Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 01 || NAGA

Naga, Jangan Bucin!
Bab 01

a novel by Andhyrama

www.andhyrama.com// IG: @andhyrama// Twitter: @andhyrama//FB: Andhyrama// Ask.fm: @andhyrama// Shopee: Andhyrama

Instagram Naga: @nagaputramahendra

(。♥‿♥。)

Jadi orang yang receh itu lebih membahagiakan, apa aja bisa bikin ketawa. Daripada humor dolar, mau senyum aja harus dinalar.

(。♥‿♥。)

Pre-Question

Absen dulu! Kalian dari provinsi mana?

Pilih salah satu, ya:

1.  Jadi objek bucin atau tukang ngebucin?

2. Balikan sama mantan apa jadian sama gebetan?

3.  Cowok  lucu dan nggemesin atau cowok cuek tapi aslinya perhatian?

4. Nolak atau ditolak?

5. Lebih keren Naga Eropa apa Naga Asia?

(。♥‿♥。)

Setiap lihat cermin, kok gue takut diabetes, ya?

(。♥‿♥。)

"Ayo maju, Ga! Itu Kak Gadis."

"Udah ganteng, kan?"

"Udah."

"Wangi?"

"Banget dah!"

Kevin mendorongku ke kantin lantai dua yang dikuasai kelas dua belas. Aku hampir tidak pernah ke kantin ini—ada kantin di lantai satu yang biasanya ditempati kelas sepuluh dan sebelas—karena sangat enggan untuk bertemu wajah-wajah kakak kelas. Apalagi kakak kelas cewek, aku yang menggemaskan tentu takut menjadi brondong yang dipakai buat arisan.

Kali ini berbeda, aku ingin bertemu Kak Gadis. Kemarin, aku susah payah belajar membuat kue stroberi di rumah. Dengan kotak kue kecil di tangan, aku ingin memberikannya pada perempuan yang kusuka itu. Debaran di dada tentu sangat menyiksa, tetapi bagaimana bisa aku terus-terusan mengaguminya di belakang? Aku harus menantang diri. Lagi pula, aku kurang apa sih? Cuma bodoh, bisa dipermak.

Gadis Kirana adalah seorang YouTuber, lebih tepatnya beauty vlogger. Aku terpikat bukan hanya karena dia cantik dan terkenal, tetapi karena dia pernah mengatakan hal yang membuatku merasa dia special. Dalam salah satu videonya di YouTube, dia pernah bilang jika alasannya menggunakan riasan bukan untuk menutupi wajah yang sesungguhnya, tetapi untuk memunculkan seorang hero dari dalam dirinya. Hero yang membuatnya menjadi jauh lebih percaya diri. Kak, nanti aku yang bakal jadi heromu!

Sekarang, Kak Gadis sedang mengobrol dengan dua temannya. Jika tidak salah, namanya Dinda dan Jessica. Dengan dorongan dari Kevin, akhirnya aku melangkah ke arah tempat sosok yang sedang tersenyum begitu manis itu. Rambut pendeknya malah membuatnya menjadi sangat imut, bibirnya yang semerah ceri membuatku semakin berdebar.

"Menurut lo, setuju nggak kalau satu dari kita pacaran sama adek kelas?" tanya Kak Dinda yang bisa kudengar.

Jessica menggeleng. "Gue nggak setuju. Kita tuh nggak butuh cowok yang masih labil-labil kayak adek kelas."

"Lo pikir semua adek kelas labil?"

"Ya, nggak juga tapi kebanyakan gitu. Mending sama yang lebih dewasa atau setidaknya semumuran."

"Gadis, menurut lo gimana?"

Aku berhenti saat Kak Gadis ingin menjawab pertanyaan Kak Dinda.

"Gue nggak lihat umur." Syukurlah.

"Ganteng dan kaya?" Itu aku, itu aku!

Kak Gadis menggeleng. Kenapa?

"Karisma. Gue suka cowok yang karismatik."

Kedua temannya langsung tertawa. "Ah, pantes lo jadian sama Agum."

"Mending lo balikan sama dia!"

Kak Gadis hanya tersenyum, tidak mau menganggapi kedua temannya. Melihat senyumnya yang biasanya membuatku senang, kali ini aku malah menjadi lesu. Belum saja mulai, aku sudah ingin menyerah. Aku membalikkan badan dan pergi.

(。♥‿♥。)

Ada beberapa hal yang sedikit aku sayangkan. Pertama, aku terlahir sebagai anak di keluarga atlet. Kedua, aku terjebak di ekskul sepak bola. Ketiga, aku harus latihan sore ini. Pelatih bilang, kami akan ada turnamen antar SMA se-Jakarta. Bukannya, excited, aku malah semakin malas. Kalau bukan Ayah yang memaksaku, dari lama aku sudah hengkang dari klub itu.

Untuk menjaga kegantengan, aku memakai pelembab dan tabir surya. Cowok kebanyakan apalagi dari ekskul olahraga pasti tidak akan seribet diriku masalah penampilan. Sebenarnya, aku juga tidak ingin ribet. Akan tetapi, aku bingung menghabiskan uang, jadi kupakai untuk perawatan diri. Lagi pula, apa salahnya love yourself? Aku membenci olahraga. Alasannya simpel, bikin keringat dan bau badan. Untung saja, di klub sepak bola sekolah, aku hanya pemain cadangan—tidak penting.

"Pak Parno! Ayo berangkat," panggilku saat keluar dari pintu.

Sebenarnya tidak penting dijelaskan, tapi walau namanya Parno, dia itu pemberani. Dia yang selalu mengantar dan menjemputku ke sekolah. Aku dilarang menggunakan kendaraan sendiri karena belum punya SIM. Keluargaku ini memang banyak peraturan. Kenapa tidak tembak SIM saja?

Di lapangan yang berada di belakang gedung sekolah bagian selatan, kami biasa berlatih. Kadang memang ada ekskul futsal di sini, tetapi kapten pasti sudah koordinasi agar lapangan di pakai kami. Lapangan sekolah ini sangat terawat. Rumputnya dijaga dengan baik, di sekeliling lapangan ada lintasan untuk lari dan aja juga tribune untuk penonton.

"Naga!" teriak Petro yang sedang duduk di rumput bersama Fariz.

"Hai Pet! Hai Riz." Tentu saja aku tidak ikut duduk di rumput. Anak ningrat.

Fariz hanya mengangguk. Dia memang tidak banyak bicara.

"Emang gue binatang dipanggil Pet?"

"Lagian, kalau Tro agak susah," jawabku. "Ntar lo protes lagi dikira katro."

"Menurut lo gimana, Riz? Mending Pet atau Tro?"

Fariz memandang Petro dengan kesal. "Nggak penting."

Aku tertawa mendengar kata-kata cowok dengan rambut yang bentuknya seperti mangkok kebalik itu. "Eh si Erza di mana?" tanyaku seusai puas tertawa.

"Paling dia tidur dan lupa kalau hari ini latihan," jawab Petro. "Tapi di kelas, gue udah atur alarm di hapenya sepuluh kali biar inget latihan jam lima."

Anak-anak cowok memang biasanya susah bangun kalau sudah tidur. Karena dididik dengan disiplin oleh Ayah, aku bisa bangun tepat waktu. Aku juga sudah tidur habis pulang sekolah satu setengah jam tadi. Karena menurutku, tidur siang—walaupun aslinya sudah sore—itu penting untuk mengistirahatkan otak dari pusingnya pelajaran sekolah. Lagi pula, tidur adalah hal paling ampuh mengatasi beban hidup—melupakannya sesaat. Ya, aku bisa melupakan betapa pengecutnya aku saat ingin mendekati Kak Gadis tadi siang, mengingatnya lagi membuatku kesal dengan diriku sendiri.

Teman-teman yang lain pun mulai berdatangan. Aku tidak begitu akrab dengan mereka. Yang kukenal dekat hanya Petro, Erza, dan Fariz. Ketua klub—kami tidak menyebutnya ekskul—sepak bola ini adalah Bang Agum. Ya, dia adalah mantan Kak Gadis. Karena peraturan turun-termurun, ketua klub juga adalah kapten kesebelasan. Walau aku benci sepak bola, tetapi aku mengagumi cara Bang Agum memimpin kami.

"Gais! Sori gue telat!" seru Erza yang berlari ke arah kami. Rambutnya masih acak-acakan dan mukanya kusut, dia benar-benar baru bangun tidur.

"Gue kira lo nggak bangun-bangun masuk ke dimensi lain, Za," tanggapku.

"Mana ada dimensi lain, kocak lo, Ga!"

"Alarm gue manjur, kan?" Petro tampak bangga.

"Sialan lo, Pet!" Erza mendorong pelan bahu sahabatnya itu. "Tapi okelah, gue jadi bangun."

"Teman-teman, ayo baris!" suruh Bang Agum yang punya badan tegap dan wajah tegas itu. Ganteng, tetapi aku masih lebih ganteng.

Kami yang jumlahnya ada dua puluhan pun mulai berbaris. Sebenarnya, aku tidak terlalu khawatir dangan turnamen yang akan diadakan bulan depan. Aku sudah tahu jika aku tidak akan menjadi pemain line up yang maju ke kompetisi. Dari 28 anggota, rangkingku pasti tiga terbawah. Biasanya, kami membawa 16 orang untuk ke kompetisi, 11 sebagai pemain inti, 5 sebagai cadangan.

"Karena turnamen sudah semakin dekat, kita harus latihan semakin serius. Hari ini, pelatih tidak datang. Jadi gue yang bakal latih kalian. Karena ini hari pertama, kita latihan endurance aja ya, sprint biasa.

"Tapi sebelum itu, kami kelas dua belas sudah dipastikan tidak akan ikut maju ke turnamen karena harus fokus persiapan ujian. Jadi, kalian semua selain kelas dua belas akan maju ke turnamen," ungkap Bang Agum yang membuatku tidak santuy.

"Lo maju ke turnamen, Ga," goda Erza yang tampak sangat senang.

Maju ke turnamen artinya aku harus latihan setiap hari! Lari, bertanding, dan dituntut untuk tidak mengecewakan sekolah. Membayangkannya saja sudah membuatku merasa kelelahan. Kaum rebahan sepertiku harus berjuang mati-matian demi hal yang tidak kusuka? Aku menggeleng tidak percaya. Dengan ikut turnamen, aku akan semakin terkekang di dalam hal yang tidak pernah kusukai ini. Kegantenganku juga dipertaruhkan!

"Hari Sabtu, kita bakal ada kompetisi persahabatan dengan SMA Pemuda di lapangan ini. Itu akan jadi tes untuk kalian kelas sepuluh dan sebelas sebagai uji kelayakan apakah kalian bisa dipercaya ikut turnamen atau enggak. Lalu, nanti akan ada pemilihan kapten baru yang berasal dari kelas sebelas. Semua anggota akan punya suara."

"Lo bisa jadi kapten, Ga!" kata Erza yang tentu saja menyindir. Dia selalu menganggapku yang paling payah, posisiku di klub ini hanya bahan olokan baginya.

"Mending lo diam," kataku yang sedang runyam.

Saat kami semua berlari, aku berada di urutan terakhir. Aku benar-benar payah dalam olahraga. Tapi, masih ada hal yang aku bingungkan. Kenapa aku bisa masuk klub ini? Aku baru ingat karena saat pendaftaran ekskul, peminat klub ini sedang surut karena kekalahan demi kekalahan yang terjadi saat kompetisi dengan SMA lain, atau bisa disimpulkan jika klub sepak bola ini tidak punya prestasi.

Setelah lari, ada yang mengusulkan untuk bermain. Awalnya, aku ingin langsung pulang, tapi tidak semudah itu.

"Ikut main aja, Ga," kata Bang Agum.

Aku ingin menolak. "Tapi, Bang."

"Gue sebenarnya penasaran. Masa anak pelatih timnas nggak jago main bola. Jangan-jangan lo selama ini pura-pura payah, ya?" tanya Erza yang kemudian tertawa.

Bang Agum menaruh tangannya ke pundakku. "Gue paham kalau selama ini lo nggak suka sepak bola, tapi kita adalah tim. Kalau lo nggak mau bermain buat diri lo sendiri, setidaknya lo mau bermain demi kami."

Apa yang aku kagumi darinya adalah ini. Dia mengerti setiap anggotanya. Bang Agum juga tahu kalau aku suka masak. Beberapa kali, aku pernah membawa kue buatanku untuk anak-anak klub ini. Jadi, Bang Agum pasti tahu apa yang sebenarnya aku inginkan. Namun, saat melihat yang lain memandangku seperti menunggu keputusan, aku pun menaruh kembali tasku dan bergabung dengan mereka.

"Naga, oper sini!"

Belum sempat aku mengoper bola ke Petro, lawan sudah merebut bolaku.

"Tendang!"

Direbut lagi.

"Ambil, Ga!"

Malah out.

Aku menendang bola ke gawang. "Gol!"

"Itu gawang kita, Ga!"

Ketika yang lain tertawa, Bang Agum justru mengangkat jempolnya untukku. Entah dia sedang meledekku atau memberikan sedikit apresiasi. Aku tidak mengerti. Yang jelas, aku payah. Jauh dari kriteria Kak Gadis yang menginginkan cowok yang punya karisma. Jika dibandingkan Bang Agum sang lautan, aku mungkin hanya genangan air di kala hujan.

Aku benci diriku! Ingat Naga, kamu ganteng dan kaya. Aku tidak jadi benci diriku!

(。♥‿♥。)

Question Time

1. Apa pendapat kalian tentang bab ini?

2. Bagian paling kalian suka di bab ini?

3. Apa pendapat kalian tentang cowok suka cewek yang lebih tua?

4. Genre cerita paling kalian suka?

5. Pendapat kalian tentang genre fantasi?

Yang nggak sabar buat baca Bab 2, komen: Naga, aku menunggumu!

Sampai jumpa di hari Rabu!

Maunya update jam berapa?

(。♥‿♥。)

Jangan lupa untuk follow:

@andhyrama

@andhyrama.shop

Akun roleplayer:

@nagaputramahendra || @bimaangkasarajo || @gemaputramahendra || @gadisisme || @mayapurnamawarni || @gemiputrimahendra || |@agumtenggara || @erza_milly || @petrovincenthardian

Akun fan page:

@team_nagabima

di Instagram!

(。♥‿♥。)

GRUP CHAT!

#TeamNagaBima

Silakan DM Instagram admin di @team_nagabima kalau ingin join.

(。♥‿♥。)

The Red Affair ini karyaku yang genrenya Romance-Misteri. Kalau kalian suka cerita yang bikin greget dan nggak mudah ditebak, kalian kudu cobain baca The Red Affair.

Kalian bisa beli buku The Red Affair di berbagai toko buku online, Gramedia terpilih, dan shoope-ku: andhyrama

(。♥‿♥。)

(。♥‿♥。)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro