BAB 17 || NAGA
Naga, Jangan Bucin!
❖Bab 17❖
a novel by Andhyrama
www.andhyrama.com// IG: @andhyrama// Twitter: @andhyrama//FB: Andhyrama// Ask.fm: @andhyrama// Shopee: Andhyrama
Instagram Naga: @nagaputramahendra
Perasaan tidak bisa dipaksakan. Namun, bisa dialirkan. Alirkan perasaanmu pada hal yang baik, pada sesuatu yang membuatmu nyaman. Seperti air yang selalu tenang di wadah yang diam.
Menangis bukan wujud kelemahan. Air mata adalah wujud kelembutan hati.
Meski harapan mendekati nol, masihkan semesta mengizinkan perasaan ini bermuara padanya?
(。♥‿♥。)
Pre-Question
Absen dulu! Apa zodiak kalian?
Apa kalian percaya ramalan zodiak? Alasannya?
Komen hadir di tim kalian ya!
#BucinnyaNaga
#RakyatnyaBima
Just random questions before you read the story!
1. Kalian tipe orang yang kagetan nggak sih?
2. Kalian kalau libur panjang harus pergi ke suatu tempat atau enjoy rebahan aja di rumah?
3. Mana yang lebih sakit, dikhianati sahabat sendiri atau diselingkuhi?
4. Keliling dunia sendiri atau keliling Indonesia tapi ada temennya?
5. Kalau kalian penasaran sama seuatu hal yang pertama kalian lakukan apa? Tim #Gugling atau #NanyaTemen?!
6. Kalau kalian adalah penyanyi, kalian lebih suka jadi solo atau ada di grup?
7.Dari skala 0-100, seberapa lelah kalian hari ini?!
Yang lelah hari ini, semoga Naga bisa bantu hibur kalian, ya!
Selamat membaca, jangan lupa vote komen dan share!.
(。♥‿♥。)
Halo sayang?
Kok diem aja? Jawab dong!
Oh ya lupa, lagi ngehalu.
(。♥‿♥。)
Sakit. Aku masih tidak bisa melupakan apa yang terjadi kemarin. Bang Agum datang ke rumah Kak Gadis. Mereka makan bersama di sana berdua. Tanganku terkepal karena kesal tidak bisa melakukan apa pun. Kenapa aku tidak merampas ayam penyet itu, membuangnya, dan kemudian tertawa jahat? Itu memalukan.
"Lo kenapa?" tanya Kevin yang duduk di sebelahku saat mulainya pelajaran Pak Imam—guru yang begitu pamer karena pernah exchange ke Singapura. Astaga kalau bisa, aku juga mampu exchange ke Mars pakai uang Ayah.
"Mikirin kenapa Indomaret bukanya nggak bulan Maret doang," jawabku ngasal.
"Absen ganjil tetap di sini, absen genap keluar dulu!" Pak Imam tiba-tiba.
Aku benar-benar lupa kalau ada ulangan Bahasa Inggris. Kemarin, sama sekali aku tidak belajar. Walau aku cukup mengerti bahasa Inggris, tetapi aku tidak pandai dalam teknisnya. Tentu saja, aku kesusahan menggarap dua puluh soal ini.
Selesai ulangan, aku keluar kelas sembari duduk di taman memandangi pohon beringin sambil membuka ponsel. Tanganku mengarah ke grup WhatsApp. Biasanya Alan update membicarakan views atau endorse. Sekarang, dia sama sekali tidak muncul. Agak aneh. Memikirkan kejadian di kantin tempo hari saat Juno tampak kesal dan pergi membuatku khawatir. Adakah hubungannya antara keheningan Alan dengan kekesalan Juno?
Dari Alan dan Juno, pikiranku merambah banyak hal. Ayah, Ibu, kedua adikku, Kak Gadis dan Bang Agum, hingga Bima. Aku tidak tahu mengapa aku tidak bahagia sekarang. Aku justru merasa tertekan.
Membuka ponsel lagi, aku menyusuri akun Instagram Kak Gadis. Ada foto Bang Agum di sana. Aku tertawa kecil, mengingat kembali kejadian Minggu malam itu. Sepertinya, aku harus berhenti menjadi bucin.
"Gue join ya," seseorang mendekatiku.
Aku menoleh ke cowok tinggi yang ada di samping bangku taman ini. Dia tidak memakai seragam. Wajahnya cukup tampan, ya walau aku masih tetap punya kepercayaan diri sebagai siswa paling tampan se-Nuski. Namun, siapa dia? Wajahnya tidak asing.
"Sok, silakan Pak." Astaga kenapa jadi panggil Pak?
"Gue emang udah tua, ya?"
"Maaf, Bang. Belum fokus."
Dia tertawa. "Santuy. Makanya, nggak usah ngalamun, entar lo kesurupan Mbak Melati!" ujarnya yang kemudian duduk di sebelahku. "Abis kesurupan, lo bakal muter-muter godain cogan sambil teriak-teriak minta dinikahin," lanjutnya yang kemudian tertawa makin keras. Aku tidak bisa membayangkan diriku berlagak seperti kuntilanak yang mengejar-ngejar cowok.
"Nuski udah banyak berubah, ya," kata dia setelah berhenti tertawa.
Aku diam-diam memotret abang ini dan mengirimkannya ke grup WhatsApp kelasku.
"I-iya, Bang," jawabku. "Abang kurir pengantar katering bukan sih?"
Dia tampak kaget, melotot ke arahku. "Ganteng gini dikira tukang antar katering?"
Alfa: Gebetan lo, Ga?
Kevin: Izin ngakak.
Tiara: Cogan! Ah, dia di mana, Ga? Pengin gue temuin! Bawa pasukan, nih!
Citra: Itu Bang Rangga! Alumni. Dulu, anak futsal berprestasi. Mantan anak pesantren juga. Bucinnya Kak Iris.
"Bang Rangga?" tanyaku.
Dia mengangguk. "Ternyata, gue masih terkenal ya walau udah lulus tiga tahun."
Bang Rangga orangnya percaya diri juga. "Gue Naga Bang," aku mengajak bersalaman.
Dia menjabat tanganku. "Gue tahu lo."
"Kok bisa?"
"Ya kan lo digosipin di mana-mana pas bikin malu SMA Pemuda. Duh, jadi kangen juga pas sering digosipin dulu," ungkapnya yang seperti sedang bernostalgia. "Gue kira ekskul sepak bola nggak bakal berkembang. Selama ini kan selalu kalah sama futsal, soalnya ada gue di situ. Ternyata, sekarang ada lo. Bintang lapangan Nuski." Dia menepuk pundakku seperti seorang kakak angkatan yang bangga dengan adik angkatannya.
Aku dan Bang Rangga kemudian saling mengobrol. Dia bilang sedang kuliah di Malang, tetapi karena ada libur dia berkeinginan untuk ke Jakarta dan mampir ke Nuski. Dengan cepat, kami bisa cukup nyambung.
"Kalau kisah cinta, ya Nuski ini yang jadi tempat besemayamnya benih-benih kebucinan gue, Ga. Ah, kangen Iyisku!"
"Maksudnya Kak Iris, ya?" tanyaku.
"Lo kenal?"
Aku kan hanya membaca chat Citra, aku tidak kenal. "Ya, pokoknya pasti cantik sampai Bang Rangga bucin ke dia."
"Cantik?" Dia tampak mikir.
"Emangnya nggak cantik, Bang? Kok bengong? Ntar kesurupan Mbak Melati!" Aku membalas perkataan dia sebelumnya.
Dia menggeleng. "Nggak bengong. Lagi bayangin aja, eh gue malah terhanyut sama betapa elok rupanya seorang Airis Kasmira, oh jodohku," kata dia yang kemudian tertawa. Kocak juga abang ini. "Bucin itu seru tahu. Lo lagi bucin, nggak?"
Aku bingung mau bilang iya atau tidak. "Penginnya sih gitu Bang, tapi kayaknya dia nggak mungkin bisa gue dapetin."
Dia mendorong bahuku. "Dih, cowok nggak boleh gitu! Yakin dong! Buat dapetin dia harus korbanin segala hal, barbar kalau perlu!"
"Barbar gimana, Bang?" tanyaku.
"Ya, jangan sampai yang lain dapetin dia duluan. Apalagi dia malah balikan sama mantan kan kocak banget!" Bang Rangga tertawa lagi. Akan tetapi, tawa yang sekarang terdengar miris.
"Bagi-bagi tipsnya dong, Bang!" Apa ini keputusan yang salah kalau aku meminta nasihat dari cowok yang sepertinya agak geblek ini?
"Sini nomor WA lo! Gue ntar bantu lo jadi penakluk hati!" kata dia yang kemudian aku angguki. Aku memberikannya nomor WhatsApp-ku.
Bang Rangga kemudian izin pergi karena masih ingin berkeliling Nuski. Aku tertawa kecil. Bertemu dengan orang yang begitu confident membuat kepercayaan diriku juga ikut naik.
(。♥‿♥。)
"Kalah?!" Ayah tampak murka saat mendengar pengakuan Gema yang kalah di final lomba basketnya. "Lihat, Gemi bisa juara satu!"
Dengan mata berkaca-kaca, Gema tampak ingin melawan. "Yah, basket kan bukan olahraga individu, itu tim. Tidak bisa disamakan sama Gemi."
"Itu kenapa Ayah suruh kamu jadi kapten, tapi kamu nggak bisa? Lihat abangmu juga bisa jadi kapten," Ayah kini menunjukku.
Gema tentu tidak mau dibanding-bandingkan, aku harus membelanya. "Yah, juara dua udah bagus kok," kataku ingin mencoba meredakan amarah Ayah.
"Kamu diam dulu."
Aku kembali diam. Suaraku tidak berguna dalam keadaan seperti ini.
"Itu karena Gema diam-diam masih pacaran, Yah," Gemi buka suara.
Gema langsung tampak kaget sekaligus kecewa dengan apa yang dikatakan saudari kembarnya. Gemi pun tampak gemetaran saat mengatakan itu ke Ayah.
Ayah berdiri. "Dewi, jangan beri dia uang saku sebulan ini."
"Tapi, Mas."
"Ikuti saja."
Ibu mengangguk. Ayah kemudian pergi meninggalkan meja makan. Dia tampak sangat marah. Aku tidak bisa melakukan apa-apa sekarang.
"Kok lo bisa bilang kayak gitu ke Ayah? Hubungan gue ke Nada nggak ada hubungannya sama kekalahan gue!" Gema mulai marah ke Gemi.
"Ayah berhak tahu soal itu!" Gemi berani menghadap Gema.
"Gue nggak percaya lo kelewatan kayak gitu. Kalau gue bisa mohon, gue nggak mau punya saudara kayak lo!"
"Aku juga nggak mau. Kamu itu egois!"
"Ngaca! Lo yang egois! Suka ikut campur!" keluh Gema.
"Kalian jangan tengkar!" Ibu buka mulut.
"Gue nggak mau lagi anggap dia saudara gue!" Gema menunjuk Gemi dan kemudian pergi dari meja makan—tampaknya dia ingin keluar rumah.
Gemi menangis, lalu bangkit dan pergi ke kamarnya.
"Aku mau susul Gema, Bu," kataku sambil berdiri.
Ibu menggeleng. "Gema sedang marah, dia butuh waktu sendiri. Abang bantu kasih pengertian ke Gemi, ya."
Aku mengangguk. "Baik, Bu."
Kuketuk pintu kamar Gemi. "Mi, Abang boleh masuk?"
"Masuk aja," kata dia yang masih sambil menangis.
Aku pun mendorong pintu dan melangkah ke kamar yang dipenuhi boneka dan barang-barang berwarna pastel ini. Gemi sedang di ranjangnya, memeluk boneka beruangnya yang besar. Aku duduk di pinggir ranjang.
"Dia nggak sungguh-sungguh bilang kayak gitu," kataku.
Gemi melepaskan bonekanya, lalu memandangku. "Gema udah berubah!"
"Dia hanya marah," kataku.
"Abang nggak ngerti! Sekarang, setelah dia pacaran. Dia udah nggak mau pulang bareng sama aku. Nggak mau belajar bareng lagi. Waktuku sama Gema udah nggak ada. Dia sibuk dengan pacarnya terus!" Gemi marah-marah sambil nangis.
Aku paham. Gemi sedang cemburu.
"Selama ini, aku yang paling peduli sama dia. Aku yang paling sayang Gema. Aku satu-satunya yang selalu ada di samping dia. Kami berdua sudah bersama bahkan sejak dalam kandungan Ibu!" Gemi mengelap tangisnya. "Karena kedatangan cewek itu, Gema berubah. Gema lupa kalau aku masih ada. Aku udah nggak dianggap lagi."
"Kemarilah," kataku yang membuka tanganku.
Gemi mendekat dan memelukku. Dia menangis di bahuku.
"Apa aku egois Bang? Apa aku egois kalau aku ingin Gema jadi kayak dulu lagi?" tanyanya dengan terus terisak.
"Enggak. Enggak sama sekali." Aku mengelus rambutnya. "Justru bakal aneh kalau lo nggak cemburu. Lo sama Gema udah soulmate. Pasti bakal ada perasaan yang hilang kalau salah satu dari kalian lebih dekat dengan orang lain.
"Kita hanya butuh menerima perubahan. Nggak selamanya keadaan selalu sesuai sama yang kita inginkan. Berani membuka pikiran dan memahami yang lain bakal buat kita nggak jadi orang yang egois.
"Abang pengin, kalian akur lagi. Jadi dua adik yang selalu bikin bangga. Abang janji, nanti kita liburan bersama lagi ya. Kita butuh waktu bersenang-senang bertiga."
"Makasih, Bang."
Menurutku, apa yang dilakukan Gemi sangat normal. Itu karena dia sayang sekali dengan Gema. Tugasku sekarang adalah memastikan mereka berdua tidak salah paham. Hubungan saudara tidak akan pernah putus. Sejauh kita pergi, keluarga adalah tempat kita kembali.
(。♥‿♥。)
Question Time
1. Apa pendapat kalian tentang bab ini?
2. Bagian paling kalian suka di bab ini?
3. Pendapat kalian tentang kemunculan Rangga?
Yang belum tahu Rangga, dia itu ada di cerita Iris karya InnayahPutri dari HSS.1 seri yang GIRLS. Ceritanya masih ada di Wattpad dan bukunya sudah tersebar di berbagai toko buku di Indonesia. Ada yang berharap Naga menyusul?
4. Menurut kalian, tips apa yang bakal dikasih Rangga buat Naga? Ngarang aja!
5. Pendapat kalian tentang Gemi?
6. Pendapat kalian tentang Naga sebagai kakak?
8. Di Bab 18, kita balik ke POV Bima? Mana yang kangen Bima?!
9. Ada yang kepo sama hubungan Bima dengan Maya?
Yang nggak sabar buat baca Bab 18, komen: Naga, gue mau ke Bima dulu!
#BucinnyaNaga vs #RakyatnyaBima
Komen #NagaGils untuk Naga dan #BimaGoks untuk Bima!
[Medan Perang]
Sampai jumpa di hari Jumat pukul 17:00 WIB!
(。♥‿♥。)
Tuh, anak yang ngebucin gue! Padahal gue bucinin orang!
Jangan lupa ikut Giveaway di Bab sebelumya ya, KARAKTER || GA Ya!
(。♥‿♥。)
Jangan lupa untuk follow:
@andhyrama
@andhyrama.shop
Akun role player:
@nagaputramahendra
@bimaangkasarajo
@gemaputramahendra
@gadisisme
Coming soon!
Gemi
Agum
Maya
(。♥‿♥。)
GRUP CHAT!
Karena grup WA sudah tutup semua, ada yang ingin masuk ke grup Line? Komen mau kalau yang mau ya. Kalau banyak yang mau, nanti aku buatin.
Atau daripada Line mending Telegram?
Vote, ya!
#TimLine
#TimTele
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro