#RCMJScience: Time Dilation
Hola, dan selamat datang lagi di #RCMJScience! Topik hari ini mungkin jadi agak panjang walaupun aku menjelaskan ini hanya dalam dua dialog singkat di Bab 13 sebelum Odin menjelaskan soal Restu, tetapi aku memilih topik ini karena nanti akan berhubungan dengan topik berikutnya.
Yup, topik hari ini dan topik untuk #RCMJScience dua minggu lagi (yang adalah #RCMJScience terakhir, lho) akan memiliki garis besar bahasan yang sama, yaitu mengenai gravitasi dalam kontinuum ruangwaktu.
Widih gile Fi ribet nih kayaknya yak.
Kagak si, wle.
Bahasan kali ini cuma ribet di bahasa, kok. As always. Memang, sih, untuk paham beberapa konsep, kita bakal perlu membahas mengenai konsep-konsep lain dulu. Dan kadang konsep lain ini menggunakan bahasa atau istilah yang tepat, tetapi terdengar sangat keren dan sangat sains sampai mendengarnya saja sudah terasa pusing.
Bagaimanapun juga, kita coba lakukan yang selama ini kita lakukan di #RCMJScience, oke? Kita bongkar dulu satu-satu konsepnya, baru kita beri label ilmiahnya, baru kita gunakan untuk bahas topik utamanya.
Bahasan kita hari ini adalah time dilation, atau dilatasi waktu.
(Pet peeve: aku bingung kenapa terjemahan bahasa Indonesianya adalah dilatasi, padahal istilah bahasa Inggrisnya adalah dilation dan menurutku dilasi lebih tepat. Aku belum mendapatkan jawaban memuaskan sampai sekarang.)
Aku pernah memuat penjelasan singkat soal dilatasi waktu dalam Glossarium di Jurit Malam: Benteng Gelap (apa di sini ada anak Jurit Malam juga?), dan sebenarnya menurutku penjelasan di sana sudah cukup memuaskan. Namun kita coba bahas lagi di sini.
Apa itu dilatasi waktu?
Sederhananya, dilatasi waktu adalah perbedaan hasil pengukuran waktu dengan dua (atau lebih) alat yang terpisah.
Dilatasi waktu bisa terjadi secara fisika atau secara psikologis. Dalam Jurit Malam: Benteng Gelap, aku membahas dilatasi waktu psikologis. Bagaimanapun juga, istilah time dilation itu sendiri lebih sering digunakan untuk merujuk pada dilatasi waktu secara fisika.
Dilatasi waktu dalam fisika adalah hal yang relatif baru. Sebelum Einstein, tidak ada yang namanya dilatasi waktu. Waktu adalah hal yang absolut—kata Newton, waktu adalah seperti anak panah yang ditembak. Dia hanya bisa melayang maju, tidak mundur.
Einstein tidak setuju.
Oke, sebelum kita jalan terlalu jauh, aku mau tanya dulu pada teman-teman. Waktu itu apa, sih?
Kita sangat mudah menggunakannya dalam percakapan sehari-hari, dalam berbagai buku cetak, dalam berbagai novel dan komik sci-fi, tetapi apa teman-teman tahu definisi dari waktu itu sendiri?
Aku belum buka KBBI, tetapi aku akan gunakan definisi ilmiahnya: waktu adalah durasi terjadinya sebuah proses. Dengan kata lain, selama ada perubahan dari A menjadi B, ada waktu di sana—waktulah yang membuat perubahannya jadi mungkin.
Kesannya seakan-akan waktu dan ruang berbeda, 'kan?
Nah, menurut Einstein, tidak begitu. Dalam relativitas, ruang—ingat penjelasanku soal hyperspace?—dan waktu adalah hal yang sama. Mereka saling menyambung, saling memengaruhi, saling berhubungan. Makanya namanya spacetime continuum—kontinuum ruangwaktu.
Jadi, waktu adalah durasi terjadinya sebuah proses. Bagaimanapun juga, interpretasi (pemaknaan) teori Einstein menekankan bahwa waktu dan ruang adalah hal yang sama, tersusun dari hal yang sama, merupakan fabrik yang sama. Fabrik ini disebut kontinuum ruangwaktu.
Masih mengikutiku sejauh ini?
Serius, masihkah?
Oke, kita sudah bahas sekilas soal waktu. Setelah ini, kita akan bahas soal gravitasi.
Alah Fi gravitasi mah udah diajarin dari SD.
Ya bagus. Kalau begitu harusnya ini tidak sulit. Hehe.
Siap?
Lanjut.
Pada masa Newton dulu, gravitasi dianggap sebagai gaya tarik yang dimiliki oleh semua benda bermassa. Bumi bermassa. Kamu bermassa. Semua materi punya massa, alias berat. Kita bisa menimbang berat benda, dan selama benda itu bisa ditimbang—bahkan partikel udara sekalipun—berarti benda itu punya massa.
Massa itu apa, sih? Dalam bahasa sederhananya, sih, massa itu berat sesuatu. Satuannya adalah kilogram.
Definisi lamanya, massa itu jumlah materi dalam suatu hal.
Namun, kalau menurut Newton, massa itu tidak tergantung pada jumlah materinya—massa adalah seberapa enggan sebuah benda bergerak.
Bukan berarti ini ada hubungannya dengan malas-malasan, lho.
Ingat hukum Newton? Benda yang diam akan tetap diam hingga ada gaya yang menggerakkannya. Nah, semakin suatu benda itu masif—bermassa banyak—maka semakin susah dia digerakkan. Dan begitu bergerak, dia akan semakin susah dihentikan.
Berapa banyak gaya yang dibutuhkan untuk menggerakkan suatu benda? Rumus Newton dari hukum keduanya—F=ma. Force (gaya) adalah massa dikali akselerasi. Jadi, otomatis, semakin besar massanya, semakin besar juga gaya yang diperlukan untuk menggerakkannya.
Oke, kembali ke topik.
Newton mendefinisikan massa, dan sudah menyatakan bahwa setiap hal yang mempunyai massa pasti mempunyai gravitasi. Semakin masif bendanya, semakin kuat gravitasinya. Makanya kita tertarik ke arah Bumi, tetapi belum tentu tertarik ke sesama manusia. Gravitasi kita tidak sekuat itu.
Bagaimanapun juga, Newton dulu ditertawai. Gravitasi menarik tanpa menyentuh, 'kan? Coba, misalkan kau sekarang melompat. Kau tidak menyentuh Bumi saat melompat, betul?
Namun, kau tetap merasakan tarikan ke arah Bumi—sangat kuat hingga, pada akhirnya, kau pasti terjatuh lagi ke Bumi.
Bumi tidak menyentuhmu saat kau melompat. Lalu bagaimana bisa Bumi menarikmu? Bukannya gaya membutuhkan kontak untuk beraksi? Seperti, misalnya, aku mendorong sebuah boks, atau menarik seseorang. Aku memberikan gaya langsung pada bendanya, 'kan?
Lalu bagaimana gravitasi bekerja?
Pertanyaan ini akhirnya membuat beberapa ilmuwan sepakat mengenai satu hal: bahwa gravitasi itu bukan sebuah gaya.
Lah, kalau begitu, gravitasi itu apa, dong?
Akhirnya, suatu hari, Einstein datang dengan jawaban yang akan mengguncang dunia fisika sampai hari ini: gravitasi adalah pembengkokan ruangwaktu.
Anjir Fi gila bahasanya ribet amat.
Enggak, kok. Janji.
Untuk mempermudah penjelasannya, coba bayangkan begini—aku membentangkan sebuah lembaran karet besar. Terbayang?
Lalu, di tengah lembaran karet ini, aku meletakkan sebuah bola sepak.
Apa yang terjadi?
Bola sepaknya pasti akan menekan lembaran karetnya ke bawah. Betul?
Karena ditekan ke bawah, lembaran karetnya jadi menekuk ke bawah. Betul?
Bentuknya kira-kira jadi seperti ini:
Nah, sekarang, coba bayangkan aku menggelindingkan tiga butir kelereng di lembaran karet ini.
Kelereng pertama, aku gulirkan sepanajng sisi lembaran karetnya. Ternyata, kelereng itu tidak menyentuh cekungan si bola, sehingga bisa mencapai seberang dengan aman.
Kelereng kedua, aku gulirkan lebih dekat ke cekungannya. Ternyata kali ini dia cukup dekat dengan cekungannya untuk bergerak sedikit sesuai cekungan itu, tetapi tidak cukup dekat sehingga jatuh ke arah bola sepaknya. Kelereng itu berhasil mencapai sisi juga dengan aman, tetapi jalurnya terbelokkan.
Kelereng ketiga, aku gulirkan lebih dekat lagi. Kali ini, kelereng itu bergulir terlalu dekat di cekungan bola sepak tadi, dan akhirnya menggelinding jatuh hingga menabrak bola sepaknya.
Ingat penjelasanku soal hyperspace? Sekarang bayangkan lembaran karet tadi sebagai benda empat dimensi. Seperti itulah cara gravitasi bekerja—semakin masif bendanya, semakin dia membengkokkan 'lembaran karet' ini.
Lembaran karet ini apa, Fi?
Ini dia: lembaran karet tadi adalah kontinuum ruangwaktu.
Yup. Analogi tadi menjelaskan soal efek gravitasi terhadap partikel yang ada di ruangwaktu. Dia membengkokkan ruang, mengakibatkan jalur benda bisa berubah (seperti kelereng kedua), atau bahkan menarik benda lain semakin dekat dengannya (seperti kelereng ketiga). Bagaimanapun juga, dia punya batas pengaruh, yaitu tergantung seberapa masif dia (seperti kelereng pertama yang tidak berada dalam jangkauan pengaruh bola sepak itu).
Semakin masif bendanya—misalnya, aku meletakkan bola bowling yang terbuat dari logam—maka bengkokannya akan semakin besar. Contohnya, seperti ini:
Dan karena bengkokannya semakin luas, efek bengkokannya bisa terasa dari lebih jauh lagi.
Terbayang?
Oke, kita berhenti dulu di situ. Jadi, sejauh ini, kita sudah tahu bahwa waktu, atau durasi terjadinya suatu proses, berada di fabrik yang sama dengan ruang. Lalu, fabrik ruang-waktu ini bisa bengkok karena massa suatu benda.
Oke, sebenarnya, massa dan energi, karena Einstein bilang bahwa mereka adalah hal yang ekuivalen (bernilai sama) dan bisa saling berubah, tetapi itu bahasan nanti.
Apa bisa dipahami sejauh ini?
Karena, setelah ini, kita akhirnya akan membahas soal dilatasi waktu itu sendiri. Ini sangat mudah, kok.
Yang penting, kau siap.
Apa kau siap?
Jika sudah siap, kita lanjut.
Perhatikan lagi dua gambar yang aku letakkan di atas tadi. Lihat pola jaring-jaringnya? Saat kontinuum ruangwaktu itu terbengkokkan oleh suatu benda, perhatikan—petak-petaknya memanjang di bengkokannya.
Bentuk dasarnya tetap persegi, tetapi ukurannya berubah, 'kan?
Nah, ini adalah efek dari pembengkokan ruangwaktu.
Kita sudah lihat bahwa massa (dan energi) bisa membengkokkan fabrik ruangwaktu, dan kita sudah melihat efeknya pada ruang.
Namun, bagaimana dengan efeknya pada waktu?
Ruangwaktu adalah hal yang sama, 'kan?
Terus, kenapa efeknya cuma pada ruang? Efek terhadap waktunya mana, dong?
Jawabannya: ada!
Pembengkokan yang kutunjukkan itu adalah efek terhadap waktu juga. Seperti petak yang berubah ukuran dengan gravitasi, waktu juga berubah ukuran di dekat gravitasi.
Lihat bahwa petaknya memanjang?
Seperti itu juga, waktu semakin lambat di dekat gravitasi kuat.
Semakin kuat gravitasinya, semakin dekat dengan medan gravitasinya, semakin lambat waktu berjalan.
Semakin jauh, semakin cepat.
Ih, kok bisa, Fi?
Alam semesta ini memang ajaib.
Yang lebih ajaib lagi, ini sudah dibuktikan berkali-kali. Aku akan mengungkit dua percobaannya yang paling terkenal: percobaan Pound-Rebka dan percobaan Gravity Probe A.
Percobaan Pound-Rebka berupaya mengukur gravitational redshift yang terjadi saat mereka menembak sinar dari atas ke arah Bumi.
Fi kalem bahasanya riweuh tuh.
Oke. Kita bongkar dulu soal gravitational redshift.
(Aku sengaja mempertahankan bahasa Inggrisnya karena tidak tahu istilah bahasa Indonesianya apa.)
Untuk tahu soal gravitational redshift, kita harus tahu dulu tentang redshift.
Apa itu redshift?
Redshift adalah pergeseran gelombang ke frekuensi yang lebih rendah.
Simpel. Begitu saja.
Dalam suatu gelombang atau getaran, frekuensi adalah jumlah getaran dibagi waktu.
Nah, ketika dalam terjadi getaran yang lebih sedikit dalam waktu yang sama, atau jika getaran dengan jumlah sama perlu waktu lebih lama untuk terjadi, berarti frekuensinya turun atau menjadi lebih rendah.
Ini namanya redshift.
Kenapa disebut redshift?
Ingat mejikuhibiniu? Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu? Itu adalah urutan cahaya dalam spektrum tampak, alias cahaya yang bisa dilihat. Kenapa pelangi bisa tampak berurutan begitu? Kenapa urutannya tidak pernah berubah?
Karena, dalam spektrum tampak, warna merah memiliki frekuensi paling rendah. Sementara itu, warna ungu memiliki frekuensi paling tinggi. Warna-warna pelangi itu tersusun berurutan dengan frekuensi gelombangnya—dari yang paling rendah (merah) hingga yang paling tinggi (ungu).
Nah, ketika frekuensi suatu gelombang berkurang, seakan-akan warnanya menjadi semakin 'bergeser' mendekati 'merah'. Makanya, fenomena ini disebut redshift.
Oke, kita sudah tahu soal redshift. Lalu, gravitational redshift itu apa, dong?
Begini. Seperti yang kita singgung tadi, teori Einstein menebak bahwa waktu melambat semakin sesuatu dekat dengan sumber gravitasi. Sekarang, coba anggap ada gelombang yang mendekati sebuah sumber gravitasi yang sangat kuat.
Berarti, waktu melambat bagi gelombang ini, 'kan?
Berarti, agar gelombang ini bisa memenuhi jumlah gelombang yang sama dengan frekuensi aslinya, dia akan butuh waktu lebih banyak, 'kan?
Dengan kata lain, frekuensinya menurun, 'kan?
Jadi, kita bisa bilang bahwa gelombang ini mengalami redshift.
Nah, ini yang namanya gravitational redshift.
Gravitational redshift inilah yang diteliti oleh eksperimen Pound-Rebka. Mereka juga membuat beberapa prediksi sesuai dengan teori relativitas, dengan angka-angka yang didapatkan dari setup eksperimennya, sebelum dicocokkan dengan hasilnya.
Dan hasilnya?
Selain menjadi pionir precision experiments, percobaan ini juga sukses—hasilnya sesuai dengan margin 10%. Percobaan ini disempurnakan lagi nantinya oleh Pound dan Snider hingga marginnya bisa lebih dipersempit lagi menjadi 1%.
Dengan kata lain, gravitational redshift memang benar terjadi.
Alias, dugaan Einstein benar—semakin dekat sesuatu dengan suatu medan gravitasi, semakin lambat waktu berlangsung baginya.
Jika ini masih kurang meyakinkan, kubawakan padamu hasil yang lebih frontal lagi: percobaan Gravity Probe A.
Sebuah pesawat ulang-alik membawa sebuah maser hidrogen—semacam laser, dan dikenal sebagai standar frekuensi—di ketinggian 10.000 kilometer selama 1 jam 55 menit, lalu jam hasil timing maser hidrogen tadi dibandingkan dengan jam presisi yang sama yang ada di Bumi.
Seperti pada percobaan Pound-Rebka, mereka juga membuat prediksi sebelum percobaannya.
Hasilnya?
Jam yang dibawa oleh pesawat ulang-alik itu lebih cepat daripada jam yang di Bumi.
Perbedaannya memang sangat kecil—cuma 4.5 per 10^10 kali lebih cepat. Itu berarti perbedaannya hanya sekitar 0,00000000045 kali lebih cepat. Apabila waktu pengukurannya adalah satu detik, berarti dia cuma 0,00000000045 detik lebih cepat. Tidak banyak, ya?
Namun, dengan alat seakurat maser hidrogen, itu sangat berarti.
Belum lagi, kejadian ini juga sering dialami oleh para pembuat satelit GPS. Mereka harus terus-menerus mengalibrasi ulang jam di satelit mereka, karena jam mereka selalu jadi lebih cepat beberapa detik setelah beberapa hari. Kalau dibiarkan, perubahannya bisa berakumulasi sampai jadi beberapa menit, dan itu sangat mengganggu timing GPS mereka.
Karena itulah Thor sangat tidak sabar ketika Odin malah membahas berbagai hal selain Kur dan Fimbulwinter. Karena Asgard lebih masif daripada Bumi, waktu berjalan lebih lambat di sana. Bagi orang Asgard, mungkin baru beberapa menit yang berlalu. Bagi Bumi, itu sudah bisa jadi beberapa jam sendiri.
Karena itu juga Shiva bilang bahwa Luke ternyata agak lama juga tiba di Everest—Luke dan teman-temannya harus ke Himinbjörg di Asgard dulu. Bagi Luke dan teman-temannya, mereka cuma di Himinbjörg beberapa menit. Siapa yang tahu sudah berapa lama yang terlewat di Bumi?
Nah, ini yang namanya dilatasi waktu.
Oke! Sebenarnya bahasanku cuma sampai sana, kok. Namun, kalau bisa, pahami betul mengenai gravitasi dan kontinuum ruangwaktu ini, karena aku akan mengungkitnya untuk #RCMJScience terakhir dua minggu lagi.
Oh, iya, aku juga akan segera kembali lagi ke Malang untuk kuliah. Dan, yah, ringkasnya, jadwal kuliahku sekarang hancur berantakan karena satu dan lain hal. Jadi, aku akan perlu sedikit penyesuaian diri lagi dengan jadwal baru ini. Belum lagi dengan internet yang lebih terbatas. Mohon maaf jika ada keterlambatan update nanti.
Baik, akan kututup dulu #RCMJScience untuk hari ini. Apabila ada koreksi atau pertanyaan, silakan dicetuskan saja di kolom komentar di bawah. Sampai bertemu lagi di konten bonus RCMJ berikutnya!
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro