Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab Lima

Catatan penulis: Maaf untuk keterlambatan postingnya, hehe. Ini dia. Mulmed perbandingan ukuran Kur dengan Luke dan Laura. Di mana Luke dan Lauranya? Dua garis sebesar upil di antara kedua kaki Kur itulah mereka. Besar ya?

Oke, maaf memperlambat kalian. Selamat menikmati!

***

Y Ddraig Goch ternyata adalah bahasa Wales untuk Naga Merah. Rangkaian kata itu secara harfiah berarti The Red Dragon. Sekilas, aku teringat novel horor berjudul sama yang bertokohkan Hannibal Lecter – psikiater kanibal genius yang tersohor itu – dan untungnya, Naga Merah tidak seperti Lecter. Tetapi pantas saja dia minta dipanggil Naga Merah. Toh, itu memang namanya.

Naga Merah mengirimkan seekor naga gembul yang berwarna putih bersih, tanpa noda ataupun corak, untuk mengantarkan kami keluar. Jalan ini adalah jalan pintas kami, kata Naga Merah. Dari situlah kami bisa keluar mencari makan dan terbang.

"Hei," ujarku singkat kepadanya. "Terima kasih."

Sama-sama, kata Naga Merah seraya si putih bersih mengantarkan kami melewati sebuah terowongan yang sangat lebar, tersembunyi di balik sebuah lapisan batuan tipis. Perjuangkan kaum kami, Putra Thor dan Putri –

"Tunggu, apa?" aku baru saja membalas, tetapi batu tipis tadi bergulir di tempat dan menutup terowongan di belakang kami, menghalangiku dari Naga Merah. Aku tidak sempat mendengar apa kata Naga Merah berikutnya karena batu tipis itu menutup duluan, tetapi aku jelas merasa ganjil dengan Putra Thor. Aku menengok ke Laura untuk menunjukkan keherananku, dan aku baru sadar aku tidak bisa melihatnya. "Laura?"

"Hmm?"

Suaranya datang dari persis di depanku. "Kenapa semuanya jadi sangat gelap begini?"

"Aku bisa melihatmu, kok," kata Laura bingung. "Tetapi...ah."

"Apa?"

Saat itu juga, mendadak terowongan itu menjadi lebih terang seakan ada tiga obor raksasa dinyalakan secara bersamaan – Si Putih, Ray, dan Beth semua menyemburkan api kuning kecil dan membiarkan api itu menyala di depan moncong mereka. Si Putih menggeram sambil menelengkan kepalanya, dan Ray dan Beth memberi sinyal kepada kami agar mengikuti mereka.

"Nanti saja," kata Laura ragu sambil bergerak mengikuti para naga. "Ayo."

"Laura, ada apa?" kataku sembari menyusul.

Laura tampak sangat terusik. Aku tidak tahu apa yang membuatnya seperti ini. Terakhir kali Laura menampakkan ekspresi itu adalah saat ia curiga Steve selingkuh, dan Laura benar-benar terganggu saat itu. Aku baru bisa bertanya kepadanya soal itu seminggu setelah krisis selesai (dalam bentuk mereka putus, kecurigaan Laura benar, dan sedikit bumbu romansa tragis di situ), dan itu juga karena Laura yang memilih bercerita duluan kepadaku karena aku sangat sungkan bertanya kepadanya.

Aku tidak suka ini. "Laura, apa ada yang mengganggu pikiranmu?"

Gadis itu menoleh sesaat kepadaku. Ajaibnya, ia tidak berkeringat walaupun kami tadi sehabis berlari-lari di terowongan – dan dikerjai oleh Naga Merah sehingga harus bertarung melawan naga – dalam situasi yang lebih hangat daripada di luar. Ia tampak ragu. "Aku...nanti saja," katanya akhirnya. Suaranya sangat enggan. "Nanti kita bicara lagi, oke?"

Untung aku kenal baik pada Laura – itu adalah marka jalan yang menandai bahwa sebaiknya aku diam dan tidak bertanya lebih banyak lagi untuk saat ini jika aku masih mau selamat. Dan aku masih mau selamat.

Di depan kami, Ray dan Beth malah saling meludah api dengan main-main. Terkadang mereka seperti bermain trik juggling, bertukar bola api, dan hasilnya sangat keren – tetapi sebagian besar waktu mereka habis untuk saling menembak kaki satu sama lain hingga Si Putih memperbesar apinya, menyuruh mereka diam.

Setelah berjalan beberapa menit dalam diam, para naga mematikan api mereka dan kami kembali ditelan kegelapan total. Tetapi di ujung sana aku bisa melihat cahaya lemah – gelap juga, tapi masih tampak. Mulut gua. Pantas saja Naga Merah menyebut tempat ini jalan pintas. Ternyata jalan kami singkat juga dibandingkan dengan di labirin tadi.

Dan saat itulah aku baru sadar apa yang ganjil dengan kegelapan di terowongan ini.

Tanganku langsung melayang ke arah Kalung Restu – dan kecurigaanku benar.

Kalung Restuku tidak bercahaya.

"Ray," panggilku. "Api?"

Ada geraman lembut dan Ray kembali menyalakan apinya. Aku bisa melihat Kalung Restuku dengan lebih jelas – ekspresiku langsung berkerut ngeri.

"Kenapa?" tanya Laura. Aku menatapnya panik dan menelan ludah.

"Kalung Restuku kosong."

"Apa?"

Perjalanan kami langsung tersendat, dan Si Putih sepertinya kesal, tetapi Beth menyuruhnya diam. Laura mengambil Kalung Restu itu dari tanganku dan mengamatinya sendiri. Ekspresinya ikut berubah ngeri.

Tabung itu memang kosong. Tidak ada lagi cairan keemasan yang seharusnya ada di dalam situ.

"Apa isinya bocor?" tanyanya. Aku mengamati tabung itu lagi.

"Tidak ada retakan," kataku. "Cacat pun tidak."

"Lalu ke mana isinya?"

Aku mengernyit, berusaha mengatur napas dan mengendalikan panikku. Kau sedang panik. Kau memang sedang panik. Tidak perlu bereaksi yang macam-macam. Begitu napasku mulai teratur, sebuah logika sederhana terbentuk di kepalaku. "Apapun itu tadi, itu pasti terjadi di Dragion," kataku. "Saat di labirin, isinya masih ada."

Laura mengernyit. "Iya juga. Itu sumber peneranganmu, 'kan?"

Aku mengangguk. Banyak hal terjadi di Dragion – dari permainan dengan Ray hingga gempa Tongkat Merlin – yang bisa merusak Kalung Restuku. "Tetapi semua yang terjadi di Dragion...tidakkah menurutmu harusnya Restuku pecah atau semacamnya? Maksudku, tidak mendadak kosong tanpa alasan begini."

Si Putih mulai tidak sabaran dan sekarang menggeram. Ray sepertinya ingin sekali menggeram balik, tetapi tidak bisa karena sibuk menerangiku dengan api di mulutnya.

Restu ini adalah tiketku menggunakan Bifröst, karena tanpanya, tubuhku tidak akan bisa tahan merasakan gravitasi Asgard. Jika misi ini nanti memang melibatkan perjalanan berkeliling dunia, bukannya aku tidak percaya pada Ray ataupun Beth, tetapi transportasi seperti Bifröst akan sangat berguna dan bisa menghemat perjalanan berhari-hari – belum lagi mengurangi risiko hambatan yang bisa kutemui di jalan. Aku baru saja menghancurkan separuh misiku.

Belum lagi, Claire masih di Asgard...

Wajahku pasti sangat pucat atau tampak sangat menyedihkan karena Laura tiba-tiba menggenggam tanganku, menggerakkan jemariku untuk menggenggam Kalung Restu di tanganku hingga tak terlihat lagi.

"Kita pikirkan ini nanti saja," katanya lembut. "Sekarang kita cari Kur dulu. Oke?"

Aku menelan ludah. James menyebutkan bahwa Pegunungan Zagros, tempat Kur dulu terikat, panjang totalnya sekitar seribu lima ratus kilometer. Misi kami adalah mengalahkan seekor wyvern sebesar gunung sebelum dia menghancurkan umat manusia, lalu membantu penyelidikan mencari pelaku turunnya musim dingin berkepanjangan. Sepertinya jadwalku akan terlalu padat untuk memikirkan lagi soal ini – tapi, perlahan, aku tetap mengangguk.

Si Putih melanjutkan bergerak, dan kali ini Beth maupun Ray tidak protes. Ray mematikan lagi apinya, dan kegelapan kembali menelan kami.

Laura mengikuti mereka, tanganku masih di dalam genggamannya. Untuk kesekian kalinya, aku merasa seperti anak ini bisa membaca pikiranku. Dan ia tahu persis apa yang harus ia lakukan saat menghadapiku.

Akhirnya kami mencapai mulut gua itu. Si Putih mengaum pelan pada naga kami, dan mereka membalas dengan auman serupa. Aku bergerak canggung menaiki punggung Ray, berhati-hati agar tidak menghalangi sendi sayapnya. Ray merinding sesaat, menggerakkan punggungnya, seperti menggeser posisiku ke tempat yang lebih nyaman untuknya. Aku menurut saja.

"Sekarang bagaimana kita mencari Kur?" tanyaku. Laura ikut menunggang Beth dengan nyaman, lalu berpikir sesaat.

"James?" tawarnya. "Maksudku, dia 'kan bisa mendengar dan berbicara dengan siapapun lewat Takhta Odin."

"Oke...tetapi bagaimana kita menarik perhatiannya?"

"Mungkin dia sedang mengawasi kita?"

Aku terdiam sebentar. Aku tadi menugasi James dengan menyelidiki asal-usul Fimbulwinter, sementara aku dan Laura mengatasi Kur – apabila itu adalah dua hal yang terpisah, berarti ada kemungkinan James sedang tidak memperhatikan kami. "Tidak," kataku. "Dia tidak sedang mengawasi kita."

Cuma ada satu James, dan ada banyak sekali hal yang bisa dia terima dalam satu waktu. Dia tidak mungkin bisa berkonsentrasi hanya pada satu rangsangan.

Kecuali...

"Nama lengkap?" kata Laura. "Supaya lebih spesifik?"

Aku mengangkat bahu. Laura menarik napas.

"James Osborne."

Tidak terjadi apa-apa.

"James Osborne," kataku mengulang. Masih tidak terjadi apa-apa. "James –"

Oh, iya, halo, gagap suara James di kepalaku. Maaf, aku tidak melihat ke arah Radnor tadi. Banyak sekali orang bernama James yang dipanggil dan aku jadi bingung sendiri.

"Kau benar bisa mendengar kami?" tanyaku.

Bisa. Ada apa?

"Bisa arahkan kami ke Kur?"

Oke, sebentar, katanya. Kami menanti beberapa lama dalam diam. Dia sedang di Mesir, kata James akhirnya. Cepat juga geraknya. Aku lihat kalian sudah mendapatkan naga...kecepatan maksimum mereka bisa mencapai tiga ratus kilometer per jam, tetapi itu tidak akan aman untuk kalian karena kalian menunggang dengan posisi terbuka. Akan seperti ngebut dengan mobil konvertibel. Terlalu berbahaya. Untuk amannya, mungkin kalian cuma bisa bergerak mendekati dua ratus, sekitar seratus enam puluh kilometer per jam...James melakukan perhitungan mental sambil menggumam. Berarti kalian butuh sekitar sebelas jam untuk mencapai Kur naik naga. Kur akan sudah pindah lagi saat itu. Aku sarankan kalian gunakan Bifröst.

"Baik," kata Laura. "Bisa minta Heimdall arahkan Bifröst ke Kur? Begitu kami tiba?"

Sudah, sahut James. Hati-hati di jalan.

Baru saja James mengatakan itu, lagi-lagi awan berkumpul di depan kami sebelum berpusar menjadi sebuah lubang – jembatan adisemesta.

"Heimdall, kami bawa naga!" aku berusaha memperingatkan Leluhur itu, tetapi tidak ada jawaban. Jadi aku mengangkat bahu. Laura mengangkat bahu juga.

"Apakah Himinbjörg akan muat?" tanyanya.

"Jika tidak pun, kita bisa apa?" tanyaku balik.

Dengan itu, kedua naga kami melompat ke dalam portal di depan kami, mendarat di jalur sewarna pelangi yang langsung membawa kami melesat melalui ruang adisemesta.

***

Ternyata Himinbjörg tidak muat diisi seekor naga, apalagi dua ekor.

Sebagai perbandingan ukuran, bayangkan sebuah gubuk yang besar – besar di sini maksudku karena pemiliknya seorang Leluhur – dan bayangkan berusaha memasukkan sebuah pesawat kecil di dalam situ. Anggap saja pesawatnya seukuran pesawat tempur kuno yang sayapnya dua lapis dan bentuknya seperti wortel dengan baling-baling di depan – dengan pesawat sekecil itupun, aku ragu gubuk Heimdall muat.

Dan kami membawa dua ekor naga seukuran itu – nagaku terutama lebih panjang dari itu.

Hebatnya, Leluhur muda super putih itu tidak protes ataupun menggerutu. Bahkan dia malah tertawa.

"Gila," katanya. "Ini kali pertama ada yang membawa naga ke Himinbjörg."

Aku dan Laura cuma bisa menunduk dengan sangat bersalah. "Maaf untuk perabotannya –" Ray menggoyangkan ekor, mungkin sebagai gestur mohon maaf, tapi malah menyenggol satu lagi vas hingga terbanting ke lantai, menambah lebih banyak lagi pecahan vas dari perabotan yang sudah dia rusak waktu baru tiba di sini. Aku menyikut kaki depannya untuk menyuruhnya diam, tetapi dia malah menyikutku balik seperti yang itu tadi bukan salahku, pura-pura saja tidak lihat.

Heimdall tergelak. "Tenang, semua perabotan di sini selalu rusak dari waktu ke waktu. Tuh," tunjuknya tenang, "aku menyiapkan sedikit solusi untuk itu."

Aku baru merasakan bahwa pecahan beling di kakiku bergerak sendiri, bergetar sesaat sebelum melayang lembut ke arah belakangku – vas-vas dan perabotan Heimdall lainnya memperbaiki diri. Dalam hitungan detik, semua perabotan yang menjadi korban Ray dan Beth sudah utuh lagi, walaupun masih berantakan di lantai.

"Wow," Laura melongo. "Bagaimana caranya?"

Heimdall tersenyum usil. "Enak saja. Rahasia. Kalau kau memecahkan perabot ibumu, kau tetap harus bertanggung jawab, dong."

Aku tidak tahu Leluhur ternyata juga bisa menyebalkan. "Maksudmu rusak dari waktu ke waktu seperti apa?"

Heimdall mengangkat bahu. "Bukan cuma kalian yang datang ke Himinbjörg membawa kendaraan. Jangan tersinggung," tambahnya sopan ke para naga setelah mengatakan kendaraan. Ray dan Beth tampak tidak peduli dan malah menggaruk leher mereka dengan kaki belakang seperti kucing. Ekor Ray memecahkan satu lagi perabot yang langsung memperbaiki diri. "Setiap periode waktu tertentu, biasanya tiap tahun, atau setiap ada masalah darurat, para Leluhur di sini menyeberangi Bifröst ke Urdsbrunn – Sumur Urda – untuk mengadakan musyawarah yang disebut Thing, Perihal. Tradisi ini juga dulu diteruskan ke bangsa Viking. Mereka lalu membahas permasalahan yang mereka hadapi selama setahun terakhir dan solusinya untuk setahun ke depan, lalu apabila ada masalah seperti sengketa antara dua pihak, masalah itu diselesaikan dengan adil di sana. Mereka berangkat ke Thing dengan kendaraan mereka masing-masing, dari kuda hingga kereta, kecuali untuk Thor yang memilih tidak naik Bifröst."

Aku teringat yang dikatakan Thor sebelum kami berangkat ke Radnor. "Tiga jembatan Takhta."

Heimdall mengangguk. "Atau dikenal sebagai sungai Körmt, Örmt, dan Kerlaugar. Omong-omong, sebenarnya ada empat 'sungai', cuma kedua Kerlaugar sangat dekat sehingga biasanya dianggap satu dan cuma disebut dengan bentuk majemuk. Tapi, yah, karena sebagian besar Leluhur berangkat ke Thing menaiki kendaraan, jadi terkadang Himinbjörg yang harus menerima deritanya."

Aku mengangkat alis. "Aku ikut bersimpati."

"Aku bersimpati balik."

Aku dan Laura bertukar tatap heran. "Kenapa?"

Senyum Heimdall memudar sedikit. "Karena kalian meminta langsung bertemu dengan Kur."

Perhatianku dan Laura langsung tersita. Bahkan kedua naga ikut diam. "Apakah seburuk itu?"

Heimdall tersenyum kecut. "Aku tidak bisa bilang. Kalian lihat sendiri saja."

Begitu dia mengatakan itu, pintu di belakang kami – yang mengarah ke Bifröst – kembali terbuka. Bunyi mesin yang tadi melembut kembali menjadi kuat, dan di balik pintu itu, sang Jembatan Pelangi sudah menanti.

"Aku sudah mengarahkan Bifröst ke jarak aman untuk kalian," kata Heimdall. "Tetapi itu bukan alasan bagi kalian untuk tidak hati-hati. Kur sangat kuat – percayalah," katanya sambil menyentuh lagi anting-antingnya. Antarmuka kejinggaan berkelip muncul lagi di depan matanya sebelum menghilang lagi, dan mendadak aku sadar bahwa alat itu adalah versi mini dari Takhta Odin. "Aku bisa melihat nyaris segalanya."

"Satu pertanyaan," kata Laura. Aku merasa sepertinya penjelasan sejauh ini sudah cukup, jadi aku tidak yakin apa yang mau ia tanyakan. "Apakah kau bisa menggunakan Bifröst untuk mengirim kami ke tempat selain Bumi?"

"Tidak bisa," jawab Heimdall simpel. "Jembatan adisemestanya terhubung ke Bumi – dan planet lain terlalu berbahaya untuk dihubungkan dengan jembatan adisemesta."

Aku teringat varg, Dullahan, dan Naga Merah – jika para Leluhur menganggap sesuatu berbahaya, dari pengalamanku, berarti hal itu memang berbahaya. Aku tidak akan repot-repot mempertanyakan itu lagi.

"Tetapi tenang," lanjut Heimdall. "Firasatku bilang kalian tidak akan perlu keluar dari Bumi banyak-banyak untuk sementara ini – sejauh-jauhnya, paling kalian hanya ke Asgard."

Laura mengangguk. "Terima kasih."

"Sama-sama."

Gadis itu menoleh kepadaku. "Siap?"

Bertemu wyvern kuno sebesar gunung yang bernafsu menghancurkan? "Siap."

Melambaikan tangan ke Heimdall, kami menunggangi naga kami dan melompat kembali ke dalam Bifröst.

Jembatan itu menerima kami dengan lembut seperti biasanya, dan langsung mendorong kami maju. Pintu Himinbjörg di belakang kami tertutup rapat dan menghilang dengan cepat.

"Tadi James bilang Mesir, ya?" tanyaku. Laura mengangguk.

"Iya. Kenapa?"

"Aku cuma penasaran," kataku. "Mesir juga punya mitologinya sendiri. Dengan Ra, Osiris, Seth, dan segalanya. Apakah menurutmu..." aku teringat Dullahan sekilas, "...monster-monster mereka juga masih di sana?"

Ekspresi Laura mengeras. "Aku tidak tahu," akunya. "Mungkin biasanya aku akan menjawab kemungkinan tidak. Tetapi setelah Radnor tadi...entahlah, aku tidak yakin. Ternyata masih ada dari mereka yang selama ini tetap hidup berdampingan dengan kita, dan kita tidak tahu sama sekali. Memang monster mitologi Mesir seperti apa saja?"

"Sebagian motifnya ular," kataku. "Misalnya uraeus, ular bersayap. Atau Monster Seth, yang berleher ular. Ammit Sang Pemangsa berekor ular juga."

Laura bergidik. "Aku benci ular."

Bahkan di tengah khawatirku, aku terkekeh sendiri. "Kalau begitu seharusnya kau puas membunuh Kur nanti. Tapi tadi kau tampak nyaman di antara para naga."

Beth menggeram kecil, seperti mendengarku. Laura bergerak resah di punggungnya.

"Mereka berbulu. Mereka tidak terlihat seperti ular bagiku." Ia melirik Ray. "Bahkan mereka yang ekornya sangat panjang. Tetapi ular sungguhan...ceritanya akan berbeda bagiku."

Aku mengangkat alis. "Aku tidak tahu kau takut ular."

"Aku juga baru tahu belakangan ini, kok." Laura melamun sesaat ke depan. "Oh, lihat. Kita sudah dekat."

Ia benar – sinar di ujung Bifröst tengah bersiap menyambut kami. Ray merinding sebentar, lalu menggeram gelisah.

"Ada apa, Ray?" tanyaku. Naga itu mengeluarkan suara lucu, seperti suara dalam yang keluar dari tenggorokan.

Aku tidak suka ini, dia seperti berkata begitu.

"Kenapa?"

Cahaya di ujung sudah semakin dekat. Ray tidak menjawab lagi, tetapi Beth ikut menggeram dengan gelisah.

Aku dan Laura cuma bisa bertukar tatapan nelangsa begitu cahaya di ujung Bifröst akhirnya menelan kami.

***

Saat cahaya itu meredup, aku mengira Heimdall salah mengarahkan kami.

Telinga kami berdenging keras untuk alasan yang tidak bisa kupahami. Di depan kami, hanya ada padang pasir berselimut salju yang luas terhampar. Padang pasir di malam hari sudah terkenal dengan suhu dinginnya yang tidak wajar – sekarang tambahkan Fimbulwinter ke persamaan itu.

Gigiku gemeretuk saat itu juga, dan aku menarik kuplukku lebih rendah agar bisa menutupi telingaku dengan lebih rapat. "D-di mana Kur?"

Laura baru berusaha membuka mulutnya yang terkatup karena kedinginan untuk menjawab, tetapi dengingan di telinga kami menjadi semakin keras – dan ada bunyi guntur.

Tunggu.

Itu bukan bunyi guntur.

Dan suara dengingan itu...

Di samping fakta bahwa tidak ada sambaran kilat sebelum bunyi itu, tiba-tiba kami menyadari bahwa suara berisik itu adalah sebuah geraman yang sangat dalam dari arah belakang kami.

Jadi kami berbalik...dan tidak bisa melihat apa-apa.

Di depan kami adalah sebuah gundukan yang sangat besar – lebih besar daripada kami, kira-kira seukuran Ray – yang, apabila langit sedang terang, sepertinya akan berwarna coklat tulang. Gundukan itu berbentuk seperti kerucut melengkung dengan ujung tajamnya menggali salju di depan kami, sementara dasarnya...tunggu dulu.

Itu adalah sebuah cakar.

Aku hanya bisa melongo saat aku menghubungkan cakar raksasa itu ke sebuah jari raksasa di belakangnya, yang terhubung ke sebuah kaki, yang terus naik dan terhubung ke sebuah badan, yang memiliki sayap kulit raksasa dan terhubung dengan sebuah leher, yang berujung di sebuah kepala...dan di kepala itu ada mata.

Apabila seseorang bisa tenggelam di dalam mata, aku yakin aku bisa tenggelam di dalam mata itu karena ukurannya saja sepertinya setara dengan sebuah kolam renang kecil.

Mendadak aku merasa sangat kecil, sangat ciut, saat menyadari bahwa tinggiku hanya sedikit di atas panjang taring-taring yang menghiasi sebuah gua gelap bau raksasa yang ternyata adalah sebuah mulut. Atau mungkin tepatnya sebuah moncong. Kedua mata yang berada di atas moncong itu sedang memperhatikanku dengan saksama.

Paling tidak, sepertinya begitu. Dengan sepasang mata sebesar itu, aku bahkan sulit melihat titik fokusnya.

Kepala itu berada sangat jauh di atas kami – ujung moncongnya saja paling tidak sepuluh meter dari ujung kepalaku, sementara mata kanannya mungkin nyaris dua puluh meter. Itupun dengan leher makhluk itu menekuk ke arah dalam, seperti sedang menunduk agar bisa mengamati kami dengan jelas karena aku cukup yakin ukuranku terhadapnya tidak lebih besar dari ukuran seekor nyamuk terhadapku.

Aku bahkan tidak bisa melihat ujung ekornya.

Geraman itu muncul lagi, lalu kepala makhluk itu terangkat ke arah langit. Dia membentangkan kedua sayapnya, menunduk sebentar, lalu mengepakkan sayap kulitnya sambil melompat ke atas.

Hantaman angin dari kepakan itu cukup untuk menerbangkanku berpuluh-puluh meter ke belakang sementara makhluk raksasa itu – ajaibnya – melesat pergi ke udara. Aku bahkan belum jatuh ketika dengan sangat ngeri aku menyadari betapa cepatnya gerakan makhluk itu.

Tidak Ray, Beth, maupun Laura berani bersuara. Atau mungkin itu karena mereka juga terpental sangat jauh ke berbagai penjuru saat terhempas angin kepakan makhluk itu tadi dan aku tidak bisa mendengar suara mereka. Ekor naga raksasa itu bahkan belum habis dari pandanganku, menutupi awan di langit, masih terus bergerak menyusul tubuh pemiliknya yang terus terbang semakin tinggi, melesat di atasku seperti sebuah pesawat yang tengah lepas landas. Aku cukup yakin kecepatannya setara atau bahkan lebih, sementara aku cuma bisa menyaksikan sisik-sisiknya yang kabur saking cepatnya dia bergerak berkilau lemah terkena pantulan cahaya dari salju di permukaan tanah.

Sama seperti Ray, ujung ekor makhluk itu memiliki kipas dari bulu, seperti ekor burung, yang membentang luas ke arah kanan-kiri batang ekornya. Kecuali bahwa kipas bulu makhluk ini cukup untuk memayungi satu desa, tentunya. Akhirnya kipas itu melesat pergi di atasku, dan makhluk itu berhenti menutupi pandanganku ke arah langit sama sekali.

Aku terbaring tercengang, tidak mampu bergerak, dan itu bukan karena jatuhku yang sangat keras atau dingin salju di tanah yang sekarang memelukku. Bukan juga karena udara beku di sini.

Pertanyaanku baru saja dijawab, dan aku tidak suka jawabannya.

Dia termasuk salah satu makhluk Bumi paling kuat yang pernah ditangani oleh para dewa, kata James sebelum kami berangkat. Aku membayangkan para Leluhur berusaha menghadapi makhluk ini – aku tidak akan heran jika mereka benar kewalahan.

Tetapi aku yakin akan satu hal – tidak mungkin makhluk Bumi.

Perlu sepuluh detik bagiku, tetapi begitu aku mendengar lagi raungan Kur dari langit, aku akhirnya menemukan kekuatan mental yang kubutuhkan untuk menghadapi shock yang sedang bergantung di atas kepalaku. Laura sudah berdiri lebih dulu dan sedang bergerak menghampiriku, sementara Ray dan Beth tengah bergoyang cepat untuk menyingkirkan salju dari tubuh mereka.

"I-itu dia," kata Laura dengan rahang tertutup rapat. Ia tampak gemetaran parah. "Itu Kur."

"Pantas s-saja Heimdall b-bersimpati," jawabku dengan sama gagapnya. Saat Ray dan Beth akhirnya bergerak mendekati kami, aku baru sadar ada beberapa perubahan – bulu Ray tampak lebih tebal, sementara warna coraknya yang tadi hitam berubah menjadi biru muda. Kamuflase saljunya sangat rapi. Bahkan kulit reptil yang masih melingkupi keempat telapak kakinya ikut berubah warna menjadi terang, nyaris putih pucat seperti kulit buaya albino. Warna bulu dan kulit Beth secara umum juga lebih terang.

Naga Merah memang menyebutkan soal naga cepat beradaptasi, jadi aku tidak terheran lama-lama. Kami akhirnya berkumpul lagi, dan kali ini, kami sengaja merapat – cuma supaya kami merasa lebih hangat.

"Oke, aku tahu Pegunungan Zagros memang sangat besar," kataku begitu Laura menempelkan tubuhnya yang gemetaran kepadaku. Gemetarannya berkurang sedikit. Ray dan Beth membuka sayap mereka lebar-lebar, melingkupi kami dengan semacam kubah sayap-naga, dan membantu menghentikan angin dingin yang sedari tadi terus bertiup. "Tetapi jujur, aku tidak menduga dia akan sebesar itu."

"Aku juga," kata Laura. "Paling tidak, aku tidak menduga akan sebegitu parahnya waktu bertemu langsung."

"Berarti masalah baru," kataku. "Bagaimana kita mengalahkannya?"

Aku tidak meragukan Ray ataupun Beth. Aku juga tidak meragukan para naga, sungguh. Tetapi aku membayangkan seluruh koloni Dragion bergerak melawan Kur – Naga Merah benar: seluruh koloni Dragion akan dihabisi jika begitu caranya.

Belum lagi aku teringat hologram Takhta Odin yang James tunjukkan saat kami pertama melacak Kur – wyvern ini bisa menyemburkan api, dan melihat ukurannya, aku tidak ragu satu semburan bola apinya bisa membumihanguskan satu kota.

"Aku tidak yakin Dragion bisa banyak membantu," kata Laura. "Dan Naga Merah juga..."

Aku mengangguk kelam. Ukuran Naga Merah memang besar – cukup besar untuk bisa melingkupi seluruh koloni Dragion seperti Ray dan Beth melingkupiku dan Laura sekarang. Tetapi, dengan anggapan ukuran mata serasi dengan ukuran tubuh, aku benci mengakui bahwa mata Naga Merah tidak ada apa-apanya dibandingkan mata Kur. Sebesar-besarnya Naga Merah, mungkin dia cuma kurang dari separuh ukuran Kur. Aku tidak suka kans kami.

Laura gemetar lagi sedikit, dan aku memeluknya. Ia cuma balas memelukku tanpa kata.

"Kita harus cari cara lain," kataku. "Mungkin sebuah senjata dari mitologi lain yang bisa melemahkan wyvern...?"

"Aku ragu," kata Laura. "Maksudku, perbedaan antara wyvern dan naga hanya ada karena wyvern dianggap transisi naga timur dan barat. Jika ada senjata semacam itu, mungkin senjata itu akan melemahkan naga kita juga." Ia mengelus kepala Beth dengan lembut, dan naga gembul itu mendengkur. "Aku tidak mau mereka kenapa-kenapa."

"Berarti apa yang bisa kita lakukan?" tanyaku. Laura tidak menjawabnya.

Laura ada benarnya. Biasanya suatu mitologi yang melibatkan naga hanya meletakkan secara gamblang bahwa makhluk itu adalah seekor naga. Tidak ada mitologi yang secara khusus menyebutkan seekor wyvern sebagai makhluk yang berbeda dari naga, dan bahkan jumlah mitologi yang melibatkan wyvern bisa dihitung dengan jari.

Lalu jika benar ada senjata yang terkenal bisa melemahkan atau membunuh seekor naga, tidak ada jaminan bahwa efek senjata itu juga berlaku pada Kur. Maksudku, jika menganggap bahwa kata Odin benar mengenai sebagian besar mitologi memang nyata, bukannya senjata seperti itu tidak ada di ranah mitologis – salah satu mitos yang terkenal tentang Santo George sering menyebutkan bahwa dia membunuh seekor naga yang melambangkan iblis dan neraka menggunakan pedang bernama Ascalon. Tetapi Naga Merah sendiri mengakui bahwa Kur bukan naga sembarangan. Jika kami memburu senjata ini, bahkan jika kami menemukannya sekalipun, ada kemungkinan lima puluh persen bahwa senjata itu tidak akan bekerja pada Kur. Kami malah akan membuang-buang waktu.

Kami tengah terlarut ke dalam pikiran kami masing-masing ketika mendadak dengkuran damai Beth dan Ray berubah menjadi geraman agresif. Kubah sayap mereka menghilang – mereka tetap membentangkan sayap raksasa mereka, tetapi tidak lagi sebagai sebuah kubah. Mereka berdiri agak menunduk ke satu arah, menggeram galak, membuka sayap mereka besar-besar seperti seekor serangga berusaha menakuti pemangsanya.

Otomatis, pandanganku dan Laura terpaku ke arah yang dituju oleh naga kami.

"Ray, ada apa?" tanyaku. Jelas, Ray tidak menjawab.

Tetapi suara dari arah yang dipandangnya menjawab.

"Aku yakin aku punya solusi untuk masalah kalian," kata suara itu. Suara itu suara laki-laki yang terdengar muda, tetapi agak lesu, seakan yang berbicara sudah kehilangan semua semangat hidup tetapi berusaha untuk tetap sopan.

"Siapa kau?" tanya Laura. Aku bisa merasakan cengkeramannya menguat di jaketku. Aku berusaha mengintip dari balik sayap Ray – dan, mengejutkannya, aku melihat bahwa wujud itu sudah sangat dekat dengan kami.

Dia tampak seperti orang asli Mesir dengan warna kulitnya yang agak gelap – tetapi di samping itu, yang membuatku merasa ganjil adalah dia tidak mengenakan pakaian kecuali sarung linen putih yang diikat dengan sabuk berwarna keemasan. Sabuk itu dikunci di tempat dengan buckle berbentuk mirip bola kristal berwarna kemerahan dan berisi semacam awan.

Lalu aku melihat wajahnya – dan aku menahan napas.

Kepalanya bukan kepala manusia. Kepala itu tampak mekanik, berwarna hitam legam, bermoncong panjang, dan memiliki telinga yang lebar terbuka ke arah atas.

"Oh, di mana sopan santunku?" kata wujud itu dengan sarkastis. Lalu dia membungkuk ke arah kami, membuat Ray mengeraskan geramannya sambil menggetarkan sayap. "Namaku Anpu. Aku punya banyak nama lain...tetapi mungkin kalian paling familiar dengan salah satu namaku secara khusus."

"Dan nama itu adalah?"

Wujud itu berhenti membungkuk dan menatap ke depan dengan dingin. Mulut mekaniknya tidak bergerak saat dia bicara – tetapi nada bicaranya sangat jelas, dan jantungku mencelus ketika dia menjawab pertanyaanku: "Anubis."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro