Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

AGUM || GADIS

Naga, Jangan Bucin!
AGUM||GADIS

a novel by andhyrama

IG: @andhyrama// Twitter: @andhyrama// Shopee: Andhyrama [an Online Bookshop]

Instagram Agum: @agumtenggara

Instagram Gadis: @gadisisme

Perasaan memang selalu mengalahkan logika.

Pengorbanan akan selalu sakit, tetapi tanpa berkorban kita akan lebih sakit atau bahkan mati.

(。♥‿♥。)

Pre-Question

Absen dulu! Satu kata buat Agum!

Satu kata buat Gadis!

Komen hadir di tim kalian, ya!

#PengagumnyaAgum

#Gadisisme

Just random questions before you read the story!

1. Menurut kalian, sosok Ibu kalian tuh gimana?

Sayang nggak sama beliau?

2. Momen paling kalian ingat sama Ibu?

3. Buat permainan lagi yuk! Kalau kemarin kan pertanyaan random, kalau sekarang pilihan random. Jadi kalian kasih dua opsi A atau B, lalu biar pembaca lain pilih salah satu dari opsi itu, ya!

Kasih pilihannya di sini!

Part ini ditulis sangat mendadak, jadi kurang maksimal guys, tapi semoga bisa dinikmati, ya!

Part ini aku dedikasikan untuk Ibu, karena aku sayang ibuku.

Happy reading, don't forget to vote , comment, and share!

(。♥‿♥。)

(。♥AGUM♥。)

"Agum, kamu yakin mau pergi?" tanya Ayah saat aku sedang merapikan barang-barangku.

Ayahku baru saja menikah lagi, wanita itu dan anak-anaknya akan tinggal di sini. Aku masih sulit menerimanya. Kupikir dengan memilih tinggal bersama Ayah, aku bisa tinggal bersamanya saja setelah perceraiannya dengan Ibu—dia sudah menikah lagi lebih dulu.

Mungkin, aku anak yang sangat naif berpikiran bahwa Ayah tidak akan menikah juga. Definisi kesetiaan yang selama ini kupikirkan ternyata berbeda dengan realisasinya. Apa aku perlu meminta maaf pada Ibu? Selama ini, aku terus menghindarinya, menganggapnya tidak setia dan menyalahkannya karena menikah dengan pria lain.

"Aku mau tinggal sama Kakek," jawabku. "Dia tinggal sendirian kalau Ayah kan udah enggak," jawabku.

Ayah menggenggam tanganku sebelum aku keluar kamar. "Gum, Ayah tahu kamu kecewa. Tapi tolong, jangan pergi. Jangan benci Ayah. Dia bakal jadi ibu yang baik buat kamu kok, kamu juga bakal punya adik seperti yang selama ini kamu penginin, kan?"

"Aku udah nggak pengin adek, Yah. Aku udah punya. Dan perlu diluruskan, aku emang kecewa, tapi aku nggak benci Ayah. Ayah berhak menikah lagi, disayang oleh wanita lain, dan memulai keluarga baru. Aku cuma ... merasa nggak harus ada di sini lagi."

Aku berada bersama Ayah karena ibu sudah ada pria lain. Lalu apakah itu adil ketika aku tetap tinggal dengan Ayah ketika dia ada wanita lain juga? Tidak. Jadi, lebih baik aku pergi dari keduanya.

***

Kakek menerimaku, memberikanku kamar dan kami makan malam bersama.

"Apa ibuku sering ke sini, Kek?" tanyaku.

"Beberapa kali dia ke sini, bawa makanan atau masakin Kakek," jawabnya. "Kakek salut, walau sudah bercerai sama ayahmu. Ibu kamu masih mau ngunjungin mantan mertuanya ini."

"Dia nanyain aku?"

Kakek mengangguk. "Dia kangen banget sama kamu. Dia kelihatan sedih kalau lagi nyalahin dirinya sendiri sampai kamu nggak mau ketemu dia. Walau bagaimanapun, dia itu Ibu kamu. Temui, Gum."

Aku diam, kembali melanjutkan makan.

Ya, aku juga kangen ibuku. Sudah tiga tahun, aku tidak bertemu dengannya. Terus menghindarinya. Bahkan, dengan jahatnya aku menjawab ibuku sudah tidak ada jika orang lain menanyakan di mana dia. Aku sepertinya sangat jahat.

Ketika orang lain sangat ingin bertemu ibunya yang sudah tiada, aku yang masih memilikinya justru terus menghindar. Aku benar-benar manusia yang tak bersyukur.

(。♥GADIS♥。)

Ibuku meninggal saat aku masih kelas enam. Ayahku menyusul dua tahun selanjutnya. Aku tinggal di sini, rumah Paman Rajo bersama Bibi Jola.

"Pamanmu bakal balik minggu depan dari Jerman," kata Bibi.

"Beneran?" tanyaku.

Dia mengangguk senang. "Kangen banget sama Paman!"

"Nanti kita ziarah ke kuburan orang tuamu bareng-bareng, ya!" jawabku.

Aku mengangguk.

Bibi duduk bersamaku di meja makan. "Kenapa?" dia bertanya karena ekspresi lesuku.

"Akhir-akhir ini, aku mimpiin Ibu," jawabku.

"Mimpi gimana?"

"Dia ... minta tolong," ungkapku. "Minta dijemput."

"Kamu kayaknya kecapean, mimpinya ada-ada aja."

"Saat Ibu meninggal, Paman pernah bilang kalau dia masih lihat Ibu," mulaiku. "Paman juga bilang kalau Ibu belum saatnya untuk pergi. Benar, kan?"

"Itu ketika pamanmu belum menerima kematian kakaknya," kata Bibi.

Mataku memanas. Aku menggeleng. "Maaf, Bi. Bibi benar, aku kacapean."

Dia mengelus tanganku yang gemetaran. "Dia udah pergi dari enam tahun yang lalu, sudah tenang di sana. Jangan mikirin yang macam-macam, ya."

Walau Bibi bilang seperti itu, tetap saja aku masih memikirkannya. Mimpi-mimpiku terasa sangat nyata. Di kamar ini, aku berharap untuk memimpikan Ibu lagi. Sebelum mataku terpejam, aku mengingat bagaimana Ibu saat masih ada bersamaku. Wanita yang cantik dan kuat.

"Rambut Ibu bagus banget," kataku seraya menyisir rambut Ibu. "Saat sekolah, pasti Ibu banyak yang suka." Dia tersenyum—aku melihatnya dalam pantulan cermin. "Ibu nggak cuma cantik, tapi pintar, dan kuat. Selamanya, Ibu bakal jadi idolaku."

"Sini!" Ibu menyuruhku duduk di pangkuannya.

Kami menghadap cermin. Aku tertawa kecil, tetapi aku malu karena dua gigi depanku copot. Buru-buru aku berhenti meringis.

"Lihat! Kamu juga cantik, kan?"

Aku mengangguk. "Anak Ibu gitu lho."

"Kalau sudah gede, kamu pasti bakal jadi perempuan yang hebat. Iya, kan?"

"Aku mau menginspirasi, Bu. Mau buat perempuan di luar sana jadi kuat dan percaya diri. Aku mau jadi orang yang selalu kasih energi positif kayak Ibu," ungkapku dengan semangat.

"Bagus! Kamu pasti bisa."

"Tapi yang lebih penting, aku mau terus bersama Ibu. Soalnya aku sayang banget sama Ibu." Aku membalikkan tubuhku dan memeluknya dengan erat.

"Ibu juga."

"Ibu, jangan pernah tinggalin aku, ya!"

(。♥AGUM♥。)

"Kamu kenapa?" tanyaku ke Gadis saat kami berdiri bersama di balkon kelas.

"Nggak apa-apa," jawabnya yang kutahu pasti sedang memikirkan sesuatu.

"Katakan saja, buat apa ada aku kalau nggak bisa hibur kamu," ungkapku.

"Kamu mau antar aku ke suatu tempat, nggak? Hari Kamis depan?" tanya dia.

Aku mengangguk. "Ke mana pun."

Dia tersenyum. Sangat manis. Apa yang membuatku jatuh cinta padanya adalah senyumnya. Dia seakan punya magnet yang membuatku tak berpaling dari senyum itu. Dia pernah bilang kalau dia ingin membuat semua orang bisa tersenyum dengan menerima setiap keadaan diri mereka.

***

Ayah mengatakan aku ingin punya adik? Itu perkataanku saat kedua orang tuaku masih bersama. Sekarang, aku tidak harus memiliki adik kandung untuk merasa benar-benar punya adik. Sebagai kapten di klub sepak bola aku punya adik-adik angkatan yang sudah seperti adik sendiri. Aku selalu mencoba memahami mereka, keinginan, keluhan, dan perasaan mereka.

Seperti Fariz yang menjadi kiper dengan motivasi agar bisa menjaga orang-orang yang dia sayangi. Petro yang masuk klub untuk mendapatkan banyak teman karena tinggal sendiran. Naga yang terpaksa masuk klub karena dituntut oleh ayahnya, atau Erza yang punya alasan sederhana, menyukai sepak bola.

"Semua anggota klub hormatin lo, Bang," kata Erza saat kami berada di pinggir jalan tempat balapan liar akan dilaksanakan. "Gue salut sama lo yang peduli sama masalah kami walau lo sendiri juga punya masalah. Abang emang pemimpin."

Bagiku, Erza sudah seperti adikku sendiri. Orang tua kami sama-sama bercerai dan kami sama-sama melarikan diri dari masalah ke sini. Menjadi joki balap liar.

Aku menyalakan rokokku lagi,

"Bang lo udah abisin tiga batang, stop," kata Erza yang baru saja menghabiskan rokoknya. "Ntar gigi lo kuning, ketahuan Kak Gadis kan dia nggak bakal mau cium."

"Mana ada!" Aku mendorong Erza. Tentu saja, aku tidak pernah melakukan itu dengan Gadis atau pacarku sebelumnya.

"Dia nggak suka lo ngerokok kan Bang?"

Aku mengangguk. "Mungkin, kalau dia melihatku sekarang, dia akan memutuskanku."

"Kalau cewek gue nggak suka gue ngerokok, gue tinggal ganti yang lain," jawab Erza yang memang terkenal suka berganti-ganti cewek. "Tapi lo hebat Bang, setia."

Aku mengangguk. Aku juga berharap kesetiaan dari kedua orang tuaku. Saat awal mereka bercerai, aku terus berharap dan berdoa mereka akan kembali lagi. Lalu Ibu menikah, aku membencinya, salut dengan Ayah, dan sekarang aku hanya bisa tertawa karena Ayah melakukan hal yang sama, menikah lagi.

Ini saatnya kami beraksi di jalanan. Aku sudah siap menekan gas dan meluncur. Kecepatan selalu membuatku merasa jika waktu bisa dicurangi. Andai aku bisa kembali ke masa lalu dengan kecepatan, aku akan pastikan kedua orang tuaku tidak berpisah atau lebih jauh lagi mereka tidak perlu bertemu dan aku tidak perlu ada.

(。♥GADIS♥。)

Aku berjalan di sebuah hutan di bawah bulan purnama yang cahayanya menyelinap dari rimbunnya dedaunan. Ada seseorang yang memanggilku. Suara seorang wanita. Kuyakin itu Ibu.

"Gadis! Tolong Ibu!"

"Ibu di mana?" Aku mencoba mencari asal suara itu. Namun, yang kulihat hanya lebatnya pepohonan. Tak ada siapa pun di sini. Aku sendian di kegelapan.

"Gadis!"

Lalu, aku melihatnya. Sosok berambut panjang dengan pakaian putih itu berdiri di dekat pohon. Aku tersenyum, dan berlari ke arahnya. Namun, aku kaget karena ada ular yang menghadangku di tanah.

Aku mundur. Ibu menghilang. Lalu, kulihat banyak sekali ular yang mengelilingiku. Hingga akhirnya, aku terbangun.

Besok tanggal merah, jadi tidak masalah jika aku pergi untuk menginap di rumah Ibu. Agum menjemputku sehabis Maghrib dan selama berjam-jam kami berdua berboncengan menuju ke rumah ini. Sebuah rumah tua yang letaknya cukup menyendiri.

"Ada banyak kamar kok, kamu bisa tidur di mana aja," kataku ke Agum.

"Mana aja?"

"Selain sekamar denganku," jawabku kesal.

Dia tertawa.

Aku memasukkan kunci. "Gum, senterin dong. Nggak kelihatan lubangnya."

Agum memberikan penerangan dengan ponselnya. Aku pun bisa membuka pintu tua ini. Gelap. Tidak ada listrik. Ya, karena sudah tidak digunakan listrik di rumah ini sudah dicabut. Alhasil, kami menyalakan lilin. Untung, aku membawa lampu baterai untuk ruang tengah.

Agum memperhatikan sekeliling, menyentuh perabotan yang bedebu, dan kemudian melihat piano besar di ruang tengah ini. "Nama ibumu, Rema?"

Aku yang sedang menyapu mengiyakan.

"Ada yang menulis nama ibumu di piano ini, seperti menggunakan cairan kental yang sekarang sudah mengering," ujar Agum.

Setelah menyapu sebentar agar tidak terlalu banyak debu. Aku dan Agum makan bersama di ruang makan di dapur dengan bekal yang sudah kami bawa sebelumnya.

"Candle light dinner," ujarnya.

"Ya, ya, ya," jawabku sembari terkekeh.

"Kenapa mengajakku ke mari?"

"Aku kangen dengan Ibu," jawabku.

"Bukannya setelah ibumu menikah dia tidak tinggal di sini?" tanyaku.

"Tapi tempat ini yang muncul di mimpiku," jawabku.

"Mimpi?"

Aku mengangguk.

"Kamu mengajakku ke sini karena mimpi?"

"Ya."

Dia tertawa kecil, seperti tidak percaya.

"Ibu minta dijemput saat malam jumat bulan purnama," kataku yang membuatnya diam, berhenti makan.

"Apa maksudmu?"

"Ya, dia ingin bertemu denganku di sini."

"Gadis, jangan bercanda."

Aku menggeleng. "Enggak bercanda kok, Gum."

Terdengar bunyi anak kecil tertawa.

"Gum, dengar itu?"

"Pulang aja yuk."

"Kenapa?"

"Tadi aku lihat kayak ada anak kecil yang lari di lorong," jawabnya.

Lilin di meja tiba-tiba Mati.

"Gum!"

Aku langsung meraih tangan Agum.

"Tenang, ayo kita balik. Di sini nggak aman," kata dia seraya berdiri.

Aku memegang tangannya begitu erat. Kami berjalan melewati lorong ke ruang tangah. Perasaanku tidak karuan. Rumah ini memang terasa tidak biasa. Ibu pernah menceritakan padaku tentang hal-hal mistis di rumah ini.

"Gadis," panggil seseorang dengan lirih.

Aku melepas tanganku dari Agum, berjalan pelan ke lorong tempat sosok itu berdiri. Ibuku sedang tersenyum di sana. Sangat cantik dengan rambut panjang dan gaun putihnya. Lalu, dia masuk ke salah satu ruangan. Aku mengikuti.

Ruangan dengan sebuah sumur tua di dalamnya.

"Ayo ikut Ibu!"

"Ke mana?" tanyaku.

Ibu kemudian menaiki sumur dan melompat ke dalam. "Giliranmu, Gadis!"

"Baik Bu!"

(。♥AGUM♥。)

Aku harus pulang. Aku merapikan tasku dan tas Gadis. "Dis!"

Aku menoleh ke lorong, dia sedang masuk ke sebuah ruangan. Aku langsung berlari ke arahnya. Aku begitu panik saat melihat Gadis ingin memanjat sumur. Aku langsung menangkapnya.

"Agum!"

"Apa yang kamu lakukan?"

"Lepas, Gum! Aku mau ikut Ibu!"

"Dia bukan ibumu. Yang kamu lihat bukan ibumu," kataku.

"Itu ibuku!"

Aku memegang dua lengannya, menghadapkan wajahnya padaku. "Tidak ada Ibu yang akan menyuruh anaknya melakukan hal berbahaya. Semua Ibu menyayangi anaknya! Ibumu sudah tenang di sana. Ayo kita pulang!"

Saat perjalanan pulang, Gadis memelukku dari belakang. Aku memelankan laju motorku.

"Maaf ya, Gum."

"Nggak apa-apa. Kamu hanya sedang kangen Ibumu."

"Tapi aku begitu bodoh," ujarnya. "Aku selalu bilang pada orang lain agar mereka menerima keadaan, takdir yang sudah digariskan, dan mengambil sisi positif dari itu. Namun, aku justru tidak menerima kepergian ibuku."

"Kamu sudah menerimanya selama enam tahun ini. Kamu hanya terlalu rindu, terbawa mimpi, hingga kembali terusik untuk kembali bertemu," kata dia. "Sosok itu memperdayamu yang sedang lemah dan menyuruhmu melakukan hal buruk."

"Makasih, Gum. Aku jadi belajar sesuatu. Tentang sekuatnya kita menerima suatu hal, lebih kuat lagi kita harus bertahan pada penerimaan itu."

"Ya, menerima saja tidak cukup. Kita juga harus bisa berdamai dengan keadaan."

Gadis sangat menyayangi ibunya hingga kerinduannya mengalahkan logikanya, itu merupakan tingkat kerinduan yang sudah tak bisa diukur lagi. Karena banyak orang yang akan melakukan apa pun demi orang yang disayangnya. Tiba-tiba, itu membuatku teringat ibuku.

"Agum mau bawa bekal apa ke sekolah?"

"Aku nggak mau bekal. Aku kan mau sepatu baru!" Aku saat berumur delapan tahun jika tidak dituruti pasti akan marah.

"Ayahmu kan belum kerja lagi, Gum. Beli sepatunya tunggu Ayah dapat kerja, ya. Ibu janji itu nggak akan lama."

"Padahal Ibu udah janji mau kasih sepatu baru dari bulan lalu, tetapi belum ada!"

Namun, pagi itu aku mendapatkan sepatu keinginanku. Sepatu seperti yang teman-temanku miliki. Saat aku ke sekolah memakai sepatu ini, aku mendengar tetangga mengobrol.

"Itu Agum kan, ibunya kemarin jadi badut di pesta ulang tahun anaknya Pak Lurah. Sampai segitunya ya."

"Ya, kan suaminya habis dipecat, belum dapat kerjaan lagi."

Aku berlari saat mendengar itu. Jadi, Ibu mau berkorban menjadi badut, ditertawakan banyak orang demi sepatu untuk anaknya?

"Gum, temui ibu kamu. Jangan kayak aku yang kehilangan akal hanya karena ingin ketemu ibuku. Kamu masih bisa," kata Gadis yang semakin erat memelukku.

***

Aku mengetuk pintu rumah ibuku.

"Tunggu."

Dia membukakan pintu dan melihatku.

Matanya membasah seketika. Aku tersenyum, "Bu. Ini Agum."

Tanpa kata-kata, dia langsung memelukku.

(。♥GADIS♥。)

Sebelum Ayah meninggal dia pernah bercerita tentang Ibu. Ibuku adalah sosok yang pantang menyerah dan begitu pemberani. "Dia mengalami banyak masalah, tetapi tetap berdiri buat atasin itu. Masalah terbesar adalah saat mengandungmu, Gadis. Dia mengalami asma dan sering kali kambuh. Namun, dia mencoba untuk terus sehat demi kamu.

"Dia hampir mati saat melahirkanmu. Ketika itu dia mengalami pendarahan hebat. Namun, dia bertahan. Motivasinya bertahan hanya kamu."

Aku adalah motivasi Ibu untuk hidup. Dia sudah bertahan sejauh itu dan saat sekarang dia sudah pergi, harusnya aku mengapresiasinya. Bahwa ibuku sangat hebat. Bukan hanya ibuku, tetapi semua Ibu yang berkorban untuk anaknya.

"Selamat hari Ibu!"

"Ini bulan Februari, Gadis."

"Setiap hari adalah hari Ibu," kataku sepuluh tahun lalu.

"Kamu pintar sekali."

"Itu semua karena Ibu yang mengajariku, mendidikku, dan melakukan apa pun untukku," jawabku. "Ibu yang bangun pagi untuk aku dan tidur malam untuk aku. Ibu adalah pahlawan terbesarku!"

"Sini peluk!"

"Sampai kapan pun, di mana pun, dan bagaimanapun aku tetap akan sayang Ibu."

(。♥‿♥。)

Tekan tombol kalau kamu suka part ini!

Jangan lupa jawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini, ya!

Question Time

1. Apa pendapat kalian tentang bab ini?

2. Bagian paling kalian suka di bab ini?

4. Pendapat kalian tentang sudut pandang Agum?

5. Pendapat kalian tentang sudut pandang Gadis?

6. Pendapat kalian tentang pertemanan Agum dan Erza sebagai joki balap motor?

Di Bad Boy Cafe: Milly bakal lebih jelas buat pertemanan keduanya. Jadi, Agum punya peran penting di cerita itu.

7. Apakah di sini ada yang baca Dedarah?

Yang baca pasti sangat sadar ya kalau ....

Gadis itu anaknya Rema sama Darma di Dedarah. Di cerita itu bahkan ada semacam clue kenapa mereka menamai anaknya Gadis.

Ceritanya masih lengkap di Wattpad kok kalau ada yang mau baca silakan, atau mau nunggu bukunya nanti dijual di Shopeeku: andhyrama

Oh ya, bantu vote covernya, ya!

Pilih mana?

1

2

Ini blurbnya:

Sampai Jumpa hari Jumat!

BUAT EPILOG NAGA JANGAN BUCIN!

(。♥‿♥。)

Jangan lupa untuk follow:

@andhyrama
@andhyrama.shop

Akun roleplayer:

@nagaputramahendra || @bimaangkasarajo || @gemaputramahendra || @gadisisme || @mayapurnamawarni || @gemiputrimahendra || |@agumtenggara || @erza_milly || @petrovincenthardian

Akun fan page:

@team_nagabima

di Instagram!

(。♥‿♥。)

GRUP CHAT!

#TeamNagaBima

Silakan DM Instagram admin di @team_nagabima kalau ingin join.

(。♥‿♥。)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro