Part 3
Part 3
"Kau benar-benar datang ke apartemenku," gumam Zen sambil mempersilahkan Yona masuk.
"Kau tidak suka aku datang?" tanya Yona pura-pura kecewa.
Senyum Zen semakin lebar, "Aku suka sekali kau datang,"
Jantung Yona hampir melompat melihat senyum cerah laki-laki di hadapannya, dia bisa merasakan hawa panas memenuhi pipinya, "Te terima kasih..."
"Ayo masuk," Zen menarik tangan Yona dan mengajaknya duduk. "Kau mau minum sesuatu?" dia pergi ke kulkas. Tapi saat membuka kulkas, dia menyadari hanya ada bir dan air putih disana, dia berpaling dan memasang wajah malu.
Yona terkikik, "Aku lebih senang air putih," dia beranjak pergi ke dapur. "Aku juga membawa peralatan perangku sendiri. Aku akan memulai perang sekarang jika kau tidak keberatan,"
Zen berdiri di sebelah Yona sambil tersenyum, "Aku siap membantu,"
Yona mulai membagi tugas. Zen bertugas mencuci sayuran dan ayam sementara Yona akan bertugas memotong dan memasaknya.
Tak berapa lama bau wangi bawang ditumis memenuhi dapur. Yona memasukkan ayam dan bumbu lalu didiamkan sampai matang, sementara itu, Zen memotong-motong kubis untuk salad. Yona melirik Zen sekilas, dia terlihat serius dan sangat berkonsentrasi memotong.
Zen menyadari Yona sedang memperhatikannya, "Apa?"
Yona langsung tersipu malu, "Ti tidak. Lupakan saja,"
Zen tersenyum jahil, "Kita seperti pasangan yang sedang masak makan malam bersama, kan?"
Wajah Yona semakin bersemu merah. Dia tidak menjawab dan berusaha mengkonsentrasikan diri untuk memasak. Tapi senyum di bibirnya merekah lebar.
Mereka makan malam dengan diselingi senda gurau. Zen menceritakan sedikit perjalanan karirnya dan peran-peran aneh yang harus dia mainkan. Yona mendengarnya dengan antusias. Di dalam hati dia meminta maaf kepada Jaehee karena memonopoli seluruh cerita Zen untuk dirinya sendiri.
"Bagaimana kakimu?" tanya Yona saat mereka berdua mencuci piring bersama. Yona bertugas mencuci sementara Zen bertugas mengelap.
Spontan Zen melirik kakinya yang masih diperban. "Sudah lebih baik. Aku kan monster, besok pasti juga sembuh," dia mengedip nakal.
Jantung Yona serasa hampir copot mendapat serangan mendadak, "Ba baguslah kalau begitu,"
Selesai membereskan dapur, Zen mengajak Yona naik ke atap rumah untuk melihat bintang. Selama beberapa menit mereka terdiam menatap keindahan langit malam.
"Kau tahu, aku benar-benar sangat melihatmu hari ini datang ke apartemenku," gumam Zen memecah kebisuan. "Seven tidak mengijinkan kami melihat fotomu, tapi kau justru datang langsung seorang diri ke hadapanku. Aku seperti orang yang paling beruntung di dunia ini karena bisa melihatmu langsung sekarang."
"Well... aku juga sangat senang bisa kesini, aku juga orang yang paling beruntung karena Zen mengijnkanku masuk ke apartemennya. Aku yakin Jaehee juga ingin datang kesini untuk melihat keseharian idolanya," gumam Yona tak mau kalah.
"Kau ini, terus saja membicarakan jika Jaehee ini jika Jaehee itu. Memangnya kau tidak ingin memonopoliku seorang diri?" tanya Zen pura-pura marah.
"Ka..." wajah Yona memerah. Perkataan Zen tepat menyerang ke hatinya. "Apakah aku harus menjawabnya secara langsung!" dia berbalik memunggungi, tidak ingin Zen melihat wajahnya.
Zen bersandar ke beranda, "Aku benar-benar beruntung kau datang hari ini Yona," dia melanjutkan dengan menceritakan masa lalunya sebelum berkarir menjadi seorang artis. Keluarga yang menentangnya, kakaknya yang mengkhianatinya. Dia juga menceritakan alasan sebenarnya kenapa menolak tawaran Jumin. Bagi Zen, Jumin mirip kakaknya. Karena itu, Zen ingin berusaha membuktikan kemampuan dirinya tanpa bantuan siapa pun. Dia ingin bekerja keras sendiri. "Berkat dukunganmu, aku merasa kalau aku bisa maju. Aku merasa beruntung kau menjadi angora RFA. Terima kasih Yona,"
"Sama-sama," Yona merasa tersanjung. "Kau memang beruntung Zen, sementara aku..." lagi-lagi sakit kepala menyerang.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Zen panik. Dia menuntun Yona untuk masuk ke dalam dan duduk di sofa. "Kepalamu pusing?"
Yona menggeleng, rasa sakit dikepalanya berdenyut-denyut. "I ini terjadi kalau aku berusaha mengingat masa laluku,"
"Masa lalumu? Kau... terkena amnesia?" tebak Zen. Dia menyodorkan segelas air putih.
Yona menerima gelas tersebut dan meminumnya seteguk, sakit kepalanya sudah hilang. Sekarang dia justru merasa malu, "Benar. Aku terjatuh dari tebing saat mencari kayu bakar. Aku tidak ingin siapa diriku. Tapi kartu mahasiswa menunjukkan kalau aku bernama Yona Kim, mahasiswi jurusan psikologi di SKY university. Teman satu asramaku Elly yang menceritakan siapa diriku,"
"Maafkan aku," gumam Zen.
"Kenapa jadi Zen yang meminta maaf," Yona tertawa lirih, "Aku baik-baik saja. Tapi kepalaku selalu sakit jika aku berusaha mengingat masa laluku. Sejujurnya aku tidak tahu siapa diriku. Aku merasa ini bukan diriku yang sebenarnya tapi aku tidak tahu bagaimana harus mencari. Tapi aku senang dengan kehidupanku sekarang, apalagi sekarang aku adalah anggota RFA, aku tidak menyesal."
Zen terpesona, wajahnya memerah, dia memalingkan wajah karena malu. "Ja jadi, apa kau suka kucing?"
"Eh?" Yona tiba-tiba merasa bingung, "A aku suka. Kenapa tiba-tiba?"
"Yah... kau kesini karena kau menyetujui permintaan Jumin, kan?" tanya Zen. "Aku hanya penasaran. Mungkin ada motif dibalik kejadian hari ini,"
Yona terkekeh, "Well... aku memang ingin melihatmu berakting dengan kucing. Bukan karena aku ingin menyiksa alergimu, aku sangat mengagumimu kok," dia cepat-cepat mengoreksi karena melihat wajah shock Zen. "Aku sangat menyukai kucing, mereka binatang dengan kemauan sendiri. Kau tidak mengadopsi mereka tapi merekalah yang mengadopsimu. Mereka bebas melakukan apa pun sesuka mereka. mereka tidak bergerak sesuai keinginan tuannya."
"Lalu aku?" tanya Zen.
Wajah Yona merona merah, "Haruskah aku juga menjelaskannya kepadamu?"
"Aku ingin mendengarnya," jawab Zen.
"Yah... kau mirip dengan kucing. Maksudku, kau bergerak sendiri sesuai keinginanmu. Kau membuktikan bahwa kau adalah kau tidak terikat oleh siapa pun. Kau bersinar karena memang disanalah seharusnya kau berada. Kau menganggumkan karena kau memiliki cahayamu sendiri,"
Zen kembali terpesona, "Eh... te terima kasih... setelah mendengarnya aku menjadi merasa sangat senang. Aku merasa tersanjung dipuji olehmu,"
"Sa sama-sama," jawab Yona tersipu malu. Dia berdiri untuk mengambil air minum, "Kau memang bersinar terang kok... "
Dia meletakkan handphone di meja agar bisa mengambil air dingin di kulkas. Saat menggeser tangan tiba-tiba tangannya menyenggol handphone hingga terjatuh. Casing dan batre terlepas.
"Wah..." Zen segera datang membantu memunguti handphone tersebut. "Apa ini?"
Zen mengambil secarik kertas yang dilipat dan membukanya. Hanya berisi titik dan garis yang sangat panjang tapi kecil sehingga sulit dibaca. "Apa ini? Kode?"
"Eh?" Yona melihat apa yang sedang dipegang Zen. Tiba-tiba saja rasa sakit menyerang kepalanya, kali ini lebih dahsyat.
"Yona!!" Zen segera menopang tubuh Yona karena dia hampir jatuh kehilangan keseimbangan. "Duduklah," Zen membantu Yona duduk di sofa terdekat.
Sakit! Tolong! Teriak Yona dalam hati. "Ukh..."
Zen meraih handphonenya, berusaha menghubungi ambulance tapi Yona berhasil mencegah.
"A aku mohon... jangan..." pinta Yona lirih. Sakit kepalanya mulai hilang. "Aku sudah baik-baik saja..."
"Tapi...." Zen tidak setuju tapi dia tidak kuasa melihat raut wajah memohon Yona. "Baiklah..." dia meletakkan handphone lalu beralih ke dapur mengambil air putih.
"Ini minumlah," dia menyodorkan segelas air putih ke Yona yang langsung diminum habis. "Kau benar sudah baik-baik saja?" tanyanya khawatir.
"Aku baik-baik saja," jawab Yona lemah. Sebenarnya kepalanya masih berdenyut-denyut tapi masih bisa dia sembunyikan.
Zen kembali berusaha membaca kode yang tertulis di kertas tapi tidak berhasil, "Ini.. apa kau mengetahui artinya?"
"Aku tidak tahu," jawab Yona jujur. "Tapi mungkin ada hubungannya dengan masa laluku. Itu seperti semacam sandi morse tapi aku tidak tahu bagaimana cara membacanya."
"Hmm..." Zen berpikir, kemudian sebuah ide muncul. "Bagaimana kalau minta tolong seven untuk memecahkan kode ini. Dia itu hacker dan jenius. Pasti dia bisa memecahkan kode ini dan memberitahu kita apa isinya. Siapa tahu ini bisa menjadi petunjuk tentang masa lalumu,"
"Aku tidak yakin dengan hal itu," entah bagaimana Yona merasa tidak ingin orang lain mengetahui arti kode tersebut. "Aku merasa takut,"
"Yona," Zen mengusap kepala Yona lembut, "Kau tersiksa karena tidak mengetahui masa lalumu. Kode ini adalah petunjuk untuk mengetahui siapa dirimu. apa kau ingin melewatkan kesempatan ini? Bukankah kau ingin ingatanmu kembali?"
"Aku..." Baru kali ini Yona merasa tidak memiliki keinginan agar ingatannya kembali. tapi disisi lain dia juga ingin ingatannya kembali. Dia ingin mengetahui siapa teman special yang Elly maksudkan. "Aku tidak tahu Zen. Terserah dirimu saja,"
"Jika itu maumu," Zen tersenyum lebar. Dia segera memfoto kertas tersebut dan menguploadnya di messenger.
Yoosung: WOW! Apa itu Zen! Kode rahasia?
Zen: Bukan. Seven kau bisa membantuku? Aku menemukan ini di handphone Yona. Bisakah kau memecahkan kode ini?
707: Kode harta karun? Dengan senang hati aku akan memecahkan kode itu!
Zen: Terima kasih.
"Beres," jawab Zen. "Sebaiknya kau istirahat Yona. Aku tidak ingin kau pingsan atau sakit kepala lagi,"
"Iya.. aku akan pulang saja kalau begitu," ujar Yona menyetujui. "Maaf aku jadi merepotkanmu. Semoga kakimu tidak menjadi lebih parah."
Zen tersenyum, "Kakiku sudah sembuh berkat kedatanganmu, aku akan baik-baik saja," dia mengedip nakal.
Yona tertawa, "Kau terlalu berlebihan,"
***
Seven segera mendownload gambar yang dikirimkan Zen. Jika dugaannya benar, itu pasti kode yang Rheina simpan. Sistem komunikasi khusus yang biasa mereka gunakan untuk saling berkomunikasi.
Karena gambar yang dikirimkan kecil, dia harus membesarkannya dan menajamkan resolusi agar lebih mudah dibaca. Dia sebenarnya bisa langsung membaca kode yang Rheina kirimkan jika kode itu ditulis dengan jelas.
"Tinggal ini... lalu itu..." dia sibuk menggerakkan keyboardnya. "Terakhir ini.." tombol enter adalah yang terakhir dia tekan. Di layar komputernya sekarang terlihat jelas seperti apa kode tersebut. Waktu terasa berhenti setelah dia selesai membacanya. "Tidak... mungkin..."
***
B
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro