Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab Empat

Untung hentakan Dullahan ke tanah sangat keras – jejaknya di salju jadi mudah diikuti.

Aku melacak mundur jejak kami hingga ke bukaan (dan pastinya aku tidak masuk ke jebakan salju di bukaan itu lagi, aku sudah kapok), lalu berbelok dan kembali bergerak lurus, berusaha mencari tempat aku dan Laura terpisah. Aku tidak sadar bahwa aku berlari sejauh ini tadi. Kira-kira apa yang terjadi pada Laura?

Apabila rasa takut aneh yang kami rasakan tadi itu memang diakibatkan oleh Dullahan, apa itu berarti Laura bisa berpikir jernih begitu aku membuat Dullahan mengejarku dan meninggalkannya? Lalu apabila Laura bisa berpikir jernih, apa yang kira-kira akan dilakukannya?

Aku menggaruk kepalaku. Tetap pada rencana. Ikuti jejak, cari anaknya, lalu pergi ke Dragion.

Ah, ya. Aku bahkan belum memikirkan soal turun ke Dragion.

Merlin menyebutkan bahwa untuk mencari tongkatnya, aku harus mengikuti perasaanku. Aneh. Sejauh ini mengikuti perasaan malah membawa petaka. Waswas dan aku terlibat semua ini. Takut dan aku dikejar Dullahan. Sekarang apa lagi?

Belum lagi...rasanya belum genap satu jam aku terlibat dunia aneh ini, dan baru saja aku kembali ke Bumi, aku sudah bertemu satu alien ganas yang bisa mengendus rasa takut dan satu hologram mantan penyihir – hei, dia sendiri yang mengakui bahwa aku bisa menyebutnya penyihir, persetan dengan Odin dan tetek-bengek ilmiahnya – seakan mereka mengikutiku ke sini. Sebelumnya, aku bahkan menertawai keberadaan mereka.

Apakah ini terjadi kepada siapapun yang terlibat langsung dengan para Leluhur? Tidak heran kisah-kisah pahlawan Yunani berhiaskan berbagai macam monster. Mereka tidak mencari masalah dengan monster-monster itu (kecuali mungkin untuk kasus Herakles yang memang dibebani tugas membantai beberapa monster). Pada monster yang mencari mereka. Entah kenapa.

Atau mungkin malah sebenarnya semua ini terjadi di kehidupanku sehari-hari, tetapi aku tidak menyadarinya? Bisa juga. Banyak kasus orang hilang saat bermain ke hutan. Banyak kasus penampakan hantu. Mungkin semua itu ulah para Leluhur atau alien lainnya dan kita tidak akan pernah tahu.

Para Leluhur dari Asgard bisa bepergian seenaknya ke Bumi dengan jembatan adisemesta mereka. Aku curiga Leluhur-Leluhur lainnya juga punya teknologi serupa. Dan jika itu benar, apa berarti mereka masih berkeliaran di muka Bumi selama ini? Toh, mereka tidak akan kehilangan banyak wak –

Semua pikiranku langsung terhenti saat sebuah lolongan menoreh udara.

Aku kenal lolongan itu.

Aku tidak peduli setebal apa salju di bawah kakiku, atau selelah apa aku setelah berlari terus-terusan dari Dullahan. Aku tidak lagi berjalan mengikuti jejakku – aku berlari.

Itu lolongan varg.

Sejak kapan varg itu tiba di sini?

Terakhir aku mendengar lolongan varg, saat itu aku sedang di taman. Dan itu yang membuat lolongan ini terdengar begitu salah – Amerika Serikat dan Wales tidak terpisah jarak yang dekat.

Bahkan jika ini varg yang berbeda sekalipun, sudah berapa lama varg itu ada di sini? Aku tidak mendengar satupun bunyi lolongan, geraman, atau bahkan gonggongan dari sejak tiba di Hutan Radnor. Atau mungkin aku saja yang tidak mendengarnya karena terlalu sibuk menghadapi Dullahan?

Aku tidak tahu bahwa aku bisa bergerak secepat itu, atau mungkin waktu yang melesat melewatiku, tetapi aku menemukan percabangan arahku dan Laura segera setelah itu. Laura bergerak lurus terus hingga kira-kira sepuluh meter di depan percabangan sebelum aku melihat banyak jejaknya di tempat, memutar-mutar ke berbagai arah. Ia sedang bingung menentukan jalan.

Akhirnya ia memutuskan bergerak ke kanan, mengikuti arah lariku dari samping.

Jejak itu bergerak terus dalam sebuah garis yang nyaris lurus, tetapi jarak antar jejak kaki itu perlahan mengecil hingga akhirnya berhenti dan ada beberapa jejak di tempat lagi. Sepertinya Laura kehilangan jejakku dan kembali ragu mau ke mana sebelum memutuskan bergerak lurus, berharap aku tidak berbelok lagi selama dikejar Dullahan.

Ayolah, Laura, kamu di mana?

Lolongan itu terdengar lagi – tetapi kini bukan sebagai gaung.

Lolongan itu dekat.

Dan jejak Laura semua mengarah ke –

Aku terus mengikuti jejak itu. Apabila kata Heimdall benar soal varg lebih besar dan mematikan daripada serigala Bumi, aku tidak yakin aku mau varg itu menemukan Laura sebelum aku. Aku teringat sekilas sensasi yang kudapatkan saat pertama mendarat di Bumi – gravitasi terasa lebih lemah di sini karena Bumi lebih kecil dari Asgard. Aku makhluk Bumi dan Restu Thor langsung menyesuaikan diri.

Tetapi varg? Sebagai seekor binatang asli Asgard tanpa Restu, dia akan merasa seperti astronot Bumi di Bulan. Satu langkah larinya akan bisa melewati sepuluh meter sendiri di sini – dengan anggapan dia seukuran serigala biasa.

Dan kata Heimdall, dia lebih besar.

Laura, kamu di mana?

Aku tidak suka ini – jejak kaki Laura mengarah semakin dekat ke sumber lolongan tadi. Semakin dekat juga ke bukaan tempatku terjebak, tetapi seingatku, jaraknya masih agak jauh. Pepohonan agak memadat di sini, dan tanahnya agak lebih miring.

Kemudian ada suara geraman.

Aku tidak bisa menyebutnya sebagai geraman serigala. Geraman itu lebih mirip suara lima mobil truk dinyalakan bersamaan, tetapi dengan kesan seakan-akan kau mendengar suaranya melalui selembar kertas papirus. Kasar, keras...dan hidup.

Aku mengikuti jejak di dekatku sedikit lagi sebelum akhirnya geraman itu terdengar sangat dekat – aku langsung bersembunyi di balik pohon persis di sebelahku. Di depanku tadi, kira-kira sepetak tanah berukuran sembilan meter persegi tampak agak terbuka, tidak ada pohon, dan di tengahnya, ada batu-batu bertumpuk mengerucut – sebuah cairn.

Dan di antara aku dan cairn itu adalah seekor makhluk seukuran badak, berbulu hitam lebat, berkaki empat, berpostur ramping, dan bercakar sebesar telapak tangan.

Seekor varg.

Geraman varg itu menjadi gonggongan – suara truk tadi seperti digas mendadak – dan menjadi lolongan yang akan membuat setiap hati pilu, sebelum aku mendengar suara lain.

Teriakan dari arah cairn.

Teriakan seorang gadis.

Laura.

Lolongan itu kembali berubah menjadi gonggongan marah, tetapi baru saja aku keluar persembunyian untuk mencerna keadaan, sebuah cahaya yang sangat terang menyeruak dan aku terpaksa menutup mata.

Aku mendengar rintihan protes si varg sebelum mendadak suara itu terhenti.

Cahaya terang itu meredup, dan aku melihat cairn tadi sudah berantakan. Laura di sebelahnya, terengah-engah, masih menatap tempat varg tadi berdiri. "Laura?"

Ia berjengit kaget dan melompat menjauh, matanya mencariku. "Luke –" matanya mencernaku sesaat. Ia menelan ludah. "Luke, aku kira kau –"

"Sudah lewat," kataku sambil berjalan ke arahnya. "Aku tahu tempat para naga."

"Tunggu," katanya sambil bergerak menjauh. Aku berhenti bergerak.

"Ada ap –?"

"Aku harus tahu kau nyata," katanya, masih terengah-engah. "Aku harus tahu kau Luke dan bukan ilusi atau jebakan atau apapun itu."

Ilusi? "Laura, ini aku."

"Bohong."

"Aku tidak bohong!"

"Buktikan, kalau begitu!"

"Apabila aku bisa menyentuhmu – dan kau merasakannya – apa itu cukup?" tanyaku sambil mengulurkan tangan. Laura tampak ragu.

"Waktu kita sepuluh tahun," katanya akhirnya, "kau memberiku sesuatu. Apa itu?"

Sepuluh tahun? Aku nyaris tidak perlu memutar otak. Jawabannya mengalir begitu saja. "Sebuah kartu."

"Kartu apa?"

Aku bisa merasakan wajahku agak memanas ketika sekilas bayangan kartu itu muncul di kepalaku. Waktu itu, kartu itu terasa seperti sebuah mahakarya. Sekarang aku merasa seperti seorang seniman gagal tiap teringat kartu itu. "Kliping dan kolase foto."

"Untuk?"

"Hadiah ulangtahunmu."

"Kartunya berwarna?"

Wajahku semakin panas lagi. "Biru muda."

Laura memandangku sesaat. "Kemudian apa yang kulakukan?"

"Kau menerimanya, tertawa kecil, dan berterima kasih kepadaku."

"Bukan," katanya menggeleng. "Maksudku kepada kartunya."

"Mana aku tahu? Kau menerimanya, lalu entah kau apakan."

Laura memperhatikan mataku baik-baik. Kemudian ia bernapas lega. "Oke, kau Luke yang asli."

"Laura, apa-apaan?" tanyaku sambil kembali mendekatinya. Sekarang ia tidak berusaha menjauh. Laura melirik ke arah cairn di sebelahnya.

"Semuanya soal cairn ini. Aku sempat curiga kenapa ada cairn di sini," katanya. Aku baru mengangkat alis ketika ia memutar bola mata. "Iya, aku tahu makam yang seperti ini namanya cairn, seharusnya kau memperhatikan Pak Carter waktu pelajaran Sejarah dulu. Pokoknya, aku heran kenapa cairn ini di sini. Biasanya cairn tidak berdiri sendirian, apalagi di tengah hutan. Tetapi itu sebelum aku teringat kita sedang di mana. Jadi aku menghubungkannya dengan cerita kematian Merlin."

"Masuk akal," kataku. "Aku tadi bertemu han – maksudku, hologramnya."

"Hologram apa?"

"Merlin. Dia bilang dia menyalin kesadarannya sebelum mati ke sebuah mesin yang diletakkannya bersama bebatuan cairn-nya, dan aku tidak sengaja menyalakannya."

Laura tampak berpikir sesaat. "Mungkin itu salah satu batu yang kulemparkan ke varg tadi. Boleh jadi. Kembali lagi ke sini – kau tahu kenapa Merlin mati dikubur, 'kan?"

Aku mengangguk. "Dia dijebak Niviane."

Laura mengangkat kedua alisnya. "Aku lebih suka memanggilnya Vivian. Oke, itu tidak penting. Merlin sedang mengantar Vivian pulang, lalu mendapat surat tentang sebuah keadaan darurat di Camelot dari Raja Arthur sehingga mereka berdua langsung berjalan kembali ke Kerajaan, tetapi di tengah jalan turun badai sehingga mereka harus meneduh di sebuah gua. Merlin menceritakan tentang sejarah sepasang kekasih yang dulu tinggal di gua itu. Vivian jijik kepadanya, lalu saat Merlin tidur, ia menguburnya."

"Lalu apa hubungannya dengan kau mengira aku cuma ilusi?"

Laura menggigit bibirnya sebentar. "Sepertinya, saat Merlin berusaha menggoda Vivian di sini, dia tidak hanya mengajak Vivian berbicara. Kau tahu, di beberapa kepercayaan, kata-kata dianggap sebagai sesuatu yang sakral. Aku curiga dia berusaha menyihir Vivian – atau mungkin menggunakan semacam alat atau obat-obatan, jika kita perhitungkan penjelasan Odin."

"Dan menurutmu 'sihir' ini masih ada?"

Laura mengangguk. "Dia berusaha menciptakan ilusi untuk membuat Vivian tunduk kepadanya, tetapi sepertinya itu tidak mempan karena Vivian sudah mengetahui semua ilmu Merlin. Tetapi itu mempan kepadaku. Aku tadi melihat Steve, lalu ibuku, lalu..." suaranya mengabur, seperti ia enggan membicarakan soal itu. Steve adalah mantan pacar Laura yang paling lama bertahan dengannya. Laura melihat ke arah lain, menghindari mataku. "Intinya, aku tidak mau tertipu. Logikanya, alat atau ramuan cinta apapun yang digunakan Merlin untuk membuat ilusi pasti membuat kita terpikir soal apa yang sudah kita lalui sendiri. Jadi jika kau tahu apa yang kemudian kulakukan dengan kartu itu saat kau sedang tidak bersamaku, entah kau hanya ilusi atau kau seorang penguntit. Dua-duanya aku tidak suka."

Laura menghela napas. Matanya berhenti melirik ke arah lain dan akhirnya menatap mataku lagi lekat-lekat. Aku tidak yakin apa saja yang dilihatnya lewat ilusi Merlin, tetapi sepertinya itu sangat membekas kepadanya. Belum lagi ia harus melaluinya sambil melawan seekor varg. Gadis ini boleh juga. "Memangnya kau apakan kartu itu?" tanyaku. Laura tersenyum kecil, tidak melepaskan kontak matanya kepadaku.

"Aku memajangnya di sebelah tempat tidurku," katanya. "Kau tadi bilang apa soal tempat para naga?"

***

Aku sebenarnya ingin bertanya lebih kepada Laura soal varg tadi, tetapi aku masih sungkan soal ilusinya. Siapa tahu bertanya soal itu malah akan mengingatkannya? Jadi untuk kesekian kalinya, aku mengurungkan niatku.

Aku sudah menceritakan kepadanya soal bagaimana aku selamat dari Dullahan dan mengenai bertemu dengan hologram Merlin. Laura tampak tertarik saat aku menceritakan tentang Restuku, tetapi aku tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaannya sama sekali, jadi kami tidak membahas topik itu lama-lama. Hingga akhirnya bahasan kami menyentuh Dragion.

Kami masih belum mengerti sedikitpun tentang petunjuk Merlin – cari sumbernya, ikuti perasaan kalian. Tetapi Laura menawarkan jawaban yang menarik: dengan sekali lagi menghubungkan sihir dengan penjelasan Odin, kami sepakat bahwa tongkat Merlin mempengaruhi kinerja otak manusia atau siapapun yang ada di sekitar situ. Atau paling tidak kinerja otak dan kelenjar kami. Toh, yang kita sebut 'perasaan' tidak pernah lebih dari kerja sekian miligram hormon ini dan neurotransmitter itu. Mungkin ditambah reaksi otak dalam yang primitif. Mungkin Merlin ingin kami mengikuti firasat yang akan dihasilkan oleh tongkatnya.

Kami tidak sempat bicara banyak setelah itu. Entah bagaimanapun itu mekanisme tongkatnya, Merlin benar – mendadak aku merasakan firasat yang kuat dari arah bukaan.

"Di sana," kata Laura seperti membaca pikiranku. Aku mengangguk.

"Itu bukaan tempatku terjebak tadi," kataku sambil mulai berjalan ke arah sana. "Sejujurnya, mungkin aku agak trauma. Aku nyaris mati memalukan dan tanpa kepala di sana."

Laura tertawa. "Menurutku mati dimangsa Dullahan masih lebih keren daripada mati terjebak di rumah."

Aku mengangkat bahu. "Menurutku sebaiknya kita jangan mati dulu."

Akhirnya ia tertawa lepas.

Kami mencapai bukaan itu. Melihat jarak dari cairn Merlin ke situ, sepertinya Laura benar – mesin hologram Merlin mungkin tidak sengaja terpental ke arah jalanku setelah Laura melemparkannya ke varg tadi, dan aku tersandung mesin itu, menyalakan hologram Merlin dan mengusir Dullahan. Yang membuatku agak ngeri, Merlin masih bisa mengaktifkan Aroma Anti-Amygdala – entah itu ramuan, alat, atau apa – walaupun dia tinggal berwujud hologram. Dia juga mengatakan masih bisa mengaktifkan tongkatnya, dan itu yang kami alami sekarang.

Dia memang tinggal berwujud hologram. Tetapi jika dia masih bisa mempunyai pengaruh sebesar ini terhadap peralatan yang dulu membuatnya dianggap seorang penyihir, entah apa lagi yang masih bisa dia lakukan.

"Agak ke sebelah kiri," kata Laura sambil memejamkan mata. "Ya, menurutku dari arah situ."

"Tahu dari mana?" tanyaku. Aku sudah merasa sangat dekat dengan sumber firasat itu hingga aku tidak bisa membedakan arah datangnya lagi. Laura mengangkat bahu.

"Perasaanku."

Aku mengangkat kedua alisku. "Yah, aku memang bukan yang paling mengerti soal perasaan. Aku percaya saja padamu."

Laura tersenyum usil sebelum akhirnya menuntunku ke tempat yang dirasa paling kuat oleh firasatnya. Samar-samar, aku juga bisa merasakan firasat itu – aku tidak bisa menggambarkannya. Mungkin rasanya mirip dengan saat kau masuk ke sebuah ruangan tetapi lupa kau harus apa, kecuali dalam hal ini yang kami tuju adalah ruangannya dan kami tidak melupakan apa yang harus kami lakukan. Rasanya naluriah, dan sangat alami, jika kami berada di tempat itu. Entah kenapa.

"Di sini," kata Laura. Kami masih berada di pinggir bukaan, belum masuk ke daerah salju dalam yang menyebalkan tadi. Firasat aneh dari Tongkat Merlin ini juga membuatku merasa sangat nyaman begitu kami tiba di tempat ini – rasanya seperti pulang. Mendadak aku merindukan orangtuaku. Lalu Claire...

Claire.

Aku kembali melihatnya terjatuh lemas di Valaskjalf, dan itu menyentakku kembali ke kenyataan. "Merlin bilang jalan masuknya di dekat sini," kataku. "Tetapi di mana?"

"Mungkin dia memberimu petunjuk," kata Laura. "Coba pikir lagi."

"Dia cuma bilang dia melindungi para naga di Dragion supaya mereka tidak dijamah manusia yang tidak bertanggung jawab," kataku. "Apa lagi, ya?"

"Melindungi dari manusia..." kata Laura, raut wajahnya tampak serius. "Berarti, di manapun jalan masuk Dragion ini, Merlin tidak akan mau manusia menemukannya, 'kan?"

"Iya juga," sahutku, ikut berpikir. "Yang berarti seharusnya hanya Merlin atau sekumpulan orang tertentu yang dipilihnya yang bisa masuk...tetapi dia menuntunku ke situ."

"Yang juga berarti dia yakin bahwa kau akan bisa menemukan jalan masuknya," kata Laura. "Dan bisa masuk. Apa yang kau miliki yang tidak dimiliki manusia biasa?"

Aku mencoba mengingat kata-kata Merlin lagi. Kau mencari naga, bukan? Jawabannya ada di Dragion, Tanah Para Naga.

Oke...ada sebuah gua kecil yang kututupi di tengah bukaan terbesar hutan ini.

T-tunggu, kataku saat itu. Bukaan tadi? Serius?

Iya, kata Merlin. ...seharusnya tidak jadi masalah bagimu.

"Sebentar," kataku. "Sepertinya tadi Merlin mengatakan sesuatu soal..."

Iya.

...seharusnya tidak jadi masalah bagimu.

Iya.

Tenang saja...

Seharusnya tidak jadi...

Tenang saja...

...aku lihat kau membawa...

"Restu," tebak Laura, bersamaan dengan aku mengatakan itu. Aku mengangkat alis, lalu kami terkekeh geli.

"Bagaimana kau tahu?"

Laura menunduk sedikit. "Aku tinggal melihat apa yang beda tentangmu, dan itu yang pertama kutangkap."

Aku mengerjap sesaat ketika aku sadar Laura ternyata memperhatikanku, tetapi pikiran itu langsung melesat lewat. "Sekarang pertanyaannya, harus kuapakan Restu ini?"

Laura melihat lagi ke sekeliling. Matanya terpaku sesaat ke arah bukaan. "Coba setrum tanah ini."

"Hah?"

"Setrum," katanya lagi, menoleh kepadaku. "Sambar dengan petir."

"Tetapi – Laura, Restuku berhenti bekerja setelah menyerang Dullahan tadi."

"Mungkin kau cuma tidak mendapatkan pemicu yang tepat," kata Laura.

"Jika benar begitu, menurutku pemicunyabukanancaman," kataku cepat sebelum Laura bisa berpikir soal memukulku. "Restu ini sudah berhenti bekerja saat Dullahan masih ada."

"Lalu apa yang memicunya pertama kali?"

"Aku juga tidak yakin," kataku. "Lagipula, bisa jadi itu tidak berpengaruh. Bumi menetralkan muatan petir, 'kan? Bagaimana jika sambaran petirku tidak cukup untuk menyentuh apapun itu di bawah sana yang membukakan jalan masuk ke Dragion untuk kita?"

"Apa kau punya ide yang lebih bagus?"

Aku merengut. Laura ada benarnya. "Oke. Anggap saja kau benar. Sekarang aku harus bagaimana?"

Laura mulai tampak sewot. "Ceritakan kepadaku saat Kalung Restumu pertama kali aktif."

"Aku –" aku menelan ludah dan mengatur napas sesaat. Aku nyaris lupa betapa dinginnya udara saat itu, dan hembusan angin yang baru saja memutuskan lewat membuatku menggigil. "Aku terjebak di bukaan. Aku masih berusaha lari, tetapi tidak bisa. Saljunya terlalu tinggi. Akhirnya aku pasrah, dan ketika Dullahan mengeluarkan pedangnya – atau alat pembunuh, cakar? Aku tidak peduli – aku cuma bisa memejamkan mata."

"Lalu tiba-tiba Dullahan terdorong ke belakang?"

"Yeah. Dua kali. Lalu aku merasa telapak tanganku geli seperti saat kena listrik statis. Itu mengingatkanku akan petir – dan petir mengingatkanku akan Thor. Jadi aku curiga bahwa Kalung Restuku sedang melakukan sesuatu dan aku mencobanya lagi."

Laura terdiam sesaat. "Setelah kau menyadari Restu itu bisa membantumu, dia malah langsung berhenti bekerja. Berarti...ketika sedang pasrah. Sebelum dia pertama aktif. Pemicunya ada di situ. Apa yang kau rasakan saat itu? Saat itu juga?"

"Aku...aku pasrah," kataku. "Seperti...aku sudah tahu aku pasti tamat. Aku tidak memikirkan apapun lagi. Sedetik sebelumnya aku sangat tegang, tapi pada titik itu, aku tidak yakin lagi apa yang kurasakan – semuanya seperti muncul di saat bersamaan. Aku bahkan tidak tahu apakah jantungku berdegup cepat atau tidak sama sekali, dan sejujurnya, aku tidak bisa merasakan bedanya."

"Semuanya di saat bersamaan?" tanya Laura. Tiba-tiba ekspresinya menjadi agak ganjil. Ia memperhatikan gelagatku baik-baik. "Seperti itukah?"

"Ya," kataku. "Kenapa?"

Laura menatap mataku – lalu menelan ludah. "Aku tidak tahu apakah ini bisa berhasil," katanya. "Tetapi untuk jaga-jaga, aku mau kau berjanji satu hal padaku."

"Apa?"

"Jangan benci padaku."

Aku mengerutkan dahi. "Apa maksudmu? Aku tidak mungkin membencimu."

"Berjanjilah."

"Aku janji."

"Janji apa?"

"Tidak akan benci padamu," jawabku. "Ada apa, sih?"

Laura tidak menjawab. Tetapi mendadak ia menarik kerahku, dan sebelum aku sadar apa yang sedang terjadi, bibir kami bertemu.

Mendadak sebuah ledakan cahaya melingkupi kami saat itu juga, dan aku tewas di tempat.

***

Segalanya kabur saat sekelilingku mendadak menjadi gelap, dan dua kedipan mata kemudian barulah aku sadar bahwa aku sedang di bawah tanah.

Yang menyadarkanku juga bukan pengelihatanku, karena aku tidak bisa melihat apapun. Yang membuatku sadar adalah ketika beberapa serbuk pasir terjatuh di atas rambutku, menyelip lewat kerah masuk ke tengkukku, dan membuatku merinding sendiri. Bau tanah sangat dominan dan menusuk hidungku sampai ke dalam, dan ada satu perbedaan mencolok lain yang kusadari – tempat itu sangat hangat.

"Luke," kata sebuah suara. Lima detik terlewat sebelum aku sadar bahwa itu adalah namaku, dan dua detik lain berlalu sebelum aku sadar bahwa suara itu memanggilku. "Luke, lihat."

"Hah?" tanyaku.

Aku tidak bisa merasakan tubuhku selama sepersekian detik, ketika mendadak semuanya menjadi sangat tajam. Lalu segalanya kembali menjadi normal, walaupun masih terasa agak mengawang. Rasanya seperti tenggelam di bawah air.

Dua kedipan mata kemudian barulah aku sadar bahwa aku sedang di bawah tanah.

"Luke, kau berhasil!"

"Ber...apa?"

Suara itu tertawa riang, tawanya menggema di lorong bawah tanah ini dan di daun telingaku, dan entah kenapa itu membuatku senang. Tawanya mengajakku ikut tertawa. Tetapi aku tidak tertawa. Aku terlalu bingung untuk tertawa.

"Ayo," kata suara itu lagi. Lalu sesuatu menarik tanganku, membawaku berjalan, dan aku mengikutinya.

Langkah pertama.

Semua inderaku langsung mengkalibrasi diri. Pendengaranku kembali menjadi normal. Kulitku bisa merasakan jaket yang masih memelukku, dan kehangatan yang kurasakan baru terasa ganjil. Aku ingat betapa dinginnya angin tadi. Lidahku mengecap sebuah rasa lucu. Entah apa ini. Aku mencium bau tanah di sekelilingku, dan bau lain yang kukenal –

Pengelihatanku ikut menajam, dan aku mengenali Laura di sebelahku, sedang menarikku berjalan ke depan.

Langkah kedua.

Segalanya baru masuk akal.

"Apa kau tadi menciumku?" tanyaku mengawang. Laura mengangguk tanpa melihat ke arahku.

"Dan ternyata berhasil," katanya. "Aku tidak menyangka bakal seberhasil itu."

"Aku...aku pusing."

Akhirnya gadis itu menoleh, lalu mengernyit jenaka. "Ayolah, ciumannya tidak separah itu."

"B-bukan itu," kataku, mengusap mataku dengan tangan yang bebas. "Atau paling tidak, kupikir bukan itu." Jangan pikirkan itu dulu. "Apa yang...apa yang terjadi?"

"Restumu langsung bekerja," kata Laura sambil terus berjalan, menarikku bersamanya. "Badai petir di sekeliling kita. Aku harus berterima kasih kepadamu karena tidak menyetrumku entah bagaimana caranya. Lalu ada suara mekanik yang sangat keras dari bawah tanah, dan sebuah lubang terbuka dari arah bukaan ke arah kita. Ada cahaya dari arah bawah, jadi kita bergerak ke sana – tetapi mendadak sekilas cahaya putih lain muncul dan mengenaimu di dada."

"Di..." aku berusaha mengelus dadaku, tetapi tanganku malah mendapatkan Kalung Restu di situ. "...dadaku?"

"Persisnya di Kalung Restu," kata Laura. "Lalu sepertinya kau mengalami disorientasi hebat. Sudah baikan?"

"Ya," kataku sambil memijit pelipis. "Ya, baikan."

Laura tersenyum sambil membawaku melewati sebuah belokan ke kanan – kapan terowongan ini akan habis?

Cahaya putih...cahaya putih mengenaiku persis di Kalung Restu?

Ada lagi yang berbeda – memeriksa Kalung Restuku, aku mendapati cairan keemasan di dalam Kalung Restuku sekarang tampak lebih berkilauan daripada setelah kugunakan melawan Dullahan. Bahkan lebih terang daripada saat aku pertama mendapatkannya, walaupun itu bisa jadi karena di bawah tanah lebih gelap daripada di atas sana.

"Kenapa kita berbelok kanan terus...?" tanyaku.

"Ini sebuah labirin," kata Laura. "Tidak seperti maze yang membuat bingung jalan mana yang harus dipilih agar tidak mencapai jalan buntu, labirin hanya punya satu jalan. Seperti sebuah spiral raksasa. Kita tinggal mengikuti jalannya saja dan jangan sampai pusing, karena memang itu tujuan desainnya."

Aku mengerang. "Aku sudah pusing."

"Apa aku harus menciummu lagi?"

Entah kenapa, aku malah mengelak. "Kau akan membunuhku, jangan."

Laura terkikik geli, tetapi tetap tidak berhenti bergerak. Bahkan sepertinya langkahnya semakin cepat sekarang.

"Aku tidak tahu Merlin suka labirin," katanya. "Yang aku tahu jago membuat labirin cuma Daedalus dari Kreta, Yunani."

"James?" tebakku. Laura terbahak sekali, sehingga ia terdengar seperti sedang terbatuk.

"Yeah. Menurutmu dari mana lagi aku tahu yang begitu?" jawabnya. "Kecuali soal Vivian-Merlin tadi, sih. Aku memang suka cerita Raja Arthur dan Kesatria-Kesatria Meja Bundar."

Aku mengangkat alis sedikit. "Romantis sekali."

"Romantis dari mananya? Sir Lancelot, Kesatria terbaik dan sahabat Raja Arthur, berselingkuh dengan Ratu Guinevere, istri Raja Arthur. Ratu Guinevere bahkan sempat diklaim oleh adik Raja Arthur, Pangeran Mordred, sebagai istrinya saat Raja Arthur sedang bertarung melawan Sir Lancelot di Perancis karena perselingkuhannya. Raja Arthur memilih hukum di atas cintanya dan menjatuhi Ratu Guinevere dengan hukuman bakar, tetapi ia melarikan diri dan menjadi biarawati hingga mati untuk mencari ampunan." Laura mengeja nama ratu itu mirip Jennifer, tetapi dengan bunyi g dan bukan j. Jangan-jangan nama Jennifer memang turun dari situ? Bisa jadi. "Lalu menjelang akhir hayatnya, Raja Arthur harus berperang melawan Pangeran Mordred dan berakhir terluka sangat parah hingga harus dirawat para peri di Avalon, sebuah pulau supernatural, sepanjang masa. Merlin dibunuh oleh gadis yang dicintainya. Aku tidak mengerti kenapa orang menganggap cerita Raja Arthur kisah yang romantis. Menurutku istilah tragis akan terasa jauh lebih tepat."

Aku mengangkat bahu. "Pendapat populer. Setelah kupikir lagi, jika kau letakkan seperti itu, sepertinya mitologi Keltik sama suramnya dengan mitologi lain." Keltik adalah istilah yang mencakup bahasa dan budaya orang Eropa Barat, seperti Inggris, Irlandia, Wales, dan Skotlandia. Mitologi Keltik terkenal karena banyak kisah pahlawannya yang berlatar Abad Pertengahan, dengan segala kehebohan kesatria, sihir, dan naga. "Tetapi aku masih tertarik soal Merlin mengenal labirin."

"Aku juga," kata Laura. "Dari mana dia tahu soal bentuk ini?"

Saat itu juga, ujung terowongan berbelok tajam ke arah kiri, lalu semua belokan kami menjadi ke arah kiri.

"Yup," kata Laura. "Lajur satu arah yang memusingkan. Labirin."

Kami berlari kecil dalam diam. Tempat ini sangat gelap, dan aku tidak tahu bagaimana Laura bisa melihat begitu jelas di tempat ini. Aku bahkan hanya bisa melihat Laura karena kilau dari Kalung Restuku.

"Untuk adilnya, orang Hindu dan Nordik Kuno juga mengenal bentuk swastika," kataku. "Tahu 'kan, seperti lambang Nazi."

"Kalau kau mau menghubungkannya dengan labirin berbentuk lingkaran yang dibagi empat," kata Laura dengan nada memperingatkan, "kau...mungkin ada benarnya. Tapi itu tidak menjamin apapun. Ingat, labirin tidak memiliki jalan bercabang. Sementara itu swastika sendiri bentuknya seperti tanda plus – tergantung versinya, itu bisa berarti tiga hingga empat ruang terpisah, bukan satu jalur."

Kami terus berlari kecil, dan akhirnya berlari cepat. Tangan Laura masih menggenggam pergelanganku, dan aku membiarkannya seperti itu – di samping tidak mau itu terlepas, aku juga tidak tahu cara lain mencari Laura di tempat segelap ini. Perlahan, jarak lari kami dari pojok ke pojok lain terowongan saat kami berganti haluan semakin singkat.

"Kita semakin dekat ke pusat," kata Laura. "Semua labirin bergerak ke arah tengah. Kita sudah semakin dekat dengan Dragion."

Seakan memastikan kata-kata Laura, aku bisa mendengar samar-samar gaung geraman. Banyak geraman. Dan geraman itu terdengar seperti...

"Aku tidak kenal suara itu," kataku. "Naga?"

"Seharusnya," kata Laura. "Ayo!"

Gaung itu semakin keras, semakin dekat. Mendadak aku merasakan bahwa aku – untuk kedua kalinya – bisa mengabaikan kelelahanku. Aku berlari cepat, dan Laura bisa menyamai kecepatanku. Hanya karena pengalamanlah aku bisa mendahuluinya sedikit, dan sekarang posisi tangan kami berganti – aku yang menarik tangannya.

Ia tidak protes. Aku harap ia tidak melihatku tersenyum sendiri.

Sedikit lagi.

Kami mencapai pojok, dan berputar ke kiri – setelah terus-menerus bergerak ke kanan – tetapi tiba-tiba kami sadar bahwa lorong ini berbeda. Pertama, lorong ini lebih terang. Ada cahaya datang dari tengah lorong sana. Dan kedua, aku bisa melihat bahwa cahaya itu datang dari sisi lain. Terowongan ini tidak sepanjang yang lainnya.

"Jalur terakhir," kata Laura, seakan membaca pikiranku lagi. "Dragion ada di belokan sana."

Kami berlari. Aku tidak melepaskan tangan Laura dari genggamanku, bahkan walaupun terowongan ini sudah lumayan terang, dan gadis itu masih tidak protes. Suara-suara geraman para naga sudah terasa sangat keras, sangat jelas. Aku teringat bertahun-tahun lalu saat aku menemani Claire ke dokter hewan untuk merawat anjing kami Fuss, yang akhirnya mati juga. Di dekat ruang tunggu, hewan-hewan berisik dan mengeluarkan berbagai suara nyaring dari dekat belokan di ujung lorong – ini terasa mirip, kecuali bukannya bau antiseptik, hidungku penuh dengan bau tanah.

Dan akhirnya kami mencapai belokan itu dan berbelok kanan.

Aku ternganga.

Kami tiba di sebuah ruangan yang sangat besar – bahkan aku ragu aku bisa menyebutnya dengan kata ruangan. Tempat itu lebih besar daripada ruang baca Perpustakaan Kota – dan di sana-sini, ada sarang.

Dan setiap sarang diisi beberapa ekor naga.

Ya. Mereka naga. Dengan sayap-sayap kulit berlapis bulu berbagai warna yang terlipat di punggung mereka dengan anggun, empat kaki kuat dengan tiga hingga lima jari yang berujung pada cakar melengkung yang tajam dan berwarna putih pucat kecoklatan, seperti tulang. Ekor mereka panjang, dan seperti sekujur tubuh mereka, dilapisi bulu.

"Aku..." Laura menelan ludah. "Aku kira naga barat seharusnya seperti reptil. Kau tahu, bersisik dan lain-lain."

Ada berbagai jenis naga di sini. Bentuk, proporsi, dan ukuran mereka semua berbeda-beda. Aku tidak mungkin bisa menyebutkan satu-satu.

"Um," aku berusaha merespon Laura. "Mungkin mereka seperti dinosaurus."

"Maksudmu?"

"Dinosaurus reptil, tetapi mereka berbulu."

Laura mengernyit. "Benarkah?"

"Dinosaurus turun menjadi dua jenis binatang, reptil dan burung. Tyrannosaurus berbulu. Triceratops berbulu di dekat ekornya. Semua dromaeosaur – yang terkenal dengan nama raptor gara-gara Jurassic Park – berbulu, bahkan lengannya berbulu panjang seperti sayap. Archaeopteryx dulu membuat gempar para paleontolog karena bulunya tercetak bersama fosilnya, membuktikan bahwa evolusi itu nyata. Jangan tergantung pada gambaran yang ditawarkan Hollywood," kataku pelan, masih terkagum pada pemandangan akbar di depanku. Kami baru saja benar-benar menemukan sarang naga – mungkin satu-satunya sarang naga yang masih tersisa di muka Bumi.

Dragion – Tanah Para Naga. Tempat ini dinamai dengan tepat.

"Aku cuma punya satu masalah," kataku. "Apabila kita anggap mereka reptil, bukannya berarti mereka berdarah dingin?"

Laura mencernanya sejenak. "Salju di luar," katanya pelan. Aku mengangguk.

"Bahkan jika kita bisa menjinakkan mereka sekalipun, mereka akan mati."

"Yah," kata Laura, mengamati naga-naga itu satu per satu. Mereka bergerak seenaknya, seperti sebuah komunitas binatang (setelah kupikir-pikir, mereka memang sebuah komunitas binatang). Ada yang sedang bermain dengan anaknya. Ada yang melontarkan bola api dengan iseng kesana-kemari. Ada yang kejar-kejaran. Ada yang saling menggeram, ada yang sedang tidur. Kebanyakan naga di sini berkeluarga. "Kita coba peruntungan kita saja. Ikuti perasaanmu, 'kan?"

Lalu Laura keluar dari terowongan.

Tidak seperti dugaanku, kegiatan di Dragion tidak terhenti dengan canggung. Mereka semua tetap beraktivitas. Beberapa naga bahkan nyaris menubruk Laura, tetapi gadis itu bergerak dengan solid menuju satu naga.

Lucunya, aku juga merasakan panggilan dari arah lain.

Bukan, bukan panggilan telepatis seperti dari Thor. Bukan panggilan nama seperti dari Laura. Lebih seperti firasat yang tadi menuntun Laura kemari. Lebih seperti firasat yang memberitahuku bahwa berada di suatu tempat akan terasa sangat natural.

Dan panggilan itu membawaku menyeberangi sisi jauh Dragion. Aku bergerak dengan hati-hati, memastikan aku tidak tersenggol atau terdorong masuk ke sarang naga-naga itu, ataupun menginjak ekor mereka. Sebagian besar memang mengangkat ekor mereka, tetapi beberapa yang sedang berbaring membiarkan ekor mereka di atas tanah dengan malas. Ukuran mereka paling kecil sepanjang satu setengah meter, dan taring mereka tampak meyakinkan – aku tidak mau macam-macam.

Panggilan itu terus membawaku menyeberangi Dragion, lebih jauh lagi. Aku sudah tidak tahu Laura bergerak ke arah mana, dan aku sangat ingin mencarinya dan mungkin mencegahnya bertindak bodoh, tetapi semakin aku dekat ke sumber panggilan itu, semakin kuat pula rasanya firasatku. Aku semakin sulit mengendalikan kakiku. Aku mulai sulit membedakan keinginanku dengan keinginan si pemanggil.

Jangan takut, kata sebuah suara di kepalaku. Kepalaku langsung berdenyut menyakitkan – telepati. Namaku Y Ddraig Goch. Kau bisa menyebutku Naga Merah. Aku adalah penguasa dan penjaga para naga di sini. Merlin sudah berjanji tidak akan ada manusia yang menemukan Dragion, dan dia bukan seorang pelanggar janji, jadi aku akan menganggap kau dan temanmu bukan manusia biasa.

Aku mengerang sedikit, dan merasa sangat lemas, tetapi kakiku terus memaksa bergerak.

Kenapa kau kemari dengan temanmu?

"Kami –" aku berusaha menentukan dari mana datangnya gravitasi. "Kami ditugasi mencegah umat manusia dari kepunahan. Kur, seekor naga kuno dari Sumeria –" Apa Naga Merah tahu tentang Sumeria? "—terlepas dan mulai menghancurkan lagi. Kami harus menghentikannya."

Dan kenapa kau ingin menghentikannya? Tanya Naga Merah. Kepalaku berdenyut semakin keras. Umat manusia adalah ras yang kejam. Kami mungkin ras yang menurutmu hewani, tetapi kami tidak lagi mengganggu siapapun selama berabad-abad.

"Karena –" sial, Naga Merah ada benarnya. Kenapa aku berjuang mempertahankan umat manusia? Tetapi satu hal telah ditanamkan kepadaku dari klub parkour, salah satu prinsip terbesar yang pernah kupegang erat-erat – jangan ragu. Seorang traceur – praktisi parkour – akan jatuh di detik dia merasa ragu. Delapan puluh persen kegagalan melakukan trik parkour tidak terletak pada kemampuan traceur-nya, tetapi pada kondisi mentalnya. Dan aku tahu aku akan mempertahankan umat manusia. "Karena bisa jadi, cuma ini satu-satunya harapan para Leluhur."

Itu urusan mereka, kata Naga Merah. Bukan urusan kami.

"Urusan mereka yang satu ini menyangkut Bumi," kataku. Pusing sialan. "Musim dingin di luar? Entah kenapa aku merasa kau tahu tentang itu. Musim dingin itu akan memulai rantai peristiwa yang akan menghancurkan dunia. Aku tidak ingat siapapun menyebutkan bahwa para naga selamat dari Ragnarok."

Ada desisan gelisah yang menggema di Dragion, dan mendadak aku sadar bahwa dua bola terang yang bersinar dari atas – yang kukira semacam miniatur matahari yang menjaga Dragion tetap hangat – adalah sepasang mata.

Naga Merah menaungi seluruh tempat ini, dan dia sangat besar hingga aku tidak bisa melihatnya saat pertama masuk.

Ragnarok?

"Ya."

Naga Merah terdiam lagi. Apa yang ingin kau lakukan, manusia?

Aku berusaha mencari Laura, tetapi aku tidak bisa menemukannya di lautan kesibukan para naga. Atau mungkin ini cuma karena peningku menghalangiku dari berkonsentrasi. Aku tidak yakin. "Aku cuma ingin melindungi orang-orang yang kusayangi dan umatku," kataku ikhlas, akhirnya, ketika teringat apa yang Merlin katakan tentangku. "Dan aku tahu kau berusaha melakukan hal yang sama."

Naga Merah masih terdiam. Kau tahu, katanya akhirnya, aku juga berbicara dengan temanmu. Baiklah. Aku akan membantu kalian, dan aku sudah menemukan naga yang cocok untuk kalian tunggangi. Tetapi ada satu tes lagi –

Aku baru sadar bahwa aku sudah melangkah ke pojok Dragion. Komunitas para naga sudah berada sekitar sepuluh meter di belakangku, dan aku masih berjalan terus, lurus, ke satu sarang yang sangat kesepian.

– kau harus mendapatkan nagamu tanpa melukainya.

Dan dari sarang itu, sebuah kepala menengok keluar.

Pening yang kurasakan akibat telepati Naga Merah langsung memudar. Kepala itu besar, sebesar meja makan bundar untuk empat orang, berbulu putih bersih seputih salju, dengan aksen-aksen garis berwarna hitam yang tampak seperti tato. Matanya berwarna kuning, seperti kucing, dan bentuk kepalanya seperti ular – segitiga, mengecil dengan aerodinamis ke arah moncongnya. Dua tanduk besar tampak seperti telinga menjorok ke belakang kepalanya, dan tanduk-tanduk lain yang lebih kecil menghiasi kepalanya seperti sebuah mahkota raksasa yang aneh.

Naga itu melangkah keluar. Ukurannya kira-kira sebesar jet privat, dan itu saja sudah cukup membuatku terasa terintimidasi. Seluruh tubuhnya terlihat sangat ramping, dan sayapnya – sayapnya terlipat, tetapi ujungnya terlihat sangat panjang, nyaris menggapai separuh ekornya. Aku merasa seperti melihat seekor ular berkaki singa dengan bulu burung putih bersih bercorak tato, dan itu berarti ekornya sangat panjang. Naga ini pasti punya rentang sayap yang luar biasa besar, mungkin lebih dari panjang tubuhnya.

Lalu dia menggeram.

Oh, kau mau bermain? Pikirku. Ayo.

Naga itu menerkam.

Gerakannya luar biasa cepat. Aku tidak menduga dia bisa melompat sejauh dua belas meter sendiri dengan kakinya yang imut itu – yah, tidak imut juga, tetapi jika dibandingkan dengan proporsi tubuhnya, tidak tampak cukup kuat untuk mengangkatnya sejauh itu – tetapi ternyata sayapnya terbuka sedikit. Sangat sedikit, tetapi cukup untuk membawanya terbang pendek ke arahku. Aku tidak menyangka gerakannya, tetapi refleksku tidak berkhianat.

Aku berguling ke depan.

Terkaman naga itu tiba persis di tempatku berdiri tadi, dan sebelum kaki belakang naga itu meratakanku dengan tanah, aku langsung melakukan tiger-strong ke depan dan menghindar.

Satu terkaman dan aku harus melakukan dua langkah hindaran. Aku harus mengganti taktik.

Naga itu berbalik, matanya mengamatiku. Entah kenapa aku mendapatkan kesan seperti naga itu sedang heran. Kenapa kau kabur? Mungkin dia berpikir seperti itu. Aku cuma mau menyerangmu.

"Dan aku tidak boleh menyerangmu, bung," jawabku. Naga itu memutar tubuhnya, membentuk huruf U, bergerak tidak nyaman dengan ancang-ancang barunya.

Tiba-tiba, selama sepersekian detik, aku bisa melihat gerakannya dengan sangat jelas – dia akan melompat kecil ke kiri untuk menipuku, lalu menahanku dengan sayapnya yang lebar hingga terjatuh dan menerkamku.

Dan setelah sepersekian detik itu, dia bergerak.

Secara refleks, aku menghindar – tetapi aku tidak melompat ke kanan untuk menghindarinya. Aku melompat ke belakang, melakukan flick-flack – melompat ke belakang, mendarat dengan kedua tangan, lalu mendorong tanah hingga kaki mendarat lagi – dan naga itu tampak kebingungan.

Kau mau dansa? Tantangnya. Baiklah. Ayo.

Ayo, tantangku balik.

Kami berdua menyerbu.

Dia bergerak untuk menerkamku dan melompat ke atas, tetapi aku sudah menduga gerakan itu dan langsung melakukan tiger-strong ke bawahnya. Aku masih belum terpikir bagaimana aku akan mengalahkannya tanpa menyakitinya, tetapi bagaimana jika dia menyakiti dirinya sendiri? Sepertinya itu diperbolehkan.

Target terkamannya hilang mendadak, naga itu panik di udara, berusaha mengatur terbangnya, tetapi malah membuat dirinya jatuh terguling. Dia bangun dan menggeram kesal, sementara aku menjulurkan lidah kepadanya.

"Cuma segitu?" sindirku. Dia membalas dengan sebuah geraman keras.

Wow, sejak kapan aku bisa berbicara dengan naga?

Naga itu menyerbu ke arah pinggangku dengan ekornya, tetapi aku melakukan side-flip – berputar di udara ke arah samping – dengan tepat waktu. Begitu aku mendarat, aku menggunakan kakiku seperti per dan langsung menerkam lehernya.

Aku mengalungkan tanganku di leher naga itu, seperti seorang penunggang kuda yang putus asa, dan naga itu langsung bergoyang marah.

Turun! Serunya.

Tidak mau! Balasku.

Naga itu bergerak seperti cacing kepanasan dan menggeliat dengan sangat liar – bahkan nyaris bisa dikatakan menggelepar jika dia tidak tetap seimbang dia atas keempat kakinya. Aku melingkarkan kakiku di sekitar tubuhnya, membatasi gerak sayapnya dan memperkuat peganganku di atas tubuhnya, dan dia semakin kesal lagi.

Ayolah!

Ogah!

Naga itu membalik diri sehingga aku di bawah – dan, dalam sebuah gerakan yang sangat cepat, menindihku.

BRAK.

Aku serasa baru saja ditindih beban seberat dua ratus kilogram – sepeduliku, bisa saja naga itu memang seberat itu. Tubuhku langsung sakit semua, membuatku berharap diam-diam tidak ada tulang yang patah, sementara cengkeramanku di tubuh si naga mengendur dan naga itu melepaskan diri dengan penuh kemenangan.

Rasakan! Sindirnya sambil melengang pergi. Aku bahkan lupa caranya berdiri, tetapi tiga detik kemudian aku menemukan cukup semangat untuk berusaha bangun lagi.

Tarian kita belum selesai, bung, pikirku. Naga itu seperti mendengar yang kupikirkan dan mengangkat satu alis – ya ampun, itu benar alisnya?

Kalau begitu, ayo.

Aku melepas jaketku perlahan, menanti gerakan mendadak. Kami saling melingkari satu sama lain, mata kami saling terkunci – dan dia bergerak.

Aku tidak menghindar kali ini. Aku menyambut mulutnya yang terbuka, menyumpalkan sisi tengah jaketku ke situ, dan melompat lagi melingari lehernya. Kali ini, aku menarik jaketku – ini tali kudaku.

Naga itu baru saja sadar apa yang terjadi dan langsung meronta marah, seliar sebelumnya, tetapi dengan berpegangan menggunakan tali seperti ini, dia memang bisa menyentakku – tetapi dia tidak bisa menindihku lagi. Dia berusaha berguling untuk menindihku, tetapi aku melepas satu sisi taliku dan langsung berputar, mempertahankan posisiku di atasnya.

Sepertinya aku membuatnya kesal.

Naga itu meronta dengan lebih liar, bergerak kesana-kemari, bahkan membuat dirinya menjadi tontonan beberapa naga lain, sebelum tiba-tiba suara Naga Merah bergaung di kepalaku – AWAS!

Aku tidak sempat memikirkan apa maksudnya ketika tiba-tiba nagaku berhenti meronta dan segalanya bergetar.

Sebuah gempa besar mengguncang Dragion.

Karena nagaku berhenti melawan, aku turun dari punggungnya dan mengenakan jaketku lagi. Ada apa ini?

Di atas sana, mata Naga Merah bergerak dengan panik, memindai segalanya. Aku ikut memindai sekelilingku – para naga bergerak dengan gelisah, seakan tahu bahwa gempa ini akan berakhir buruk.

Memangnya apa –?

Nagaku tiba-tiba mendorongku menjauh dengan sangat cepat, sebelum aku sadar apa yang terjadi, dan sebongkah batu raksasa jatuh di tempatku berdiri tadi.

"Whoa – apa –?" aku menengok ke belakang dengan kaget, baru sadar bahwa naga putih ini baru saja menyelamatkanku. "Oh, wow," kataku pelan. "Terima kasih, bung."

Naga itu menggeram kecil. Tetapi kepalaku sedang dibuat sibuk oleh hal lain.

Kenapa tadi Naga Merah tiba-tiba berseru awas – dan, entah dari mana, langsung disusul sebuah gempa besar?

Aku kembali memperhatikan sekelilingku. Beberapa jejak kaki dan bongkahan batu yang tampak berantakan, bekas permainanku dengan si naga putih. Lalu...

Tunggu, apa itu sebuah gua?

Gua itu tampak kecil, seperti sebuah ruang pertapaan. Aku mendekatinya perlahan – ada firasat yang familiar di situ, tetapi aku tidak yakin...

Klak.

Melihat ke tanah, aku menemukan sebuah tongkat di dekat kakiku.

Firasat.

Tongkat.

Dragion...

Cari sumbernya, ikuti perasaanmu.

Tongkat itu mempunyai peran yang sangat besar dalam kehidupan para naga di Dragion.

Saat itulah aku baru sadar apa yang sedang terjadi – Tongkat Merlin!

Peran yang sangat besar – sepertinya dalam pergulatanku dengan si naga putih, kami tidak sengaja menyenggol tongkat ini hingga jatuh. Yang aku tidak tahu adalah peran yang sangat besar yang Merlin maksud adalah mempertahankan formasi gugus tanah di sini agar tidak runtuh, karena tempat ini sangat besar dan – sepertinya – massa tanah di atas tidak kalah besarnya.

Aku langsung memungut tongkat itu dan berlari ke arah gua kecil di depanku. Di tengah gua itu, ada beberapa batu yang tampak ditumpukkan – hampir seperti cairn mini – dengan sebuah lubang di tengahnya. Aku mengangkat Tongkat Merlin di atas kepalaku.

Tolong, berhasillah, pintaku dalam hati.

Lalu aku menghujamkannya ke dalam lubang itu.

Sebuah gelombang energi menghantamku.

Aku terhajar dengan sangat telak dan terpental mundur, mati rasa, entah berapa meter ke belakang. Aku tidak bisa mendengar apa-apa, melihat apa-apa, ataupun merasakan apapun kecuali angin yang berhembus saat aku mulai bergerak jatuh lagi.

Dan aku terjatuh – dengan lembut.

Begitu mataku bisa berkedip lagi, aku baru menyadari bahwa si naga putih menangkapku dengan punggungnya yang ramping, perlahan menurunkanku. Tenang, Bos, dia seakan berkata begitu mataku bertemu dengannya. Aku menjagamu.

"Trims," kataku sambil menepuk lengan atas kaki depannya, berusaha berdiri.

Gempanya sudah berhenti.

"Luke!" seru sebuah suara yang langsung berdering di pojok Dragion tempatku berada – Laura. Gadis itu menghampiriku dari arah komunitas naga yang sedang terbengong. "Luke, kau tidak apa-apa?"

Kalian ceroboh! Bentak Naga Merah – kali ini, kepalaku tidak lagi berdenyut. Kepalaku berdentum keras. Kalian nyaris membahayakan semua nyawa di sini – kalian nyaris memusnahkan naga-naga terakhir yang tersisa!

"Maaf!" seruku ke langit-langit Dragion. "Aku tidak tahu!"

Naga putih itu ikut meraung ke arah langit-langit, mungkin membelaku, tetapi juga memperparah pening yang masih belum mau hilang. Thor memperingatkanku soal temporal lobe epilepsy – aku harus benar-benar menjaga pembicaraan dengan Naga Merah tetap singkat jika aku tidak mau berakhir kejang-kejang dengan suara-suara di kepalaku, karena sepertinya dia tidak bisa berkomunikasi denganku kecuali dengan telepati.

Aku mengerang. Aku baru sadar bahwa aku tidak yakin apakah kalian yang dimaksud Naga Merah adalah aku dan Laura atau aku dan si naga putih. Tetapi Naga Merah tidak menjawab selama beberapa detik.

Oke, katanya akhirnya. Karena kau juga telah bertanggung jawab dan tidak melukai naga yang kau hadapi, belum lagi...

Apabila tindakanku ini sopan, aku sangat ingin berteriak kepada Naga Merah dan menyuruhnya berbicara dengan singkat. Tetapi aku tidak bisa.

Dan dentuman di kepalaku malah memudar.

...dan mengingat jumlah populasi naga yang tersisa, aku tidak akan berani macam-macam jika kau benar soal Ragnarok dan...

Tunggu. Dentuman di kepalaku hilang sepenuhnya. Aku masih bisa mendengar racauan telepatis Naga Merah, tetapi aku tidak merasakan sakit kepala seperti sebelumnya.

...itu, kata Naga Merah dengan nada final. Jadi baiklah. Kau boleh membawa naga itu, dan kita bisa bicara soal bantuan dalam perang melawan Kur.

"B-baiklah," kataku. Si naga putih seakan juga mengerti apa yang baru saja dikatakan oleh Naga Merah dan merapat kepadaku dengan manja. Seperti minta dielus. Aku masih agak teralihkan oleh keanehan telepati ini, tetapi aku merasa seperti tidak boleh menunjukkan kecurigaanku, jadi aku cuma terkekeh kecil dan mengusap kepalanya dengan bertenaga, seperti mengelus anjing. Sepertinya dia suka.

Tubuh putih cemerlang, ramping, seperti...

"Seperti sinar," kataku. "Bagaimana jika aku memanggilmu ray – sinar?"

Naga itu mengerjap tidak peduli, seperti oh, oke, aku suka nama apapun yang akan kau berikan, bahkan jika nama itu sebodoh Grumpysnake.

"Oke," kataku. "Namamu Ray."

Dia menggeram lembut.

Aku masih heran soal telepati Naga Merah yang mendadak tidak menyakitkan, tetapi ada tawaran bantuan melawan Kur – waktunya sedikit diplomasi. "Apakah kalian para naga bisa saling berkomunikasi jarak jauh, seperti telepati?" tanyaku. Naga Merah seperti mengangguk.

Kurang lebih, katanya.

"Kalau begitu, untuk mencegah seluruh komunitas kalian dalam bahaya, aku hanya akan membawa Ray," kataku.

"Dan aku membawa Beth," Laura menimpali, mengelus naganya sendiri. Naga itu tampak agak gemuk, seperti seekor katak, tetapi bertenaga. Taring dan ukuran sayapnya tampak menjanjikan, belum lagi duri dan selaput sayap kulit di ekornya. Aku mengangguk.

"Dan jika kami butuh apa-apa, aku tahu kami bisa mengontakmu lewat kedua naga kami," sambungku. Naga Merah berpikir sejenak.

Baiklah, katanya akhirnya. Cukup adil. Tetapi aku harus memperingatkanmu – aku tahu Kur. Dia bukan naga biasa. Kalian tidak akan bisa menang melawannya apabila bergantung pada tenaga otot – seluruh koloni Dragion sekalipun akan musnah dihabisinya kalau begitu caranya. Sebaiknya kalian punya rencana untuk menghadapinya.

"Kami akan buat rencana," kataku mantap. "Tapi pertama, kami harus pahami dulu keadaannya."

Naga Merah mengerang. Baik. Aku percayakan saja pada kalian.

Aku tersenyum. "Terima kasih. Omong-omong – apakah naga...eh, tahan suhu yang sangat dingin?"

Kami bukan makhluk Bumi, dan itu berarti kami tidak seperti reptil kalian, kata Naga Merah. Tenang. Kami cepat beradaptasi.

"Baiklah, terima kasih," kataku. "Um, satu pertanyaan terakhir," aku melirik pintu masuk lewat labirin tadi. Tawaran menarik, tetapi tidak, terima kasih. "Di mana pintu keluarnya?"

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro