BAB 18 || BIMA
Naga, Jangan Bucin!
❖Bab 18❖
a novel by Andhyrama
www.andhyrama.com// IG: @andhyrama// Twitter: @andhyrama//FB: Andhyrama// Ask.fm: @andhyrama// Shopee: Andhyrama
Instagram Bima: @bimaangkasarajo
(◣_◢)
Ada waktu di saat kita hanya ingin jadi orang yang sederhana, tanpa tekanan, tanpa beban, dan tanpa harapan orang-orang pada kita. Hanya manusia yang ingin bernapas secara bebas.
Saat melihat matanya, aku merasakan itu. Tekanan, beban, dan harapan seperti hilang terbawa angin. Maya, kamu sehebat itu!
(◣_◢)
Pre-Question
Absen dulu! Hari favorit kalian!
Percaya nggak sih sama hari keberuntungan?
Kalau hari-hari sial?
Komen hadir di tim kalian ya!
#BucinnyaNaga
#RakyatnyaBima
Just random questions before you read the story!
1. Kalian pernah nggak sih kalian tiba-tiba lupa nama teman kalian? Aku sering.
Atau sebaliknya, teman kalian yang malah sering lupa nama kalian?
2. Film terakhir yang kalian nonton di bioskop?
Kalau film pertama inget, nggak?
3. Jadi orang tercepat atau jadi orang terkuat?
4. Kalian mending pilih mana? Kalian mencium bau busuk tapi semua orang nggak mencium bau itu, atau kalian berbau busuk bagi orang lain tapi kalian nggak mencium bau itu?
5. Kalian tipe orang yang pengin tetep jadi muda atau udah pengin cepat dewasa?
6. Dari 1-100, seberapa kesel kalian kalau gebetan/bias jadian sama yang lain?!
7. Mau nggak baca sudut pandang tokoh selain Naga dan Bima?! Aku kan udah bilang mau kasih part bonus itu! Tapi kalian baca dulu ya pengumumannya di bawah!
Selamat membaca! Jalan lupa vote kalau suka,dan komentar sebanyak-banyaknya!
Ups! Share juga ya ke media sosial kalian biar makin banyak yang baca! Tag @andhyrama dan @beliabentang (@nagaputramahendra juga kalau bisa di-tag)
(◣_◢)
Hai, Maya!
Itu ada ikan Mas, tapi kok kamu yang lebih shining, shimmering, splendid, ya?
(◣_◢)
"Saya boleh lihat kamu memanah?" tanyaku ke Maya.
Gadis di sampingku ini tampaknya bingung. Mungkin, karena bahasaku yang terlalu formal. Namun, aku tidak bisa memakai bahasa Naga di depan gadis ini. Rasanya, dia terlalu istimewa untuk diajak mengobrol dengan bahasa seperti itu.
"Lo kenapa jadi aneh, dah? Udah lama sih kita nggak ketemu. Tapi, kenapa berubahnya drastis banget?" ujarnya yang kemudian tertawa.
"Segala hal berubah, kamu juga berubah."
"Gue? Berubah gimana?"
"Saya tidak bisa jelaskan. Yang jelas, ada perubahan di diri saya saat lihat kamu sekarang," jawabku.
Dia menabok dahiku. "Kesurupan apa sih lo!" Maya tertawa.
Menabok pangeran seperti itu harusnya dihukum seumur hidup atau dipancung. Akan tetapi, kenapa aku senang ya?
"Perlihatkan pada saya!"
"Kan lo udah sering lihat, di Instagram gue juga banyak!"
Instagram itu dipakai manusia di dimensi ini biar dianggap eksis, biasanya menjadi tolak ukur popularitas. Namun, banyak akun palsu sehingga memungkinkan cyberbully merajalela. Di Bataranusa, kami hanya punya satu media sosial dengan foto dan data diri asli. Aku tidak mengerti mengapa orang-orang di sini sangat suka berbagi foto diri sendiri di Instagram. Namun, kalau fotonya Maya aku rasa tidak masalah.
"Ingin lihat secara langung. Lagi."
"Iya, iya! Ini pas mereka udah pada istirahat, ya!" serunya yang seperti kesal, tapi ekspresi kesalnya manis sekali.
Saat Gemi dan peserta lainnya sudah selesai bertanding babak pertama—tentu saja Gemi lolos, Maya menunaikan janjinya. Dia mengambil panah dan busurnya. Tatapannya benar-benar luar biasa. Ada gelora saat anak panah terlepas dan meluncur ke target. Tepat di titik merah, aku langsung bertepuk tangan.
"Ga, gue serius. Lo kenapa?"
"Mungkin, jatuh cinta," jawabku santai.
"Ke gue?" Maya menunjuk dirinya.
Aku mengangguk. "Apa tidak boleh?"
Di Bataranusa, aku bebas jatuh cinta dengan siapa saja. Tidak pernah ada penolakan. Namun, biasanya kami hanya berkencan sehari—jalan-jalan, lalu makan malam, atau pergi ke pesta kerajaan—dan kemudian aku akan berganti yang lain. Itu bukan karena aku tidak setia. Sebenarnya, aku hanya ingin menaikkan kepercayaan diri mereka. Karena aku selalu jatuh cinta pada perempuan yang punya bakat yang pantas untuk diketahui orang banyak.
Popularitas perempuan yang pernah kukencani akan langsung melonjak drastis. Nasib mereka pun akan berubah karena lebih banyak orang yang mulai hormat. Tentu saja, ini sangat positif karena banyak sekali gadis yang berharap menjadi teman kencanku dan mereka berjuang mati-matian belajar dan mengembangkan bakat untuk menarik perhatianku. Walau aku tidak akan mengencani mereka semua, tetapi itu bagus sebagai motivasi. Sejauh ini, sudah 99 perempuan yang aku kencani. Kurasa, aku sedang melihat yang keseratus.
"Sinting lo, Ga."
"Kenapa?"
"Lo kalau ngerjain gue jangan gini," kata dia yang wajahnya memerah.
"Saya serius."
"Gue tuh suka sama lo dari dulu. Lo pasti tahu dan lo ngelakuin ini biar gue sakit hati, kan?" Dia tampak marah, tapi masih saja lucu.
Aku mengernyitkan dahi. "Tidak, sama sekali tidak. Saya serius. Saya bisa buktikan."
"Buktikan apa?"
"Buktikan kalau saya jatuh cinta."
"Oke, gue tunggu," kata dia yang kemudian melangkah untuk pergi.
"08 ..., itu nomor saya yang baru!"
Dia kembali padaku, mengeluarkan ponsel, dan menonjokkannya ke dadaku. "Ya diketik di sini, Bisul Kuda! Mana gue bisa langsung hafal. Heran."
Oh iya, Maya masih manusia dimensi terbelakang ini. Jadi, dia tidak bisa menghafal dengan mudah. Tidak masalah. Bodoh juga tidak apa-apa.
(◣_◢)
"Bang, lo mau ngasih donasi ke klub panahanku, kan?" tanya Gemi. "Klub kami lagi buat penggalangan dana buat anak-anak miskin."
"Nggak," jawabku yang sekarang sedang berbalas pesan dengan Maya di dalam mobil ini.
"Biasanya Bang Naga rajin banget kalau disuruh kasih donasi," kata Gemi yang sepertinya kesal.
Bukannya aku tidak mau berdonasi. Aku memang punya uang di kartu hitam serbagunaku ini—sudah disesuaikan dengan kurs Indonesia. Namun, aku tidak mau berdonasi apa pun di dimensi ini. Aku tidak pelit, tetapi aku memikirkan rakyatku. Masih ada rakyatku yang belum sepenuhnya bebas dari kemiskinan. Aku lebih baik membantu rakyatku sendiri daripada rakyat di negeri orang. Itu sama saja dengan memberikan makan ke tetangga ketika keluarga sendiri sedang kelaparan.
"Aku lihat Abang ngobrol terus sama Kak Maya," ocehnya. "Kak Maya dari dulu suka Bang Naga lho. Katanya Bang Naga itu lucu." Jadi, Maya memang benar suka anak macam Naga? Seleranya rendah juga. Akan aku bantu naikkan—dengan membuatnya lebih menyukaiku, Bima.
Naga 2: Bagaimana dengan Sabtu? Saya ada pertandingan babak penyisihan. Kamu bisa menontonnya dan kemudian kita bisa jalan.
Maya: Boleh. Tapi ke mana?
Naga 2: Serahkan pada saya.
Maya: Oke.
Naga 2: Saya akan persiapkan hal yang menarik untukmu.
Maya: Nggak usah repot-repot. Lo doang udah cukup menarik buat gue.
Naga 2: Kalau tidak bersedia repot untuk orang yang kita sayangi, tidak perlu repot-repot juga mengaku sayang.
Maya: Bisa aja lo, Jerawat Tapir!
"Bang, kucing lo mana?" tanya Gemi.
Astaga! Jendral ketinggalan!
(◣_◢)
Semua berjalan manis. Jendral yang ketinggalan di SMA Pemuda ternyata mampu mengikuti Maya dan mendapatkan banyak info untukku. Lalu, aku sudah mendapat izin Ayah untuk menaiki motor MV Agusta F4 RR warna merah ini. Dengan sekali latihan mengelilingi komplek, aku dengan mudah bisa mengendarainya.
Di Bataranusa, kami juga punya kendaraan seperti motor yang namanya Volta. Kendaraan itu jauh lebih canggih dengan lintasan layang dan kecepatan yang bisa melebihi kecepatan suara. Kami sering mengadakan kompetisi balapan. Tentu saja, aku pernah memenangkan peringkat pertama.
Aku menuju ke sekolah Naga untuk bertemu dengan teman-temannya. Kami akan menjalankan babak penyisihan di SMA Satria. Tentu saja, kami berencana untuk ke sana bersama. Saat berkumpul di depan sekolah, mereka semua langsung keheranan saat aku membuka helm full face ini.
"Naga, lo bawa motor?" tanya Petro yang bingung. "Moge lagi. Terakhir, lo pake motor gue nabrak gerobak Susu Murni Nasional."
"Badass banget emang kapten kita yang sekarang," Erza mendekatiku dan menepuk pundakku. "Ingat kan dulu, dia sok banget nggak mau naik motor. Sekarang, Naga itu sosok yang selama ini kita inginkan ada di tim kita. The real man!"
"Tapi Naga yang dulu juga nggak salah. Nggak semua cowok harus bertindak macho untuk disebut cowok," ujar Fariz yang memang ada benarnya.
"Ya, Naga yang dulu cuma pengin senang-senang sama hobinya, masak," Petro mengiyakan kata-kata sahabatnya.
"Kalian kok tiba-tiba jadi aneh? Udah jelas Naga yang sekarang seribu kali lebih oke. Yang lalu biarlah berlalu, sekarang dukung kapten kita!" Erza memandangku dengan wajah seperti bangga.
"Udah semua, kan? Ayo jalan!" Aku memakai helmku lagi dan kemudian memimpin pasukan yang semuanya memakai motor ini ke lokasi pertandingan.
Bukan pertandingan yang membuatku semangat pagi ini, tetapi dia. Gadis pemanah dengan mata sebening embun dan rambut selembut sutera. Gadis yang membuatku hampir tidak tidur semalaman. Maya Purnama Warni. Kita akan bergandengan tangan di bawah bulan purnama malam ini.
(◣_◢)
Babak penyisihan telah selesai. Kami masuk 32 besar dan itu artinya klub ini maju ke turnamen. Anggota tim sangat senang karena ini pertama kalinya kami masuk turnamen sebesar ini. Pak Syamsul menumpukan harapan besar padaku. Dia mengatakan jika aku adalah kunci keberhasilan klub ini. Ya, aku sadar akan hal itu, tanpa aku mereka tidak akan bisa.
Saat kudekati di dekat tribune, gadis itu tersenyum. Aku membalas senyumnya dengan bangga. "Gue nggak tahu, lo bisa sekeren itu. Tiga gol tanpa balas. Cewek-cewek di tribune semua nggosipin lo tahu nggak?"
"Saya yakin banyak pemuda juga jatuh hati saat melihatmu memanah," ujarku. "Termasuk saya."
Pipinya memerah. "Ki-kita mau ke mana?"
Aku menjulurkan tanganku padanya. "Ayo."
Dia menyembunyikan senyumnya. Manis sekali. Menggigit bibir bagian bawahnya, Maya menerima juluran tanganku. Tangannya sedikit kasar, menunjukkan bahwa dia bekerja begitu keras dengan tangan ini. Aku semakin kagum.
"Kalau terlalu cepat, peluk saja," kataku saat mulai memboncengkannya—dia membawa helm sendiri.
"Iya. Modusnya ketahuan banget deh!" Dia bilang begitu, tetapi tidak memelukku. Aku menyalahkan jalan yang macet! Kalau kami berkencan di Bataranusa, dia pasti sudah memelukku sangat erat karena seorang anggota kerajaan punya jalan sendiri yang bebas dari kendaran lain.
Dari sore, kami berjalan-jalan di Kota Tua. Dia mengajakku berfoto berkali-kali. Sampai mengajariku selfie. "Ini bagus, lo ganteng banget."
"Benarkah?" Aku memandangnya.
Dia seperti menelan ludah, lalu mengangguk. "Boleh nggak, a-aku jadiin lockscreen?"
"Aku?" Aku tersenyum karena dia mulai mengubah sapaan untuk dirinya.
Maya mendorongku. "Gu-gue. Gue."
"Tidak apa-apa kok kalau mau pakai aku-kamu."
"Tapi kan kita belum pa—"
Aku menempelkan jariku di bibirnya. "Ayo kita lanjut ke tempat utama."
Dia mengangguk. Kami pun berpindah tempat. Sebelumnya, aku sudah menyewa sebuah kafe yang cukup romantis. Kafe di atas sebuah menara—rooftop.
"Lo nyewa tempat segede ini cuma buat gue?"
Ini kecil, Maya. "Kenapa tidak?"
"Iya iya, yang anaknya sultan mah beda." Dia tertawa.
Kami menuju sebuah meja yang sudah ditata dengan lilin dan bunga. Menarik kursi, aku mempersilakannya duduk. Dengan malu-malu, Maya duduk di kursi itu. Lalu, aku duduk di depannya. Kami saling berpandangan sebelum dia mengalihkan matanya untuk memperhatikan sekeliling.
"Bu-bulan purnama," ujarnya seraya menunjuk langit.
Aku mengangguk tanpa menoleh ke arah yang dia tunjuk. Kenapa harus melihat bulan purnama kalau ada gadis secantik ini di depanku?
"Kamu lebih suka saya yang dulu apa yang sekarang?" tanyaku.
Dia tampak kaget. "Lo yang dulu emang kelihatan lembek, agak tolol juga, tapi gue suka lo yang banyak bercanda dan peduli banget sama Gemi. Tapi lo yang sekarang ...." Dia menelan ludahnya, memandangku dengan mata yang tampak penuh keraguan. "Lo kelihatan ... sempur—"
Aku menggeleng. "Itu kamu."
Dia tampak sangat gugup dengan pipi yang merah padam. Aku ingin menarik tangannya, tetapi terganggu karena ada tiga pelayan datang membawa hidangan. Saat mereka pergi, alunan musik akustik yang romantis terdengar.
"Selamat makan," kataku.
"Gue nggak paham table manner," kata dia dengan polosnya.
"Makan sebisamu saja," kataku seraya menahan senyum.
Sembari makan, aku terus memperhatikannya. Sesekali, dia melirik ke arahku karena tahu sedang kuperhatikan. Lucu sekali.
Lewat informasi dari Jendral, Maya punya nasib yang tak seindah namanya. Ayahnya sudah meninggal dan ia hanya hidup dengan nenek dan adik laki-lakinya—Jendral tidak tahu ibunya di mana. Selain menjadi atlet dan pelatih panahan, dia juga membantu neneknya menjaga warung, berbelanja, dan mengurus pekerjaan rumah. Seorang gadis yang kuat.
"Pelan-pelan minumnya," kataku saat dia mulai meminum jus jeruk itu.
"Eh," ujarnya saat menyadari sesuatu di gelas itu.
"Untukmu," kataku.
Dia mengambil cincin dari gelas itu dengan sendok, lalu membersihkannya dengan tisu. "I-ini berlian?"
Aku mengangguk. Lalu meminta cincin itu, menarik tangannya yang gemetaran. Aku memasangkan cincin itu ke jari manisnya. "Kamu mau jadi kekasih saya, kan?"
Dia tampak kaget.
"Saya ingin jadi seseorang yang setidaknya bisa membuatmu sadar bahwa kamu adalah sosok yang istimewa, yang pantas dicintai dan dibanggakan."
"Na ... ga."
"Gadis sepertimu adalah satu dari sejuta yang bisa menarik saya," ungkapku yang menghilangkan tiga kata terusannya saat mengingat aku bukanlah Bima di matanya. Tiga kata itu adalah pada pandangan pertama.
"A-aku mau," jawabnya.
Gadis keseratus yang mengiyakan permintaanku ini tampaknya punya faktor x yang membuatku sulit mengalihkan pandangan dari wajahnya. Apa karena dia jodohku? Bima, jangan halu!
(◣_◢)
Aku bisa mempercepat laju motor ini, itu berhasil membuat Maya memelukku erat dari belakang. Perasaan yang hangat muncul. Walau tanpa kata-kata, kami berdua merasakan rasa yang sama. Kasmaran? Mungkin itu. Sejenak, aku melupakan segala hal tentang kerajaan, posisiku, kewajibanku, turnamen, dan hal-hal yang memenuhi pikiranku sebelumnya. Sekarang, yang ada hanya perasaan seorang pemuda enam belas tahun yang sedang jatuh cinta. Sesederhana itu.
Keinginan kecil muncul di dalam diriku, angan yang pernah tebersit sebelumnya, berhenti menjadi Pangeran. Hidup sebagai rakyat biasa. Lepas dari sorotan semua orang. Berhenti berusaha untuk bisa melakukan segalanya. Menjalani hari dengan normal dengan orang-orang yang aku sayangi. Mirisnya, itu hanya angan-angan yang tak akan bisa terwujud.
"Terima kasih, Pangeran," kata Maya saat turun dari motor—di depan jalan menuju rumahnya.
Aku tersenyum. "Kenapa memanggil saya begitu?"
"Aku nggak tahu. Mungkin hanya perasaanku, tapi hari ini kamu kayak pangeran dari negeri dongeng. Pangeran yang menyukai gadis biasa," ungkapnya.
Aku menggeleng. "Kamu bukan gadis biasa. Kalau kamu bilang kayak gitu, kamu menyepelekan saya. Saya tidak pernah memilih gadis biasa."
Dia kemudian tertawa. "Bahasamu. Ya, bahasamu yang membuatku berpikir kamu adalah pangeran."
"Perlu saya ganti?"
Dia menggeleng. "Nggak. Aku suka." Jarinya menyentuh ujung hidungku. "Hati-hati ya. Pangeran!"
Aku membalas menyentuh hidungnya. "Baik, Tuan Putri."
Kami berpandangan dengan senyuman. Sampai akhirnya, dia membalik dengan gugup dan melambaikan tangannya padaku. Aku mengamatinya berjalan memeluk helm itu. Sesekali, dia memperhatikan jari manisnya, tempat cincin bermata berlian itu terpasang.
Maya, mungkin kebersamaan kita tidak akan lama. Akan tetapi, akan aku pastikan bahwa ini akan menjadi kenangan indah yang tak akan terlupa untuk kita berdua.
(◣_◢)
Tekan tombol ★ kalau kamu suka part ini!
Jangan lupa jawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini, ya!
Question Time
1. Apa pendapat kalian tentang bab ini?
2. Bagian paling kalian suka di bab ini?
3. Pendapat kalian tentang Maya?
4. Kehadiran Maya bakal buat Bima jadi positif atau justru berdampak negatif?
5. Cantikan Maya apa Gadis?
6. Menurut kalian, Bima udah bucin belum? Tapi bucinnya beda banget kan sama Naga?
7. Di Bab 19, Jendral is back! Mana nih bucinnya Jendral? Wkwk.
Yang nggak sabar buat baca Bab 19, komen: Bima, lo Maya gue Jendral aja!
#BucinnyaNaga vs #RakyatnyaBima
Komen #NagaUcul untuk Naga dan #BimaBadass untuk Bima!
#NaGadis vs #BiMaya
Komen #TimSelow untuk NaGadis dan #TimGercep untuk BiMaya!
Sampai jumpa di hari Senin pukul 18:00!
(◣_◢)
SIDE || GEMA
Berdasarkan poling, pada pengin baca sudut pandang Gema. Pengin segera di-posting?
Caranya mudah vote semua part cerita ini dari awal sampai part ini, ya! [Coba cek satu-satu dari awal, siapa tahu ada yang belum ke-vote] Setelah yakin komen di bawah ini!
Komen "done" di sini kalau udah!
Ditunggu ya!
(◣_◢)
Jangan lupa untuk follow:
@andhyrama
@andhyrama.shop
Akun role player:
@nagaputramahendra
@bimaangkasarajo
@gemaputramahendra
@gadisisme
[New] @mayapurnamawarni
[Coming Soon]
Agum
Gemi
(。♥‿♥。)
GRUP CHAT!
Syarat masuk grup:
Follow IG: @andhyrama @nagaputramahendra @bimaangkasarajo
Follow Wattpad: @andhyrama
Baik grup #BucinnyaNaga ataupun #RakyatnyaBima memang link masuknya sudah ditutup. Tapi memang grupnya kadang ada yang left jadi bisa saja ada slot untuk gabung. Kalau kalian pengin banget gabung langsung lewat inbox Wattpad-ku @andhyrama atau DM IG-ku @andhyrama, ya! Tapi aku balas kalau emang sedang ada slot ya.
Jangan lupa ikut Giveaway di Bab sebelumya ya, KARAKTER || GA Ya!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro