Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab Dua

Catatan penulis: Ini Bab penjelasan dan Bab pemberian misi, jadi mohon maklum jika ada istilah yang membingungkan XD petualangannya akan dimulai setelah ini, tetapi jika ingin tahu kenapa petualangan itu terjadi, sila baca Bab ini sampai selesai. Oh iya, jika ada typo, tolong informasikan di daerah komentar ya. Terima kasih, selamat menikmati!

***

Ketika kakiku merasakan gravitasi menariknya lagi ke tanah, jeritanku belum berhenti.

"Maaf perjalanannya agak kasar," suara Odin terdengar sangat jauh. "Aku biasanya membiarkan Bifröst terbuka sebentar sebelum kita menyeberang, tetapi kita tidak punya waktu sebanyak itu tadi."

Mataku mulai beradaptasi dari putih cemerlang yang tadi nyaris membuatku buta, dan inderaku yang lain mulai merasakan perbedaan. Pertama, dan terutama, adalah suhunya – mengatakan bahwa suhu saat itu hangat adalah peremehan.

Lalu aku bisa merasakan bahwa beratku seakan naik. Rasanya seperti tanah berusaha menarikku lebih keras ke bawah – tetapi itu tidak berlangsung lama. Dalam hitungan detik, aku sudah bisa berdiri normal. Tarikan aneh apapun tadi sudah pergi.

Mataku memilih saat itu untuk selesai menyesuaikan diri.

Kami kini berada di sebuah rumah kecil, mungkin sebuah gubuk. Ada dua pintu – satu di belakang kami, dan satu di depan kami. Pintu di belakang kami tertutup, sebuah bunyi dengungan mesin melemah dari baliknya, sementara pintu di depan kami terbuka. Pintu itu menunjukkan apa yang ada di luar pondok.

Lapangan rumput yang sangat hijau. Tidak ada setitik pun salju.

"Apa...?" bahkan James tidak bisa berkata-kata. Kacamatanya langsung mulai mengembun. Jaket kami mulai terasa sangat panas.

"Selamat datang," kata suara di sebelah kami, membuat kami semua menoleh, "di Himinbjörg."

Orang itu mengejanya seperti hi-min-byourgh.

Pemandangan yang aku lihat berikutnya nyaris sama membutakannya dengan beberapa detik yang lalu. Dia seorang pria muda, sebuah pedang disarungkan di kanan pinggangnya dan sesuatu yang terlihat seperti terompet lengkung – kalau tidak salah sebutannya horn – di sebelah kiri pinggangnya. Kulitnya bisa jadi lebih putih daripada salju, tetapi aku tidak membawa pembanding. Dia mengenakan semacam anting-anting di telinga kirinya, duduk dengan santai di atas kursi logam dengan gelas kristal bersih di meja di depannya. Bau mead – semacam minuman alkohol kuno yang manis dari campuran air dan madu yang difermentasi – yang harum semerbak sepertinya berasal dari gelas itu. Si pemuda mengangguk kepada kami dengan senyuman sehangat cuaca saat itu.

"Heimdall," sapa Odin. Kedengarannya seperti haym-dal. "Terima kasih."

Pemuda itu menoleh ke Odin dan menunduk sopan. "Sama-sama, Tuan."

"Ada berita?"

"Tidak ada tanda dari eldjötnar, Tuan."

Dia mengejanya seperti eld-yout-nar. James jelas langsung tertarik, kacamatanya mulai bersih sendiri. Odin mengangguk.

"Bagus. Tetap waspada."

Heimdal nyengir – menunjukkan deretan gigi emasnya – lalu menepuk lembut anting-antingnya, dan antarmuka hologram kecil berwarna jingga berkelip muncul, mengambang di depan matanya sebelum menghilang lagi ke udara kosong. "Selalu, Tuan."

"Ini benar-benar Himinbjörg?" tanya James dengan suara mengawang seakan dia sedang bermimpi. Sepertinya dia memang sedang merasa bermimpi – dia mulai mencubiti tangannya sendiri. "Aduh."

"Iya," kata Odin. "Maaf aku terburu-buru tadi. Aku mendengar lolongan varg."

Aku merasa pusing dengan semua kata-kata aneh yang dikeluarkan orang-orang ini. Valaskjalf. Bifröst. Himinbjörg. Eldjötnar. Kali ini Odin mengeja sesuatu yang terdengar seperti fwargh. "Itu apa?" tanyaku sebelum bisa mencegah diri.

Heimdall tertawa renyah. "Maaf, Tuan, saya baru ingat mereka masih baru," katanya kepada Odin sambil menunduk kecil. Lalu dia menoleh ke arahku. "Varg adalah ras binatang dari dunia kami. Bentuknya mirip dengan serigala di Midgard – eh, maksudku, Bumi. Kecuali varg berukuran sangat besar, bergerak sangat lincah, dan jauh lebih kuat daripada serigala."

"Dan gigitannya berbisa," tambah Thor. "Satu gigitan dan kau akan dihabisi oleh svartr – kegelapan."

"Aku tidak mengerti sedikitpun," kataku bingung. Tambah lagi dua kata aneh. Kurang ajar. Laura tampak berusaha menyembunyikan kebingungannya, sepertinya agar ia bisa menyerap lebih banyak informasi terlebih dahulu sebelum memrosesnya, tetapi taktik itu jelas tidak berhasil. Di lain pihak, James malah tampak bersemangat.

"Varg? Tapi bagaimana dia bisa mencapai dunia kita?"

"Mereka," koreksi Odin. "Varg tidak pernah bergerak sendiri, kecuali..."

James tampak sungkan sebelum menjawab. "Fenrir."

Semua orang terdiam dengan canggung.

"Bolehkah aku minta dijelaskan segalanya?" tanyaku sebal. Odin memperhatikanku sesaat.

"Betul juga," katanya. "Maaf. Ayo kita ke Valaskjalf." Odin mengangkat kupluknya dengan gestur hormat. "Heimdall."

Si pemuda berkulit salju membalas salam pergi Odin dengan cengiran seharga jutaan dolar (aku yakin emas di giginya bisa dijual seharga itu – sumpah, senyumnya cemerlang). Odin memimpin rombongan kami bergerak keluar pintu gubuk itu, sementara akhirnya Claire memutuskan melepas jaket. Aku baru ingat bahwa jaketku ini bukan bajuku satu-satunya dan mengikutinya, disusul James dan Laura.

"Aku nyaris lupa," kata Thor. "Ini barang-barang kalian. Maaf aku tadi harus mengambilnya. Aku perlu memastikan kalian tidak bertindak bodoh."

Benda-benda logam kami terbang lembut mendekati pemilik mereka masing-masing, dan buluku berdiri ketika aku mengambil lagi barang-barangku. Tetapi begitu semua barang kami sudah kembali, getaran di udara yang membuatku merinding langsung menipis.

Odin bersiul dengan tiga nada yang diayun.

Awalnya, tidak terjadi apa-apa. Kami terbengong sendiri melihat rerumputan hijau yang ada di tempat ini. Pondok kecil tempat kami tiba tadi berdiri sendiri dengan kesepian di tengah pemandangan yang luar biasa indah – pemandangan yang sudah lama tidak ditelan mataku secara langsung.

Rumput hijau terhampar. Baling-baling kipas menyambut angin, dan aku juga bisa melihat banyak tabung baling-baling yang terlihat seperti rotor pesawat tengah mengambang di angkasa, tertambat ke titik-titik stasiun di bawah. Pepohonan rindang. Bunga-bunga mekar...

Tunggu. Ada yang salah.

Di samping betapa familiarnya semua ini, aku bisa melihat jelas bahwa rumputnya tidak seperti rumput apapun yang kukenal. Sejak kapan rumput daunnya bercabang-cabang dengan bentuk spiral?

Lalu bentuk kayu pohonnya tampak seperti memiliki keratan yang lebih rapi. Belum lagi posisi dahan-dahan dan ranting-rantingnya yang, sekali lagi, berbentuk spiral. Warna daunnya agak lebih terang daripada yang aku bisa ingat soal pepohonan.

Bunga-bunganya juga...

Semuanya terasa begitu familiar, dan begitu ganjil, hingga aku nyaris bisa yakin bahwa kami memang sedang berada di dunia lain.

Lalu ada bayangan bergerak di tanah. Belum sempat aku menyadari betapa cepatnya bayangan itu menjadi besar, sesuatu yang keabu-abuan berdebum di hadapanku.

Aku melompat mundur.

Aku tidak menyesal melompat mundur – malah sebenarnya sangat bersyukur. Karena di depanku persis, hanya berjarak sepuluh sentimeter dari ujung hidungku, adalah sebuah pilar berbulu.

Bulu? Tunggu –

Aku mundur lagi sedikit dan agak mendongak – bukan pilar. Tiang berbulu di hadapanku adalah sebuah tungkai kaki. Dan kaki itu tersambung ke...

Aku menelan ludah.

Itu kuda.

Itu seekor kuda.

Itu seekor kuda raksasa.

Kaki itu tersambung ke seekor kuda raksasa.

Di depanku adalah seekor kuda keabuabuan yang berdiri gagah setinggi tiga meter dan memiliki...tunggu, kakinya lebih dari empat. Lima, enam, tujuh...delapan? Kuda abu-abu raksasa setinggi tiga meter dengan delapan kaki? Apa-apaan?

Tetapi aku tidak bisa berbohong – kuda itu tampak sangat kuat, dan itu belum memperhitungkan ukuran raksasanya. Warna abu-abunya berkilau di bawah cahaya matahari. Aku tidak bisa menemukan gambaran yang tepat untuk kilauannya – antara kilau keperakan, tetapi juga agak redup, seperti kilau salju. Ada segaris corak biru di sisi perutnya. Kedelapan kakinya terbagi menjadi dua kaki di setiap pojok – dua kaki kanan depan, dua kaki kiri depan, dua kaki kanan belakang, dan dua kaki kiri belakang. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kuda ini bergerak.

"Ini Sleipnir," kata Odin tenang, melangkah maju dan mengelus makhluk akbar itu. Dia menyebut namanya seperti slayp-nir. "Putra Loki, dan kuda terkuat yang pernah ada."

Aku teringat film superhero itu lagi. "Bukannya Loki itu de – eh," aku melirik ke Claire sesaat, "er, Leluhur?"

"Nanti kujelaskan. Sekarang kita ke Valaskjalf dulu."

Odin menaiki Sleipnir tanpa masalah dan langsung duduk di sadelnya. Ada bunyi dengungan mekanis, lalu sadel itu memanjang ke belakang menjadi semacam gerobak yang berdebum lembut ke tanah di belakang Sleipnir.

"Naik," kata Thor seraya memanjat masuk ke gerobak keemasan itu. Claire melompat masuk di belakangnya, dan Thor membantunya naik. James naik setelahnya dan aku membantu Laura naik sebelum memanjat sendiri. Aku masih tidak bisa cukup bersyukur aku dulu mengikuti klub parkour itu. Di dalam gerobak itu ternyata sudah ada beberapa kursi, dan karena aku yang terakhir naik, aku mendapatkan kursi paling depan. Thor duduk di paling belakang, di depannya James dan Claire, sementara Laura di sebelahku. Ia mengedikkan kepalanya kepadaku seperti menyuruhku langsung duduk.

Aku tidak menduga bahwa itu saja cukup membuatku grogi. Apabila aku segrogi ini bahkan sebelum kencan dengan Laura, untunglah di depanku ada pantat kuda – aku punya alasan untuk mendukung kenapa wajahku mungkin terlihat aneh.

"Pegangan yang kuat!" seru Odin sambil menunduk dan menggenggam semacam gagang tuas di atas sadelnya. Sleipnir melenguh keras, berdiri di kedua – maksudku, keempat – kaki belakangnya, dan mendadak melompat ke depan.

Kami semua tersentak mundur ke kursi-kursi kami dan langsung menjerit. Langit memudar di sekeliling kami, membentuk garis-garis putih abu-abu kabur yang berlalu lebih cepat daripada kedipan mata.

"Apa –"

Di sebelahku, Laura sudah membuka mulut, tetapi sepertinya paru-parunya berhenti bekerja dan tidak bisa memberinya napas untuk menjerit. Thor tidak tampak kaget sama sekali (aku tidak heran, toh Odin ayahnya), James menjerit tergagap – yang aku sadari sebenarnya berbunyi sangat aneh, mirip suara keledai atau hyena yang dicekik – sementara Claire tertawa lepas. Jeritanku berhenti saat aku menyadari itu. Sudah lama aku tidak mendengar Claire tertawa seriang itu.

Lalu kami mendarat.

Pendaratan itu, ajaibnya, tidak seperti keberangkatan kami yang sangat keras. Gerobak tempat kami naik turun perlahan ke tanah, sementara kaki-kaki megah Sleipnir menghantam tanah dengan bunyi yang mungkin bisa membuat gempa bumi. Odin menghentikan lajunya dengan perlahan sebelum turun.

"Ayo," katanya. Thor turun dengan sigap, sementara aku berusaha merasakan dulu kedua kakiku – aku punya kaki?

Claire melompat turun dengan bersemangat, sementara James berusaha mengatur napasnya. Laura masih memelototi udara kosong di depannya sebelum mengerjap sekali-dua dan akhirnya bergerak.

"Selamat datang di Valaskjalf," kata Odin begitu kami semua sudah turun. Gerobak kami melipat diri dan mengecil lagi menjadi sadel Sleipnir, tetapi aku nyaris tidak menyadarinya – Odin menunjukkan lengannya ke arah sebuah gedung yang sangat megah, dan walaupun aku bukan penggemar besar arsitektur, aku harus mengakuinya – gedung ini luar biasa.

Dindingnya tampak terbuat dari marmer dan perak murni yang tidak terlalu berkilau, tetapi memberi kesan berkelas pada eksteriornya. Aku tidak bisa mengukur tingginya, tetapi entah kenapa keseluruhan bentuk gedung ini membuatku teringat akan katedral-katedral besar yang sering kulihat di TV. Tetapi bukannya salib, sebuah simbol berbentuk simpul mirip lambang tak-hingga dengan tiga sudut lengkung terpampang di atas, sepertinya terbuat dari ukiran kaca.

Bahkan pintu masuk gedung ini mungkin bisa memuat beberapa tumpuk Sleipnir. Kuda itu melenguh kecil sambil menghentak ke tanah dengan lembut, sementara Odin menuntun kami semua masuk ke gedung itu.

"Di sini kita bisa lebih tenang," kata Odin. "Planet Asgard jauh lebih masif daripada Midgard – eh, Bumi. Kalian berada di medan gravitasi yang lebih besar. Waktu berjalan lebih lambat di sini."

"Tunggu," kata James. "Jika medan gravitasi di sini lebih besar daripada Bumi, kenapa kami bisa melangkah dengan normal-normal saja? Rasanya persis seperti berjalan di muka Bumi."

Kami akhirnya mencapai ujung jauh gedung raksasa itu. Di hadapan kami ada dua singgasana, satu perak yang agak lebih rendah dan satu emas. Odin naik dan duduk di singgasana emas itu.

"Itulah gunanya kalung yang kalian kenakan," kata Odin. "Dahulu, pada zaman moyang kalian, mereka menyebutnya Blessing – Restu. Kami hanya memberikan Restu kepada orang-orang tertentu saja."

"Maaf," kata Laura. "Tetapi bukannya tadi kau bilang bahwa hal-hal supernatural di mitos pendahulu kami...tidak supernatural?"

"Memang," kata Odin santai. Dari pojok mataku, aku menangkap tangannya bergerak di singgasananya. "Guna antarmuka di kalung itu adalah masking DNA."

"Aku tidak mengerti."

"Sederhananya begini. Mungkin kalian tahu bahwa bentuk DNA kalian adalah bentuk double-helix – heliks berganda?"

Aku teringat kelas biologiku – guruku pernah menunjukkan skema DNA, dan bentuknya seperti sebuah tangga spiral. Aku mengangguk.

"Nah, gen kami tidak hanya tersusun dari dua sisi. Heliks kami tidak berganda dua. Heliks kami justru berganda tiga – triple helix. Kami berevolusi sedikit lebih jauh dari ras kalian, sehingga gen kami bisa menyimpan lebih banyak informasi daripada gen kalian."

"Itulah sebabnya kami bisa melakukan beberapa hal yang kalian tidak bisa," sambung Thor. "Omong-omong, Kalung Restu yang kalian gunakan itu gunanya seperti membuatkan topeng untuk DNA kalian. Dengan kata lain, selama kalian menggunakan kalung itu, pemindai DNA manapun akan membaca gen kalian sebagai gen campuran antara gen asli dan sedikit pengaruh gen kami."

"Nah, itulah sebabnya tubuh kalian bisa beradaptasi dengan gravitasi di sini dengan mudah," kata Odin. "Gen kami, secara harfiah, memang ada untuk beradaptasi dengan tempat ini."

Sebuah diagram hologram berkelip menyala di depan kami – awalnya hologram itu bergambar DNA double-helix yang kukenal, yang berbentuk seperti tangga spiral. Tetapi kemudian seutas tali lagi masuk ke gambar itu, membentuk koneksi dengan kedua sisi heliks yang sudah ada, dan kali ini, bentuk spiralnya tampak seperti tiga utas tali yang dipuntir bersama.

"Kehidupan di planetmu belum bisa memiliki DNA triple-helix," lanjut Odin. "Hubungan antar proteinnya akan terlalu lemah, dan waktu DNA itu disalin, justru akan menghancurkan DNA kalian. Karena itulah alat kami cuma bisa memberi masking sementara, bukan modifikasi penuh."

"Singkatnya," kata Claire, "berarti aku memiliki kekuatan Thor untuk sementara selama aku menggunakan Kalung Restu ini, begitu?"

"Tidak tepat, tetapi mungkin bisa dibilang begitu," kata Odin. "Ada secuil kecil Thor dalam dirimu selama kau mengenakan kalung itu."

"Tetapi bagaimana denganku?" kata Laura bingung sambil menebarkan pandangan. "Aku tidak mendapat Restu, tetapi aku baik-baik saja dengan gravitasi di sini."

Odin memberinya tatapan dalam. "Itu akan kujelaskan nanti. Nah, sekarang soal meminta bantuan kalian."

Mata James berkedut, dan aku mengerutkan dahi. Odin jelas tampak terusik dengan pertanyaan Laura.

"Apa kalian pernah dengar soal Ragnarok?" tanya Thor. Dari kami berempat, cuma James yang mengangguk. Satu-satunya yang kutahu tentang Ragnarok – jika aku dengar kata itu dengan benar – adalah semilir angin yang pernah kudengar tentang sebuah game daring lama yang pernah populer dulu.

"Kiamatnya bangsa Nordik," kata James lancar tanpa diminta. Odin mengangguk.

"Kurang lebih. Ragnarok berarti senja para dewa. Bangsa manusia yang kami awasi, bangsa Nordik, percaya bahwa dunia akan berakhir dengan sebuah perang yang akan membunuh dewa-dewi penting mereka. Aku tidak akan berbohong – aku punya peran di situ."

"Fenrir," cicit James dengan ragu. Odin tersenyum sabar.

"Itu betul, tetapi bukan itu yang kumaksud." Usai mengatakan itu pada James, dia menebar pandangan kepada kami. "Maksudku peran adalah dalam menyebarkan informasinya. Bangsa Nordik meyakini aku berbicara dengan seorang völva –" dia mengejanya fyoul-fa, "—alias penyihir, untuk membuka tabir masa depan. Itu tidak sepenuhnya salah – kecuali, seperti yang mulai kalian pahami, bahwa aku tidak berbicara dengan seorang penyihir, karena penyihir jelas-jelas supernatural."

Odin mengutak-atik lagi gagang singgasananya, dan gambar hologram yang tadi menggambarkan DNA triple-helix langsung buyar, digantikan dengan gambar sebuah mesin – mesin itu tidak memiliki bentuk yang jelas saat diperhatikan, tetapi sekilas pandang akan membuatnya tampak seperti siluet seorang gadis yang sedang duduk dan mengistirahatkan dagunya di tangan.

"Namanya Vala. Ia adalah supercomputer buatanku. James, mungkin kau tahu soal sejarahku kehilangan satu mata?"

Tentunya, James mengangguk. "Demi mendapatkan kebijaksanaan di Sumur Mimir," katanya mantap. Apapun yang membuatnya gugup saat menyebut Fenrir tadi – apapun itu Fenrir – sepertinya sudah sirna. "Kau mengorbankan satu matamu demi mendapatkan kebijaksanaan."

Odin tertawa. "Bangsa Nordik melihatnya seperti itu," katanya. "Sumur Mimir adalah sebuah tachyonic planet – planet takhyon, yang berarti planet ini tersusun atas partikel-partikel kuantum bernama tachyon. Yang membuat takhyon unik adalah dia memiliki massa negatif. Sebagai perbandingan, kau memiliki massa positif. Kau mengukur berat badanmu. Dengan takhyon yang bermassa negatif, maka kau mengukur ringan badan benda itu."

Aku mengangkat kedua tanganku. "Anggap aku seorang idiot yang tidak tahu apa itu fisika."

Odin memandangku dengan tatapan tertarik. "Begini. Salah satu ilmuwanmu yang ternama – siapa namanya, Einstein? – merumuskan dalam fisika hal yang namanya dilatasi waktu. Aku tadi menyebutkan bahwa waktu berjalan lebih lambat di sini karena kau berada di medan gravitasi yang lebih besar, 'kan? Nah, ketika kau bergerak mendekati kecepatan cahaya, massamu – yang dihitung dengan kilogram – akan bertambah terus, berpangkat-pangkat jumlahnya, sehingga medan gravitasimu juga menjadi besar."

"Karena itulah orang yang bergerak dekat kecepatan cahaya merasa waktu bergerak lebih lambat," tebak Laura. "Gravitasi membelokkan ruang dan waktu. Semakin kuat gravitasinya, semakin lambat waktu bergerak. Teori relativitas."

Odin mengangguk. "Nah, sekarang sedikit soal takhyon. Takhyon memiliki massa negatif – berarti, misalnya beratmu enam kilogram, takhyon seukuranmu bisa seberat minus enam kilogram."

Dahiku tambah mengerut lagi. "Kedengarannya aneh."

"Memang," aku Odin. "Tetapi ini membuat takhyon menjadi partikel yang unik – mereka, secara alami, bergerak lebih cepat dari cahaya, karena massa foton – partikel yang mengantarkan cahaya – adalah nol."

"Dan massa takhyon negatif?"

Odin menjentikkan jari. "Betul sekali. Dengan kata lain, takhyon bisa digunakan untuk mengendalikan dan menstabilkan gravitasi. Nah, planet yang kita sebut Sumur Mimir ini terdiri dari takhyon, sehingga aku bisa membuat wormhole yang bisa diatur di situ."

Wormhole – nah, kalau istilah ini, aku pernah dengar. Biasanya film fiksi ilmiah menggunakan wormhole, atau lubang cacing, sebagai cara menempuh jarak yang jauh dalam waktu singkat. Cara kerjanya sederhana: anggap ada dua titik di alam semesta ini yang memiliki medan gravitasi yang sangat besar. Gravitasi bisa membelokkan ruang. Dengan kata lain, titik gravitasi yang satu bisa menjadi jalan pintas ke titik gravitasi yang satunya lagi – semacam menusuk sebuah lubang menembus alam semesta dan membuat terowongan tembusan. Tetapi wormhole tidak stabil dan selalu langsung hancur begitu terbentuk di alam, kecuali jika sengaja dijaga agar tetap terbuka – misalnya dengan takhyon. Hingga saat ini, manusia belum bisa melakukan itu, tetapi kurasa tidak heran jika ras alien semacam Odin ini – para Leluhur – sudah menguasai teknologi semacam itu.

"Lalu?"

"Yah, aku membuat sebuah wormhole di Sumur Mimir yang ternyata berujung di ruang hampa. Maka aku membangun database raksasa di ruang hampa itu – database yang seukuran sebuah planet. Lalu aku menghubungkan database itu dengan Vala."

Aku menahan diri agar tidak ternganga. Database adalah tempat menyimpan data secara digital. Sekarang sebuah ponsel pintar bisa menyimpan puluhan gigabyte data dalam ukuran antarmuka sekecil telapak tanganmu – bayangkan antarmuka yang lebih canggih lagi, dengan ukuran sebuah planet. Tempat itu bisa jadi belum penuh menyimpan data saat ras manusia sudah punah.

"Ini memberi Vala kemampuan perhitungan yang nyaris tak terbatas," kata Odin. "Sehingga ia bisa memprediksi apa yang akan terjadi dengan ketepatan yang luar biasa. Segalanya memang punya kemungkinan terjadi, tetapi beberapa kemungkinan lebih mungkin daripada kemungkinan lainnya jika semua faktor diperhitungkan dengan tepat. Misalnya, jika diberi sebuah hidangan, kau lebih mungkin memilih makan apabila kau sedang lapar. Vala menghitung semua ini dan bisa menghasilkan prediksi yang menebak apa yang akan terjadi ribuan tahun ke depan."

James terpana. "Jadi semua prediksi sang völva yang kau dapatkan...adalah...?"

"Data dari supercomputer-ku. Tetapi persis di sinilah letak masalahnya."

Kami semua jatuh terdiam.

"Vala menduga bahwa akan terjadi yang namanya Fimbulwinter – artinya Great Winter, Musim Dingin Akbar," kata Odin. "Musim dingin berkepanjangan yang akan memusnahkan umat manusia sebelum Ragnarok akhirnya dimulai."

"Tetapi –" titik-titik di kepalaku mulai saling hubung sedikit. "Tetapi bukannya itu tidak wajar? Maksudku, musim dingin 'kan seharusnya tidak mendadak jadi selama itu."

"Tepat sekali," kata Odin. "Fimbulwinter tidak wajar, dan tidak alamiah. Tetapi, anehnya, Vala bisa menduganya dengan tepat – dan lihat yang sedang terjadi di Bumi sekarang."

"Itu Fimbulwinter?" tanya James. Suaranya terdengar sangat nelangsa.

"Sepertinya itu sudah cukup jelas sekarang," potong Thor. "Lanjutkan, Yah."

"Jika Vala bisa menduganya, berarti pasti ia memperhitungkan sebuah faktor penyebab," kata Odin. "Maksudku, bagaimana bisa ia memprediksi jika tidak melihat dulu sebab-musababnya? Toh, logika prediksinya bersifat sebab-akibat. Dan karena terjadinya sangat mendadak dan tanpa sebab yang jelas, kita bisa simpulkan bahwa Fimbulwinter bukan terjadi – tetapi dijadikan."

"Ada suatu pihak yang memulai Fimbulwinter," perjelas Thor.

"Jika kita membiarkan Fimbulwinter tetap berlangsung, kita akan menghadapi dua kerugian," kata Odin. "Pertama, menurut prediksi Vala, cuma dua orang manusia yang akan selamat dari Fimbulwinter. Itupun karena mereka menyembunyikan diri dari manusia lainnya dan berhasil menemukan cara untuk berhibernasi. Manusia lainnya akan punah karena berbagai hal, seperti saling bunuh dan kelaparan. Kedua, dengan umat manusia punah, jika kita mengikuti prediksi Vala berikutnya...berarti Ragnarok akan segera dimulai."

Mendadak aku menyadari mengapa kami ada di sini. "Jadi bantuan yang kau maksud saat memanggil kami adalah bantuan mencari pelaku di balik Fimbulwinter?"

"Dan menghentikannya sebelum umat manusia punah," tuntas Odin. "Vala hanya memprediksi, bukan meramal. Kata-katanya adalah praduga, bukan hukum mutlak. Kita masih bisa mematahkan hipotesisnya."

"Jadi kau ingin kami mencegah...senja para dewa?" tanya Laura. Odin dan Thor berbagi pandangan sesaat sebelum mengangguk.

"Ya," katanya. "Aku tidak tahu apakah tindakan ini cukup untuk mencegah, tetapi Fimbulwinter berperan besar dalam Ragnarok. Jika kita bisa menghentikannya, mungkin kita bisa menghentikan Ragnarok sebelum terjadi dan menyelamatkan para Leluhur serta umat manusia."

"Kenapa tidak kalian sendiri saja yang melakukannya?" tanya James. "Maksudku, walaupun dunia yang dipermainkan adalah duniaku, tetapi ini adalah urusan ras kalian. Kenapa jadi kami yang diminta mencarinya?"

"Jika kami yang melakukannya, akan terlalu jelas," jawab Odin. "Kemungkinannya terlalu besar. Vala pasti sudah menduga itu dan memperhitungkannya dalam prediksinya waktu itu. Kami berusaha mencari solusi berupa kemungkinan paling mustahil – cukup mustahil untuk membuat Vala tidak memperhitungkannya, tetapi cukup mungkin untuk membuatnya bermanfaat bagi kita."

"Tunggu," James mengangkat tangan. Dahinya mengernyit sedalam dahiku. "Jadi kalian memilih kami karena...kami orang biasa?"

"Jawaban kasarnya? Ya," kata Odin. "Aku harus ke Vala lagi untuk memastikan apakah memilih kalian membuatnya mengubah prediksinya, tetapi itu akan makan terlalu banyak waktu untuk persiapan. Salah-salah, aku bisa kehilangan massa sepenuhnya karena seluruh takhyon di sana dan hilang dari kenyataan." Dia menyentuh penutup matanya. "Itu yang nyaris terjadi dulu."

"Lagipula," sambung Thor, "kami juga tidak akan tinggal diam. Sebagai rencana cadangan apabila Fimbulwinter tidak bisa dihentikan tepat waktu, kami akan berkeliling ke Leluhur yang lain – Leluhur yang tidak tahu mengenai Vala, Ragnarok, ataupun Fimbulwinter – untuk mencari teman."

"Misi diplomatis," koreksi Odin. "Ragnarok akan menghancurkan segalanya, dan Vala sudah melihat bahwa bahkan aku sekalipun tidak akan bisa menghentikannya apabila sudah berjalan. Misi diplomatis kami akan berupaya mengulur waktu apabila Ragnarok benar terjadi. Misi investigatif kalian adalah mencegahnya."

"Jadi...kalian akan bertemu dewa-dewi lain seperti –"

"Maaf," potong Thor. "Tolong jangan panggil kami seperti itu."

Aku langsung teringat perkataan Claire saat Thor sedang bertarung melawan para penjarah – mereka tidak mau dipanggil 'dewa-dewi' lagi. "Kenapa?" tanyaku. Odin dan Thor berbagi pandangan penuh arti, seperti saling berkirim pesan melalui telepati dan membicarakan tentang sebuah sejarah pahit.

"Tidak penting untuk sekarang," kata Odin. "Nanti kalian juga tahu sendiri."

"Oke," kata James. "Maaf. Aku tadi ingin tanya, jadi kalian akan bertemu Leluhur lain seperti...Zeus?"

"Ya," kata Odin dan Thor serempak.

Kami semua terdiam sesaat. Akhirnya James lagi yang angkat bicara.

"Bagaimana dengan varg tadi?" tanyanya. "Bagaimana bisa varg itu turun ke Bumi? Aku kira varg adalah ras dari dunia kalian?"

"Sejujurnya? Kami juga tidak tahu," kata Odin. "Tetapi kami tahu bahwa ada pihak yang bermain dalang di belakang semua ini. Aku ingin tahu itu siapa, dan aku ingin dia dihentikan."

"Dari mana kami harus memulai?" tanyaku. "Semua cerita detektif selalu punya TKP untuk memulai mencari petunjuk. Kami tidak punya."

Yang membuatku terkejut, Odin berdiri tanpa sungkan. "Gunakan Takhtaku," katanya. Lagi-lagi kepalaku terbang ke masa Thor ada di teras rumahku – ayahku menggunakan Takhtanya, itu saja. "James, kau yang mendapatkan Restuku. Coba kemari."

Sekali lagi, anak itu tampak seperti baru saja ditembak peluru es. Tetapi kali ini dia langsung memperbaiki posisi kacamatanya dengan gugup dan melangkah maju. Odin menyentuh bahunya dan mengarahkannya duduk di singgasana emasnya.

"Coba kendalikan dengan pikiranmu," katanya. "Fokus. Apa yang mau kau lihat?"

"Bumi," kata James. Seketika itu juga, hologram Vala memudar dan langsung berkelip, digantikan oleh gambar sebuah planet berwarna biru-putih.

Biru-putih...aku tidak menyangka Fimbulwinter sudah separah ini. Aku tidak salah ketika mengira Ibu Pertiwi ingin ada Zaman Es lagi – seluruh permukaan Bumi yang bukan air kini beku tertutup salju putih, dan garis pantai memudar menjadi warna keabu-abuan yang bersinggungan dengan laut. Awan di atmosfer juga tidak tampak jarang. Banyak sekali awan-awan badai bermunculan di mana-mana.

"Tidak hanya tempat, Takhtaku juga bisa menampilkan waktu," kata Odin. "Kalian ingat lompatan adisemesta yang kita lakukan di Jembatan Bifröst?"

Aku ingat Thor menyebut kata itu sebelum kami mendadak meninggalkan Bumi dan tiba di Himinbjörg, jadi aku mengangguk. Laura dan Claire ternyata juga ingat. Odin melanjutkan.

"Takhtaku terhubung langsung dengan Sumur Mimir dengan jembatan adisemesta seperti itu, sehingga sumber informasinya sama kayanya dengan Vala. Tetapi, tidak seperti Vala, Takhtaku bukan supercomputer. Dia tidak bisa memprediksi sejauh itu – tapi itu bukan berarti dia tidak bisa memprediksi. Takhtaku bisa memprediksi hingga dua hari ke depan dan bisa juga digunakan untuk membuka rekaman dari Sumur Mimir dan menampilkan masa lalu, selama Sumur Mimir mempunyai data itu."

"Bumi, Jurassic," uji James. "Seratus tujuh puluh juta tahun yang lalu."

Hologram Bumi kembali bergetar dan berkelip, kali ini menampilkan Bumi yang masih hijau-biru dengan benua yang tampaknya baru saja pecah – kelima benua yang hari ini ada belum terbentuk. James tercengang.

"Wow."

"Cukup paham?" tanya Odin.

James masih berusaha menarik napas dan mengerjap perlahan. "Pantas saja mereka bilang kau bisa melihat takdir dari takhtamu...aku tidak..."

Odin terkekeh. "Baiklah," katanya. "Kalian gunakan Takhtaku itu untuk saling memonitor dan membantu kalian mencari petunjuk. Aku, istriku, Thor, dan rekan Vanir kami Freyja masih punya urusan diplomatis untuk diselesaikan."

Aku tidak tahu apa itu Vanir atau siapa itu Freyja, tapi mungkin aku bisa tinggal bertanya pada James saja nanti.

"Satu hal lagi," tanya Laura. "Aku jadi penasaran. Apa itu adisemesta?"

"Penjelasannya agak panjang," kata Odin, "tetapi akan kusingkat sebisaku. Bayangkan dirimu adalah sebuah lingkaran yang hidup di atas secarik kertas. Lalu aku meletakkan sebuah kubus di kertas itu. Apa yang akan kaulihat?"

"Sebuah persegi," jawab Laura. "Karena cuma satu sisi kubus itu yang menyentuh kertas itu, dan sisi kubus berbentuk persegi."

"Bagus. Sekarang aku angkat kubus itu hingga tidak menyentuh kertas. Apa yang kau lihat?"

"Persegi tadi akan...hilang?"

"Persis. Itu adalah yang akan kaurasakan jika kau adalah makhluk dua dimensi yang bertemu benda tiga dimensi. Benda itu bisa berubah wujud atau menghilang dengan memanfaatkan satu sumbu gerak tambahan yang tidak kau miliki, lalu bergerak sesuai sumbu itu. Nah, alam semesta kita terdiri dari sebelas dimensi, dan kita hanya hidup di empat dimensi – panjang, lebar, dalam, dan waktu. Apakah sejauh ini cukup jelas?"

Laura tampak berpikir sebentar sebelum mengangguk.

"Kami berhasil menemukan cara untuk mengakses satu sumbu koordinat tambahan ini," kata Odin. "Sumbu keempat. Sehingga kami berhasil menemukan ruang-ruang lain – semesta-semesta berdimensi tiga, seperti tempat kita tinggal, sepanjang sumbu keempat. Salah satunya lebih kecil – jauh lebih kecil – daripada semesta tiga dimensi kita. Jadi jika kita mengikuti sumbu keempat ke semesta itu, lalu kembali ke semesta kita, kita bisa berjalan sangat jauh tanpa perlu menghabiskan banyak waktu. Kita menyebut tempat ini hyperspace – adisemesta. Lompatan yang kita lakukan tadi melalui ruang adisemesta ini. Sangat menghemat waktu."

"Yang berarti data dari Sumur Mimir kau hubungkan ke Takhtamu lewat situ?"

"Kurang lebih."

Saat itulah Claire mengerang.

Laura, yang berada di sebelahnya, langsung menangkap Claire dengan sigap sementara gadis itu mendadak terkulai lemas. Odin, Thor, James, dan aku segera menghampirinya.

Odin tampak seperti memindainya dari atas ke bawah. "Lukanya," katanya. "Infeksi. Dari mana asalnya luka ini?"

"Wajan ibuku," kataku panik. Claire tampak seperti bergelantungan di garis batas antara kesadaran dan ketidaksadaran, dan matanya yang bingung tampak mengerikan.

"Kedengarannya lama tidak dicuci, ya?"

Aku merasa seperti dipukul ketika Odin mengatakan itu. Dia benar – kami sudah jarang makan masakan Ibu semenjak ia menjadi sering kumat, sehingga wajan itu nyaris tidak pernah tersentuh lagi.

Odin menggendong Claire dan bergerak ke pintu di samping Valaskjalf dan sudah pasti, kami mengekor. Tetapi tatapan matanya membuat kami berhenti. "Tunggu di sini," katanya. "Ruang Medis memiliki keamanan yang ketat. Sekadar masking DNA tidak akan cukup membawa kalian menembusnya."

Saat itu juga, baju musim dingin Odin terlihat seakan-akan meleleh menjadi baju zirah emas dengan ornamen dan ukiran rumit yang bergambar seperti ranting-ranting pohon yang saling membelit dengan elegan. Apapun yang tadi membuatnya tampak seperti Santa Claus sudah hilang. Di hadapanku sekarang, berjalan meninggalkan kami sambil menggendong adikku, adalah Raja dari seluruh Asgard.

"Omong-omong," kataku pada Thor. Aku menyadari bahwa baju saljunya juga sudah leleh menjadi baju zirah keemasan, dengan sebuah sabuk yang dilapisi bola-bola logam kecil tempat listrik berloncatan dan pelindung pergelangan yang tampaknya mempunyai fungsi mekanik lebih yang tidak kupahami. "Jika pencarian kami nanti mengelilingi dunia, bagaimana kami bepergian dengan cepat?"

"Aku yakin Ayah akan mengizinkan kalian menggunakan Bifröst," kata Thor.

"Tapi bagaimana kami ke sana? Maksudku, ayahmu pasti menggunakan Sleipnir." Aku bergidik. "Aku juga masih belum yakin siap dihentak seperti itu lagi."

Thor memperhatikan kami bertiga sesaat. "Ini sangat riskan," katanya. "Tetapi mungkin kau bisa melakukan yang biasa kulakukan dulu. Mungkin ada di antara kalian yang pernah dengar aku tidak pernah menyeberang melalui Bifröst?"

Tentunya, orang itu adalah James. "Aku."

"Nah, aku menyeberangi ruang adisemesta melalui jembatan yang dibuat antara Sumur Mimir dan Takhta ayahku. Mungkin kalian bisa berselancar lewat situ hingga mencapai Bifröst. Tetapi gerakan kalian harus sangat tepat – Jembatan Bifröst persis menyeberangi tengah-tengah tiga jembatan Takhta. Kalian hubungi saja Heimdall dari Takhta untuk mengarahkan Bifröst ke tempat yang kalian mau, jadi walaupun naik dari tengah jalan, kalian tetap akan mencapai tempat tujuan kalian."

"Lalu bagaimana kami mencapai jembatan Takhta, dan..." James melirik ke arah kami semua. "Bagaimana kami pindah jembatan?"

"Kalian tinggal lompat begitu berada di dekat Bifröst," kata Thor. "Tapi ingat – jika kelewatan, jangan mencoba lompat lagi. Kalian bisa terjebak di ruang adisemesta. Lalu setiba kalian di Sumur Mimir, jangan buang waktu, langsung naiki jembatan kalian kembali ke sini. Semakin lama kalian di sana, semakin kalian dikikis dari kenyataan."

Aku, James, dan Laura saling bertukar pandang. Risikonya sangat besar – tapi jika waktu memang sepenting itu, sepertinya kami tidak punya pilihan lain. Kami tidak punya kendaraan semacam Sleipnir.

Sleipnir...

"Oh, ini, aku jadi teringat pertanyaanku tadi," kataku menepuk dahi. "Apa maksudnya Sleipnir itu Putra Loki? Loki 'kan Leluhur?"

"Menurut mitosnya, Loki adalah seorang shapeshifter," jawab Thor. "Pengubah-wujud. Dia adalah seorang ahli genetika yang sangat handal, bahkan mungkin yang terbaik di antara kita. Dan dia pernah membuat alat sejenis Kalung Restu, tetapi dengan masking yang sangat kuat hingga dia bisa mengubah wujud fisiknya menjadi makhluk lain. Seharusnya yang seperti itu tidak bisa. Tetapi dia berhasil."

"Lalu dia berubah menjadi...kuda?"

Thor mengangguk. "Semacam itu. Dulu, di awal pembentukan Asgard, seorang hrimthurs – raksasa – menawarkan bantuan membuatkan kami dinding yang akan membatasi Asgard dan Jötunheim, planet para raksasa, dalam waktu cepat. Sebagai gantinya, kami harus menikahkannya dengan Freyja, Leluhur tercantik di planet ini. Kami dulu setuju karena tidak tahu bahwa raksasa itu dibantu oleh seekor kuda raksasa bernama Svaldifari."

James manggut-manggut. "Loki lalu berubah wujud menjadi kuda betina untuk mengalihkan perhatian Svaldifari."

"Betul. Dia menggunakan Kalung Rupa miliknya dan menyamar menjadi kuda betina. Lalu Svaldifari mengawininya dalam wujud kuda, dan karena Svaldifari teralihkan, taruhan raksasa itu berhasil digagalkan. Loki cukup pintar dengan membuat semacam kantong sintesis waktu berubah wujud menjadi kuda, sehingga dia tidak perlu merasakan apa-apa dan tetap berhasil mendapatkan sampel DNA dari Svaldifari."

"Lalu dia menciptakan Sleipnir dari sampel DNA itu?"

Thor mengangguk lagi. Saat itulah Odin kembali.

"Aku akan mempersiapkan kendaraanku," kata Thor sambil berbalik, mengangguk sopan. Lalu dia berpaling ke Odin sesaat. "Nanti kutemui di Himinbjörg."

"Baik, aku hubungi Frigga dan Freyja dulu," kata Odin membalas anggukannya, dan Thor melengang pergi. Odin sendiri langsung mengambil langkah keluar Valaskjalf.

"Segerakan keberangkatan kalian," katanya sambil menaiki Sleipnir. "Aku percaya pada kalian."

Lalu, tanpa kata-kata lain, dia langsung memerintah Sleipnir untuk melakukan loncatan saktinya.

Kami terbengong sesaat. Tetapi Laura langsung bereaksi. "Jadi kita menunggu apa?"

Sekali lagi saling pandang, James baru menyadari bahwa seharusnya dia sedang di Takhta. Dia langsung melompat naik, dan kami mengikutinya. James menyalakan hologram Bumi sekali lagi, dan dia memperbesar gambarnya sehingga kami bisa melihat apa yang sedang terjadi di permukaan Bumi.

"Dan...tunggu," katanya mengernyitkan dahi. "Ada yang salah."

"Apa?" Yang bisa kulihat cuma Bumi yang beku. Aku tidak bisa membedakan permukaan tanah di satu daerah dengan lainnya. Tetapi James menunjuk ke satu titik di hologram Bumi itu.

"Di sini adalah daerah yang bernama Pegunungan Zagros," kata James. "Total panjang pegunungan ini sekitar seribu lima ratus kilometer. Tetapi lihat –" James memperbesar lagi gambarnya dan meletakkan Bumi di tanah – dan jantungku mencelus. "Tidak ada gunung di situ sama sekali."

"Mana mungkin gunung hilang begitu saja?"

"James, masuk sedikit lebih dalam," kataku. James melakukannya dan gambar itu semakin besar lagi. "Lihat – reruntuhan ini belum tertutup salju tebal."

Ada bebatuan di sekitar daerah itu, melingkari sebuah lubang raksasa yang memanjang. Lubang itu mulai tertutup salju, tetapi bebatuan yang ada di sekitarnya masih belum.

"Menurutmu...Pegunungan Zagros runtuh?"

"Tetapi tidak mungkin sesederhana itu, 'kan?" kataku. "Menurutmu ada apa?"

"Pegunungan Zagros...aku tahu sesuatu," katanya, mengernyitkan dahi dan menepuk kepalanya sendiri. "Sebentar...ah, iya! Kur!"

Aku tidak tahu apa yang James maksud dengan Kur, tetapi hologram Bumi di depan kami tiba-tiba berdenyar cepat dan berkilat melalui kami, mengejar sesuatu lagi – dan hal berikutnya yang dia tampilkan adalah seekor ular.

Bukan. Ular itu bersayap – seekor naga.

Seekor naga seukuran gunung.

Jantungku mencelus. "Apa itu?"

"Kur," kata James. "Naga pertama dari mitologi Sumeria. Sebenarnya naga ini unik. Pernah dengar tentang wyvern?"

Begitu James mengeja wai-vern, Laura mengernyit. Tetapi aku mengangguk. Banyak cerita fantasi yang melibatkan makhluk itu. "Semacam naga, berbentuk seperti ular bersayap dan berkaki," kataku pada Laura.

"Naga punya empat kaki," kata James. "Wyvern cuma punya dua. Kur bukan sembarang naga. Dia adalah wyvern – perpaduan antara naga timur yang seperti ular dan naga barat yang bersayap."

"Tetapi kenapa dia bisa di Bumi?"

James mengangkat bahu. "Menurut legendanya, dia memang di Bumi. Dulu kehancuran yang dia akibatkan sangat parah. Dia termasuk salah satu makhluk Bumi paling kuat yang pernah ditangani oleh para dewa, sehingga akhirnya dia dirantai ke Bumi dan menjadi Pegunungan Zagros."

"Berarti..." aku teringat pelajaran di kelas tentang pelapukan. "Rantai Kur hancur karena Fimbulwinter?"

"Dan sekarang dia bebas," kata James. "Ini parah. Sangat sedikit sumber mitologis tentang Kur. Kita tidak tahu banyak tentang dia kecuali bahwa dia sangat kuat."

"Tetapi bagaimana jika ternyata dia mulai menghancurkan lagi?" tanya Laura. "Bisa jadi umat manusia punah sebelum Fimbulwinter selesai."

Kami termenung sesaat, sementara hologram Kur menukik ke bawah dan menyemburkan sebuah bola api raksasa ke sebuah pemukiman. Tidak makan waktu hingga pemukiman itu hancur dilalap api.

"Semakin lama kita di sini, semakin banyak orang mati," kata Laura tegas. "James, bagaimana cara mengalahkan Kur?"

"Aku tidak – maksudku, dia naga pertama," kata James nelangsa. Hologram di depan kami berkedip tak terkendali. "Aku – aku –"

Naga pertama...

Dia wyvern...

"Tunggu," kataku. "Bagaimana dengan itu – naga?"

"Apa maksudmu?"

"Kita bisa mencari naga dan menggunakannya untuk melawan Kur."

"Apa kau bercanda? Kau lihat ukuran makhluk itu, 'kan?"

Aku mendelik ke Laura. "Apa kau ada ide lain?"

James mengangkat tangannya, ekspresinya serius. Masih agak tertekan, tetapi serius. "Mungkin itu bisa berhasil," katanya pelan. "Ya, mungkin bisa. Tetapi kita tidak bisa menggunakan naga timur karena mereka seperti dewa – kita tidak bisa mengendalikan mereka. Bisa jadi mereka lebih pintar dari kita." James melihat ke arahku dan Laura. "Cari naga barat."

"Oke. Di mana?" kata Laura tanpa kehilangan tempo.

"Coba kita lihat..." James menggerakkan lagi hologram Takhta dengan pikirannya. "Ini dia. Wales, di bawah tanah Hutan Radnor."

Hologram itu menunjukkan sebuah desa yang sepi, dengan sedikit pepohonan di sana-sini. Desa itu memiliki satu wilayah yang sepertinya tak tersentuh, dikelilingi empat buah gereja di pojoknya. James memperbesar gambar ke wilayah itu, lalu bergerak ke bawah tanah.

Ada banyak sekali naga di sana.

"Menurut legenda, naga terakhir beristirahat di hutan ini," kata James. "Empat gereja itu dibangun untuk mengunci agar naga itu tidak bisa ke mana-mana. Entah itu berpengaruh atau tidak. Tetapi jika kau mencari naga – tuh, tempatnya."

Wajah Laura mengeras. Laura sangat altruis – ia sangat peduli dengan orang lain. Ia pasti memikirkan orang-orang yang tengah menghadapi maut yang dibawa oleh Kur, dan mereka bahkan tidak tahu betapa dekatnya mereka dengan ajal. "Ayo, kalau begitu," katanya. "Tunggu apa lagi?"

"Baik," kataku. "James, kau satu-satunya yang membawa Restu Odin di sini. Cuma kau yang bisa menggunakan Takhta. Aku akan percayakan penyelidikan Fimbulwinter kepadamu." Lalu aku menoleh ke Laura. "Aku dan Laura akan mencari cara mengalahkan Kur sementara itu."

James menatapku dan Laura dengan ekspresi yang tidak bisa kubaca. Anak ini memang tidak suka ditinggal sendirian, tetapi dia tahu soal aku dan Laura – lagipula, alasanku benar. Hanya dia di antara kami bertiga yang bisa menggunakan Takhta Odin. Belum lagi aku mendapatkan Restu Thor – mungkin aku mendapat bonus kekuatan atau semacamnya. Toh, Thor dianggap Dewa Perang. Mungkin Leluhur itu punya trik yang dibawanya lewat darah.

Akhirnya James mengangguk. "Baik," katanya. "Aku akan bukakan jembatan Takhta, tapi kau harus cepat. Jangan lupa pakai lagi baju musim dinginmu, Bumi masih beku. Kau yakin soal ini?"

Tidak, aku tidak yakin. "Iya. Aku yakin."

Begitu jaketku dan Laura sudah kembali di tempat melingkupi tubuh kami, James mengutak-atik Takhta sebentar – dan mendadak, di depan kami, muncul sebuah awan putih.

Awan itu berpendar lembut, lalu berputar perlahan seperti terhisap ke dalam sebuah angin puyuh. Akhirnya awan itu berubah wujud menjadi lingkaran, semacam cincin berwarna keruh, dan di tengah lingkaran itu, aku melihat tiga buah jalur bersinar yang berwarna kebiruan – tiga jembatan Takhta yang Thor sebutkan. Situasi di Valaskjalf mendadak jadi sangat berisik karena sepertinya udara di sini terhisap ke dalam ruang hampa di dalam portal itu.

"Hati-hati!" seru James. Aku tidak sempat merespon, tetapi Laura mengangguk dan menggenggam tanganku. Belum sempat aku terkejut karena itu, ia langsung menarikku masuk ke portal, tepat menuju salah satu jembatan Takhta, dan kami melompat ke situ.

Gravitasi menghilang dari bawah kakiku. Aku bahkan tidak tahu apakah aku menjerit atau tidak.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro