Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 10

BMW i8 Silver itu melaju membelah jalanan ibukota dengan kecepatan sedang. Didalamnya duduk seorang wanita dewasa bersetelan rapi, tak lupa kacamata hitamnya yang nangkring elegan diatas hidung mancungnya. Meski make-up yang dia pakai tak sepenuhnya mampu menutupi wajah pucatnya, tapi sikap profesionalitas yang selalu ia junjung tinggi selama ini membuatnya mengabaikan semuanya termasuk larangan adiknya.

Perlahan mobil yang ia tumpangi berhenti di satu area lampu merah. Sesaat ia mengecek notif di handphonenya, hanya melihat tanpa berniat membukannya. Kecuali notif itu berasal dari Shani atau Chika. Teringat bahwa hari ini dia sudah ingkar janji dan pasti akan ada omelan-omelan yang harus ia dengarkan setelahnya. Kesalahan yang harus ia tebus biarlah itu jadi urusan nanti. Ada hal penting yang menunggunya dan harus ia selesaikan sebentar lagi.

Setengah jam kemudian mobilnya berhenti di depan sebuah lobby. Tempat yang hampir setiap hari ia sambangi. Gracia, si wanita tangguh satu ini menghembuskan nafas pelan sebelum akhirnya ia keluar dari mobilnya.

"Tamu yang mau kita temui sudah datang?" Gracia terlihat berbicara dengan handphonenya sambil terus berjalan masuk kedalam gedung.

"Oke. Saya sudah dibawah. Temui saya dulu di ruangan sebelum kita ketemu dia." Setelah mengucapkan itu Gracia mempercepat langkahnya agar segera sampai diruangannya.

Baru saja ia duduk, pintu ruangannya terbuka. Managernya masuk sambil menenteng beberapa berkas kemudian di letakkan di atas mejanya.

"Duduk." Perintah Gracia pada Mario. Gracia diam sejenak, berpikir apa yang harus ia katakan.

"Berapa sebelumnya kandidat kuat yang kamu pilih sebelum akhirnya ada keputusan memilihnya?" Tanya Gracia pada Managernya.

"Kemarin ada 5 kandidat yang bersedia. Tapi hanya ada dua dengan rating terbaik dan followers terbanyak. Kandidat pertama harusnya jadi pilihan kita karena dia terbaik dari segi pengalaman dan koneksi. Sayangnya tadi pagi dia menelpon untuk mundur dari kerjasama seandainya dia terpilih. Jadi akhirnya pilihan turun ke yang sekarang. Mengingat dia juga sedang naik daun, dan wajahnya juga sangat komersial Bu Gracia." Mario menjelaskan.

"Bagaimana Bu Gracia? Karena kita harus segera menemuinya. Dia sudah menunggu dari 1 jam yang lalu." Lanjut Mario karena Gracia masih terlihat ragu.

Akhirnya Gracia berdiri sambil menarik napas dalam. Sungguh dia ingin segera keluar dari situasi ini. Kalau bukan demi kemajuan bisnisnya, dia tidak akan mau repot-repot seperti ini.

"Oke. Kita temui dia sekarang." Ucap Gracia kemudian keluar dari ruangannya diikuti Mario menuju ruang meeting.

"Selamat Siang." Ucap Gracia berusaha tenang kemudian masuk menemui seorang gadis yang kini sedang asik bermain dengan handphonenya. Gadis itu kemudian mengangkat kepalanya dan terjadilah kontak mata itu.

"Gracia!" Teriak gadis itu spontan kemudian berdiri dan tanpa basa-basi langsung memeluk. Gracia kaget dengan pelukan tiba-tiba itu tidak terkecuali Mario yang ada dibelakangnya.

"Emm please lepas dulu." Ucap Gracia pelan sambil memejamkan mata karena menahan malu didepan Managernya.

"Upps maaf.." Si Gadis yang akhirnya paham dengan situasi pun mengangguk tak enak.

"Silahkan duduk." Gracia mempersilahkan gadis itu duduk kembali. Kemudian diikuti olehnya dan Managernya.

"Mohon maaf membuat anda menunggu lama Miss. Karena memang rencana saya baru bisa menemui anda besok. Tapi berhubung anda ingin menemui saya sekarang. Apa boleh buat." Gracia mengucapkannya dengan acuh sedikit mengangkat keduanya bahunya.

"Iya gapapa. Saya juga minta maaf karena kesannya tidak mengerti keadaan. Tapi saya sudah terlanjur excited saat tau bahwa saya dipilih untuk kerjasama dengan anda."

"Ya sama-sama udah terlanjur." Ucap Gracia tanpa sedikitpun mau menatap mata gadis di hadapannya kini.

Mengetahui nada yang kurang enak dari orang yang akan bekerjasama dengannya, Si Gadis hanya berusaha tersenyum dengan paksa.

"Oke. Langsung saja ya. Untuk detailnya seperti apa nanti akan dijelaskan oleh Manager saya. Selebihnya saya cuma mau bilang kalau perusahaan ini siap bekerjasama dengan anda. Semoga kedepannya bisa saling memberikan pengaruh positif bagi kedua belah pihak."

"Terimakasih sudah mempercayakannya pada saya. Semoga saya tidak mengecewakan anda."

"Itu yang saya harapkan." Jawab Gracia cepat. Rasanya ingin segera keluar dari ruangan itu, pikirnya.

"Baik kalau begitu anda bisa lanjutkan dengan Manager saya. Saya harus pergi." Ucap Gracia sambil berdiri.

"Mario, saya percayakan semuanya sama kamu. Saya harus pulang."

"Baik Bu Gracia."

Bergegas Gracia berjalan menuju pintu keluar, baru saja akan memegang gagang pintu suara gadis itu menghentikannya.

"Tunggu!" Gracia berbalik namun satu katapun tidak ada yang keluar dari mulutnya. Hanya tatapan penuh tanya yang ia lempar pada si gadis tadi.

"Boleh saya bicara dengan anda sebentar? Hanya berdua saja." Gracia mengerutkan kening heran.

"Sebentar saja 10 menit." Ucapnya lagi.

Akhirnya Gracia mengangguk kemudian memberi kode pada Mario. Setelah Mario keluar, Gracia hanya berdiri di tempatnya menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Bahkan setelah bertahun-tahun lamanya, tidak ada yang berubah dari kita ya?" Ucap gadis itu tetap dengan senyum terpaksanya.

"Maksudnya?"

"Kita. Kamu masih ga mau natap aku kalau bicara. Dan aku yang tetap bertahan dengan perasaan yang sama."

Gracia yang akhirnya mengerti arah pembicaraan ini kemudian balik duduk ke tempatnya. Dia mulai merasakan sesuatu yang tak enak dengan tubuhnya. Kualat sama Shani nih kayaknya.

"Lalu inti dari pembicaraan kali ini apa? Kupikir hanya akan membuang-buang waktu membahas hal yang kita udah tau hasilnya akan seperti apa."

"Another Chance." Ucap gadis itu to the point.

"No! Jawabanku masih sama."

"Kupikir ini adalah jawaban Tuhan dari doa-doaku selama ini. Dipertemukan lagi dengan seseorang yang posisinya tidak bergeser sedikitpun di hatiku. Dia selalu mendapat porsi terbesar. Sayangnya dia tidak pernah mau ikut ambil bagian."

"Harusnya kamu tau sesuatu yang dipaksakan itu tidak benar Fiony." Gracia mulai terpancing.

Cassandra Alfionyza, seorang influencer dan food vlogger terkenal. Wajah orientalnya yang sering menghiasi media manapun membuat dia jadi incaran banyak orang untuk dijadikan salah satu figur pasangan idaman. Sayangnya si selebgram satu ini sudah mempatenkan hatinya untuk seseorang. Gracia, Girl Crush-nya sejak zaman kuliah, yang selalu memandangnya tak lebih dari seorang teman. Namun kegigihannya patut diacungi jempol meski sudah ditolak berkali-kali.

Sempat terpisah karena setelah lulus kuliah dia terpaksa harus kembali ke negara asal ayahnya. Namun kini setelah punya karir dan bisa kembali ke Indonesia, pertemuannya kembali dengan Gracia menjadi titik balik baginya untuk memulai kembali perjuangannya memenangkan hati wanita dingin itu.

"Aku ga peduli. Aku sempat menyerah karena kupikir setelah lama putus kontak, aku bakal ketemu kamu lagi dengan kondisi yang berbeda. Tapi sampe sekarang kamu masih sendiri kan? Kenapa tidak berpikir untuk mencoba bersamaku? Kita sama-sama single Gracia."

"Jangan mimpi!"

"Aku memang sedang berusaha menggapai mimpiku bersamamu." Gadis itu tak mau kalah.

"Oke stop! Pembicaraan ini udah ga layak diteruskan!" Gracia mulai berdiri. Namun tangannya dipegang oleh si gadis.

"Jangan sentuh!" Ucap Gracia menepis tangan gadis itu.

"Kamu pikir aku najis apa." Gadis yang bernama Fiony itu cemberut.

"Lupakan masa lalu! Aku harap hubungan kita hanya sebatas kerjasama bisnis. Ga lebih!"

"Bisa diatur. Di kantormu aku bisa kok berakting seakan-akan kita baru kenal. Tapi di luar itu aku bakal balik lagi jadi Fiony yang dulu. Yang selalu ngikutin kemanapun Gracia pergi." Fiony pun tersenyum bangga.

"Dasar gila!" Umpat Gracia.

"Emang aku gila. Gila karena cinta."

"Kamu. . " Baru akan menjawab, ponsel Gracia berdering.

Matanya membulat sempurna saat tahu siapa yang menelponnya. Mampus! Batinnya.

"Halo." Ucapnya pelan.

"Kakak dimana? Jangan bilang ke kantor ya!" Suara diseberang sana terdengar sedikit mengerikan bagi Gracia.

"Aaaa ini, tadi Mario tiba-tiba nelpon ada yang urgent ga bisa diwakilin. Jadi kakak kesini. Sebentar aja kok."

"Ck! Alesan! Pulang sekarang kak. Berani-beraninya ya ninggalin aku tidur sendirian di kamar." Gracia hanya memejamkan mata mendengar suara omelan diseberang sana. Rasa bersalah mulai menggerogoti hatinya.

"Iya ini mau pulang."

"Sekarang kak! Setengah jam ga sampai sini lagi, aku susul kesitu."

"Iya iya. Ini pulang." Tak lama panggilan terputus. Gracia hanya menatap kosong layar handphonenya yang kini meredup.

"Siapa?" Tanya Fiony tiba-tiba. Terlihat wajah gadis itu sangat penasaran.

"Bukan urusan kamu!"

"Pacar kamu ya? Kasih tau orangnya! Aku mau liat masih mending siapa kalau disanding sama kamu? Dia atau aku."

"Apa sih! Aku mau pulang. Mulai sekarang urusan kamu sama Mario. Jadi ga usah cari-cari aku!" Setelah mengatakan itu Gracia kemudian bergerak cepat keluar dari ruangan itu. Masih sempat terdengar dengan jelas suara Fiony dari dalam.

"Sekeras apapun kamu berusaha hindarin aku, sekeras itu juga aku bakal usaha dapetin kamu Gre. Liat aja nanti, kamu pasti bakal jatuh cinta sama aku!"

💮💮💮💮💮💮

Pukul 06.45, suasana kelas sudah cukup ramai karena 15 menit lagi pelajaran akan segera dimulai. Ara sudah duduk dengan tenang di bangkunya. Telinganya terpasang kabel headset sambil mulutnya komat-kamit mengikuti lirik lagu yang ia dengarkan. Sesekali matanya melirik ke arah pintu, seperti menunggu kedatangan seseorang.

Benar saja, 5 menit kemudian seorang gadis rambut panjang masuk. Matanya menatap sekeliling mencari seseorang hingga berhenti di satu titik.

"Ara!" Panggilnya sambil tersenyum. Yang dipanggil tak menggubris sama sekali malah teman-teman lain yang serempak menoleh kepada gadis itu. Kepala Ara malah manggut-manggut tak jelas.

"Hih! Kebiasaan!" Gadis itu kemudian melangkah menuju tempat duduk Ara. Dicabutnya alat yang masih menempel di telinga itu.

"Autis banget ya pagi-pagi udah sibuk sama dunia sendiri." Ucap gadis itu pelan di dekat telinga Ara.

"Chika! Ngagetin ih!" Reflek Ara berdiri dari bangkunya.

"Makanya kalau dipanggil itu nyaut."

"Ya kan ga denger."

"Alah boong deh Chik. Jangan percaya!"

"Dengerin musik alibi doang itu. Aslinya mah lagi sibuk chattingan ama ehem-ehem."

"Lo berdua berisik banget anying!" Teriak Ara pada Aldo dan Sholeh yang lagi sibuk main game di pojokan.

"Beneran itu?" Chika menatap Ara curiga.

"Yee tuh kutil dua dipercaya. Nih cek sendiri beneran lagi dengerin musik. Abis bosen nunggu kamu ga datang-datang." Ucapan Ara sukses membuat Chika tersipu.

"Kamu nungguin aku?"

"Iya. Lagian sih tadi ga mau bareng sama aku aja." Ara sedikit cemberut.

"Pasti ga dibolehin dulu sama Kakak dan Cici. Besok deh aku berangkat sama kamu ya."

"Iya. Duduk gih. Beneran udah sehat?" Tanya Ara sekali lagi memastikan setelah Chika duduk di depannya.

Memang selama ini Ara tidak pernah mau duduk sebangku sama Chika, meski udah berkali-kali Chika meminta namun selalu ditolaknya, alasannya nanti ga fokus dengerin guru karena ngobrol terus. Padahal itu semua dalam rangka mendiamkan jantungnya yang suka tiba-tiba loncat-loncat sendiri kalau Chika berada sangat dekat dengannya. Bisa-bisa dia langganan masuk rumah sakit melebihi Chika kalau harus duduk sebelahan tiap hari.

"Kamu nanya itu udah puluhan kali dari kemarin. Aku bosen jawabnya."

"Mastiin doang ah elah."

"Gapapa Ara sayang. Aku udah sehat." Ara melotot mendengar kalimat barusan. Sayang? Chika manggil gue sayang? Demi alek, rasanya pengen nampar muka Aldo. Batinnya.

Percakapan mereka berdua harus terhenti karena bel berbunyi dan tak lama Guru pelajaran pertama di hari itu pun masuk ke kelas.

"Kantin yuk Ra." Ajak Chika saat jam istirahat.

"Ga bawa bekal?" Tanya Ara yang masih sibuk memasukkan buku ke dalam tasnya.

"Bawa. Tapi pengen makan di kantin sama beli jus."

"Ayuk. Guys kantin kagak?" Teriak Ara pada Gengnya.

"Gass!" Akhirnya mereka berlima berjalan keluar menuju kantin.

Sepanjang jalan raut wajah Chika yang tadinya biasa saja berubah menjadi kesal karena ulah adik-adik kelas yang daritadi tebar-tebar pesona ke Ara. Yang senyum najislah, yang nyapa sok akrablah, ga cowok ga cewek ganjen semua. Lagian nih sejak kapan fans Ara jadi tambah sebanyak ini? Perasaan kemarin-kemarin sebelum dia opname ga sebanyak ini.

Karena sibuk sendiri dengan pikirannya, tak sadar dia ketinggalan cukup jauh dari rombongan hingga Ara harus balik lagi menarik tangannya.

"Lelet amat sih Chik jalannya, buru laper nih!" Ucap Ara sambil menarik tangannya menyusul teman-temannya.

"Kalau ga sabar duluan aja sana!" Ucap Chika sengit.

"Iya enggak. Sabar kok aku." Jawab Ara yang tersadar perubahan mood Chika. Tetap menggandeng tangan Chika namun kali ini jalannya lebih pelan. Chika yang melihatnya justru tersenyum.

Dalam hati dia merasa bangga, sebanyak apapun orang diluar sana yang berusaha menarik perhatian Ara, jika ada dirinya disamping Ara, fokusnya akan selalu tertarik sepenuhnya padanya.

Suasana kantin cukup ramai, untung saja Aldo dan Sholeh sudah membooking tempat di pojokan hingga mereka tidak perlu berdesak-desakan dengan siswa lain. Saat sedang asik makan sambil bercanda tiba-tiba datang seorang cewek rambut pendek sebahu menghampiri meja mereka.

"Ara." Panggil cewek itu. Sontak semua yang ada di meja itu menoleh. Tak terkecuali Chika yang kini urung meminum jusnya.

"Ya?" Ara menoleh menatap bingung cewek itu.

"Buat kamu." Ucap cewek itu pelan sambil menyodorkan sebuah benda terbungkus kertas kado dan diikat pita diatasnya.

"Buat aku? Apa ini?" Tanya Ara tapi belum berani mengambilnya.

"Nanti juga kamu tau. Tapi dibuka dirumah ya." Cewek itu masih belum menyerah sampai Ara menerimanya. Karena tak enak hati akhirnya Ara menerimanya.

"Makasih ya." Ucapnya pelan. Sambil sesekali menatap Chika yang kini sibuk mengaduk makanan di kotak bekalnya.

"Hmm. Kalau udah dibuka, chat aku dibalas ya Ra. Gue duluan semua." Ucap cewek itu kemudian pamit pergi.

"Eh itu bukannya Mira ya? Anak IPA 1?" Bisik Aldo pada Sholeh.

"Iya. Sejak kapan Ara deket sama dia? Kok gue ketinggalan info sih."

"Heh! Daripada lo ghibah ga jelas kek emak-emak. Mending lo tanya orangnya langsung dah. Ara masih disini wey. Bego banget sih!" Teriak Indah pada dua orang yang duduk didepannya.

"Hehe. . Ga mau ah! Takut digibeng gue." Jawab Sholeh pura-pura merinding.

Tak memperdulikan tatapan penuh tanya geng-nya, fokus Ara teralih sepenuhnya pada Chika yang daritadi diam saja.

"Kok cuma dibolak-balik aja makanannya? Ga enak ya?"

"Hmm" Jawab Chika seadanya.

"Aku suapin mau?" Tawar Ara. Chika hanya menggeleng tak minat. Segera di meneguk habis jusnya kemudian menutup kotak bekalnya.

"Guys, maaf aku balik ke kelas duluan ya." Chika tiba-tiba berdiri kemudian pergi begitu saja.

"Wah ini! Wah ini! Demi apa Ara direbutin cewek-cewek sexy?." Ucap Aldo.

"Berisik!" Indah melempar Aldo dengan tisu bekas menyuruhnya diam.

Seakan peka terhadap situasi dan melihat raut wajah Ara yang bingung. Indah membisikkan sesuatu ke telinga Ara.

"Masa sih?" Tanya Ara tak percaya.

"Makanya sana samperin, buktiin! Ga peka banget jadi manusia." Indah mendorong Ara agar segera menyusul Chika.

"Ehmm gak ah! Takut!" Entah mengapa untuk pertama kalinya dia merasa ketakutan bertemu Chika. Apalagi setelah melihat raut tidak mengenakkan tadi.

"Gue aja dah yang bujuk. Mana tau kecantol ma gue." Sholeh berniat berdiri namun diurungkannya karena melihat tatapan membunuh Ara padanya.

"Berani lo maju selangkah dari tempat ini! Gue kibas batang leher lo!" Setelah mengatakan itu dengan cepat Ara berdiri berjalan keluar kantin menyusul Chika.

Sedangkan tiga temannya yang ditinggal cuma bisa tersenyum menatap punggung Ara yang semakin menjauh.

Sayangnya nasib baik belum berpihak sepenuhnya pada Ara. Tinggal beberapa langkah lagi menuju kelas, bel tanda istirahat selesai berbunyi. Mau tidak mau dia harus menunggu sampai istirahat kedua agar bisa berbicara pada Chika.

Apes memang tidak memandang suku, agama, ras, dan merk celana apa yang kamu pakai. Apes ya apes. Bahkan sampai istirahat kedua Ara tak punya kesempatan bicara pada Chika. Tepat bel berbunyi, gadis itu langsung keluar kelas begitu saja. Tak berniat mengejar karena merasa bukan waktu yang tepat Ara memilih diam di kelas sambil menyusun kata yang akan dia ucapkan pada Chika nanti.

Akhirnya saat jam pelajaran berakhir barulah dia mendapatkan kesempatan itu. Suasana kelas sudah cukup sepi. Tinggal beberapa siswa yang masih bersiap untuk meninggalkan kelas. Indah, Aldo dan Sholeh yang paham situasi juga sudah keluar sejak tadi meninggalkan Ara dan Chika.

"Dijemput pak Maman?" Tanya Ara menghampiri Chika. Yang ditanya hanya mengangguk.

"Kok masih disini? Yuk aku temenin keluar."

"Ban bocor." Jawaban singkat namun Ara mengerti.

"Ya udah aku temenin ya." Ucap Ara kemudian duduk disamping Chika.

Hening selama beberapa menit hingga kelas hanya tersisa mereka berdua.

"Pulang aja. Aku nunggu sendiri gapapa." Ucap Chika tiba-tiba.

"Gak ah. Aku pulang kalau kamu juga pulang."

"Nunggu doang ga akan bikin aku kenapa-napa. Pulang aja."

"Gak."

"Pulang."

"Gak."

"Pulang Ara ga usah ngeyel!" Chika mulai kesal.

"Orang gak mau pulang kok dipaksa!"

"Terserah!"

Merasa percakapan ini jika diteruskan tak ada gunanya, Ara akhirnya mengungkapkan kegalauan hatinya sejak jam istirahat tadi.

"Aku minta maaf kalau udah bikin kamu kesel."

"Siapa yang kesel?" Tanya Chika bingung.

"Kamu tadi.....pas di kantin..."

"Ngapain juga aku kesel."

"Jadi ga kesel?"

"Tau ah!"

"Berarti kesel?"

"Ara! ga usah mulai!"

"Iya kamu kesel. Karena Mira kan?"

"Dih enak aja! Mau Mira kek, mau satu sekolahan deketin kamu, bukan urusan aku!" Jawab Chika acuh.

"Oh ya udah. Berarti kalau aku chat-chatan sama dia gapapa kan?"

"Terserah!" Setelah mengatakan itu Chika kemudian berdiri, menggendong tasnya kemudian berjalan keluar kelas.

"Tunggu!" Ara kemudian menghadang Chika sebelum ia beneran keluar kelas.

"Minggir! aku mau pulang."

"Pak Maman udah datang?"

"Belom!"

"Ya udah disini dulu aja."

"Ogah nunggu sama playgirl modelan kek kamu."

"Eh kok gitu? kapan aku suka mainin cewek?"

"Pikir aja sendiri! Minggir!" Ara kekeh tidak membiarkan Chika pergi.

"Maafin aku. Soal Mira aku ga tau kenapa dia tiba-tiba begitu. Baru tadi juga aku ngomong-ngomong sama dia. Emang dia beberapa kali Chat aku, tapi ga pernah aku respon. Sumpah! Aku ga mood ngurusin orang lain disaat kamu sakit kemarin. Kamu lebih penting dari mereka." Ara berusaha jujur. Dia bahkan tidak peduli jika setelah ini Chika akhirnya menyadari perasaannya kemudian menamparnya.

"Ara kamu....."

"Aku minta maaf. Kalau kamu ga suka aku deket-deket mereka kamu tinggal bilang, aku bakal jaga jarak asal kamu ga jauhin aku." Ucap Ara pelan kemudian menunduk.

Tidak ada lagi yang bersuara selama beberapa menit. Keduanya masih berdiri tak bergerak di tempatnya masing-masing. Hingga suara Chika spontan membuat Ara mengangkat kepalanya cepat.

"Ra...aku cemburu...."


TBC.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro