BAB 27 || BIMA
Naga, Jangan Bucin!
❖Bab 27❖
a novel by andhyrama
IG: @andhyrama// Twitter: @andhyrama// Shopee: Andhyrama [an Online Bookshop]
Instagram Bima: @bimaangkasarajo
Setiap makna muncul karena persepsi. Jika tak mampu berpikir positif, cukup berhenti memaknai buruk setiap hal.
Lewat Naga, aku belajar tentang sudut pandang baru. Dia yang mencoba positif pada orang lain.
(◣_◢)
Pre-Question
Absen dulu! Teh, susu, atau kopi?
Komen hadir di tim kalian, ya!
#BucinnyaNaga
#RakyatnyaBima
Just random questions before you read the story!
1. Mana yang lebih menarik? Promo diskon atau promo bonus?
2. Kalau beli novel, pertama yang kalian lihat apanya dulu?
3. Kalian tim pelit minjemin novel, tim suka minjemin, atau justru tim suka minjem?
3. Di novel, kalian suka kalau lihat tokoh utama ....?
4. Kalian paling nggak suka kalau novel kalian ....?
5. Kalian sedih kalau lihat idola kalian ....?
6. Kalian senang kalau lihat idola kalian ...?
Yeah! Aku udah selesai nulis Naga, Jangan Bucin! versi Wattpad! Kasih selamat dan semangat buat revisi untuk versi bukunya, dong!
Happy reading, don't forget to vote , comment, and share!
(◣_◢)
Cowok berkaca mata itu ....?
(◣_◢)
Dari dekat pintu, aku memperhatikan Naga yang sedang menjenguk Petro—aku memakai topi dan masker. Aku menyadari banyak hal dari interaksi mereka. Selama ini, aku mementingkan diriku sendiri. Aku lupa jika aku menggunakan identitas Naga sebagai kamuflase untuk tesku di dimensi ini. Karena egoku, aku hampir menghancurkan persahabatan Naga dan timnya.
Awalnya, mereka memang kagum dengan kemampuanku yang memang jauh di atas rata-rata. Namun, bukan hanya itu yang mereka butuhkan. Mereka butuh sosok kapten dengan personality yang baik. Naga punya itu. Kurasa, aku harus membantunya.
Dari pertama bertemu, aku menganggap Naga adalah sosok yang payah, lemah, dan tidak berguna. Nyatanya dia tidak seburuk itu. Aku tidak akan mengakui ini di depannya, tetapi dia adalah sosok yang kurasa cukup hebat. Aku tidak perlu menjelaskan kenapa aku berpikiran begitu, tetapi orang yang memperhatikannya, pasti akan mengerti.
Ini tengah malam. Aku dan Naga makan bersama di kamarnya.
"Gimana masakan gue, Pangeran?"
Jujur, masakan yang dia berikan padaku ini sangat enak. "Tidak buruk untuk dimakan seorang Pangeran," jawabku yang kemudian menghabiskan sop ikan kakap ini.
Dia tertawa kecil. "Tapi Pangeran ngabisinnya cepet banget," ujarnya yang baru makan beberapa sendok.
"Kau saja yang lambat."
"Maaf, Pangeran," kata Naga.
"Untuk apa?"
"Untuk ketidakpekaan gue," jawabnya. "Selama ini, gue ngerasa kalau gue cuma manfaatin Pangeran buat hengkang dari klub. Gue nggak mikirin perasaan Pangeran yang tertekan sama tugas-tugas di istana. Gue kesel sama sifat Pangeran yang sombongnya sampai ubun-ubun tanpa nyoba ngertiin sesuatu di baliknya."
"Aku lebih tidak peka darimu," jawabku. "Kau pasti juga ikut tertekan sama perubahan yang ada. Dianggap sempurna tidak mengenakan, bukan?"
Naga diam, lalu dia mengangguk dan tersenyum padaku.
"Aku akan membantumu belajar untuk ujianmu, aku juga akan mengajarimu bermain bola," ungkapku.
"Pa-Pangeran mau melakukan itu untukku?"
"Tunggu. Ada satu hal."
"Apa itu, Pangeran?"
"Aku menyadari jika di sini aku bukanlah Pangeran. Panggil saja Bima."
Wajahnya seperti tidak percaya. "Apa artinya ... kita berteman?"
Aku mengangguk.
"Oke. Mulai hari ini. Naga dan Bima adalah teman!" ungkapnya dengan senang.
(◣_◢)
"Aku nggak suka kamu kayak gitu," ujar Maya.
Aku dan Maya berkencan di sebuah taman. Duduk berdua di bangku taman, dia memarahiku setelah membaca beberapa artikel dan berita soal kekalahan sekolahnya. Dalam artikel-artikel itu, aku mendapat banyak pujian sekaligus kritikan. Walau aku terlihat hebat, tetapi mereka berpikir bahwa aku tidak mengerti esensi sebenarnya permainan sepak bola. Kerja tim.
"Maaf. Saya memang bodoh melakukan semua itu. Di pertandingan kemarin, emosi saya sedang tidak bisa dikontrol. Saya mengambil alih bola sendiri, mencetak gol sendiri, dan tidak memedulikan tim saya," ungkapku mengakui. "Saya sudah sadar, seberapa hebat apa pun, kita tidak akan bisa hidup tanpa orang lain."
Maya memandangku, melunturkan mimik kesalnya, dan tersenyum. Namun, itu hanya bertahan sebentar. Wajahnya kini tampak khawatir. "Tim sekolahku dimarahi habis-habisan sama pelatihnya. Aku dengar rumor kalau mereka semua benci kamu. Bagaimana kalau mereka datang dan melakukan sesuatu ke kamu?"
Aku merapikan rambutnya, menaruhnya ke belakang telinga, lalu mengelusnya pelan. "Tidak perlu ada yang dikhawatirkan. Saya bisa menjaga diri."
Dia menoleh padaku. Memandangku dengan penuh perasaan. "Kamu selalu aja mikir kalau semua bakal baik-baik aja. Aku tuh nggak mau kamu kenapa-kenapa!"
Aku tertawa kecil.
"Kok malah ketawa sih!" Dia tambah kesal.
"Soalnya kalau kamu sedang marah, saya makin gemas," kataku.
"Gemas palamu buntung! Janji!"
"Janji apa?"
"Janji kalau kamu bisa jaga diri kamu dan orang-orang yang harusnya kamu lindungi," kata dia.
Itu janji yang cukup besar, tetapi aku tidak mau mengecewakannya. "Saya janji."
(◣_◢)
"Oper!"
Naga menendang bola ke arahku. "Tangkap!" serunya.
Kami berlatih di lapangan yang komplek, tentu saja aku memakai masker dan topi agar tidak ada yang mengenali wajahku yang mirip dengan Naga.
"Kau ngopernya ke mana, sih?" Aku kesal karena dia menendang tidak tahu arah. Namun, aku tidak boleh memarahinya.
"Sori, Bim!"
Aku membawa bola padanya. "Saat mau oper bola kau harus bisa bedakan posisi temanmu, itu berguna agar kau bisa mengira-ngira kekuatan untuk passing bolanya."
"Oke, ayo coba lagi."
"Tapi harus kuakui, caramu menggiring bola udah lumayan," pujiku untuk mengapresiasinya. Dia pun langsung kelihatan lebih semangat.
Semi final ditunda, karena murid-murid disuruh fokus untuk persiapan ujian. Jadi pertandingan itu baru akan diadakan hari Sabtu usai ujian akhir semester, lalu finalnya pada hari Sabtu berikutya. Itu artinya, waktuku sudah kurang dari tiga minggu di sini. Naga semangat berlatih karena dia bilang, setelah misiku selesai dia tidak ingin lari lagi dari tanggung jawab. Dia akan meneruskanku menjadi kapten.
(◣_◢)
Maya marah. Aku tidak tahu kenapa. Dia tidak membalas pesanku ataupun mengangkat panggilanku. Aku pun berinisiatif ke rumahnya. Namun, dia tidak ada di rumah.
"Nenek, Maya ada di mana?"
"Tadi dia pulang sekolah, lalu langsung pergi membawa setumpukan kertas. Nenek tidak tahu dia ke mana," jawab Nenek. "Dia hanya bilang, kalau dia mau cari uang tambahan."
Tumpukan kertas? Uang tambahan?
Mengendarai motor ini, aku mencari-cari Maya. Nenek bilang, dia jalan kaki jadi pasti tidak jauh perginya. Setelah berputar lebih dari setengah jam, aku melihatnya berada di pinggir jalan. Dia sedang membagi-bagikan selebaran pada pengendara motor yang lewat. Aku pun berhenti di depannya.
"Mana buat saya?" tanyaku.
Dia tampak kaget, tapi wajahnya langsung jadi kesal.
"Pergi!"
"Maya, kamu kenapa?"
"Aku bilang pergi!" Matanya memerah, berkaca-kaca. Apa yang terjadi?
Peka! Bima, ayo Peka! Aku tidak tahu salahku, tetapi aku tetap harus minta maaf. "Maya, bisa kamu maafkan saya?"
Dia menatapku dengan tatapan yang kecewa. Aku tidak tahu arti kekecewaannya. "Kenapa kamu pinter banget bohong, sih? Kenapa kamu pinter banget akting?!"
Tiba-tiba, aku memikirkan sesuatu. Apakah dia baru bertemu Naga yang asli?
Aku memarkirkan motor ini. Lalu meminta separuh selebaran yang ada di tangannya. "Ayo kita lakukan bersama," ujarku yang mulai ikut membagikan selebaran ini.
"Maaf."
"Saya yang minta maaf."
"Aku harusnya ngerti kalau ayahmu benar-benar nggak mau lihat kamu pacaran. Aku egois karena pengin hubungan kita diketahui semua orang," ungkapnya yang masih menangis.
"Turnamen akan berakhir kurang dari tiga minggu. Jika saya menang, dia akan membebaskan saya berpacaran," ungkapku.
Dia mengangguk, tetapi aku masih mendengar sisa-sisa isakannya.
"Seberapa kuatnya saya, saya tetap akan lemah kalau melihat perempuan menangis," kataku yang tidak tega menatapnya.
Maya berhenti terisak. Lalu, menepuk lenganku. Aku menoleh padanya, dia tersenyum padaku. "Aku udah senyum nih."
Kenapa aku bisa membawanya sampai ke sini? Sampai di titik kalau aku akan terus membuat gadis yang begitu berharga ini menangis? Aku benar-benar egois, memilih mengungkapkan cinta dan menjalin hubungan dengannya atas nama Naga. Aku terlena dengan kehidupan di sini, hingga lupa jika aku punya peran lain.
Apakah aku putuskan saja dia sekarang untuk menghindari sakit hati yang lebih besar padanya nanti? Namun, aku tidak siap. Aku tidak mau menghilangkan senyumnya lagi.
Aku pun tersenyum padanya. "Di sini kurang ramai. Mau berkeliling membagikan ini?" tanyaku seraya menunjukkan tumpukan selebaran di tanganku
Dia mengangguk mau.
Di bawah cahaya matahari sore kota Jakarta. Kami berboncengan, menghabiskan sisa-sisa brosur. Kami berhenti di sebuah lapangan, duduk di rumput sambil minum es teh. Mengobrol santai mengenai banyak hal, aku mulai merasa makin sayang dengan Maya.
"Anak panah selalu berhasil ngalirin emosiku, itu kenapa aku suka sekali memanah," ungkapnya. "Kamu tahu siapa idolaku?"
"Siapa?"
"Ibu kamu!" Maksud dia, ibunya Naga.
"Dia atlet yang keren. Seorang legenda. Waktu aku masih SD, aku pernah melihatnya memanah di sebuah acara olahraga. Dia seperti Srikandi, begitu anggun, begitu cantik, tetapi terlihat begitu tegas dan kuat. Sayangnya, dia pensiun dini. Harusnya, dia bisa jadi pelatih panahan. Namun, dia tetap hebat. Merelakan semua itu untuk keluarganya."
Maya memandangku dengan pancaran harapan di matanya. Tiba-tiba, aku menyadari sesuatu. Mungkinkah, dia tidak menyukaiku? Di matanya, aku adalah Naga. Di matanya, aku adalah anak dari idolanya. Dia suka Naga, dia pasti akan sangat senang jika bertemu lagi dengan ibu Naga. Jika dia tahu siapa sebenarnya diriku, orang yang mengaku sebagai Naga, mungkin dia akan sangat kecewa. Kenapa tidak ada happy ending yang bisa kulihat dari hubungan kami?
Kami pulang cukup di hari yang mulai gelap, di jalanan yang sepi aku merasa ada yang mengikutiku. Melalui kaca spion, aku melihat ada dua motor di belakangku. Aku menekan gas, lebih cepat.
"Bima!" Maya memelukku makin karena kaget.
Sialan! Dua motor itu juga ikut mempercepat lajunya hingga mereka mampu mendahuluiku, menghadangku. Empat orang turun dari motor dan melepas helm masing-masing.
"Doni?" kata Maya.
Aku kenal dia. Anak itu kapten kesebelasan SMA Pemuda.
"Turun!" kata anak yang namanya Doni itu.
"Ada urusan apa?" tanyaku yang kemudian turun dari motor diikuti Maya.
"Lo udah bikin kami semua malu. Bikin kami dihukum pelatih dan sekarang, kami ingin menghukummu untuk itu!" ujarnya.
"Jadi, kalian menyalahkan orang lain untuk kegagalan kalian sendiri?" tanyaku.
"Langsung aja!" Doni memberikan aba-aba pada tiga rekannya.
Aku meminta Maya untuk minggir. Ketiganya langsung menyerangku, dengan mudah aku bisa menghindar. Doni datang dengan pukulannya, tetapi tangannya mampu kuraih dan aku memutarnya hingga dia kesakitan. Tiga yang lain kembali melawan, mencoba menendang, dan menyekapku dari belakang.
Aku tidak dilahirkan untuk melawan tiga amatiran seperti ini. Serangan mereka sangat lemah, koordinasinya sangat buruk, keempatnya juga tidak cukup kuat untuk membuat pukulan mereka terasa sakit bagiku. Dengan mudahnya, aku mampu melepas sekapan, melakukan serangan balik. Dua orang kujatuhkan, satu lagi kesakitan, tinggal Doni yang mulai memasang wajah cemas.
"Ini yang namanya hukuman?" tanyaku dengan santai.
Doni marah, dia mendekat dan ingin kembali melawan. Kuhindari dengan menunduk, lalu kukunci tubuhnya, kuangkat, dan kujatuhkan ke tanah. Selesai. Mereka berempat pergi dengan umpatan akan kembali lagi.
Maya menatapku dengan cemas di pinggir jalan. Dia hampir menangis, tetapi tidak akan kubiarkan. Aku mendekatinya. "No. Jangan. Semua baik-baik saja. Saya tidak apa-apa."
"Tidak apa-apa ginjalmu! Gimana kalau mereka balik lagi? Gimana kalau mereka balas dendam dan bawa massa lebih banyak?!" ungkapnya dengan emosional.
Dengan pelan, aku menariknya ke pelukanku. "Jangan khawatirkan saya. Itu tidak akan ada habisnya. Percayalah kalau saya akan terus baik-baik saja."
(◣_◢)
Tekan tombol ★ kalau kamu suka part ini!
Jangan lupa jawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini, ya!
Question Time
1. Apa pendapat kalian tentang bab ini?
2. Bagian paling kalian suka di bab ini?
3. Pendapat kalian tentang pertemanan Naga dan Bima?
4. Kalian tega nggak kalau tokoh utama dibuat menderita?
5. Menurut kalian Maya cintanya sama Naga apa Bima?
6. Kalian nunggu banget nggak sih Naga jadian?
7. DI BAB 28, BAKAL ADA HAL YANG KALIAN TUNGGUIN! APA ITU?I JAWAB PAKAI CAPSLOCK!
Yang nggak sabar buat baca Bab 28, komen: Naga, jangan loyo!
Sampai Jumpa hari Jumat!
Mana tim kalian?
#BucinnyaNaga vs #RakyatnyaBima
#NaGadis vs #BiMaya
(◣_◢)
Ekspresi gue kalau ditagih utang.
(◣_◢)
Jangan lupa untuk follow:
@andhyrama@andhyrama.shop
Akun role player:
@nagaputramahendra || @bimaangkasarajo || @gemaputramahendra || @gadisisme || @mayapurnamawarni || @gemiputrimahendra || |@agumtenggara
Akun fanpage:
@team_nagabima
di Instagram!
(◣_◢)
GRUP CHAT!
#BucinnyaNaga || #RakyatnyaBima || #RakyatBucin
GC yang open member akan diinfokan di Instagram Naga dan Bima, ya!
Syarat: Follow IG: @andhyrama, @nagaputramahendra, dan @bimaangkasarajo
Follow Wattpad: @andhyrama
Link: Di bio Instagram @nagaputramahendra atau @bimaangkasarajo
Note: Tidak boleh masuk lebih dari satu grup.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro