Part 24
Haaiiii~~~~ Hikari desu!!!!! Thank you yang udah membantu Hikari untuk menentukan ending Lycoris. Sebenarnya hati ini pingin opsi A *dilempar sandal*
Tapi sesuai vote, Hikari akan membuat ending C yaitu Happlly ever after!!! Hore!!!!! *lempar bunga ke udara*
mulai part ini, semuanya adalah scene menuju final yang sekarang sedang Hikari buat demi membuat para reader mendapatkan happy ending. Enjoy the story!!!
***--------------------------------------***
Part 24
Mobil sedan hitam melaju di tengah jalanan malam. Rheina menatap cahaya malam kota dalam keheningan lewat kaca jendela mobil. Di sebelahnya Lily sibuk menulis laporannya di laptop. Di depan meja kemudi ada Charlie yang sibuk mengemudi sementara Carl sibuk menelepon seseorang.
"Kau baik-baik saja?" tanya Lily tiba-tiba.
Rheina berbalik menatap Lily diam. Apa aku baik-baik saja? Aku sendiri tak tahu. Aku baru saja sembuh dan langsung mendapat misi untuk membunuh Joker. "Aku tak tahu.." hanya itu yang keluar dari mulut Rheina sebelum kembali berbalik menatap jalanan malam.
Lily tak berusaha bertanya lebih lanjut dan memilih untuk meneruskan pekerjaannya.
Mobil sedan memasuki parkir bawah tanah sebuah hotel berbintang lima. Menuju tempat parkir terbawah dan parkir di sebelah mobil van berwarna putih. Mereka berempat segera berpindah masuk ke dalam mobil van tersebut. Ternyata di dalamnya terdapat dua orang lain yang sibuk bekerja di depan layar monitor. Terdapat delapan layar dan semuanya memperlihatkan informasi yang berbeda-beda.
"Rheina, kau pakailah ini," Carl memberikan kotak kecil berisi dress hitam. "Ada late nite party di atas. Akan lebih mudah berbaur jika kau menggunakan ini,"
"Tentu," jawab Rheina patuh. Dia segera masuk ke kamar mandi mini dan mulai berganti pakaian. Sebuah pistol mini dan dagger sudah disiapkan Lily sebelumnya. Rheina tidak pernah pergi kemana-mana tanpa membawa kedua benda tersebut. Keluar dari kamar mandi, Lily langsung menuntun Rheina untuk di make up standar.
"Dia hanya ingin bertemu denganmu dan kau bisa mendengar alasannya langsung," jawab Lily menenangkan. Dia bisa merasakan detak jantung Rheina berdegup kencang meskipun memasang wajah tak peduli.
Rheina menghela nafas, "Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengan Presiden,"
Lily tersenyum sambil tetap menata rambut hitam Rheina, "Kalian hanya akan melakukan video call lewat James. Kau tidak perlu mengkhawatirkan apa pun."
Rheina melihat tampilan dirinya di cermin. Bibir mungilnya berwarna pink muda, eyeshadow silver menyembul mengintip dari garis eyeliner hitam yang dibuat lentik oleh Lily. Ada semburat pink di kedua pipi Rheina untuk memberi kesan segar. Rambut hitam panjangnya dibiarkan tergerai indah tapi tersemat bando hitam dengan pita kristal di salah satu sisi. Dress hitam selutut dengan ikat pinggang untuk menunjukkan lekuk tubuh mungil Rheina tampak pas di padu dengan sepatu stiletto hitam mengkilat.
"Kau sudah siap," ucap Lily. "Aku akan menunggu disini. Charlie akan menjadi escortmu di dalam."
"Shall we?" Charlie sudah berganti pakaian dengan tuxedo hitam. Dia meraih tangan kanan Rheina dan nenuntunnya turun. Keduanya segera menuju ke mobil ferarri hitam yang terparkir berseberangan dengan mobil van putih.
Charlie duduk di kursi kemudi sementara Rheina duduk di sebelahnya. Mobil segera keluar dari area parkir dan melaju ke hotel berbintang lima lain yang berjarak sekitar lima belas menit dari hotel yang mereka tempat.
Setelah memberikan kunci mobil ke bellboy, Charlie menuntun Rheina masuk ke dalam Ballroom hotel tempat acara late party dilakukan. Disana, banyak tamu dari berbagai kalangan hadir. Sekilas, Rheina melihat Jumin sedang mengobrol dengan beberapa pemilik perusahaan besar. Rheina mengingatkan diri bahwa Jumin sendiri tidak mengenal dirinya, hanya V dan Luciel yang mengenal siapa dia.
"Kau mencari siapa?" tanya Charlie memecah kebisuan.
"Tidak mencari siapa-siapa," jawab Rheina acuh. Dia membiarkan Charlie menuntun dirinya memasuki ruangan VIP khusus.
Ruangan yang Rheina masuki hanya memiliki sofa panjang yang memenuhi separo ruangan. Di tengah meja terdapat berbagai kudapan dan cemilan serta sebotol wine merah. Di salah satu sudut, Rheina bisa melihat seorang laki-laki berambut cokelat dan berwarna biru sedang berbicara dengan seorang wanita. Laki-laki tersebut melihat kehadiran Rheina, dia berbicara singkat kepada wanita di sebelahnya sebelum wanita tersebut pergi keluar meninggalkan mereka bertiga.
"Duduklah Rheina," James memperbaiki letak dasi yang bergeser. "Kau semakin cantik dan imut seperti biasanya,"
Rheina berusaha tersenyum tapi tak berhasil. "Aku tidak pernah tahu kalau sekretaris presiden boleh bercumbu dengan wanita lain," dia tahu dengan jelas kalau wanita yang baru keluar tadi adalah seorang model terkenal di korea.
James tertawa, "Aku lupa dengan sifat terus terang dan sarkasmu," dia mengambil sebuah koper silver. "Kemarilah. Kita berbisnis saja."
Seperti di kode, Charlie segera meninggalkan ruangan, membiarkan James dan Rheina berdua.
"Presiden sedang sibuk jadi kau hanya punya waktu lima menit," James mulai menyalakan laptop. Tak berapa lama muncul sebuah layar. James mengetikkan kode dan tak berapa lama muncul wajah presiden dengan latar belakang ruang kerja berwarna putih khas di white house.
"Selamat malam Presiden," sapa Rheina.
"Selamat malam Rheina," ucap Presiden lembut. "Aku tak punya banyak waktu jadi aku sudah menuliskan secara detail apa misimu di file yang sudah aku titipkan kepada James."
James menyodorkan sebuah amplop cokelat besar dan langsung dibuka oleh Rheina. Dia membaca sekilas apa yang tertulis disana.
"Aku harap hal ini tidak membuat beban untukmu. Aku tahu seperti apa hubunganmu dengan Joker," gumam Presiden lembut. "Tapi kejahatan yang sudah dia perbuat sudah melewati batas dan hal ini harus secepatnya di hentikkan. Apa kau sanggup menerima misi ini Rheina?"
Rheina menatap yakin ke layar monitor. "Saya siap Presiden. Menerima misi ini adalah salah satu impian saya. Biarkan saya menyelesaikan misi ini sendiri."
Presiden tersenyum lembut menunjukkan kerutan disekitar matanya, "Jika kau sudah selesai, kembalilah ke Amerika. Kita bisa minum teh bersama, aku yakin ada banyak yang ingin kau ceritakan kepadaku,"
Rheina hampir saja menangis mendengar ucapan presiden tapi dia berhasil menahan diri, "Tentu saja Presiden. Secepatnya saya akan pulang."
Hubungan jarak jauh terputus sehingga layar video menampilkan layar hitam. James menutup laptop dan memasukkannya kembali ke koper, "Charlie dan Carl akan membantu Lily. Mereka akan mempersiapkan apa yang kau butuhkan. Kau akan mulai beroperasi pada 1300. Siapkan staminamu dengan semaksimal mungkin."
"Aku tahu," Rheina menyerahkan kembali amplop cokelat kepada James. Dia tahu James akan menyerahkan keseluruhan misi kepada Lily. Dia berdiri dan keluar ruangan tanpa berpamitan.
Dia melihat Charlie menunggunya di bar coctail tak jauh dari ruangan VIP. Sedang meminum coctail dengan santai sambil berbincang dengan beberapa orang yang tak dikenal.
"Sudah selesai?" tanya Charlie saat Rheina sudah duduk disebelahnya.
Rheina mengangguk, "Aku lelah. Apa kau bisa mengantarku ke kamar sekarang?"
"Oke," Charlie menghabiskan cocktailnya kemudian mulai berjalan menuju pintu keluar. Dia menyerahkan tiket mobil ke bellboy yang langsung bekerja. Beberapa menit kemudian mobil ferrari hitam sudah berhenti di depan mereka.
Bellboy lain yang menyetir segera keluar dari mobil. Dia menyerahkan kunci ke Charlie dengan sopan tak lupa membukakan pintu untuk Rheina masuk ke dalam mobil. Setelah memberi tips ke kedua bellboy tadi, Charlie langsung masuk ke mobil dan mulai menyalakan mesin.
Mobil melaju kembali ke hotel tempat mereka tadi merubah penampilan. Kali ini mereka menuju pintu depan.
"Ini surat reservasimu. Semua sudah dipersiapkan Lily. Barang-barangmu juga sepertinya sudah di kamar," Charlie menyerahkan sebuah amplop.
"Terima kasih," Rheina menerima amplop tersebut dan segera keluar dari mobil. Dia langsung masuk menuju lobby hotel sementara Charlie pergi menuju area parkir.
Rheina pergi menuju meja reservasi setelah menyerahkan surat dan menandatangi dokumen, Rheina mendapatkan card key menuju kamarnya. Seorang bellboy mengantarnya menuju ke lantai empat belas lewat lift. Ternyata kamar hotelnya hanya berjarak dua kamar dari lift.
Bellboy tersebut langsung pergi setelah Rheina memberinya tip. Kamar nomor 607, Rheina tersenyum getir melihatnya. Sudah kebiasaan dia mengecek seluruh ruangan. Kamar mandi, beranda, bawah tempat tidur, isi lemari pakaian, kulkas mini. Semuanya aman. Dia merebahkan diri di tempat tidur empuk. Ada dua koper besar di dekat pintu yang belum dia bongkar.
Ada getaran dari dalam tas pestanya. Handphonenya bergetar. Rheina mengecek siapa yang menelepon. Dia pernah melihat nomor ini saat mengecek data. Terkejut. Bagaimana dia bisa tahu nomorku?
"Halo?" tanya Rheina hati-hati.
"Apa ini betul Rheina?" tanya suara di seberang. "Namaku Yungjie Kim. Salam kenal."
"Salam kenal Yungjie," jawab Rheina berusaha menjaga suaranya terdengar ramah. "Ada yang bisa kubantu?"
Ada jeda cukup lama di seberang. "Apakah kita bisa bertemu saat pagi atau siang nanti? Aku yang ingin kubicarakan denganmu."
Rheina merasakan sedikit kejanggalan, "Siapa kau? Kenapa kau ingin bertemu denganku? Aku bahkan tak mengenalmu" aku hanya membaca profil tentangmu.
"Maaf sepertinya aku sedikit memaksa," suara Yungjie tetap terdengar tenang. "Kita memang tidak pernah bertemu dan tidak saling mengenal. Tapi seseorang yang aku sayangi sepertinya sangat mengenal dirimu. Aku hanya ingin tahu siapa dirimu. Apa itu bisa diterima?"
"Siapa yang kau maksudkan?" Rheina tahu siapa yang dimaksudkan, tapi dia harus hati-hati. Bisa saja ini jebakan yang dipersiapkan Joker untuk membunuhnya.
"Oh maafkan aku. Kau pasti mengenal Saeyoung dengan sangat baik," jawab Yungjie. "Saeyoung Choi atau dulu dia bernama Luciel Choi. Apa sekarang kau percaya kepadaku?"
Rheina menyesal tidak membawa peralatannya. Dia bisa langsung mendeteksi ini Yungjie atau tidak dengan cepat dengan alat deteksinya. Tapi sekarang dia di hotel dan yakin isi di dalam koper adalah barang-barang yang tidak berhubungan dengan alat deteksinya.
Opsi yang tercepat adalah bertemu dengannya. Tidak ada pilihan lain. Meskipun ini jebakan. Ditambah lagi, Yungjie ini mengetahui dia dekat dengan Luciel. Jika salah prediksi, bisa-bisa keamanan Luciel yang sudah terkendali akan rusak. Dia tidak bisa membiarkan hal ini terjadi.
"Baiklah. Hari ini jam sepuluh pagi kita bertemu di restoran Hotel Gloria tempatku menginap. Kau tahu tempatnya kan?" tanya Rheina.
"Aku tahu," jawab Yungjie cepat. "Lalu, bagaimana aku bisa mengenali dirimu?"
"Kau cukup saja datang dan duduk di suatu tempat," jawab Rheina. "Jika kau tahu seperti apa Luciel dulu. Kau tentu tahu bagaimana aku mengenali dirimu."
"Baiklah aku mengerti. Kalau begitu aku akan menunggu," kata Yungjie paham. "Terima kasih kau sudah mau menemuiku."
"Ingat Yungjie, jika kau main-main denganku, kau pasti tahu apa yang akan kulakukan padamu," ancam Rheina.
"Aku tahu itu dan aku tidak takut," ucap Yungjie tenang. "Sampai nanti," kemudian telepon terputus.
Rheina bangkit dari tempat tidur. Pertemuan ini riskan tapi dia harus melakukannya. "Hah... sekarang aku jadi seperti orang jahat yang bersiap memisahkan dua orang kekasih," keluhnya. Dia menghubungi Lily dan menjelaskan apa yang baru saja terjadi.
"Aku akan mengawasi kalian," ucap Lily mantap. "Aku juga tidak tahu motifnya tapi Charlie sudah mengecek. Yang menelponmu benar si Yungjie Kim,"
"Terima kasih," Rheina menutup telepon. Dia kembali merebahkan dirinya di tempat tidur. "Semua ini terasa melelahkan,"
***
Rheina melihat ke sekeliling restoran. Dengan mudah dia menemukan seorang gadis berambut cokelat dengan mata cokelatnya mencari-cari seseorang. Sebuah parfait strawberry dan segelas air putih tersaji di depannya. Baju terusan selutut berwarna pink menunjukkan lekuk tubuh rampingnya. Benar-benar cantik dan manis membuat Rheina mengecek dirinya. Dia memakai sweeter abu-abu polos dan rok pendek hitam kesukaannya. Di balik rok juga tersimpan dagger dan pistol mini. Sepatu boots hitam semata kaki menutupi kaki mungilnya. Bertolak belakang dengan keceriaan yang dipancarkan Yungjie.
Rheina menggeleng untuk mengusir perasaan cemburunya. Bukan saatnya untuk melibatkan perasaan. Dia harus memastikan apa yang diinginkan Yungjie darinya. Dia tahu Lily mengawasi mereka berdua jadi jika ini memang jebakan, Lily akan langsung tahu dan membantu Rheina. Setelah menghela nafas ringan, dia berjalan mendekati meja Yungjie dan duduk di hadapannya.
Yungjie terkejut karena tiba-tiba saja ada perempuan duduk di hadapannya. Dia mengecek selama beberapa detik dan menyadari siapa, "Rheina?"
Rheina memasang senyum polosnya, "Hai, ada yang bisa kubantu?"
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro