Part 18
Selamat Malam
==✌️😌✌️==
Malam begitu tenang. Suasana rumah sudah sepi sejak beberapa jam yang lalu. Sayangnya isi kepala Gracia tidak demikian yang membuat matanya tak juga terpejam. Seseorang lain yang menghuni kamarnya pun sudah terlelap sejak tadi. Yup, sejak kecelakaan dan bisa pulang kerumah, Shani tidur bersama Gracia. Alasannya sederhana, Gracia tidak mau repot bolak-balik ke kamar Shani karena adiknya belum mampu melakukan semuanya sendiri.
Akhir-akhir ini perasaannya sedang tidak menentu. Sejak Shani kecelakaan, Gracia merasa bahwa hal buruk yang akan menimpa keluarganya tidak akan berhenti sampai disitu.
"Kak...?"
"Hmmm?" Gracia menoleh untuk mendapati Shani kini dalam posisi duduk.
"Kamu mau apa?" Tanya Gracia lagi kemudian mendekat. Shani hanya menggeleng.
"Kakak ga tidur?"
"Bentar lagi. Kamu tidur lagi aja. Nanti kakak nyusul. Atau kamu butuh apa?" Ucap Gracia sambil mengusap pelan rambut adiknya.
"Aku butuh kakak tidur. Seharian ini kakak udah capek ngurusin aku."
"Iya nanti tidur."
"Sekarang Kak." Shani menarik tangan Gracia agar ikut berbaring bersamanya.
Akhirnya Gracia mengalah. Ikut berbaring di sebelah Shani.
"Kak, kemarin pas Anin jenguk aku kerumah sakit. Vino telpon aku." Mata Gracia kembali terbuka mendengar nama Vino disebut.
"Terus?"
"Dia minta maaf."
"Ga usah dimaafin."
"Iya enggak kok Kak. Dia minta maaf karena udah bikin aku kayak gini."
"Bagus."
"Dan dia pengen hubungan kita baik-baik aja, mungkin jadi temen walau udah ga sama-sama."
"Ga usah." Jawab Gracia cepat. Shani hanya mengangguk.
"Iya kak aku juga ga mau kok."
"Si kutu kup...Ah dia itu ga pantes dapetin maaf kamu. Lupain aja. Cari yang lain." Tegas Gracia. Shani hanya mengangguk pelan.
Dalam hati berat memang. Melepas seseorang yang sudah jadi bagian hidupmu cukup lama. Yang tau baik buruknya kamu tapi masih tetap bersamamu. Kemarin Shani memang emosi dan menganggap Vino orang paling jahat . Tapi sekarang dia sadar itu bukan salah Vino sepenuhnya. Keadaan yang salah. Dia sudah mulai bisa menerima bahwa mungkin mereka tidak berjodoh. Kalaupun nanti dipaksakan karena Vino lebih memilihnya mungkin hasilnya tidak akan baik.
Tidak hanya orang tua Vino yang menentang. Tapi mungkin juga Gracia. Shani tidak buta. Dia bahkan sangat mengerti bahwa Gracia tidak pernah menyukai Vino sejak hari pertama Shani mengenalkannya sebagai Kekasihnya. Tapi Gracia tetap Gracia. Kakaknya itu jarang mengungkapkan sesuatu lewat kata-kata.
"Tidur Shani." Suara Gracia dan elusan pelan di kepalanya membuat Shani menoleh menatap Kakaknya yang juga kini sedang menatapnya.
"Iya." Shani bergerak membuat tubuhnya kini semakin menempel pada Gracia. Gracia bahkan merentangkan tangannya. Shani yang paham akhirnya meletakkan kepalanya pada tangan kakaknya itu. Gracia sedikit memiringkan tubuhnya, memeluk posesif tubuh adiknya itu.
"Beberapa hal memang tidak pernah berubah sejak dulu. Rasanya masih sama." Ucap Shani pelan karena kini kantuk sudah mulai menyerangnya kembali.
"Apa?" Tanya Gracia yang kini sudah memejamkan mata.
"Pelukan Kakak. Rasanya aku tak butuh siapapun lagi. Cukup pelukan ini."
"Hmmm."
"Aku sayang Kakak." Ucap Shani sebelum akhirnya dia memejamkan matanya.
Gracia membuka matanya kembali. Menghembuskan nafas pelan sebelum akhirnya membalas ucapan Shani.
"Aku juga sayang.....kamu." Ucap Gracia pelan kemudian menutup mata.
-------------------
"Keinginanmu untuk bertemu dengan anakmu masih ada kan?"
"Pertanyaan macam apa itu Ma? Tentu saja. Ibu mana yang tidak ingin bertemu anaknya. Mama yang selalu mempersulit aku untuk bertemu anakku."
"Kalau begitu persiapkan dirimu karena lusa kamu akan melihatnya." Setelah mengucapkan itu dia berjalan menjauh meninggalkan anak perempuannya yang berdiri mematung.
Arogan dan tidak punya hati. Usianya memang tidak muda lagi. Seharusnya di usia yang sekarang, dia sedang menikmati hidupnya. Bebas dari segala persoalan hidup. Sayangnya motto hidupnya yang suka memerintah, semua yang dia mau harus terjadi membuatnya sibuk sana sini. Termasuk soal mengurusi hidup anaknya sendiri yang harusnya bukan tanggung jawabnya lagi. Namanya juga nenek-nenek kurbel.
Wanita bermarga Archer itu kini berdiri di pembatas balkon. Tempat favoritnya. Dengan cepat dia mengeluarkan ponselnya. Menempelkannya ketelinga.
"Progressnya? Saya belum mendengar apapun hari ini." Ucapnya.
"Bagus. Persiapkan semuanya. Setidaknya satu Natio sedang tidak berdaya. Ini akan mempermudah jalannya."
"Saya tidak peduli. Jika ada yang berani mencegah, habisi saja."
"Oke. Kita kesana lusa." Setelah mengatakan itu, ponselnya dia matikan. Senyumnya mengembang sempurna. Memperlihatkan deretan gigi putih bersih.
Sayangnya itu bukan senyum menenangkan layaknya seorang ibu pada anaknya, seorang kakak pada adiknya, atau senyuman bahagia pada orang terkasihnya. Itu senyuman licik. Senyum penuh tipu muslihat.
Sedangkan dibalik pintu yang sedikit terbuka, Anak perempuan satu-satunya yang sejak tadi berdiri menguping pembicaraan ibunya kini menunduk lesu.
"Maafin mama sayang. Bahkan untuk melawan nenekmu sendiri saja, Mama sama Papamu ga sanggup. Kamu pasti kecewa punya orang tua kayak kami." Ucapnya dalam hati kemudian menutup pintu kembali dengan rapat.
-------------------------
Bel sekolah sudah berbunyi sejak 10 menit yang lalu. Aldo kini sedang berdiri di dekat toilet wanita menunggu kekasih barunya sebelum diantarnya pulang.
"Do." Dia merasa seseorang menepuk bahunya dari belakang lalu berbalik.
"Udah jadian?" Tanya Sholeh.
"Iya." Jawabnya singkat. Menatap Sahabatnya itu dengan seksama.
"Mau ngomong apa?" Tanya Aldo lagi karena Sholeh hanya diam saja.
"Emmm cuma mau ngucapin selamat aja. Jaga dia ya." Ucap Sholeh kemudian hendak pergi namun tangannya di tahan oleh Aldo.
"Lo ga boleh gini. Kita udah kenal lama. Lo sohib gue. Dan baru sekarang gue ngrasa tatapan lo beda sama gue. Lo ga suka gue jadian sama Indah?"
"Sholehun. Jawab Gue!" Cecar Aldo karena temannya itu hanya diam saja.
"Siapa yang seneng orang yang dia sayang milih orang lain. Lo enak karena dia milih lo. Sedangkan gue? Gue harus gigit jari liat lo mesra-mesraan sama Indah."
"Tapi lo udah janji sama gue leh. Siapapun yang menang olimpiade itu berhak deketin Indah. Gue yang menang. Itu fair. Dan soal dia juga suka sama gue dan nerima gue jadi pacarnya itu udah beda urusan. Lo boleh marah sama gue kalau gue ketahuan curang. Tapi lo ga bisa marah karena gue jadian sama dia." Jelas Aldo.
"Tapi gue....."
"Eh monyet dua!" Teriak seseorang. Serempak Sholeh dan Aldo menoleh. Indah berdiri disana dengen muka merah menahan emosi.
"Sayang.."
"Indah."
"Kalian berdua taruhan supaya bisa deketin gue?" Tanya Indah perlahan mendekat. Dua ekor yang ditanya hanya diam membisu.
"Jawab nyet! Atau mulai sekarang lo berdua gua anggap bukan sahabat gue!"
"Aaaa itu sayang maaf aku....." Aldo mulai panik. Sedangkan Sholeh masih saja diam.
"Ga usah soyang-sayang. Lo berdua gue anggap bukan siapa-siapa gue selama gue belum terima penjelasan apapun dari kalian!"
"Ndah gue..." Sholeh meremas celananya hingga kusut sepertinya mukanya. Berusaha mengatakan sesuatu.
"Apa? Buru kalau mau ngomong! Ngajak orang lain adu bacot aja gercep lo semua. Giliran kayak gini kisut nyali lo!"
"Emm kita kita....." Aldo bingung harus mulai darimana.
"Kita apa Aldo?" Indah mulai geram.
"Leh gimana ngomongnya?" Bukannya menjawab Aldo malah bertanya pada Sholeh.
"Kenapa lo tanya gue bisul. Itu pacar lo, harusnya lo lebih tau cara ngadepin dia." Sholeh menjawab sedikit menyindir.
"Lha dia juga sahabat lo upil. Kita udah kenal lama. Lo juga harusnya juga tau cara ngadepin dia." Aldo tak mau kalah.
"Udah stop! Emang orang kalau yang dipake mikir bukan otak tapi dengkul ya gini. Bacot aja lo gedein sana. Gue mau balik! Ga usah deketin gue kalau kalian belum bisa jelasin apa-apa."
"Aku anter ya Ndah." Pinta Aldo.
"Orak sudih! Minggir Lo!" Sedikit mendorong Aldo agar tidak menghalangi jalannya. Indah pergi begitu saja meninggalkan dua sahabatnya yang saling tatap.
"Lo pikirin deh sana cara ngomong sama dia. Lo kan pacar dia. Gue ga ikut-ikut. Cabut dulu Ngabs. Bye!"
"Sholehun! Lo juga harus tanggung jawab njir!" Teriak Aldo.
"Gue gak hamilin lo. Urus sendiri!"
"Dih! Kutil kuda sialan!" Umpat Aldo.
------------------
Pagi yang tenang. Ketiga kakak beradik yang hanya memiliki satu sama lain dan 1 orang gadis sebaya si bungsu seperti biasa duduk di meja makan. Tidak ada yang bersuara, hingga bel berbunyi menandakan ada tamu yang datang.
"Kakak aja yang buka." Jawab Gracia kemudian berdiri. Menghentikan gerakan Chika yang juga berniat sama.
"Oke."
Tak lama Gracia muncul di disusul Anin sambil membawa sebuah Caketart diatasnya ada lilin angka 17.
"Happy Birthday Chika." Ucap Anin dengan keras.
Semua yang masih duduk disitu pun menoleh ke sumber suara. Hanya suara Anin, karena Gracia hanya senyum-senyum aja itupun nanggung.
"Aaaaaaa makasih." Chika kemudian berdiri menghampiri Gracia, memeluk kakaknya itu dari samping.
"Sekarang make a wish. Trus tiup lilinnya." Chika mengangguk kemudian memejamkan mata. Tak lama dia meniup lilinnya dan diiringi tepukan tangan semua yang ada disitu.
"Makasih Kak Gre, Makasih Cici, Makasih Ara, Makasih Kak......." Ucapannya menggantung.
"Anin. Namaku Anin. Temennya Cici kamu dulu. Kamu pasti ga inget soalnya kamu masih kecil banget waktu itu."
"Ah iya, Makasih ya Kak Anin." Anin hanya tersenyum mengangguk.
"Maaf Kakak ga bisa bikin sweet seventeen kamu lebih baik. Kamu pasti ngerti alasannya." Ucap Gracia.
"Gapapa. Aku malah lupa kalau hari ini ulang tahun aku." Chika terkekeh.
"Selamat ulang tahun adik Cici yang bandel. Maafin Cici juga ya. Semua terpaksa harus begini dulu karena kondisi Cici lagi kayak gini." Ucap Shani.
"Tiap bangun pagi masih bisa liat Cici sama kakak baik-baik aja, Chika udah seneng kok. Tetep sama-sama ya Kak, Ci sampe tahun tahun berikutnya."
"Aamiin." Ucap semua yang ada disitu serempak.
"Ara! Kamu belum ngucapin apa-apa ke aku ya daritadi." Chika menatap tajam Ara.
"Selamat ulang tahun say. . Chika..." Ucap Ara dengan senyum terpaksa.
"Halah giliran disindir aja baru ngomong! Daritadi ngapain aja?" Sewot Chika.
"Ya kan ngucapinnya antri atuh." Ngeles Ara. Padahal sebenarnya dia juga agak kaget karena ternyata Ulang Tahun Chika hari ini. Bukan karena tak ingat, tapi karena salah liat kalender.
"Mampus mana belum beli kado." Ucap Ara dalam hati.
"Ngeles mulu anda."
"Maaf." Ucap Ara tak enak.
"Udah, yang penting Ara udah ngucapin. Sebagai ganti karena kita ga bisa ngrayain ulang tahun kamu. Kamu boleh ajak siapapun temen kamu makan dimana aja." Ucap Gracia.
"Beneran kak?" Tanya Chika dengan mata berbinar.
"Hmm. Bilang aja dimana. Nanti kakak minta Mario buat booking tempat itu seharian buat kalian."
"Anjay gurinjay. Mantap surantap. Ra Gaskeun!" Yang dipanggil hanya membalas dengan senyum tak enak. Sesekali melirik Gracia.
Baru mau melanjutkan kembali sarapan. Tiba-tiba terdengar suara bel berbunyi kembali. Semua yang ada disitu saling menatap.
"Tamu siapa?" Tanya Gracia. Shani hanya mengedikkan bahu.
"Meneketehe. Kak Anin mungkin." Jawab Chika.
"Aku tadi kesini sendiri kok."
"Biar aku yang buka." Ucap Gracia kemudian berdiri.
Sebenarnya dia sedikit cemas dengan tamu yang tak diundang itu. Pasalnya jarang sekali ada tamu tiba-tiba datang kerumah mengingat mereka bertiga jarang dirumah selain malam hari. Dan Gracia maupun Shani apalagi Chika jarang mengundang meski teman sekalipun untuk main kerumah.
Dengan langkah berat Gracia berjalan ke pintu depan.
"Selamat Pagi." Terdengar sapaan seseorang setelah pintu terbuka.
"Selamat Pagi. Cari siapa?" Tanya Gracia.
Di depannya berdiri seorang wanita paruh baya. Berstelan necis memakai kacamata hitam. Tampak berdiri tidak jauh di belakangnya beberapa orang berjas sibuk memantau situasi sekeliling.
"Saya tidak dipersilahkan masuk dulu?" Tanya wanita itu.
"Maaf tapi saya tidak kenal anda. Ada perlu apa?" Gracia mengerutkan keningnya heran.
"Saya mau bertemu seseorang."
"Siapa?"
"Yang ingin saya temui orangnya ada didalam. Saya harus masuk dan bicara langsung padanya."
"Anda mau ketemu siapa?" Tanya Gracia sekali lagi tak menggubris permintaan tamu tak diundang ini.
"Oke sudah cukup basa basinya." Wanita itu mengkode beberapa pengawal dibelakangnya.
"Eh eh saya belum mempersilahkan kalian masuk." Gracia berusaha menghalangi jalan beberapa pengawal yang mencoba menerobos masuk kerumahnya.
"Lebih baik kamu biarkan mereka masuk kalau masih ingin hidup dengan tenang." Ucap wanita itu santai.
"Gak akan." Gracia masih berusaha berdiri di depan pintu. Menutup akses mereka.
"Kak Gre. . . " Tiba-tiba suara Chika muncul dari belakang. Dia menatap shock Kakaknya yang sedang berusaha menghalangi pintu.
"Kamu masuk ke dalam! Panggil polisi karena tamu ini meresahkan!" Teriak Gracia pada Chika.
"Aaa i-iya Kak." Chika menuruti permintaan Gracia dan masuk lagi ke dalam.
"Paksa saja. Jangan ragu buat kasih pelajaran meskipun dia perempuan." Perintah wanita itu pada pengawalnya.
"Arrrrghhh." Gracia mengerang kesakitan saat bahunya dicengkram sangat keras oleh seseorang. Akhirnya pertahanannya melemah. Dia sedikit terdorong mundur ke belakang. Yang membuat beberapa pengawal itu akhirnya bisa masuk kedalam termasuk wanita itu.
"Heyy!" Gracia berteriak sedikit meringis kesakitan memegang bahu kanannya. Mencoba mengikuti tamu gak punya sopan santun itu kedalam.
"Kak Gre....!" Terdengar teriakan Chika dari dalam.
"Kak. .!" Kali ini suara Shani.
Gracia mempercepat langkah meski rasanya tangan kanannya mulai mati rasa hingga ia tiba di ruang makan. Gracia melihat beberapa pengawal itu memegang Chika. Tampak Ara juga dikunci pergerakannya agar tak bisa bergerak.
Sedangkan Anin mencoba melindungi Shani.
"Kalian mau apa? Datang-datang membuat keributan dirumah saya?" Tanya Gracia.
"Saya cuma mau ambil kembali apa yang menjadi milik saya." Ucap wanita itu.
"Maksud anda apa?"
"Anak itu. Dia milik saya!" Tunjuk wanita itu pada Chika.
"Bgsd!" Teriak Ara mencoba melepaskan diri.
"Ara." Chika menatap sendu kekasihnya.
"Bayi yang kalian temukan di depan pintu 17 tahun lalu. Dia kan?" Tunjuknya sekali lagi pada Chika.
Gracia dan Shani terlonjak kaget. Tidak terkecuali Ara dan Anin. Bagaimana orang ini bisa tau? Pikir Gracia.
"Sejak awal anak ini milik saya. Dan yang menaruhnya di depan pintu kalian itu juga saya. Sekarang saya mau ambil kembali. Bawa dia!"
"Kak!" Teriak Chika.
"Lepasin gue bego!" Ucap Ara yang sibuk sendiri dengan pengawal yang memegangnya.
"Lepasin dia!" Gracia berusaha mendekat dan melepaskan pengawal yang menarik paksa adiknya. Tak dipedulikannya sakit yang dia rasa pada tangan kanannya.
"Kak Gre jangan biarin dia bawa Chika kak." Rengek Shani yang tampak pasrah karena tak bisa berbuat banyak.
"Lepasin dia sialan!" Umpat Gracia.
Bugh.
Tak disangka Ara berhasil lepas karena menyikut dengan keras perut pengawal itu. Menendang alat vitalnya hingga jatuh tak berdaya.
"Rasain!" Segera dia berlari ke arah Gracia, membantu Kakaknya itu melepaskan Chika dari beberapa pengawal yang mencoba menyeretnya.
Krek. . Krek. .
Terdengar bunyi pistol dikokang.
Gracia menoleh dan melihat wanita itu sedang menodongkan senjatanya ke arah Anin dan Shani.
"Mencoba melawan? Jangan salahkan saya kalau salah satu dari mereka mungkin harus jadi sasaran latihan tembak saya." Ucap wanita itu.
Seketika Gracia merasa lemas. Tidak tahu mana yang harus ia lindungi. Hingga tak sadar seseorang memukul belakang kepalanya. Karena beda tenaga Ara juga didorong dengan sangat kuat hingga jatuh dan membentur meja.
"Bawa dia."
"Kak Gre. Cici." Teriak Chika sambil meronta di tangan pengawal-pengawal itu. Dia diseret keluar.
"Coba lapor polisi saya tidak segan-segan membuat Anda-anda semua kesakitan lebih parah daripada ini. Bahkan mungkin anda semua lebih memilih mati daripada tetap hidup." Ucap wanita itu masih tetap menodongkan senjatanya.
"K-kamu s-siapa?!" Tanya Gracia.
"Ingat baik-baik nama saya. Archer. Amanda Archer. Dan anak yang barusan saya seret itu adalah cucu saya." Ucap wanita itu kemudian memasukkan kembali pistolnya kedalam tas.
Wanita itu kemudian pergi, namun baru beberapa langkah dia berbalik. "Oh ya Terimakasih sudah bersedia membesarkannya. Kalau kalian mau bersikap kooperatif, silahkan sebut berapa nominal yang kalian mau sebagai ganti semua biaya yang sudah kalian keluarkan untuk anak itu."
"Ga butuh! Kembalikan saja dia!" Ucap Gracia mendecih.
"Terserah. Saya tidak takut ancaman kamu. Coba saja ambil dia kembali kalau kalian bisa. Saya juga punya cara saya sendiri untuk mempertahankannya. Saya yakin saya menang. Permisi." Wanita itu akhirnya pergi.
"Chika. . . " Gracia jatuh terduduk. Menyesal karena tak bisa berbuat apa-apa untuk melindungi adiknya.
TBC.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro