Gracia membuat Fiony kembali menoleh kebelakang. Masih diliatnya Gracia sibuk dengan kertas-kertas di tangannya.
Untung dia tidak bodo-bodo amat, dia mengerti maksud perkataan Gracia barusan. Seutas senyum pun muncul di wajahnya.
"Aku bakal kesini lagi jemput kamu nanti sore." Balas Fiony.
"Hmm." Singkat. Sebelum akhirnya Gracia sibuk mengangkat panggilan telpon kantornya meninggalkan Fiony yang masih senyum-senyum gesreque di tempat.
----------------
"Aku bawa makan siang buat kamu." Anin masuk tanpa ba bi bu keruangan Shani. Untuk kemudian menemukan sahabatnya itu melamun. Lagi.
"Shani."
"SHANI!!" Teriak Anin lebih kencang karena Shani tak juga merespon. Membuat orang yang sedang asyik melamun itu menoleh kaget sambil memegang dadanya.
"Ga usah teriak-teriak bisa kan? Aku ga budeg!" Ucap Shani kesal menatap Anin.
"Iya ga budeg iya." Anin tak mau berdebat dengan Shani. Yang penting Sahabatnya mau merespon itu sudah lebih dari cukup.
"Ngapain?" Tanya Shani pada Anin.
"Makan siang." Anin mendorong tas berisi box makanan ke hadapan Shani.
"Taruh situ aja. Nanti aku makan."
"Kapan?" Tanya Anin.
"Bentar lagi."
"Terakhir aku percaya omongan kamu ini, makanan yang aku bawa masih utuh di meja ini sampe besok pagi."
"Ck! Iya 10 menit lagi makan."
"Sekarang."
"5 menit lagi deh." Tawar Shani.
"Sekarang Shani."
"Maksa!" Shani mengalah untuk kemudian membuka kotak makanan yang dibawa Anin dan memakannya. Sedangkan Anin memperhatikan Shani makan tanpa mengucap sepatah katapun.
Anin menunggu dengan sabar hingga makanan yang Shani makan tersisa setengah kemudian menatap perempuan di depannya itu meraih gelas air putih di depannya.
"Aku makan lagi nanti ya. Udah penuh rasanya perut aku." Ucap Shani. Anin hanya mengangguk.
"Udah coba bicara sama Kak Gre?" Tanya Anin.
Mendengar itu raut wajah Shani yang semula terlihat biasa saja, kini berubah sedih. Beberapa detik kemudian dia menggeleng pelan.
"Kenapa?"
"Entahlah." Shani menghela nafas dalam kemudian duduk bersandar di kursinya.
"Salah dia apa sampai kamu diemin kayak gitu?" Tanya Anin. Shani menggeleng lagi.
"Terus?"
"Aku gak tau." Ucap Shani pelan.
"Bicara atau kamu akan menyesal nantinya."
"Bicara apa? Aku bahkan ga tau apa yang mau kubicarakan sama Kak Gre."
"Apapun. Dengan kamu seperti ini, kamu secara ga langsung menghukum orang yang ga salah." Jelas Anin.
"Aku ga hukum dia. Aku cuma ga mau nambah beban dia dengan ikut mikirin masalah aku juga."
"Udah terlanjur bukan kalau mikirin itu sekarang? Mau kamu ga cerita, Kak Gre udah pasti mikirin kamu." Ucap Anin.
"Karena itu aku ga mau ngomong apa-apa sama dia."
"Sssshanii." Anin memanggil nama Shani sedikit geram. Tak habis pikir dengan isi kepala sahabatnya ini.
Shani berdiri kemudian mencodongkan tubuhnya ke arah Anin. "Apa?!! Aku harus apa?!! Aku harus cerita ke Kak Gre kalau diam-diam aku masih berharap Vino balik sama aku?!! Aku harus cerita sama Kak Gre kalau aku sangat ingin sekali datang ke acara pertunangan mereka dan bubarin semuanya?!! Hal yang aku tau Kak Gre bakal larang itu semua!!" Ucap Shani dalam satu tarikan napas.
"Shan.."
"Aku ga bisa Nin. Aku udah coba. Namun ternyata ga segampang itu ngikhlasin semuanya. Apalagi aku tau siapa tunangan Vino sekarang. A-ku ga bisa. Itulah kenapa aku lebih memilih diam, menyimpan semuanya sendiri karena aku tau ga ada yang bisa ngertiin aku, bahkan Kak Gre sekalipun. Masih untung aku belum terpikir untuk bunuh diri sekarang!" Shani terduduk kembali di kursinya kemudian menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Sebisa mungkin menahan diri untuk tidak menangis lagi.
Anin diam. Sedikit shock dengan kata-kata Shani barusan. Setelah berhari-hari menghadapi sikap bungkam Shani. Mencoba menjadi pihak netral antara memastikan Shani baik-baik saja dan menguatkan Gracia untuk selalu sabar menghadapi sikap Shani. Kini mendadak pikiran Anin blank. Tak tahu harus berbuat apa.
"Aku ada jadwal operasi bentar lagi. Thanks makan siangnya. Tenang aja pasti aku abisin." Ucap Shani kemudian berdiri memasang jubah putihnya dan berjalan keluar ruangan meninggalkan Anin sendirian.
---------------
Duar...duar....duar.....
Dengan terengah-terengah Aldo menggedor pintu kamar Ara.
"Ra, Lo didalam? Buka pintunya! Urgent!" Teriak Aldo. Hingga beberapa kali gedoran tak terlihat nyawa menyembul dari dalam pintu itu. Semakin menguatkan Aldo kalau Ara sedang tidak disini.
Dia bingung harus mencari Ara kemana. Ponselnya tidak aktif. Hingga ia teringat untuk menghubungi kedua sahabatnya, meminta bantuan untuk mencari Ara.
"Guys, Dengerin gue! Ga ada yang boleh nyela!" Pinta Aldo setelah panggilan pada kedua sahabatnya tersambung.
"Gue sekarang dikostan Ara. Tuh anak ga ada disini. Kalau lo berdua tau Ara biasanya kemana, bawa dia kesini."
"Gue bilang ga usah banyak nanya Sholehun! Cari dulu anaknya!" Geram Aldo.
"Kumpul disini, ketemu ga ketemu. Gue nunggu, siapa tau dia nongol tiba-tiba."
"Oke. Go go." Setelah panggilan diputus, Aldo duduk lesehan di depan pintu. Menunggu sang penunggu kamar keluar atau mungkin muncul entah darimana.
3 jam berlalu, Aldo merasa mukanya perlahan basah. Dia membuka mata untuk kemudian melihat Sholeh sedang menyemburkan air dari mulutnya ke mukanya.
"Bgsd!" Seketika Aldo berdiri menatap jijik Sholeh sambil mengusap mukanya dengan lengan bajunya.
"Ga bisa bangunin gue alusan dikit nyet?" Geram Aldo pada Sholeh.
"Kagak! Masih untung gue bangunin lo!" Jawab Sholeh santai.
"Target ketemu?" Tanya Aldo.
Plak!
"Adooooh." Aldo merasa kesakitan saat seseorang memukul belakang kepalanya.
"Sok penting lo anjir. Segala ngatain gue target. Ngapa lo nyariin gue?" Tanya Ara.
"Lo darimana? Kenapa hape lo ga aktif?" Cecar Aldo pada Ara.
"Makan sama Indah. Hape gue lowbat." Aldo melongo kemudian menatap Indah.
"Kenapa lo diem aja tadi pas gue telpon? Kenapa ga bilang Ara sama Lo?" Tanya Aldo sedikit kesal.
"Lo bilang jangan nyela. Ya gue nurut." Jawab Indah.
"Berarti sia-sia gue nungguin disini daritadi?"
"Derita lo!" Teriak ketiga temannya.
"Aaarrggghhh awas ya! Gue bales ntar lo semua!" Ancam Aldo.
"To the point please...." Pinta Ara.
"Ga disuruh masuk dulu ini?" Tanya Aldo.
"Gak usah. Ntar gue susah bersihinnya. Harus dibasuh 7 kali."
"Njirrr dikata gue najis kali." Umpat Aldo.
"Buru! Ngapa nyari gue?" Tanya Ara tak sabar.
Aldo teringat sesuatu kemudian menyerahkan sesuatu yang dia ambil dari dalam kantong celananya pada Ara. Dengan heran Ara menerimanya. Sehelai kertas berbentuk undangan.
Matanya melotot sesaat setelah dia membaca isi kertas itu. Seketika emosinya memuncak. Diremasnya dengan kuat kertas itu hingga tampak urat-urat tangannya.
"Ra." Aldo mencoba mendekat pada Ara. Dia paham bagaimana perasaan Ara saat ini.
"Gue harus kesana." Ucap Ara kemudian berlari meninggalkan ketiga temannya. Aldo yang lebih paham situasi dari kedua temannya yang lain pun merasa harus mengikuti Ara.
"Kita ikutin dia." Ajak Aldo pada kedua temannya yang dibalas tatapan bingung mereka.
"Nanti gue jelasin. Kita kejar dulu tuh anak, keburu ilang." Ucap Aldo kemudian berlari menyusul Ara.
Hingga akhirnya mereka sampai di tempat yang dimaksud. Mereka berempat naik mobil online mengingat tak ada satupun dari mereka yang bawa mobil.
"Ini rumah baru Chika? Guedee bangeeet." Tanya Sholeh ternganga menatap gerbang rumah bak negeri 1001 malam.
Rumah yang penuh dengan kerlap-kerlip lampu dan banyak mobil-mobil mewah terparkir di dalamnya. Terang saja karena malam ini adalah malam penting bagi pemilik rumah itu.
Mereka sudah tau apa yang sebenarnya akan terjadi setelah Aldo menceritakan semuanya di dalam mobil tadi.
"Fokus ngab!" Ucap Indah menatap Sholeh sewot.
"Oke. Sorry." Ucap Sholeh cengar-cengir.
"Jadi rencana kita apa Ra?" Tanya Aldo yang berdiri disamping Ara.
"Ga ada rencana." Ucap Ara kemudian berjalan masuk ke dalam.
"A-apa? Woy tunggu! Malah ninggal!" Kejar Aldo.
Ara masuk untuk bertemu tatapan para tamu yang memandangnya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Tapi dia tidak peduli, fokus dia hanya satu membubarkan acara sialan ini. Hingga akhirnya dia sampai di tengah ruangan dan mendengar suara MC acara.
"Baiklah yang ditunggu - tunggu telah tiba, pertunangan Nona Chika dan Tuan Vino akan segera dimulai. Harap Nona Chika dan Tuan muda Vino saling berhadapan untuk saling memasang cincin pertunangannya." Ucap sang MC.
Ara yang mendengar itu semakin tersulut emosinya. Dia kemudian berlari mendekat ke sumber suara.
"PERTUNANGAN INI TIDAK BOLEH TERJADI! HENTIKAN!!" Teriak Ara di tengah-tengah ruangan. Serentak mengundang perhatian semua yang ada disitu.
"Ara!" Teriak Chika.
"Chika! Kamu ga boleh tunangan sama dia!" Tunjuk Ara pada Vino.
"DEANDRA!" Ara berdiri menegang, mendengar nama itu disebut. Panggilan yang sudah lama tidak dia dengar. Dia kemudian menoleh ke belakang untuk melihat seorang pria paruh baya berdiri tak jauh di belakangnya.
"Papa." Ucapnya pelan kemudian menunduk.
"Berani kamu muncul dan menganggu acara pertunangan Anak saya?!!" Seketika luka yang sudah dia pendam sekian lama terbuka kembali. Rasanya masih nyeri. Ternyata selama ini dia memang dibuang. Tidak ada yang pernah menganggap dia ada.
Ara kemudian mengangkat kepalanya. Memandang dengan berani orang yang tadi meneriakkan namanya.
"Kenapa? Anda takut saya menghancurkan acara penting anda? Memang itu niat saya!" Ucap Ara tak gentar.
"Deandra!"
"Tuan Yudha! Ada apa ini? Siapa bocah pembawa masalah ini?" Amanda menatap Yudha dengan marah.
"M-Maaf Nyonya. Maaf atas kekacauan ini. Saya akan bereskan segera."
"Harus! Jangan bikin saya malu karena anda tidak akan suka konsekuensinya Tuan."
Yudha kemudian menelpon seseorang. Tak lama beberapa orang berjas hitam muncul dari luar.
"Seret anak ini! Bawa kerumah!" Perintah Yudha pada orang-orang itu.
"Siap Tuan."
Ternyata tidak semudah itu membawa Ara pergi begitu saja. Teman-temannya yang tadi mengikutinya di belakang pun hanya bisa diam menyaksikan apa yang terjadi. Lebih beresiko jika mereka ikut campur.
"Lepasin gue bajingan!" Teriak Ara pada orang-orang itu mencoba melawan.
"Lepasin Aku Pa! Jangan biarin Kak Vino tunangan sama Chika. Chika itu pacar aku!" Teriak Ara berontak di tangan para pengawal Yudha.
"Bungkam saja mulutnya!" Perintah Yudha.
"Kak Vino! Kamu ga boleh tunangan sama Chika! Jangan Kak! Jang...hmmmmmpphh." Mulutnya diikat dengan kain begitupun kedua tangan dan kakinya.
Akhirnya Ara pun dibawa keluar ruangan oleh para pengawal itu. Meninggalkan orang-orang yang masih menatap tegang adegan pemaksaan itu. Tidak terkecuali Vino dan Chika yang saling menatap sedih. Makin merasa bersalah dengan apa yang terjadi.
TBC.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro