Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 24

Ada yang masih tetap berharap meski tahu dirinya tak pernah dianggap


==CheersUp==






Tak ada satupun yang bersuara di dalam mobil. Hanya terdengar suara alunan pelan musik klasik dari speaker mobil yang ditumpangi Shani dan Gracia. Fiony yang tadinya bersemangat sekali layaknya orang kelebihan gula pun kini lebih memilih diam. Pandangannya fokus menatap ke depan sambil mengemudi. Sesekali melirik Gracia dan Shani yang kini duduk di kursi belakang.

Tampak Shani sedang bersandar pada pundak Gracia. Memeluk kakaknya erat, takut jika lengah sedikit saja orang disebelahnya akan ikut menghilang. Tak tahu lagi harus berbuat apa, Shani ingin menyerah saja, memasrahkan seluruh hidupnya pada satu-satunya orang tak pernah gagal menjaganya, tak pernah mengecewakannya.

"Gre..." Panggil Fiony pelan kemudian menengok ke belakang. Gracia mengangkat kepalanya, menatap mata gadis berwajah oriental didepannya saat ini.

"Udah sampe." Ucap Fiony lagi.

Gracia hanya mengangguk kemudian menunduk mengusap pelan kepala adiknya.

"Turun? Udah sampe." Ucap Gracia pelan pada Shani.

Shani bergerak menegakkan tubuhnya. Tak ada daya. Seperti semua tenaganya sudah terserap habis di rumah sakit tadi. Perlahan dia membuka pintu. Namun tangannya ditahan Gracia hingga membuatnya kaget kemudian menoleh ke belakang.

"Tunggu. Jangan turun dulu." Setelah mengatakan itu, Gracia bergegas turun kemudian berjalan berputar ke sisi lain mobil dan membuka pintu belakang. Shani yang mengerti kemudian menjulurkan tangannya pada Gracia agar dirinya bisa dibantu turun.

Setelah membantu Shani turun dan menutup pintu belakang. Gracia memeluk dari belakang tubuh adiknya kemudian sedikit bergerak maju. Tangannya menahan pintu mobil tempat Fiony duduk. Mencegah gadis itu untuk ikut turun.

"Sorry. Sepertinya aku sama Shani mau langsung istirahat. Mungkin kita bisa ngobrol lagi lain waktu?" Tanya Gracia pada Fiony.

Fiony menatap Shani kemudian Gracia bergantian selama beberapa kali untuk kemudian akhirnya dia mengangguk. Mendesah pelan kemudian menjawab. " Oke aku pamit ya. Selamat istirahat."

"Makasih udah mau repot anter kita tadi." Ucap Gracia.

"No problem. Ya udah sana masuk. Kasian Shani-nya." Ucap Fiony.

Gracia mengangguk saja kemudian berjalan memapah Shani masuk kedalam rumah setelah sebelumnya mengucapkan terimakasih sekali lagi pada gadis yang masih duduk di dalam mobil itu.

"Gre!" Teriak Fiony ketika Gracia hampir sampai di depan pintu.

Yang dipanggil hanya menoleh tanpa sedikitpun mengeluarkan suara.

"Telpon aku kapanpun kamu butuh seseorang. Kapanpun Gre, kapanpun." Ucap Fiony dengan senyum di wajahnya.

Gracia menggangguk lagi seperti tak ada gerakan lain yang bisa dia lakukan, berusaha memasang senyum diwajahnya kemudian berjalan lagi masuk ke dalam rumah.

Butuh waktu 10 menit untuk akhirnya Gracia memapah Shani ke kamarnya.

"Ganti baju terus istirahat. Makan malamnya nanti dibawa kesini." Ucap Gracia kemudian berjalan keluar kamar. Shani hanya diam, tak mengiyakan juga tak menolak. Pandangannya kini kosong.

"Kak?" Baru saja Gracia berjalan sampai di pintu, Shani memanggil.

"Hmm?"

"Kakak udah tau semuanya?" Tanya Shani namun tak menatap Gracia. Gracia yang sepertinya mengerti kemana arah pembicaraan Shani pun hanya bisa menghela nafas.

"Iya." Jawaban singkat dari Gracia reflek membuat Shani menatap Kakaknya dengan pandangan tak biasa.

"Sejak kapan?"

"Tadi siang." Jawab Gracia lagi tanpa sedikitpun merubah posisinya.

"Kenapa ga kasih tau aku?"

"Untuk apa?"

"Kalau aku tau sejak tadi, mungkin aku masih punya waktu sedikit lebih lama untuk mempersiapkan diri."

"Yakin bakal siap?" Tanya Gracia lagi.

Shani diam. Gracia benar. Tentu saja dia tidak akan siap.

"Shani tau Kakak ga pernah suka sama Vino. Makanya ketika kakak tau apa yang akan terjadi dengannya Kakak lebih memilih merahasiakannya kan? Buat apa kak? Vino memang udah putus sama aku, tapi jika akhirnya dia harus tunangan sama Chika harusnya kita bisa lakukan sesuatu. Chika juga adik kakak. Kenapa Kakak diam aja?"

"Lalu kamu mau Kakak lakuin apa?"





2 Jam Sebelumnya.

Gracia dan Shani masuk bergantian melihat kondisi Chika, tentunya dengan pengawasan ketat Amanda yang tak beranjak sedikitpun darisitu.

"Sudah? Saya harap ini terakhir kalinya saya melihat kalian berdua berkeliaran di kehidupan cucu saya karena setelah ini dia tidak punya hubungan apapun lagi dengan kalian, mengerti?" Tak ada yang menjawab baik Shani maupun Gracia.

"Saya tidak pernah main-main dengan ucapan saya. Sedikit saja kalian coba mengusik urusan saya, saya akan buat kalian menyesal datang kesini hari ini."

"Dan kamu!" Ucap Amanda pada Vino yang masih berdiri di dekat Shania dan Boby.

"Saya?" Tanya Vino menunjuk dirinya sendiri.

"Jangan buat saya menyesal menjodohkan kamu dengan cucu saya karena kamu terlihat bodoh sekarang." Ucap Amanda dengan tatapan tajam.

Vino hanya mendengus. "Gue lebih menyesal." Umpat Vino dalam hati.

"Bilang sama orang tua kamu, acara pertunangan kamu dengan cucu saya tetap akan dilaksanakan sesuai kesepakatan. Persiapkan diri kalian karena saya tidak punya banyak waktu setelah ini."

"Iya." Ucap Vino pelan sesekali melirik Shani yang kini juga sedang menatapnya.

"Tt-tunangan?" Bisik Shani dengan wajah shock. Gracia yang berdiri di sebelahnya pun kini memejamkan matanya. Mengambil nafas sebanyak-banyaknya, mempersiapkan diri untuk kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi setelah ini.

"Kamu boleh pergi sekarang." Perintah Amanda pada Vino.

"Akhirnyaaa.." Gumam Vino pelan. "Permisi." Ucap Vino kemudian beranjak pergi. Dia sempat berhenti di sebelah Shani selama beberapa detik.

"Maaf." Hanya itu yang Vino ucapkan sebelum akhirnya berjalan menjauh meninggalkan mereka.

"Kak?" Shani menatap Kakaknya, meminta jawaban atas apa yang baru saja dia dengar tadi.

Gracia hanya diam berusaha menghindari tatapan Shani. Seketika Shani paham bahwa dia tidak salah dengar. Tanpa aba-aba Shani berbalik kemudian setengah berlari menyusul laki-laki yang baru saja pergi. Setengah hatinya masih menyangkal bahwa ini semua tidak benar, semua cuma mimpi. Dia butuh diyakinkan sekali lagi dan orang yang bisa membuat dia yakin hanya Vino seorang.

"Sial!" Gracia mengumpat pelan sesaat setelah melihat Shani pergi meninggalkannya. Mau tidak mau dia harus menyusul adiknya.

Fiony yang sedari tadi berdiri menyaksikan adegan sedikit emosional itupun perlahan mulai memahami apa yang terjadi. Tapi dia juga tak bisa berbuat apa-apa hingga akhirnya diapun ikut pergi saat melihat Shani maupun Gracia satu per satu meninggalkan tempat itu.

"Vino!" Teriak Shani saat melihat punggung Vino yang berjalan keluar gedung rumah sakit.

"Shani." Vino berbalik.

"Jadi benar kamu lebih memilih mutusin aku supaya bisa tunangan Sama Chika?" Tanya Shani to the point setelah berdiri beberapa langkah di depan Vino.

"Aku ga milih. Aku dipaksa." Jawab Vino membela diri.

"Kamu lebih memilih dipaksa daripada perjuangin aku?" Tanya Shani sekali lagi.

"Aku diancam Shani. Ini juga ga mudah buat aku."

"Pengecut!" Vino menatap Shani tak percaya. Tak terima dikatakan pengecut.

"Aku bisa apa! Aku udah jelasin semuanya ke kamu, jika aku lebih memilih kamu, semua perjuangan aku untuk bisa berada di posisi ini sekarang akan sia-sia. Kamu mau punya suami miskin?"

"Jadi ini semua hanya tentang harta dan kedudukan?"

"Aku ga mau munafik karena aku yakin kamu bertahan sama aku selama 10 tahun ini juga karena pencapaian aku. Coba aja kalau selama ini aku cuma karyawan biasa atau mungkin malah pengangguran, mungkin kita udah selesai dari lama."

"Apa kamu bilang?!! Jadi kamu pikir aku mau bertahan sama kamu selama ini cuma karena harta yang kamu punya?!" Shani menatap Vino dengan tajam.

"Kita manusia. Wajar jika berpikir seperti itu. Bahkan untuk seseorang seperti kamu atau aku." Jawab Vino.

Nafas Shani semakin menderu mendengar ucapan Vino. Dengan cepat Shani melangkah maju.

Plak!!

Satu tamparan keras mengenai wajah Vino.

"Awwwwh!" Vino mengusap pelan pipinya yang baru saja ditampar kemudian menatap Shani. Hampir saja dia terbawa emosi jika tidak ingat siapa yang sedang berdiri di hadapannya sekarang.

"Tampar lagi atau mau pukul juga silahkan kalau itu buat kamu merasa lebih baik. Aku berharap dengan begitu bisa sedikit mengurangi rasa bersalahku ke kamu."

Shani mengayunkan tangannya sekali lagi, namun belum sempat tangan itu menyentuh pipi Vino, ada tangan lain yang menahannya. Shani menoleh untuk melihat Gracia berdiri disana. Menggeleng pelan padanya.

"Lepas Kak! Orang ini harus aku kasih pelajaran!"

Gracia menggeleng sekali lagi, kemudian menurunkan tangan Shani dan menggenggamnya erat.

"Kak!" Shani mulai membentak Gracia.

"Kamu mau menghukumnya atau mau membantunya mengurangi rasa bersalahnya ke kamu? Kalau mau hukum dia, kenapa tidak mencoba mengabaikannya?Anggap dia tidak pernah ada di hidup kamu. Tapi kalau ingin membuat dia berpikir kamu masih membutuhkannya, silahkan pukul dia sampai puas. Tapi itu artinya, kamu menggadaikan harga diri kamu untuk orang yang lebih memilih kehilangan kamu daripada hartanya. Pilih." Ucap Gracia yang sekarang justru menatap Vino dengan datar.

Semuanya diam selama beberapa saat, hingga akhirnya Gracia merasa ada beban di pundaknya. Shani membenamkan kepalanya disana, meredam tangisannya sebisa mungkin di pundak itu.

"Pergi!" Ucap Gracia pada Vino.

"Shan.." Vino ingin mengatakan sesuatu pada Shani, namun Gracia melarangnya.

"Pergi!" Ucap Gracia sekali lagi pada Vino.

"Sekali lagi aku minta maaf." Setelah mengatakan itu Vino akhirnya pergi meninggalkan Kakak beradik itu.






"Lakukan apapun Kak! Ayo Demi Chika! Shani yakin jika Chika tau hal ini, itu hanya menambah bebannya. Belum saatnya dia menanggung beban seberat itu kak." Ucap Shani.

"Demi Chika atau demi kamu?"

"Kak Gre!"

"Kamu minta kakak lakukan sesuatu agar pertunangan itu batal kan?"

Shani mengangguk ragu.

"Kalau dari awal Kakak mampu, Chika sekarang masih disini sama kita! Fokus Kakak sekarang cuma keselamatan kamu, bukan berarti Kakak ga mikirin Chika. Tapi untuk saat ini nasib dia masih lebih baik daripada kita sekarang. Kita buat kesalahan sedikit saja pada mereka, Kakak bisa kehilangan kamu atau malah sebaliknya kamu akan kehilangan Kakak? Sanggup?"

Gracia masih berdiri beberapa saat menunggu jawaban Shani. Namun jawaban itu tak kunjung ia dengar.

"Setidaknya bantu Kakak dengan memastikan pikiranmu tetap waras karena sekarang Kakak cuma punya kamu."

Setelah mengatakan itu, Gracia berjalan keluar kemudian menutup pintu kamar Shani. Meninggalkan orang yang kini duduk membeku diatas ranjangnya berusaha mencerna baik-baik perkataan Kakaknya barusan.




-----------------------




Seminggu setelah pertemuan dirumah sakit itu, kehidupan tetap berjalan seperti biasa. Chika dibawa pergi beberapa jam setelah Shani dan Gracia pergi dari rumah sakit itu, hingga kini tak ada yang tau kabarnya sekarang. Ara tetap melanjutkan hidupnya seperti biasa, masih berusaha mendamaikan diri dengan rasa kehilangan. Untung dia punya 3 orang sahabat yang selalu ada disampingnya, menemaninya dalam kondisi setengah waras setengah gila.

Kondisi sedikit berbeda terjadi antara Shani dan Gracia. Di mata Gracia, sikap Shani mulai berbeda padanya. Meski dia masih bisa melanjutkan tugasnya sebagai seorang dokter di rumah sakit, tapi ketika pulang kerumah, sikap Shani berubah 180°. Dia jadi pendiam dan lebih banyak mengurung diri di kamar. Bicara pun hanya seperlunya saja pada Gracia. Gracia yang masih berusaha berpikir positif bahwa Shani masih butuh waktu untuk menerima semua ini pun memilih mengalah. Memberikan waktu sendiri pada Shani sebanyak yang dia mau.

Sore ini Gracia memutuskan untuk sedikit menunda kepulangannya kerumah. Hari beranjak gelap, namun Gracia tak juga berdiri dari kursinya. Sedari tadi ponselnya dia pegang, kontak Shani telah terbuka sejak 1 jam yang lalu. Ingin rasanya memencet tombol Call hanya untuk menanyakan adiknya itu ingin makan apa malam ini, tapi pasti akan berujung tak terjawab atau panggilan dialihkan.

Hingga kemudian ponselnya berdering. Menampilkan nama Anin di layarnya.

"Anin?" Sapa Gracia.

"Kak Gre dimana sekarang?"

"Masih di resto. Ada apa?"

"Shani dirumah?" Tanya Anin diseberang.

"Seharusnya iya. Kenapa?"

"Ini aku di depan rumah Kakak. Aku pencet bel berkali-kali ga ada yang bukain pintu."

"Udah coba telpon Shani?"

"Ga diangkat Kak."

Gracia diam sejenak. Perasaannya mulai tak enak.

"Nin, coba terus sampai Shani bukain pintu. Hari ini yang biasa bantu bersih-bersih lagi cuti. Aku balik sekarang." Gracia bergegas berdiri dari kursinya, mengambil tasnya dengan ponsel masih menempel di telinga.

"Iya, aku disini sampe Kak Gre dateng."

"Makasih."

Setengah jam kemudian mobil Gracia berhenti tepat di depan rumah. Dia turun dari mobilnya dan berlari menghampiri Anin yang masih berdiri di depan pintu.

Tak perlu bertanya karena jawabannya pasti Shani belum juga ada kabarnya. Gracia memperhatikan sekelilingnya, lampu teras dan taman belum di nyalakan. Dari jendela samping juga terlihat tidak ada cahaya dari dalam.

Gracia merogoh sesuatu dari dalam tasnya, tak lama ditariknya keluar sebuah kunci cadangan yang memang selalu ada ditasnya.

Pintu terbuka dan menampilkan bagian dalam rumah yang gelap gulita. Gracia menyalakan beberapa lampu kemudian naik ke atas. Ruangan pertama yang harus dia cek adalah kamar Shani. Anin mengikutinya di belakang.

"Shani!" Teriak Gracia dari luar pintu kamar. Posisi pintu terkunci, itu artinya Shani ada di dalam. Diketuknya berkali-kali namun tak juga membuat penghuninya keluar atau sekedar menjawab.

"Kak?" Anin menatap Gracia dengan khawatir.

"Telpon lagi." Perintah Gracia pada Anin.

"Udah ga aktif kak, belum lama dari Kakak datang tadi."

"Haisssh! Shani! Buka pintunya!" Teriak Gracia kemudian menggedor pintu sekencang-kencangnya.

"Shani!!"

Masih tak ada respon apapun. Gracia mulai berpikir keras.

"Kamu tunggu disini." Ucap Gracia pada Anin kemudian berjalan cepat menuju kamarnya sendiri.

Dibukanya semua laci dikamarnya, mencari kunci cadangan yang dia sendiri lupa menyimpannya karena hampir tak pernah digunakan.

Gracia keluar lagi setelah kunci itu berada di tangannya. Dengan cepat dia mencoba satu-satu semua kunci yang dia pegang.

Klik.

Terbuka. Pintu dia buka lebar-lebar kemudian masuk ke dalam kamar kondisinya sama seperti saat dia masuk rumah tadi, gelap. Gracia memencet stop kontak dan akhirnya bisa melihat sosok adiknya itu sedang tertidur di bawah selimut.

Seketika nafas yang dia tahan sedari tadi kini bisa sedikit keluar masuk dengan mulus tanpa hambatan. Kondisi yang sama juga terjadi pada Anin yang kini duduk disamping Shani tidur mencoba membangunkannya.

"Sebudeg itukah Shani sampai gedoran pintu kamarnya tadi tak juga membangunkannya? Aneh." Gumam Gracia dalam hati.

"Kak." Anin menyodorkan sesuatu pada Gracia.

"Ini yang buat dia ga denger kehebohan kita daritadi di luar."

Gracia menerima apa yang disodorkan Anin padanya. Dia tau persis apa itu. Shani mengkonsumsi obat tidur dosis tinggi.





-TBC-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro