Part 16
Selamat Malam Minggu..😂✌️
==Happy Reading==
|
|
Vino mutusin aku
Tiga kata yang keluar dari mulut Shani sukses membuat Gracia menegang selama beberapa saat. Belum saatnya dia emosi sekarang. Dia masih butuh tahu alasan sebenarnya bocah lucknut itu memutuskan hubungan dengan adiknya.
"Ga perlu di....."
"Apa?! Berani-beraninya kak Vino mutusin Cici! Bilang sama aku kenapa dia mutusin cici? Aku mau kasih dia pelajaran!" Gracia memejamkan matanya. Susah payah dia menahan rasa kepo-nya agar Shani bisa fokus dulu pada kesembuhannya. Ternyata usahanya dihancurkan sekejap oleh adik kecilnya sendiri. Minta disentil emang ginjalnya.
"Dah bahas bocah lak...Vino-nya besok lagi. Cici kamu harus istirahat dulu." Gracia memotong pembicaraan mereka karena melihat raut wajah Shani yang semakin mendung saja.
"Mau makan?" Gracia mendekat pada Shani. Mengelus pelan kepalanya. Membetulkan poni rambutnya yang berantakan.
Shani hanya menggeleng. Namun sorot mata kesakitan itu bisa terbaca dengan jelas oleh Gracia saat Shani menatapnya.
"Laper ga?" Tanya Gracia pada Chika.
"Ho oh. Tumben peka Kak." Gracia memutar malas matanya.
"Ke kantin mau? beli makanan. Kakak juga laper."
"Boleh. Kakak mau apa?" Tanya Chika kemudian berdiri dari duduknya.
"Apa aja. Uangnya ambil sendiri di tas."
"Oke." Tak lama kemudian Chika keluar meninggalkan Shani dan Gracia.
"Kak?" Shani menarik tangan Gracia agar duduk di sebelahnya.
"Hmmm?"
"J-jangan tinggalin aku." Air mata itu jatuh kembali. Gracia semakin mendekatkan wajahnya pada Shani.
"Ga ada yang akan ninggalin kamu. Kakak, Chika, kita berdua masih disini sama kamu."
"Tapi setelah Vino ninggalin aku, aku ngerasa akan terjadi hal yang lebih buruk dari ini Kak." Shani menangis kemudian meraih Gracia, memeluk erat tubuh kakaknya itu.
"Kamu baru aja ngalamin sesuatu yang berat. Wajar kalau pikiran kamu jadi negatif terus." Shani tak merespon, namun masih terus terisak di pundak Gracia.
"Dia mutusin aku karena dijodohin Kak. Ternyata selama ini orang tuanya ga pernah restuin aku sama dia. 10 tahun aku sia-sia." Gracia hanya diam membiarkan Shani mengeluarkan semua keresahan hatinya. Tangannya mengepal erat. Feelingnya selalu benar, Vino memang ga pantes buat Shani.
Setelah tangisan Shani sedikit mereda, Gracia melepaskan pelukan adiknya. Menghapus pelan air matanya.
"Sayang air matanya cuma buat nangisin orang yang ga mau perjuangin kamu. Buktiin ke dia kalau setelah kamu ditinggalin, kamu justru lebih bahagia. Biar dia nyesel." Gracia mode Kompor. Shani hanya mengangguk mengiyakan.
"Sekarang kamu istirahat ya. Ga usah mikirin dia lagi. Fokus biar cepet sembuh."
"Kepala aku sakit Kak." Rengek Shani.
Gracia kemudian bangkit dari duduknya. Membantu Shani berbaring agar lebih nyaman.
"Perlu dipanggilin dokter?" Tanya Gracia. Shani hanya menggeleng.
"Kakak disini aja, jangan kemana-mana."
"Emm." Dengan pelan Gracia mengusap pelan kepala Shani berharap adiknya itu bisa lebih tenang dan tidur.
----------------------
Menjelang malam pintu ruang rawat Shani terbuka, memunculkan sosok Ara yang masuk dengan membawa tas Ransel yang cukup besar.
"Ara?" Chika bangkit dari gegolerannya di sofa bersama Gracia.
"Hai Kak Gre, Chika."
"Mau kemana bawa tas gede gitu?" Tanya Chika.
"Sementara Ara akan tinggal dirumah. Kakak butuh seseorang lagi buat bantu mastiin kamu ga bandel. Soalnya nanti Cici bakal butuh banyak perhatian setelah ini."
"Aku anaknya nurut tau kak. Mana pernah aku bandel." Ucap Chika tapi matanya tetap fokus ke Ara sambil senyum-senyum.
"Iya nurut, iya ga bandel. Kamu kenapa senyum-senyum gitu?" Tanya Gracia.
"Terus aku harus marah-marah?" Chika menatap Kakaknya sewot.
"Marah aja. Ga ada yang peduli juga." Jawab Gracia kemudian berjalan mendekati ranjang Shani. Adiknya itu masih tertidur pulas sejak sore tadi.
"Issshh punya kakak ga ada akhlaknya." Gumam Chika.
"Ra ajak Chika pulang. Malam ini Kakak tidur disini."
"Iya Kak."
"Kakak butuh apa? Chika bawain besok sebelum ke sekolah."
"Bawain baju ganti aja."
"Oke. Ayo Ra. Nanti tidurnya bar....."
"Pisah kamar!" Potong Gracia.
"Anjiirr kebaca dong." Batin Chika. Ara hanya meringis mendengar nada Gracia yang tak santai.
"Kamar buat Ara udah disiapin. Sekarang pulang. Berani melanggar tau sendiri akibatnya." Ancam Gracia namun fokusnya tetap pada Shani.
"Suudzon! Hishh! Ayo Ra pulang. Keburu ada yang berubah jadi singa!"
Dengan kesal tanpa menunggu Ara, apalagi pamit pada Gracia. Chika segera keluar dari ruangan.
"Ara pamit ya Kak."
"Hmm. Oh iya mungkin bukan sekarang waktunya, tapi kita perlu bicara berdua Ara. Ada yang mau Kakak tanyakan sama kamu."
Mendengar itu perasaan Ara mulai tak menentu. Tak biasanya Gracia berbicara seserius ini padanya. Orang di depannya itu memang jarang bercanda, atau mungkin tak pernah sama sekali. Tapi dari perkataan dan raut wajahnya, Ara tau ini hal yang cukup serius.
"Pulang. Kalau Chika ngrepotin kunci aja di kamar mandi."
"I-iya kak. Selamat malam."
Setelah Ara keluar suasana kembali hening. Gracia memijit pelipisnya pelan. Sesekali menatap Shani.
"Mungkin karena aku tau Aldo, Aku jadi sedikit tau Ara. Tapi itu bukan ranah aku buat cerita siapa dia sebenarnya. Ada baiknya memang Kak Gre tanya langsung sama orangnya. Kalau Kak Gre butuh memastikan kebenaran ceritanya, boleh kok hubungi aku, tapi setelah Ara cerita ke kakak ya."
Kedatangan Fiony, Kejadian Shani, Percakapan dengan Anin soal Ara, bahkan misteri siapa orang tua Chika sebenarnya semua berputar di kepalanya. Tidak ada yang kebetulan. Semua terjadi karena memang sudah seharusnya. Mungkin sekarang dia mulai berpikir sama dengan Shani bahwa hal yang lebih buruk bisa saja terjadi setelah ini.
-------------------
Gracia sedang bersandar di sofa berusaha memejamkan mata karena beberapa saat yang lalu Shani bangun dan mengeluh kepalanya sakit lagi. Dia bahkan 'rewel' ketika kesulitan menggerakkan kakinya hanya karena ingin ke kamar mandi. Padahal Gracia sudah menawarkan diri untuk menggendongnya. Adiknya itu baru tenang setelah dokter menyuntikkan beberapa obat untuknya.
Aku butuh kopi
3 kata yang muncul dipikirannya sontak membuat dia bangkit dari duduknya. Menengok sebentar ke sosok yang masih tertidur dengan tenang.
"Ga masalah kayaknya kalau ditinggal bentar." Ucap Gracia dalam hati kemudian berjalan keluar.
Baru saja pintu dibuka, Gracia berjengit kaget karena ada seseorang yang berdiri di balik pintu sambil menundukkan kepalanya.
"Mau apa?" Tanya Gracia. Muka yang tadinya biasa saja, berubah tegang saat melihat seseorang yang sangat ingin ia temui sejak tadi.
"K-kak, a-aku boleh liat S-sh..."
"Gak. Ikut saya." Gracia menutup pintu di belakangnya. Berjalan melewati orang itu. Sekian detik kemudian orang itu pun ikut berbalik mengikuti langkah kaki Gracia.
"Datang kesini itu kesalahan." Ucap Gracia. Tangannya melipat didada. Fokusnya lurus kedepan menatap lampu taman.
Hanya beberapa meter dari ruang rawat Shani. Satu laki-laki tubuh tinggi tegap kepala tertunduk dan satu wanita dengan postur rata-rata namun berdiri dengan kepala terangkat angkuh berdiri berjejer di pembatas koridor bangsal.
"Sebentar aja kak. Aku mau lihat Shani." Ucapnya memohon.
"Untuk apa?"
"Aku cuma mau minta maaf sama dia."
"Setelah minta maaf mau apa?" Tanya Gracia.
Hening datang kembali. Pertanyaan terakhir Gracia tak terbalas. Laki-laki itu kian menunduk.
"Ga akan ada yang berubah. Jadi ga perlu minta maaf. Silahkan pergi." Gracia masih berdiri tak bergerak satu centi pun.
"Kak. Pleasee. . " Laki-laki itu kini menatap Gracia dengan tatapan memohon.
"Kesempatan kamu udah abis Vino. Kamu udah menyerah memperjuangkannya, maka tugas saya untuk mengambilnya kembali, memastikan dia tetap bahagia tanpa kamu."
"Kak. . "
"Fokus saya hanya pada kebahagiaan Shani. Jadi saya memilih diam ketika dia mengenalkanmu sebagai salah satu sumber kebahagiaannya. Meskipun ya saya tidak pernah suka kamu." Jelas Gracia.
"Dan sekarang entah saya harus berterima kasih atau malah memakimu habis-habisan karena sudah membuat adik saya hampir mati. Disatu sisi saya berterimakasih karena dengan kamu menyerah padanya, saya ga perlu menahan diri lagi ketika kamu muncul terus didepan muka saya. Saya muak terus terang. Tapi disisi lain, melihat kondisi Shani sekarang kalau ga inget ini rumah sakit mungkin muka kamu sudah saya tonjok." Gracia balik menatap Vino sedikit menantang. Ajiiiib Buk Gre.
"Aku minta maaf kak. Ini juga ga mudah buat aku. "
"Hmmm kenyataanya saya ga peduli. Dan Shani ga butuh maaf kamu. Yang kita butuhkan kamu pergi darisini dan jangan pernah muncul lagi."
"K-kak. . . " Vino memegang tangan Gracia. Berharap masih diberi kesempatan.
Gracia menatap tangan Vino yang menyentuhnya dengan tatapan jijik. Vino yang sadar pun dengan cepat menarik tangannya.
"Permainan selesai. Game Over. Bahkan ketika kamu balik lagi dengan alasan kamu tidak jadi dijodohkan atau ketika kamu sanggup melawan orang tua kamu itu sudah tidak berlaku. Saya pastikan kamu tidak bisa kembali lagi pada Shani. Selamat malam Tuan Vino." Gracia kemudian berbalik pergi meninggalkan Vino yang masih berdiri mematung.
Gracia sedikit terburu-buru masuk kembali ke ruangan Shani karena merasa sudah terlalu lama meninggalkannya. Sedikit mengumpat dalam hati karena gara-gara Vino dia tidak jadi beli kopi. Akhirnya 1 botol air mineral di meja dia teguk sampai habis. Maklum abis pidato, kerongkongan kering bak padang pasir.
---------------
"Dasar anak kurang ajar!"
"Papa menyesal punya anak seperti kamu!"
"Mama ga pernah minta dikasih anak seperti kamu!"
"Kalau cuma bikin masalah terus, lebih baik kamu ga usah pulang sekalian!"
"Kamu bisanya cuma malu-maluin keluarga Ara!"
Ara membuka matanya lebar-lebar. Perlahan dia bangun, duduk sambil mengatur napas. Kilatan kejadian itu muncul kembali di mimpinya. Bukan hanya sekedar bunga tidur, tapi kilatan kenangan buruk yang masih membekas di kepala dan hatinya. Perasaan menjadi yang terbuang.
Ara kemudian berdiri. Berjalan perlahan keluar kamar. Tak lama masuk ke kamar sebelahnya.
"Chik. . Chika. . Banguun."
"Ck! Ga usah colak colek aku bukan sabun." Rengek Chika tapi matanya tak kunjung dia buka.
"Chika! Ishhh..." Merasa percuma, Ara sedikit menggeser posisi Chika kemudian tidur di sebelahnya.
10 menit, posisi Chika yang tadinya memunggungi Ara akhirnya berbalik. Tangannya tak sengaja terjatuh ke wajah Ara.
"Ck! Rusuh!" Ara yang hampir tertidur menjadi terusik hingga dengan kasar membuang tangan Chika dari wajahnya.
"Nnggghhh. . huaaaa!!. . ."
Bugh
"Bgsd! Pinggang gue!" Rintih Ara dari bawah.
"Ara! Sejak kapan kamu disini?"
"Sejak jaman Romusha! Tidur kek orang tawuran!" Keluh Ara mencoba berdiri dan duduk kembali di kasur.
"Aku kaget! Tau kaget gak? Ngapain kamu disini? Kak Gre ngelarang kita sekamar ya! Sana balik!"
"Ga mau minta maaf dulu gitu? Kamu nendang aku, pinggangnya sakit ini!"
"Salah sendiri! Sana balik! Ketahuan Kak Gre mampus kita."
"Aku ga bisa tidur. Tidur disini aja ya sama kamu?"
"Aku belum mau mati muda. Balik ke kamar sana ishh!"
Ara kemudian berdiri. Berjalan mengelilingi kamar Chika. Mencari benda-benda yang mungkin mencurigakan.
"Cari apaan?" Tanya Chika heran.
"Siapa tau Kak Gre diam-diam masang CCTV disini. Lagian darimana dia bisa tau kita sekamar atau ga? Kan dia lagi ga dirumah."
"Ahh iya juga ya! Kok bego sih aku ga mikir sampe kesitu."
"Gapapa sayang. Kita tetap pasangan serasi kok. Kan saling melengkapi. Kamu bagian begonya, aku bagian pinternya."
"Hmmm iya sih. Chika bego, Ara pinter. Gitu kan?"
"Nah tuh si bego bisa pinter juga." Ara kemudian mendekat setelah tidak menemukan hal mencurigakan di kamar Chika.
"Pacar jahannam!" Chika mengambil guling kemudian memukulnya berkali-kali ke kepala Ara.
"Aduh ampun yank. Ampuun. Aku tidur sini ya?" Tanya Ara memohon membuat Chika diam berpikir.
"Kak Gre ga akan tau kalau kamu ga bilang. Ga ada CCTV kok disini."
"Ya udah deh." Chika akhirnya setuju.
"Gitu dong. Kan jadi enak akunya."
Mereka berdua akhirnya tidur bersama. Tubuh saling berhadapan. Mata saling menatap. Hingga tak tahu siapa yang memulai, wajah keduanya perlahan mendekat..perlahan....
Kring. . Kring. . Kring. .
Bibir keduanya gagal silaturahmi.
"Anjir!" Umpat Ara.
"Astaga!"
"Siapa yang telpon jam segini?" Tanya Ara.
"Itu bukan telpon. Itu alarm."
"Kamu pasang alarm apa jam 1 malam?" Tanya Ara heran.
"Ck! Aku tuh mau ikutan flashsale. Dah ga usah ganggu. Kamu tidur aja sana!" Chika kemudian mengambil ponselnya dan balik memunggungi Ara.
"Flashsale jabingan!"
-----------------
"Gracia dimana?"
"Maaf Nona Fiony, Bu Gracia hari ini ini tidak ke kantor."
"Dia kemana?"
Mario hanya menggeleng. Bukannya tidak tahu Bos-nya itu kemana. Hanya saja Gracia memang memintanya untuk tidak memberitahukan keberadaannya sekarang ke siapapun, apalagi untuk seseorang bernama Fiony.
"Ck! Manager macam apa sih kamu! Bos pergi kemana kok ga tau."
"Tapi saya benar-benar tidak tau Nona Fiony. Bu Gracia hari ini hanya mengabari beliau tidak ke kantor."
Fiony menatap Mario lamat-lamat. Mencari kebohongan di wajah Sang Manager. Namun akhirnya dia menyerah. Wajahnya berubah lesu. Beberapa hari ini Gracia sulit ditemui. Dan hari ini lagi-lagi Gracia tidak terlihat batang hidungnya. Itu artinya rasa rindunya belum saatnya bertemu tuannya.
"Oke." Setelah mengatakan itu Fiony berbalik pergi. Sampai di pintu depan tak sengaja dia mendengar percakapan dua orang security.
Gue hapal plat nomornya. Kan sering kesini. Sampe masuk berita lho.
Pantes Bu Gracia hari ini tidak datang. Lha adiknya kecelakaan.
Iya. Kasian ya. Pasti panik banget. Mana denger-denger mereka udah ga punya keluarga lain.
"Arrgghh Mario boongin gue!" Tanpa pikir panjang, Fiony balik masuk kembali ke dalam gedung besar itu.
Hingga akhirnya dia berhenti di depan sebuah pintu bertuliskan 'Manager'. Peduli setan dengan sopan santun. Dia membuka pintu itu tanpa mengetuknya terlebih dahulu.
"Rumah sakit mana!"
"Anjiiirr! Monster ngamuk!" Batin Mario.
Hampir saja dia terjatuh dari kursinya kalau dia tidak segera berdiri dan mundur beberapa langkah.
"Rumah sakit mana!" Teriak Fiony sekali lagi.
"Anu..tapi itu...eee Bu Gracia...Aduuhh tenang dulu Nona." Mario mulai panik karena hawa tidak enak mulai terasa.
Fiony berjalan semakin mendekat, Mario semakin mundur hingga akhirnya mentok pada tembok.
"Aakkhhhhkkk! Nona tolong sabar... Aaakkhhhhhhkk!"
"Rumah sakit mana!" Fiony akhirnya mencengkram kerah kemeja Mario. Menggoncangkan tubuh laki-laki itu agar segera memberi tahu rumah sakitnya.
"L-lepas d-dulu N-nona." Mario berusah melepaskan cengkraman tangan Fiony pada lehernya.
"Aku lepas tapi kamu harus kasih tau!" Ancam Fiony yang semakin mempererat cengkraman tangannya. Semakin mencekik leher Mario.
"I-iiya, I-iya, k-kasih tau, kasih tau."
"Hmmm dimana?" Tanya Fiony yang hanya melepas satu tangannya. Tangan satunya masih memegang kerah baju Sang Manajer. Memastikan laki-laki itu tidak ingkar janji.
"Hah! hah!" Mario menghirup udara sebanyak-banyaknya.
"Cantik-cantik tenaga kuli!" Ucap Mario dalam hati.
"Dimana!" Tanya Fiony sekali lagi.
"Hah!...Rumah sakit Permata." Ucap Mario dengan pelan. Setelah itu tangan Fiony terlepas sepenuhnya dari Mario, membuat laki-laki itu pindah posisi mengambil jarak cukup jauh.
"Goodboy! Thankyou ganteng. Aku pergi dulu." Fiony tersenyum puas kemudian berjalan keluar ruangan sambil bernyanyi.
"Cewek Stress!" Umpat Mario.
Sesaat kemudian Mario segera mendekat ke mejanya, meraih ponselnya. Ada yang harus segera dia beritahu.
"Halo Bu Gracia? Maafkan saya, mungkin satu jam dari sekarang bencana akan datang kesitu."
TBC.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro