Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab Tujuh

Kami salah duga.

Anubis langsung mengambil langkah cepat ke arah terpentalnya benda dari kantong Tony, tetapi anak itu tidak tinggal diam. Dia langsung berdiri, dan tanpa kuda-kuda, melesat menuju Anubis.

Aku berusaha bangun, sementara Leluhur itu mengayunkan tongkatnya dengan sigap ke arah Tony yang menyambar dari belakang. Tony menangkis serangan itu dengan pisau jagalnya, diikuti dengan sebuah ayunan luwes persis ke punggung Anubis – tinggi dan postur mereka sama, sehingga di samping fakta bahwa yang satu adalah Leluhur dan yang satu dilindungi Leluhur, mereka tampak seperti petanding yang imbang.

Anubis menunduk, menghindari tebasan Tony, dan ganti menyerang perut orang itu dengan tongkatnya. Tongkat itu tampak seperti tombak-kapak dengan ujung atas berpisau lengkung kecil dan ujung bawah terpisah pendek seperti garputala – Tony melompat mundur menghindari ujung pisaunya.

"Kau tidak apa-apa?" Laura menghampiriku. Entah kenapa, sentuhannya terasa hangat – dan aku merasa enakan segera setelah itu.

"Tidak apa-apa," kataku sambil berdiri dibantunya. "Ambil amuletnya, aku bantu Tony."

Laura mengangguk dan pergi mengitari medan pertempuran, sementara aku mendapatkan kuda-kuda yang kubutuhkan.

"Anubis!" panggilku. Leluhur itu menoleh, teralihkan dari serangannya pada Tony, dan aku cuma membuka kedua telapak tanganku ke arahnya. "Halo."

BZZT.

Petir melompat dari tanganku. Anubis bahkan tidak membelalak – seperti Neith, mungkin dia sudah tahu bahwa ada darah Thor di nadiku – tetapi Leluhur itu jelas kaget dengan seranganku. Dengan dada terbakar parah, dia terpental mundur.

Tony tidak menyia-nyiakan momentum dan segera melompat, menerkam pisau duluan, ke arah Anubis, menyayat lengan atas kirinya dengan sukses. Anubis mengerang, lalu mengayunkan tongkatnya dengan tangan kanan – ujung pisaunya memaksa Tony menjauh lagi dari radius ayunan. Begitu Tony menyingkir dari arahku, aku menembakkan satu sambaran petir lagi ke arah Anubis.

Dia sudah siap. Ujung garputalanya diarahkan ke seranganku, dan serangan petirku mendadak hanya mau melompat ke arah situ. Begitu petirku habis, Anubis cuma menyeringai – tongkatnya berdengung lembut.

Luka-lukanya, entah itu luka bakar dariku ataupun luka sayatan dari Tony, menutup diri sendiri.

Mataku membelalak, tetapi Tony tidak buang-buang waktu dan langsung melompat maju lagi untuk menyerang. Anubis kali ini cuma mengarahkan ujung tongkatnya ke arah Tony –

BLAR.

Kilatan cahaya lepas dari ujung tongkat itu, dan Tony terpental mundur dua meter. Dengungan dari tongkat Anubis sudah hilang, tetapi dia langsung berbalik.

Laura baru saja menemukan amulet Wedjat di tanah dan langsung terpaku. Ekspresi Anubis berubah. "Kau!"

Laura segera berbalik dan lari, Anubis di ekornya – tetapi aku tidak tinggal diam. Tongkat Anubis malah menyerap petirku...

Lalu aku terbayang setiap Anubis menutup helmnya.

Aku mengarahkan telapak tanganku ke sabuk Anubis dan menembakkan listrik sekuat tenaga ke arah situ.

Sabuk itu mengeluarkan bunyi yang sangat tidak mengenakkan, beberapa loncatan listrik kecil dan bunga-bunga api memercik dari situ. Anubis terpaksa berhenti mengejar Laura dulu untuk memeriksa apa yang salah – atau mungkin memeluk pinggangnya yang sedang terbakar kecil.

Tony melanjutkan seranganku dan berusaha menikam Anubis, tetapi jarak Tony dengan Leluhur itu memberi Anubis keuntungan. Dia masih sempat memutar tubuh dan menyambut tikaman Tony dengan pelindung lengannya – yang ternyata sangat keras hingga pisau Tony patah.

Sementara itu, aku semakin dekat dengan Anubis. Kali ini, pisau dapurku sudah di tangan.

Membuat lompatan listrik kecil terus-menerus dari tanganku ke bilah logam pisauku, aku menerjang Anubis. Dia berusaha menangkalnya dengan pelindung lengannya lagi, tetapi listrikku langsung bekerja – keping logam itu malah menyetrum lengannya sendiri. Anubis berbalik dengan cepat dan mengarahkan kepalan tangannya yang satu lagi untuk sebuah pukulan telak ke perutku.

Aku tidak sempat menghindar.

Pukulan Anubis mendarat di perutku bersamaan dengan pukulan Tony di kepalanya.

Aku terpental kira-kira semeter ke belakang, jatuh tengkurap, pisauku yang patah entah hilang ke mana, sementara Tony berusaha melancarkan lebih banyak lagi serangan tangan kosong. Tetapi Anubis tidak bertangan kosong. Aku bisa mendengar bunyi mekanik lemah dari peralatannya yang sudah kurusak, dan mendadak aku sadar bahwa yang bisa memperbaiki diri bukan cuma kulitnya saja.

Perutku masih merasakan perih menyengat dari bogem mentah selevel Leluhur, dan berdiri tiba-tiba menjadi tantangan tersendiri. Anubis mengayunkan cepat tongkatnya, sekali lagi nyaris mengenai Tony dengan bilah pisaunya – kali ini terlalu nyaris – dan begitu Tony terpaksa mundur dari radius ayunan itu, Anubis menjejak kuat-kuat ke tanah.

Dia melompat langsung ke arah Laura yang sedang berlari.

Dua detik itu terasa sangat lama. Laura berbalik. Jarak Tony terlalu jauh dari Anubis di udara untuk menyusulnya. Aku berusaha mengarahkan tembakan ke punggungnya, tetapi ujung garputala tongkatnya bergerak-gerak dan mempersulit bidikanku.

Satu detik.

Persetan.

Aku menembak.

Anubis tiba di tempat Laura – dan tubuhnya tidak berasap.

Tongkatnya berdengung lembut.

Sial!

Tony langsung berlari menghampiri mereka. Perih di perutku belum sepenuhnya hilang, tetapi aku memaksa diri untuk bangun. Jangan Laura, jangan Laura –

Ada pekikan seorang gadis dari arah sana, dan jantungku mencelus.

Lalu, mengejutkannya, aku mendapati Anubis terpental ke arahku.

Refleksku tidak berkhianat, dan aku langsung berguling ke samping. Leluhur itu terjatuh di dekatku.

"Laura –"

Dan aku melihatnya.

Laura berdiri tegak di tempatnya tadi, tidak selangkah pun mundur dari sejak Anubis tiba di sana. Ekspresinya penuh...aku tidak menemukan kata yang lebih tepat dari percaya diri. Kedua tangannya terkepal, salju di dekat kakinya meleleh, dan mata kirinya menyala.

Ya, menyala. Seperti mata Anubis dan Neith. Mata kanannya tetap normal, tetapi iris mata kirinya kini berwarna biru langit dan menyala terang sekali.

Dan aku baru menyadari bahwa kalung yang dikenakannya juga menyala.

Laura mengenakan Wedjat.

Napas Laura sangat tenang. Matanya terkunci pada Anubis, memandang Leluhur itu dengan awas, seperti menanti gerakan selanjutnya. Melihat Anubis sendiri kesulitan bangun, barulah Laura berani menoleh ke arahku. "Ya?"

"Er," tiba-tiba aku merasa dungu. "Tidak apa-apa."

Laura mengangguk kalem. "Kita sudah dapat Wedjatnya. Sekarang apa?"

Aku menebar pandangan dulu – dan mataku terpaku pada tongkat Anubis yang terpisah dari pemiliknya. Aku langsung bergerak ke sana untuk mengambilnya: tongkat ini masalah besar di tangan Anubis.

Tetapi baru saja aku menyodorkan tanganku, tongkat itu menjauh.

Serius – tongkat itu bergerak sendiri. Seakan-akan tanganku adalah kutub magnet dan tongkat itu mempunyai kutub yang sama. Heran, aku mendekat lagi.

Benar. Tongkat itu menjauh sendiri.

Anubis terkekeh seraya berusaha berdiri. "Bodoh," katanya. "Tongkat was-ku itu adalah astra, senjata Leluhur. Hanya pemiliknya yang bisa memakainya – dan was itu hanya mau digunakan oleh pemilik DNA-ku. Alias diriku sendiri."

Leluhur itu akhirnya berhasil meletakkan kaki di bawah tubuhnya, dan aku menegang. Laura langsung mengambil kuda-kuda. Anubis mengacungkan tangannya ke arahku – tongkatnya terbang ke tangannya.

Aku baru saja menghindar kaget saat tongkat – apa tadi namanya, was? – itu melesat melewati sisi wajahku, langsung ke arah tangan Anubis yang terbuka, tetapi belum tiba tongkat itu di tangan Anubis, sekelibat bayangan menghentikannya.

Tony.

Orang itu menyambar tongkat was Anubis di udara, menghentakkan ujung garputalanya ke tanah hingga tongkat itu mengeluarkan lagi suara berdengung, lalu mengarahkan ujung pisaunya ke Leluhur itu.

"Pergi kau."

BLAR.

Tembakan sinar meledak dari ujung tongkat itu – bahkan lebih terang daripada serangan Anubis yang pertama tadi. Tongkat itu menyimpan semua energi dari petirku dan hentakan Tony, dan aku yakin totalnya lebih daripada petirku yang pertama. Anubis tidak sempat memekik kaget saat dorongan dengan tenaga tak terhitung membantingnya ke dinding terdekat, membuat sebuah retakan raksasa berbentuk Leluhur.

Anubis terjatuh, diam seribu bahasa. Mengerang pun tidak. Tony masih memegang tongkat was Anubis dengan tegas. Laura datang, seulas senyum di wajahnya, sementara aku tercengang.

"Apa...?" aku memandang Tony. Anak itu mengangkat bahu.

Lalu pusaran angin kecil.

Aku mulai bisa mengenali gangguan gravitasi gara-gara jembatan adisemesta di manapun itu, jadi aku langsung mengenali jembatan ini sebagai Gerbang Duat.

Begitu sebuah lubang awan kehitaman dengan jalur sewarna merah api muncul, kami langsung memasang kuda-kuda perang. Anubis masih tidak berkutik. Lalu sosok yang melompat keluar –

Aku menghela napas lega.

"Wow," kata Neith sambil mengayunkan gelangnya hingga topengnya terbuka. "Lumayan juga. Bagaimana rasanya, Tukang Gonggong?"

Aku ingat pernah membaca bahwa orang-orang Yunani-Romawi dulu memanggil Anubis seperti itu sebagai sindiran karena mereka merasa dewa-dewi Mesir yang berkepala hewan itu primitif. Anubis akhirnya mengerang juga. Neith terkekeh.

"Yeah, sudah kuduga."

Leluhur itu menghampiri Anubis dan dengan sigap memborgolnya dengan sekeping besi yang bersinar. Anubis tidak kuat melawan – berdiri pun sepertinya dia tidak bisa.

"Maaf aku baru datang," kata Neith sambil menyeret Anubis. "Aku kehilangan jejak Anubis sebentar. Pemburu Duat lainnya juga. Untung saja kau mengenakan Wedjat," Neith menganggukkan dagu ke Laura. "Aku akan mengenali gelombang kejut Wedjat di manapun. Aku langsung ke sini, mengharapkan yang terburuk."

"Dan pemilihan waktumu luar biasa," kata Laura cerah. "Terima kasih."

"Er," aku mengangkat tangan. "Maaf. Aku heran." Aku melirik ke arah Tony lagi – dia masih membawa was Anubis dengan santai. "Bukannya was itu...apa, astra?"

Neith mengangguk. "Iya. Dan astra cuma bisa digunakan oleh pemiliknya karena dia dikunci dengan kendali DNA."

"Lalu kenapa...Tony bisa...bukannya harusnya cuma Anubis yang...?"

Neith tersenyum. "Kesimpulanmu?"

Ide-ide baru saja membentuk diri di kepalaku, tetapi aku kalah cepat. "Aku berdarah Anubis," jawab Tony. "Aku baru ingat waktu tadi Anubis menyebutkan soal astra. Saat aku sekarat dulu, tidak ada cukup pasokan darah manusia untuk menggantikan kekurangan darahku. Akhirnya Anubis mentransfusikan darahnya sendiri."

"Yeah, dan balas budimu boleh juga," gumam Anubis. Neith menepuk punuk besi yang ada di punggung Anubis, dan helm Anubis menutup sendiri sementara Anubis cuma mengerang.

"Jangan protes soal helmmu, kita kembali ke Geb," kata Neith galak sambil mengenakan lagi topengnya. Lalu ia menoleh pada kami. "Yah," katanya canggung. "Terima kasih banyak untuk bantuan kalian. Aku percayakan Wedjat pada kalian. Aku tahu kalian punya mata yang bagus soal memilih orang mana yang bisa dipercaya."

Neith masuk kembali ke Gerbang Duat, menyeret Anubis yang lemas bersamanya, dan mereka menghilang.

"Aku penasaran," kata Tony sambil mendekati kami. Laura melepas Wedjat, dan kedua matanya kembali normal. Ia mengerjap sebentar sebelum mengantongi amulet itu. "Bagaimana kalian berencana mengalahkan Kur?"

Aku bertukar pandang dengan Laura. "Ikut kami," kataku. Tony mengangkat alis dan mengekor aku dan Laura.

"Ray," panggilku. Naga itu akhirnya keluar dari bayang-bayang, dan lucunya, dia menunduk – seakan-akan dia malu akan sesuatu.

Maaf aku tadi tidak membantu, dia seperti berkata begitu dengan sangat menyesal. Jalannya gontai dan ekornya diseret – bahkan sayapnya yang dilipat tidak bergoyang di punggungnya seperti biasa. Tapi tadi aku disuruh tetap di sini.

"Tidak apa-apa, Bung," kataku sambil mengelus kepalanya. Tony menelengkan kepala.

"Naga?" tanyanya. Aku mengangguk.

"Dua ekor. Beth?"

Naga itu ikut keluar, sama gontainya, dan Laura langsung memeluknya. "Jangan begitu," bisiknya pada naga gembul itu. Beth memberi dengkuran lembut sebagai balasannya.

Tony menyentuh dagunya. "Sepertinya bisa," katanya. "Ya, jika ditambah Wedjat, mungkin kalian bisa paling tidak mengimbanginya."

Aku membayangkan lagi ukuran Kur yang tidak masuk akal itu, lalu diriku, Laura, Ray, dan Beth bertarung melawannya dengan salah satu dari kami mengenakan Wedjat. Rasanya sangat tidak imbang. Apakah Wedjat benar sekuat itu?

Tetapi Laura mengangguk. "Aku bisa membayangkannya."

"Memang cara kerjanya bagaimana?" tanyaku. Tony berpikir sesaat.

"Jika kau sudah mengenakannya," katanya, "nanti kau juga tahu sendiri. Percayalah. Aku tidak bisa menggambarkannya. Kau?"

Laura menggeleng. "Tidak bisa juga."

Tony menatap kami dalam-dalam. "Aku minta maaf tidak bisa banyak membantu kalian untuk sekarang. Neith menyelamatkanku, dan aku berutang nyawa padanya, jadi aku akan percaya kata-katanya soal kalian. Jagalah amulet itu. Untuk saat ini, aku belum punya transportasi – aku kurang suka terbang. Jangan tersinggung," tambahnya saat melirik Ray. "Aku akan mencari cara bepergian dulu. Setelah itu, aku berjanji aku akan membantu kalian sebisaku." Dia memutar lagi was Anubis dengan lancar. "Sepertinya aku akan menyimpan ini. Jarang-jarang aku punya senjata bagus, dan sekarang aku malah dapat sebuah astra. Apa kau tahu ini adalah perlambang kekuasaan para dewa?"

"Aku pernah baca," sahutku. "Baiklah kalau begitu. Kami tahu kami akan butuh bantuanmu – jadi kami tunggu."

Tony mengangguk mantap. "Kalian tidak akan perlu menunggu lama."

Aku dan Laura menunggang naga kami lagi tanpa komentar, melambai sopan sebagai ucapan selamat tinggal, dan terbang menuju langit gelap – meninggalkan Tony yang tampak berpikir serius dengan was di genggamannya.

***

Kami tidak perlu susah-susah mencari Kur.

Wyvern kuno itu terlalu mudah dilacak – kami tinggal mengikuti jejak jeritan, asap, dan kehancuran jika kami kehilangan jejaknya. Dan kami tidak kehilangan jejak, karena ukurannya yang tidak masuk akal itu membuatnya tampak terlalu jelas bahkan dari jarak berkilometer-kilometer jauhnya.

Laura mengeluarkan amulet Wedjat dari kantongnya, menghela napas, lalu memakainya lagi. Seperti tadi, mata kirinya berubah warna menjadi biru langit dan bersinar seperti mata kucing. Ekspresinya yang tadi tegang berubah, perlahan menjadi serius, lalu menjadi kalem, dan sesaat kemudian menjadi bersemangat.

Bedanya, kali ini aku seperti merasakan semangat meradiasi dari arahnya.

Tunggu, bukan. Ini bukan semangat.

Ini harapan.

Tiba-tiba, dua orang bocah enam belas tahun dengan dua ekor naga melawan wyvern kuno yang kurungannya sebesar rangkaian pegunungan tampak seperti sebuah skenario yang imbang.

Ray merinding sebentar di bawahku sambil mendengus, tampak gelisah seperti ingin bergerak. Kecepatan terbang kami membuat semuanya terlihat kabur, tetapi kali ini aku bisa melihat segalanya dengan jelas. Kulitku bisa membedakan segala beda suhu dan tekanan yang dirasakannya di seluruh tubuh secara presisi. Lidahku bisa mengenali rasa-rasa yang ada di situ yang sebelumnya tidak kusadari ada. Hidungku mencium lebih banyak bebauan dari yang pernah kurasakan sebelumnya. Telingaku bisa mendengar melewati desir angin yang kurasakan – atau, lebih tepatnya, mengenali lebih jelas suara yang ada di baliknya yang sebelumnya tidak kuanggap. Lalu, terutama, mataku bisa menangkap jelas segala hal yang tampak, secepat apapun dia berkelibat.

Seluruh inderaku seperti baru saja di-upgrade.

Tidak hanya panca inderaku, aku bisa merasakan beberapa perubahan lain. Aku tahu bahwa kecepatan reaksiku meningkat – sekarang aku tidak sepenuhnya tergantung pada refleks dalam situasi cepat-tanggap, dan jika iya sekalipun, pilihan tindakan refleksku tidak akan sembarangan.

Di samping mampu mengenali lebih banyak rangsangan, aku juga sadar betul bahwa aku bisa memilih untuk fokus pada rangsangan tertentu saja. Aku bisa memilih untuk sepenuhnya mencurahkan perhatianku ke satu hal saja dan mengabaikan yang lainnya.

Dan karena itulah aku tahu bahwa Ray dan Beth juga merasakan hal yang sama denganku.

"Oke," aku bisa dengar suara Laura dengan sangat tajam dari sisiku. "Siap?"

Aku melihat lurus ke depan – Kur tinggal ratusan meter dari kami, dan kami sudah sulit melihat seluruh bentuk kepalanya. Kulitnya tampak sangat tebal, aku tidak yakin sisik yang seperti itu ada di Bumi. Beruntungnya bagi kami, saat itu Kur tidak sedang menghancurkan apa-apa dan hanya terbang lurus. Kami mendekat dari atasnya, berusaha melacak satu saja titik kelemahan. Dari seluruh tubuhnya, satu-satunya lapisan yang tampak tipis dan rentan hanya membran sayapnya saja, dan itupun tebalnya melebihi kepala Ray.

Tetapi kulitnya tidak mungkin solid seperti selapis batu atau semen kering. Kur masih bisa bergerak cepat. Tidak lincah, tetapi cepat. Berarti, karena tidak ada celah-celah tempat gerak otot di bawah kulitnya, cuma ada satu jawaban – kulit Kur elastis, seperti kulit manusia.

Yang berarti, setebal dan sekeras apapun kulitnya ini, dia masih cukup lembut untuk bisa dilukai.

Jadi aku mempersiapkan diri untuk menyerang punggung Kur. "Ayo."

Ray seperti membaca pikiranku dan langsung terbang menukik turun, sementara Laura mempercepat lagi terbangnya untuk menyusul ke depan Kur. Kami menukik terus, membiarkan gravitasi menambah kecepatan kami sementara kami tetap bergerak ke depan agar tidak tertinggal oleh Kur.

Segera, jarak antara moncong Ray dan punggung Kur bisa dihitung dengan meter.

Enam puluh.

Lima puluh.

Empat puluh.

Tiga puluh.

Dua puluh –

"Tembak!"

Ray menembakkan sebuah bola api kilat, sementara aku menyambar dengan petir dari tanganku. Ray langsung membentangkan sayapnya, mengerem gerakannya secara dadakan dan terbang lurus ke depan dengan cepat.

"Naik," kataku padanya, dan naga itu menurut. Aku perlu melihat luka seperti apa yang mungkin sudah kami akibatkan pada Kur, paling tidak untuk membayangkan seberapa perjuangan kami nanti. Dengan bergerak naik dulu, terbang kami ke depan jadi agak lebih lambat, membiarkan tempat yang tadi kami serang untuk mendahului kami.

Lalu aku melirik ke bawah.

Ada sedikit asap yang segera hilang – dan kulit Kur yang sempat terbakar sedikit langsung kembali seperti sediakala.

Jantungku mencelus.

Ray kembali terbang secepat Kur, menyusulnya lagi. Sementara itu, Laura di depan sana mendarat di tengkuk Kur – persis di sendi antara kepala dan lehernya – dan, sambil menghindari duri-duri kepala Kur, Beth mulai meniupkan api ke tempat itu.

Ya – naga itu tidak meledakkan api. Ia meniupkan api terus-menerus, seperti berusaha memanaskan tempat itu.

Hmm. Rencana itu boleh juga. Jika kami bisa membakar Kur lebih cepat dari tubuhnya menyembuhkan diri, mungkin akhirnya kami bisa melukai –

Kur merinding sesaat dengan gelisah begitu merasakan luka bakar dari Beth tidak bisa disembuhkan. Tetapi merinding bagi Kur adalah sebuah gempa bagi Beth dan Laura, dan keduanya langsung terpeleset leher Kur, bergerak langsung ke sisi lehernya –

Tidak ada pegangan.

Sementara Beth bergulir jatuh dari sisi leher Kur, Laura kehilangan pegangan di punggungnya, dan mereka jatuh terpisah.

Mataku bahkan tidak sempat membelalak. Inderaku yang dipertajam oleh Wedjat membantuku melihat semuanya dalam gerak lambat, dan aku langsung membuat keputusan tanpa perlu berpikir lagi.

"Ray!"

Naga itu tidak perlu disuruh dan langsung menukik cepat, menyusul leher Kur. Menanti Kur lewat atau turun lewat jalur memutar akan makan terlalu lama, dan kami tidak bisa melubangi sayapnya karena terlalu tebal – satu-satunya harapan kami untuk turun cepat adalah menyusul dari depan.

Ray luar biasa. Aku tahu James bilang kecepatan Ray bisa mencapai tiga ratus kilometer per jam, tetapi aku tidak terbayang nagaku bisa terbang secepat ini. Ada tarikan lembut di perutku yang mendadak berubah menjadi sebuah cengkeraman saat Ray awalnya hanya melipat sayap, diikuti dengan terjun bebas lurus ke bawah seperti sebuah jarum jatuh.

Kami bisa melihat Laura dan Beth di bawah sana, jatuh bebas tidak karuan, menjerit dengan bahasa masing-masing – mereka akan segera mencapai kecepatan terminal. Ray sepertinya menyadari itu juga. Jika mereka sudah mencapai kecepatan terminal, mereka tidak akan lebih cepat lagi dari itu – tetapi kami juga tidak bisa lebih cepat lagi dari kecepatan terminal. Kami akan terkunci di jarak yang sama hingga mereka menyentuh tanah. Ray berusaha melipat segala sendi di tubuhnya, membuat tubuhnya sekecil dan seaerodinamis mungkin.

Kami masih tiga puluh meter jauhnya dari Laura dan Beth, tetapi selama sesaat, rasanya seakan-akan kami tidak saling mendekat sama sekali. Kecepatan jatuh kami nyaris sama.

Tolonglah, tolonglah –

Lalu Beth melakukan satu hal yang baru saja kusadari bisa membantu Laura. "Laura! Rentangkan tangan!" teriakku. Aku tahu gelombang suaraku pasti tertinggal di belakang, sehingga kemungkinan besar Laura tidak mendengarku, tetapi aku harap inderanya yang ditingkatkan Wedjat mendengarku tadi.

Laura mengerjap. Lalu ia membuka tangan dan kakinya lebar-lebar.

Ray langsung bisa menyusul Laura begitu jatuhnya gadis itu melambat. Dua puluh meter.

Mata Laura menunjukkan panik, tetapi begitu mata kami terkunci, paniknya memudar sedikit – sementara aku merasa pengaruh Wedjat semakin kuat lagi padaku.

Lima kilometer di atas tanah.

Ayolah, Ray –

Sepuluh meter dari Laura.

Aku sudah menunduk dan menempelkan tubuhku pada tubuh Ray supaya tidak terhempas angin ke belakang, tetapi aku masih memeluk Ray bahkan lebih erat lagi agar Ray bisa lebih cepat memotong udara. Aku tahu pengaruhnya tidak banyak, tetapi aku harus mengusahakan semua yang kubisa.

Mata Ray memicing pada Laura –

Lima meter.

Mendadak aku sadar bahwa yang menanti di bawah Laura bukanlah tanah – itu adalah lautan yang tampak gelap karena tidak ada sumber cahaya. Selama sepersekian detik, pandanganku yang dipertajam mampu menangkap pemandangan dari pojok mataku – aku tidak melihat dataran di mana-mana. Aku bahkan tidak sadar kami sudah bergerak sejauh ini.

Sedikit lagi –

Dua meter.

Ray langsung mengajukan kedua lengan depannya dan menangkap Laura.

Dia membuka lebar sayapnya.

Laju terbang kami bertransisi menjadi lurus ke depan sebelum kami menyentuh tanah. Aku tidak bisa bilang tadi adalah pengalihan arah paling halus yang pernah kualami, tetapi aku dan Laura tidak merasakan sentakan yang berarti. Ray menggeser posisi Laura di lengannya agak ke samping, sehingga aku bisa mencapai tangan Laura.

"Naik," kataku. Laura mengangguk, mencengkeram lenganku, lalu berusaha mencari pijakan untuk bergerak dengan sangat waswas melewati sendi sayap Ray. Ray membantunya dengan berputar sedikit agar Laura jadi di atas, menyentak gadis itu sedikit, lalu kembali berputar. Laura mendarat di punggungnya, persis di belakangku. "Kamu tidak kenapa?"

Laura mengangguk dan menelan ludah. "Kita perlu cara baru menangani Kur."

"Setuju."

Ray kembali terbang ke atas, menyusul Kur. Di atas sana, Beth tengah menembakkan bola-bola api pada Kur dengan marah – aku tidak pernah menduga Beth bisa bergerak secepat dan seliar itu, atau bola apinya sebesar itu. Bahkan sesekali Kur menggeram protes kepadanya, memekakkan telinga kami. Sebagai perbandingan, dia tidak mengeluarkan suara apapun selama dua serangan pertama kami tadi.

"Beth!" panggil Laura dari belakangku. Naga gembul itu berhenti menyerang Kur, menengok ke bawah – dan langsung mengenali Laura. Ia mengaok senang, lalu menukik turun untuk menyambut kami.

Laura bersiap-siap untuk melompati punggung Ray dan mendarat di punggung Beth. Aku bersiap memperlambat terbang Ray untuk hal itu.

Tetapi geraman Kur semakin keras.

Tiba-tiba aku sadar bahwa bukan geraman Kur yang semakin keras – wyvern itu menoleh ke arah kami.

Dia merubah arah mendadak.

Geramannya mulai berubah menjadi sebuah raungan.

Dia berputar di tempat, mengepakkan sayap akbarnya sekali untuk mengatur perubahan arahnya, lalu langsung melesat maju menyambut titik temu kami.

Sebuah gua raksasa sebesar kota berhiaskan taring-taring sebesar manusia menyambut kami.

Mendadak udara terasa panas di situ.

Lalu aku menyadari satu hal – fatamorgana.

Mulut Kur mengeluarkan panas di tengah udara beku ini –

Oh, tidak.

Mataku baru membelalak. "LAURAYBETHAWAS –"

BOOM.

Kur menembakkan bola api berdiameter yang lebih besar dari patung Liberty ke arah kami.

Pandanganku yang sudah di-upgrade sekalipun ditelan bulat-bulat oleh cahaya api yang terangnya tidak main-main itu.

Refleksku mati.

Bukan lagi sekadar panas yang menggelitik kulitku.

Aku terbakar.

Seluruh tubuhku terbakar.

Dan aku tidak bisa mengabaikan satu rangsangan pun.

Seluruh inderaku ditendang hingga ke gigi maksimum, dan semuanya cuma bisa mencicipi api dan kematian.

Jeritan Laura bergema di kepalaku, disusul raungan memekik Ray dan Beth.

Pelukan Laura di punggungku ataupun punggung Ray yang kududuki menghilang begitu saja.

Aku cuma merasakan satu hembusan angin neraka terakhir seraya kesadaranku akhirnya hilang sepenuhnya.

***

Dingin.

Seluruh tubuhku merasakan angin yang luar biasa dinginnya, dan aku tidak bisa menahan diri dari menggigil. Gigiku gemeretuk. Mataku enggan terbuka – entah itu, atau aku buta.

Lalu sesuatu terasa keras di kelopak mataku. Ya, mataku saja yang enggan terbuka. Syukurlah.

Aku mendengar suara-suara langkah yang sangat lembut, seakan orang yang melangkah itu sangat hati-hati dalam bergerak. Lalu sesuatu yang hangat menyentuh dahiku.

Kain.

Basah.

Kompres.

Itu adalah sebuah kompres.

Seseorang itu menghela napas dari sebelahku sebelum bergerak lagi dengan hati-hati ke sisi lain. Lalu aku mendengar erangan lembut – sangat lembut.

Laura.

Kelopak mataku langsung raib.

Aku bangun terduduk, dan tiba-tiba merasakan sakit yang amat sangat – aku tidak bisa melacak sumber sakitnya. Seluruh tubuhku menjerit protes penuh pilu, dan aku kembali jatuh terbaring. "La – Lau –"

Perlu dua detik hingga paru-paruku ingat caranya bernapas. "L-Luke..."

Aku bernapas berat, tetapi berusaha menenangkan diri. Gadis itu masih bisa menjawabku, walaupun suaranya benar-benar lemas. Aku tidak yakin ia akan bisa bicara normal selama sisa hari ini. Aku sendiri juga sepertinya tidak akan bisa.

Tunggu. Jika aku sudah mati, apa berarti Laura sudah mati?

Lalu kenapa suara kami begini?

Apakah kami diselamatkan?

Memangnya siapa yang bisa menyelamatkan kami dari bola api selevel Kur tadi?

Boom...

Cahaya putih membutakan itu berputar lagi di kepalaku. Kulitku yang sudah terasa lebih dingin mendadak terasa seperti terbakar lagi, lalu jeritan Laura dan naga kami kembali mengulang diri.

Dan bergema...

Stop.

Aku mengerang dan kembali berusaha menggerakkan tubuhku – nyaris tidak bisa.

"Sabar," kata sebuah suara. "Luka-luka kalian mengerikan."

Suara itu terdengar seperti suara gadis kelaki-lakian atau suara laki-laki kegadisan. Mungkin seorang laki-laki muda. Jika benar dia laki-laki, maka menilai dari suaranya, aku taksir umurnya hanya di bawahku beberapa tahun. Berarti umurnya mungkin sekitar tiga belas. Dia berbicara hanya dengan sedikit aksen, tidak sekental Tony.

Aksen...

"S-sia...pa...?" aku berusaha berbicara, tetapi bahkan bibirku terasa kaku.

"Namaku Will," jawab suara itu. "Kalem. Aku bukan musuh. Untuk sekarang."

"A...apa...?" aku menarik napas berat lagi. "'Pa...m...maks...ud...?"

"Aku tidak kenal kalian," kata Will. "Jadi jika ternyata kalian macam-macam, aku tidak akan ragu membunuh kalian."

Jantungku sudah menemukan temponya, dan kini mulai berpacu lagi. Anak tiga belas tahun dari mana ini? Atau mungkin dia bukan laki-laki tiga belas tahun dan ternyata seorang wanita dewasa? Itu juga mungkin. Mataku akhirnya menemukan keberanian untuk melirik ke arah sumber suara itu.

Dugaan pertamaku benar.

Sumber suara itu adalah seorang anak laki-laki, lebih pendek dariku sekitar lima senti, berambut pirang nyaris-cepak acak-acakan. Dia cuma mengenakan kaos di balik jaketnya, dan celana panjang putih yang compang-camping dan tampak kotor.

Akhirnya akalku mulai bertanya dengan benar. "D-di...hmmmana ini?" aku berusaha bertanya. Suaraku terdengar sangat jelek, seperti suara kodok tersedak.

"Kreta, Yunani," kata anak itu. "Ini gubukku."

Gubuk ini jelas tidak seperti Himinbjörg, tetapi sepertinya itu bukan perbandingan yang adil, jadi aku diam. Gubuk ini berdinding kayu yang, menariknya, tampak cukup kokoh. Aku berbaring persis di sebelah jendela. Jendela itu memang tertutup, tetapi hembusan angin beku dari luar terus membuatnya berderik tanpa henti. Pantas saja aku kedinginan sendiri.

Sementara itu, Laura terbaring di tempat lebih jauh ke tengah ruangan – sepertinya di sofa sana, di dekat perapian yang menyala lemah. Baguslah. Paling tidak ia tidak harus merasakan kedinginan yang sama.

"Kau...sendiri...di...s-si...ni?"

"Ya," kata Will. Ekspresinya mengeras sesaat. "Tadinya sih, tidak. Cuma musim dingin ini merebut mereka semua."

Aku teringat lagi episode agresif ibuku. Aku teringat lagi akan Claire. Mendadak aku merasa begitu beruntung – Thor bilang ibuku bisa ditolong, dan Odin sendiri yang mengantarkan adikku ke Ruang Medis para Leluhur Asgard. Para Leluhur menjamin keluargaku. Will tidak punya kesempatan itu. "Hmmaaf."

Will menggeleng. "Tidak apa-apa. Namamu Luke?"

"Ya."

"Dan ini Lau...Laura?"

Aku berusaha mengangguk. Leherku protes. Will mengangkat alis.

"Oke. Hai. Jatuhmu tadi gila."

"Ja...tuh...?"

Will menatapku dengan tatapan ganjil. "Iya. Kalian seperti semacam meteor tadi. Cepat sekali bergerak melewati langit, lalu bum. Kalian menghantam tanah. Aku masih tidak mengerti mukjizat macam apa yang membuat tubuh kalian masih utuh begini."

Bum.

Boom...

Aku memejamkan mata sebentar untuk mengusir lagi memori itu. "Sepertinya aku tahu, tapi aku tidak yakin kau akan percaya."

Will mengangkat bahu. "Terserah kau saja."

"Will." Bibirku sudah terasa lebih luwes. Hmm. Ternyata tidak makan selama itu hingga kondisiku membaik. Apakah efek Wedjat? Restu Thor? Entahlah. "Terima kasih."

Anak itu terdiam sebentar, lalu menghela napas panjang. "Sama-sama."

Lagi-lagi, aku merasa sungkan. Sumpah, aku harus belajar menangani ini. "Apakah...kau tahu, waktu kami, er, jatuh. Apa kami menginterupsi sesuatu?"

Will meninggalkan tempatnya duduk di dekat Laura dan akhirnya duduk di sebuah bangku kayu yang diletakkan dengan sangat nyaman di depan perapian langsung. Siluetnya menari-nari bersama api kecil yang masih menyala di situ. "Kurang lebih."

Aku memejamkan mata. "Maaf."

"Tidak apa-apa."

"Jika kami bisa bantu, kami akan –"

"Tidak," sergah Will cepat. "Jangan."

Aku berusaha melihat ke arahnya, tetapi mata anak itu masih terpaku ke perapian. "Memangnya kami menginterupsi apa?"

Tetapi saat itulah tarian api perapian terpantul pada sebuah permukaan lembut di atas sandaran tangan kursi kayu itu – dan jantungku mencelus.

Jangan bilang –

Seakan untuk memperkuat lagi pradugaku, Will menoleh ke arahku dari kursinya. Senyumnya sangat kecut. Saat itulah, sepersekian detik saat mulutnya baru terbuka kecil untuk menjawabku, aku tahu bahwa dugaanku benar.

"Bunuh diri," katanya. "Kalian menginterupsiku bunuh diri."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro