Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

MOM-Plan 11

Ketemu lagi setelah sekian lama Hiatus,.... Silahkan baca.

.
.
.
.
.

Emzz apa aku ketiduran. Kepalaku pusing, badanku lemas tak bertenaga. Tapi ada yang berbeda? Hahh, ini kamar siapa? Aku masih mengucek-ucek mataku karena masih terlihat buram. Aku membuka mata lebar-lebar karena sudah mengingat semua kejadian itu. Bukanya aku tadi bersama dengan nona Valery.

Tunggu nona Valery! Bukanya dia wanita jahat yang ingin membunuhku. Siapa yang menyelamatkanku, apa pak tua lagi. Emzzz kenapa aku tak bisa bergerak siapa yang memelukku. Aku langsung melihat sumber berat yang menimpaku. Ehhh, Steffan! apa yang dia lakukan di sampingku. Aku berusaha melepaskan tangannya yang memeluk perutku tapi susah sekali sepertinya dia memelukku dengan kencang.

"Steff, menjauhlah dariku!" Bentakku berulang kali sambil menarik-narik tangannya yang tak bergeser sama sekali dari perutku. Aku bisa mati kalau seperti ini. Kenapa Steffan bisa ada di sini. Apa Steffan membawaku ke rumahnya tapi kurasa ini bukan kamar Steffan.

"Hemzz kau sudah bangun, apa kau sudah baikan! Ada yang sakit!" Serunya yang membuka mata dengan enggan itu lalu mengusap keningku.

"Aku hampir mati sesak nafas karena tanganmu yang seperti batu itu menimpa perutku." Jawabku lalu berusaha duduk dan menyingkirkan tanyanya yang terus mengusap kepalaku. Rasanya aneh diusap oleh orang lain selain ibu. Membayangkan ayah mengusap kepalaku saja terasa ngeri apa lagi orang lain.

"Aku sangat khawatir padamu. Padahal aku hanya menunda belajar kita tapi kau malah pergi dalam keadaan sakit. Jangan pergi kalau sedang sakit." Steffan berkata dengan khawatir. Aku sudah bilang kalau dia bukan siapa-siapaku dan hanya seorang musuh bagiku. Tapi dia terlalu mengurusi urusan orang lain. Sangat menyebalkan.

"Apa yang kau katakan! Aku tidak sakit sama sekali. Lihat badanku tidak panas. Kau terlalu berlebihan. Kenapa kau ada di sini." Marahku.

"Iya mungkin kau benar kalau kau tidak sakit. Tapi nona Valery menemukanmu pingsan. Apa kau mengalami pingsan berkali-kali. Ini bisa menjadi gejala penyakit yang serius. Lebih baik kamu cek ke dokter mengenai penyakitmu. Aku ke sini karena aku khawatir padamu."

"Kau bicara apa, aku bilang aku tidak sakit! Lagian aku tidak butuh rasa simpatimu."

"Aduhh aku pikir Rhein sakit lagi. Karena aku mendengar ribut-ribut dari dalam kamar. Kau sudah siuman Rhein, kau membuatku khawatir." Kudengar suara wanita yang ternyata adalah nona Valery. Dia berada di depan pintu sambil membawa makanan. Aku menelan ludah karena mendengar suaranya yang membuatku merinding seperti kemaren saat dia berusaha membunuhku. Ya setidaknya itu yang aku pikirkan sekarang.

"Nona Valery?! Kau ada di sini!" Tanyaku ragu-ragu dan bingung, kenapa dia begitu baik sekali sedangkan tadi seperti pembunuh berdarah dingin.

" Ya hahaha, ini rumahku. Ini aku bawakan bubur dan minum. Makanlah! lalu minum obat agar cepat sembuh Rhein. Aku khawatir sekali melihatmu pingsan saat aku membuatkanmu teh. Aku panik sekali waktu itu, dan aku sedang tinggal sendiri jadi tidak ada yang bisa membantuku." Dia menjawab dengan wajah santai seperti merasa tidak terjadi apa-apa. Apa yang aku ingat hanya sebuah mimpi atau halusinasiku saja, tapi kenapa rasanya seperti nyata terjadi. Aku tidak mungkin bisa pingsan begitu saja. Aku tidak memiliki riwayat sakit yang berat sampai aku pingsan begitu saja. Ini terasa aneh. Kepalaku pusing jika harus mengkaitkan kejadian itu dengan sekarang. Rasanya membingungkan.

"Hahh apakah aku pingsan? Bukanya anda...... Emmm tidak ada." Seruku terpotong jika aku mengatakan apa yang ada di otakku tentang kejadian itu rasanya mustahil, mungkin saja dia bisa berbohong atau itu benar hanya sebuah mimpi. Aku harus memikirkan sendiri karena tidak akan ada yang mau percaya dengan kata-kataku. Karena otakku yang bego jadi enggak ada yang mau percaya denganku, menyedihkan.

"Hahh kau mau bicara apa, apa kau butuh sesuatu aku akan mengambilkanya untukmu." Tanyanya dengan antusias.

"Tidak perlu aku tidak butuh apa-apa. Lalu kenapa Steffan ada di sini?" Tanyaku karena si pantat ayam ini bisa berada di sini dan tidur di sampingku. Kenapa harus dia, kenapa tidak Edi atau Art saja. Mereka kan teman dekatku.

"Ahh maaf, aku waktu itu panik saat melihatmu pingsan lalu aku mengambil ponselmu dan menghubungi kontak yang baru saja mengirim pesan. Itu nomer Steffan, jadi aku menyuruhnya datang ke sini. Maafkan aku sudah bersikap lancang membuka ponselmu." Jawab nona Valery terlihat begitu cantik dan baik. Tapi kenapa aku merasa itu hanya senyum dan kebaikan palsu yang tergambar di wajah cantiknya. Dia seperti menyembunyikan sesuatu. Seperti ada topeng yang sengaja dia pakai untuk menutupi kejahatannya. Perasaanku begitu kuat akan hal itu.

"Hahaha tidak apa. Terimakasih nona Valery telah membantuku. Aku tidak percaya kalau aku pingsan begitu saja, hehehehe." Jawabku seramah mungkin dan berusaha tidak mengungkit kejadian yang membuat otakku pusing. Aku harus secepatnya pulang ke rumah dan memikirkannya lagi. Aku sudah tidak tahan berada di rumah ini, rasanya dadaku sesak.

"Sama-sama, ini balasan karena kau juga telah membantuku. Kau anak baik Rhein, Hahaha. Aku ada tamu di depan, Steffan tolong bantu Rhein memakan buburnya sampai habis ya. Aku tidak mau mengotori sampahku dengan bubur. Hahahaha. Sampai jumpa. Cepat sembuh ya Rhein." Ucapnya sebelum pergi.

Dia menyuruhku untuk makan bubur. Bubur makanan yang paling aku benci di dunia ini. Melihatnya saja aku eneg pengen muntah. Bentuknya lembek menjijikan, warnanya keruh dan tak menarik, baunya enggak sedap dan rasanya aneh. Aku tidak akan mau memakan bubur itu, tidak akan pernah.

"Aku tidak sakit kenapa aku harus makan bubur. Aku tidak suka bubur. Kau makan saja." Tolakku yang benar-benar membenci makanan menjijikan itu. Bentuknya seperti makanan babi, bikin muntah.

"Apa yang kau katakan, kau baru saja pingsan tanpa sebab. Itu sudah termasuk sakit." Huhhh Steffan malah memaksaku memakan itu. Sungguh mengganggu sekali.

"Alah jangan menggodaku untuk makan makanan babi itu. Aku tidak suka bubur lebih baik kau buang saja." Tolakku lagi.

"Ini makanan orang sakit bukan makanan babi. Kau harus makan." Dia benar-benar suka memaksa. Aku sudah bilang kalau aku tidak suka kenapa malah memaksaku memakannya, dasar bego.

"Itu sama saja, sama-sama menjijikan. Uweekk, jauhkan itu dariku. Melihatnya saja aku ingin muntah." Seruku yang langsung mual karena dia memaksaku memakan bubur yang dia suapkan padaku. Aku langsung menutup mulutku dengan tangan dan menghindarinya.

"Hahh, baiklah. Tapi kau harus minum obat. Akan aku ambilkan roti."

"Obat, untuk apa? Aku tidak mau minum obat sembarangan. Lagian aku sudah bilang ratusan kali kalau aku tidak sakit." Sangkalku yang memang aku tidak sakit sama sekali. Awal aku bangun memang terasa pusing tapi sekarang rasanya aku memang sehat dan tidak sakit. Dan obat apa itu, itu hanya obat parasetamol dan vitamin. Bukan obat yang khusus dari dokter tapi obat yang biasa dijual di apotik.

"Ini obat dari dokter, nona Valery yang menyuruh dokter datang ke sini untuk memeriksamu. Ku mohon jangan abaikan kebaikan nona Valery. Sebaiknya kamu jangan menyusahkan orang lain." Steffan malah menganggapku seperti benalu yang suka menyusahkan orang lain. Aku benci itu.

"Sudah aku pikirkan kalau bicara denganmu itu sungguh buang-buang emosi. Sejak kapan aku menyusahkan orang lain. Kalian saja yang bertingkah berlebihan. Cukup tinggalkan saja aku, nanti juga sadar sendiri."

"Hahh terserah kau saja, akan aku ambilkan roti dulu."

..........
.
.
.
.
.
...........

Aku pulang bersama Steffan, dia mengantarku sampai ke dalam rumah. Bahkan Steffan Sempat Cerita dengan ibu tentang aku. Hahh aku tak percaya kalau dia membicarakan semuanya. Aku masuk kamar setelah makan malam bersama, bahkan ibu mengundang Steffan untuk makan malam bersama. Aku sungguh tidak menyukai anak itu.

Pikiranku menerawang mengingat kejadian itu, kejadian di mana aku bisa pingsan sendiri. Aku ingat-ingat pun yang selalu terbayang adalah kejadian di mana nona Valery berusaha membunuhku. Tapi kenapa aku masih hidup, apakah kejadian itu benar-benar hanya sebuah mimpi buruk saja. Tapi aku merasakan kalau itu benar-benar nyata.

'Nona Valery cantik, kulit putih, ritual.' kata-kata itu seperti berhubungan, tapi apa? Cantik, kulit, ritual, seperti pernah mendengarnya.

"Tolong, tolong aku! ku mohon, tolong aku. Sakit perih perih perih. Huhuhu tolong aku, ku mohon. Jangan menghindar aku tidak mau mati, ku mohon tolong aku."

"Kyaaaa tidak menjauhlah dariku!"

"Apa-apaan kau ini! minggir! kau menghalangi jalanku."

"Haaaa ada monster."

"Ih, menakutkan!"

"Kyaaa aku takut jangan mendekat."

"Tidak ku mohon jangan pergi. Tolong aku, tolong!"

Kenapa yang terlintas di pikiranku adalah video amatir itu. Diingat berapa kali pun kejadian itu tetap sama saja. Aku masih mengingat pria kasihan itu. Kulitnya di kuliti sampai otot-ototnya terlihat jelas. Pelakunya seorang wanita cantik. Apa nona Valery pelakunya, dia cantik, menyukai kulit putihku(mungkin).

Dimimpiku dia membawa gunting dan ingin mengulitiku untuk sebuah ritual, apa yang di maksud ritual pemujaan setan. Apa benar seperti itu? Ku rasa ritual pemujaan setan tidak membutuhkan kulit manusia, tetapi jiwa manusia. Yang ada pesikopet gila yang melakukan hal keji seperti itu.

Nona Valery bersikap baik sekali padaku tapi kenapa firasatku kalau nona Valery bukan orang baik seperti apa yang dia lakukan padaku. Apa boleh aku mencurigainya sebagai pembunuh, oh bukan tapi sebagai orang jahat. Jika aku ingin membuktikan kebingunganku aku harus cari buktinya.

Aku duduk di depan meja belajarku dan membuka leptop. Aku cari berita tentang kejadian itu. Laki-laki yang di kuliti. Hemm di sini menunjukan sudah 15 kali kejadian ini terjadi. Apa, sampai sebanyak itu? Yang pertama ketika tahun 19XX di New York, yang memakan 6 korban. Kejadian terjadi di kota yang berbeda. Yang memiliki kesamaan yaitu Semua jumlah korban sama yaitu 6 orang.

Semua untuk sebuah ritual aneh, yang belum diketahui secara pasti tapi dugaan sementara adalah untuk mendapatkan obat awet muda. 'Mana ada obat awet muda, kalau ada sih pasti alat makeup' batinku. Pelaku belum bernah tertangkap. pelaku di perkirakan berjenis kelamin perempuan dan korbanya kebanyakan berjenis kelamin laki-laki, sebelumnya belum pernah ditemukan korban perempuan yang mengalami kejadian sama. Semua korban di temukan dalam keadaan masih hidup namun seminggu setelah korban ke-6 semuanya meninggal begitu saja. Semua meninggal. Sial, di kotaku baru 4 orang.

Sebuah ritual untuk awet muda. Kenapa itu selalu terpikirkan olehku. Pelaku tidak pernah tertangkap. Bahkan kejadian berawal di tahun 19XX pasti itu sudah lama sekali sebelum Kakek buyutku lahir. Apakah pelakunya orang yang sama? Jika benar berarti pelakunya benar-benar bisa mendapatkan obat awet mudah dan melakukan ritual itu lagi sekarang. Dia hidup di jaman 19XX aku pastikan kalau mati tulangnya sudah menjadi debu sekarang. Tapi jiak pelakunya berbeda-beda, tujuan dia melakukan itu untuk apa. Inilah yang jadi misteri.

Tunggu! Kenapa aku mengurusi urusan laki-laki yang dikuliti itu. Bukanya tugasku hanya membuka kedok pak tua saja. Kenapa aku Harus berpikir sejauh itu. Belum tentu wanita jahat itu berurusan dengan pak tua. Hemmz benar juga ya. Tenang lah Rhein, kamu harus ingat, kau harus fokus kepada pak tua itu saja, jangan sampai tergoyahkan oleh kejadian yang lain.

..........
.
.
.
.
.
.
..........

Aku berangkat sekolah seperti biasanya. Ini hari Senin semoga hariku menyenangkan tidak ada gangguan dari Steffan maupun Mike bahkan Olivia. Aku sudah duduk di tempatku dan Art mulai menggerutu kenapa aku tidak datang waktu acara minum-minum kemarin malam. Aku sudah menjelaskan kalau aku ketiduran dan Art pun tidak langsung percaya begitu saja. Crystin juga dia sudah marah-marah sampai kupingku panas.

Sekarang sedang pembelajaran Bu Jane Shylr, dia sedang mengabsen nama-nama murid yang masuk dan hari ini Leana tidak masuk lagi. Dia sudah tiga hari ini tidak masuk sekolah. Entah karena apa tidak ada yang tahu, bahkan teman dekatnya tidak tahu kenapa Leana akhir-akhir ini tidak hadir di kelas. Steffan tiba-tiba di panggil ke ruang kantor, apa ada guru yang tidak hadir di kelas. Yes akhirnya ada jam kosong lagi, aku bisa bebas pergi ke kantin lagi.

Pembelajaran ibu Jane sangat membosankan aku sudah beberapa kali menguap sampai beberapa kali Art menjahili agar aku tetap membuka mana tapi itu hanya berhasil sebentar saja lalu mengantuk lagi. Kapan jam pembelajaran berakhir, aku sudah tidak kuat lagi membuka mata.

"Rhein? RHEIN!" Bentak ibu Jane yang membuatku kaget sekali. Hemm aku langsung membuka mata 90 Watt, seketika ngantukku hilang.

"Ada apa Bu! Hahaha." Tanyaku malu ketahuan tidur.

"Kamu di panggil pak Effendi keruanganya. Cepat ke sana, jangan tidur terus." Bentak Bu Jane lagi.

"Iya Bu maaf."

"Art, kenapa aku di panggil ke kantor?" Bisikku pada Art yang tak memberitahuku kalau Bu Jane memanggilku.

"Mana ku tahu, cepat sana. Nanti beritahu aku kalau terjadi sesuatu." Jawab Art berbisik juga.

"Ok!" Jawabku yang langsung aku berjalan keluar kelas tapi sebelumnya aku melihat tempat duduk Steffan tapi dia belum datang juga. Apa aku dipanggil gara-gara Steffan. Ada masalah apa aku dengan Steffan sampai di panggil ke kantor. Semoga saja tidak terjadi masalah yang besar.

..........
.
.
.
.
.
.
.........

Suasana kantor sedikit sepi walau masih ada guru yang masih ada di tempatnya masing-masing. Tapi aku langsung dibawa ke ruang pak Effendi yang begitu tertutup karena memang dia guru kedisiplinan jadi tempatnya harus sebisa mungkin tertutup. Jika ada anak yang bermasalah takut tersebar ke mana-mana beritanya dan mengotori reputasi sekolah ini. Aku langsung masuk ke ruangannya pak Effendi dan disambut oleh pak Effendi, Bu Diane, Steffan dan kedua orang tua entah itu Orang tua Steffan atau siapa aku tak tahu. Lalu kenapa aku harus dipanggil ke sini juga. Aku lalu duduk di samping Steffan dan menyenggol tangannya karena aku kesal dia membawa masalah padaku. Dia hanya melihatku sekilas dan tersenyum tipis. Aku melihat wanita itu menangis tersedu-sedu dan laki-laki di sampingnya mencoba menenangkannya.

"Steff, ada apa? Apakah mereka keluargamu? Kenapa aku juga dipanggil kemari." Tanyaku bingung karena seperti pagi ini aku belum membuat masalah sampai harus di panggil ke ruangan pak Effendi. Aku sudah sering di panggil jadi aku sudah kebal di sini.

"Hahaha tenanglah tidak ada masalah." Jawabnya dengan nada lembut dan tersenyum lagi. Tidak seperti saat di rumahku, dia jahil sekali tapi saat di sekolah lembut seperti anjing. Dasar menyebalkan.

"Rhein, maaf sudah memanggilmu tanpa memberitahumu masalah yang sedang terjadi. Oya apakah malam Sabtu kau pergi bersama dengan Steffan." Tanya Bu Diane mengintrogasiku.

Hah malam Sabtu bukanya aku pulang sekolah mengikuti pak tua sampai di kuburan dan pergi ke rumah Steffan sampai larut malam. Apa saat itu yang Bu Diane tanyakan. Kenapa dia menanyakan itu, aneh.

"Ahh iya, waktu itu aku aku ingin pergi ke ke rumah pak tua ta-tapi aku malah nyasar sampai di kuburan. Aku bertemu Steffan di kuburan dan Steffan membantuku dan mengajakku kerumahnya lalu kita belajar bersama dan dia mengantarku pulang sampai di rumah. Itu yang terjadi." Ceritaku yang aku beri bumbu kebohongan. Karena jika aku cerita yang sebenarnya, tentu saja aku bakalan dikira penguntit.

"Itu tidak mungkin, kau jangan berbohong. Pasti mereka berdua yang telah berencana membunuh anakku. Mereka berdua pasti yang membunuh anakku. Cepat katakan di mana anakku, katakan!" Seru wanita itu yang marah-marah dengan tangisan yang semakin pecah, dia menuduh aku membunuh anaknya. Ada apa aku tidak membunuh siapa pun lalu siapa anaknya yang aku bunuh. Kenapa bibi itu marah-marah padaku, kenal saja enggak.

"Tenanglah Bu, Anda harus tenang dulu. Jika masalah ini belum terpecahkan di sini mari kita minta bantuan pihak kepolisian. Saya harap Anda bisa tenang dulu. Kami akan siap membantu anda." Tukas Bu Diane menenangkan bibi yang marah-marah itu. Sebenarnya apa yang terjadi aku jadi penasaran.

"Iya, lalu bagaimana dengan anak saya, dia sudah tiga hari tidak pulang. Huhuhu Leana ke mana kamu pergi nak! Huhuhu." Tangisnya lagi meratapi anaknya yang hilang. Jadi yang hilang itu Leana pantas saja dia beberapa hari absen di kelas.

Apa dia orang tua Leana, lalu apa hubungannya denganku aku bahkan tidak dekat sama sekali denganya. Lalu kalau dia pergi dan belum kembali ke rumah itu bukan urusanku. Tapi kenapa aku juga ikutan di Panggi ke sini.

"Tunggu! Ini soal Leana? Lalu kenapa saya di panggil kemari? Saya tidak ada urusan dengan Leana bahkan saya tidak dekat sama sekali, lalu apa hubungannya saya di panggil kemari!" Ungkapku karena aku pikir aku tidak ada hubungannya dengan masalah ini. Jadi aku mau pergi kembali ke kelas. Tapi singgah dulu ke kantin hehehe.

"Rhein tenanglah, jangan berlebihan. Cukup dengarkan saja, mengerti." Seru Steffan menenangkanku. Bagaimana aku bisa tenang aku sudah dituduh sebagai pembunuh Leana, tapi Leana kan belum ditemukan dalam keadaaan tidak bernyawa, pasti ada kemungkinan kalau dia masih hidup. Tapi aku sudah kebelet ke kantin, kapan semua ini akan selesai.

"Baiklah akan saya jelaskan! Sodara Steffan Anda yang akhir-akhir ini dekat dengan Leana dan terakhir kali sebelum Leana menghilang, Leana berpamitan ingin pergi ke rumahmu untuk belajar bersama. Tapi setelah itu Leana tidak pulang sampai beberapa hari. Tapi kau menyangkalnya kalau Leana sama sekali tidak datang ke rumahmu dan kau bilang sedang belajar dengan Rhein. Benar begitu!" Pak Effendi menjelaskan kronologi bagaimana Leana pergi dari rumah. Tapi sedikitpun tak ada hubungannya denganku. Aku saja jarang bicara dengannya.

"Iya pak! Kami memang ada janji akan belajar bersama di rumah saya hari Jum'at sore, saya sudah meminta agar saya saja yang datang ke rumahnya tapi dia menolak dan ingin ke rumah saya. Dan dia bilang setelah belajar dia ingin pergi bermain dengan teman-temannya. Tapi aku menunggunya sampai sore dia tidak datang juga. Karena kran air saya rusak jadi saya menyempatkan mengunjungi pak Darius untuk memperbaikinya, namun saya malah bertemu dengan Rhein yang hampir ngomp____" aku langsung membungkam mulutnya dengan tanganku.

"Ahh jangan katakan yang bagian itu, dasar bego!" Potongku karena dia hampir saja mempermalukanku di depan banyak orang.

" Hahahaha. Aku mengajak Rhein ke rumah saya mumpung ada kesempatan jadi saya membawanya pulang Hahaha."

"Apa yang kau maksud kesempatan hahh?" Marahku seperti ada maksud terselubung dengan omongannya Steffan.

"Hahaha kau selalu saja menghindar jika aku mengajakmu belajar. Pak Jhonatan sudah memberiku tugas untuk membantumu belajar, Hahaha." Pak Jona itu lagi, aku benci banget sama dia. Dia mirip sama ayah suka sekali memaksa orang harus jadi pintar seperti mereka. Aku jadi malas membahas mereka.

"Diam, aku tidak mau belajar lagi denganmu!" Bentakku karena emosi.

"Bohong! kalian bicara bohong, pasti kalian yang menculik anakku. Kalian mengarang cerita kalau kalian tidak bersalah." Sangkal ibunya Leana dengan membentak kami, menuduh kami menculik anaknya. Kenapa dia bersikukuh kalau kami pelakunya. Enak aja dia bilang aku menculik bahkan membunuh anaknya. Urusan dengan pak tua saja belum kelar malah kena masalah dengan hilangnya Leana.

"Kenapa bibi menuduhku! aku sama sekali tidak bertemu Leana kemaren. Mungkin dia di bawa pergi pacarnya sendiri, siapa yang tahu." Protesku yang mungkin saja benar. Mungkin saja dia ingin berselingkuh dengan Steffan.

"Tidak mungkin kalian pasti bohong. Sebelum dia pergi, Leana terlihat aneh sekali. Dia jarang sekali bicara dan bercanda denganku. Dia jarang minta uang tambahan. Dia jarang membeli sesuatu yang baru sama seperti temannya. Aku pikir dia sudah mulai berubah menjadi anak yang baik tidak boros dan menghamburkan uang hanya untuk membeli barang yang tak penting. Tapi kenapa itu akhir dari aku melihat anakku? Kenapa? Terakhir dia pulang sekolah dengan keadaan pucat dan dia demam selama dua hari. Lalu dia sudah mulai baikan dan izin padaku untuk menyalin pembelajaran yang dia tinggalkan dan pergi ke rumah Steffan, teman yang paling pintar di kelasnya. Aku sudah melarangnya untuk pergi karena dia sedang sakit, tapi dia masih nekat. Dia meyakinkanku kalau Steffan adalah anak yang baik dan pintar, dia bisa membantunya belajar lebih baik dari gurunya. Tentu saja aku percaya dan mengijinkannya. Tapi mulai larut malam, aku menunggunya sampai jam 11 malam. Tapi dia tidak pulang juga, aku khawatir dan berusaha menelfon Bella teman dekatnya tapi dia tidak tahu kemana perginya Leana, lalu aku meminta nomor telepon Steffan tapi Bella tidak mempunyainya. Aku berusaha mencarinya dengan suamiku tapi itu sudah terlalu larut malam dan kami melanjutkan mencarinya esok pagi. Maka dari itu aku melaporkanya langsung kepada kepala sekolah, tapi kepala sekolah sampai sekarang belum memberikan kabar. Lalu sekarang kemana anakku menghilang? Huhuhu Leana, kemana kau pergi nak!" Cerita ibu Leana yang  kenapa aku merasa kasihan. Mungkin ini yang dirasakan ibu jika dia kehilangan aku, aku tidak bisa membayangkan betapa sedihnya ibu. Aku kasihan pada ibunya Leana tapi aku juga marah karena dia menuduhku menculik anaknya.

"Tenanglah! Leana pasti ditemukan, dia pasti baik-baik saja. Tenanglah." Ayahnya Leana berusaha menenangkan istrinya. Kalau dilihat Leana mirip sekali dengan ayahnya. Hidungnya, matanya, dan bibirnya juga. Aku mikirin apa, tidak tidak.

"Iya Bu, Anda sudah menceritakannya berkali-kali. Saya paham dengan situasi ibu saat ini. Kami selaku wakil sekolah akan membantu semaksimal mungkin." Seru ibu Diane menengahi, agar ibunya Leana bisa lebih tenang dan menerima keadaan.

"Kira-kira Leana pergi ke mana? Apa benar dia janjian denganmu kemaren?" Bisikku pada Steffan untuk mencari kejelasan dalam masalah ini, karena aku juga di tarik ke masalah ini.

"Hahaha iya tapi aku berusaha menghubunginya lagi tapi dia tak menjawab. Kalau pergi ke mana aku juga tidak tahu. Kemungkinan kalau dia di culik bisa jadi." Jelas Steffan dengan tenang. Dia tenang sekali dengan masalah ini seperti dia tidak bersalah, aku saja sudah deg-degan hampir mati karena dituduh menculik Leana. Dasar tidak punya hati.

"Mengerikan, semoga saja yang menculiknya bukan pesikopet, jika pesikopet aku yakin Leana pasti di temukan tinggal nama." Aku hanya menduga dan berharap dia tidak di culik oleh orang jahat seperti itu.

"Suuutt, berharap lah dia baik-baik saja Rhein. Jangan berpikiran negatif."

"Iya-iya, ouw apa mungkin pak tua itu yang menculiknya, lalu memperkosanya, lalu membunuhnya dan memotong-motong tubuhnya, lalu menguburnya di kuburan dekat rumahnya. " aku menebak kalau pak tua itu lah pelakunya, mungkin saja dia kan orang yang aku duga sebagai pembunuh.

"Rhein jangan berfikiran terlalu jauh. Jangan asal menuduh orang. Tak ada bukti kalau pak Darius menculik Leana. Pak Darius bekerja di rumahmu tidak mungkin dia menculik Leana." Steffan tetap saja menyangkal omonganku, terserah saja yang penting aku sudah memberi tahunya.

"Ya mungkin saja bisa terjadi." Seruku malas.

"Kalian berdua malah asik ngobrol sendiri." Bentak pak Effendi dan kami langsung tenang dan memperhatikannya.

Pintu ruangan di ketuk lalu pak kepala sekolah masuk bersama pak tua itu. Aku kaget bukan main, kenapa pak tua itu ada di sini. Apakah dia yang telah menculik Leana, atau yang telah membunuh Leana. Apa yang aku pikirkan sih. Otakku hanya ada pak tua pak tua terus.

Kepala sekolah dan pak tua itu lalu duduk di samping pak Effendi, jadi semua mengelilingi meja. Aku dan Stefan berhadapan dengan Bu Diane dan pak Effendi sedangkan kepala sekolah dan pak tua berhadapan dengan kedua orang tua Leana.

"Pak kepala sekolah begini hasil dari diskusi tadi. Leana sudah tiga hari tidak hadir di kelas karena sakit dan terakhir dia mengadakan janji dengan Steffan bersama tapi dia tidak datang ke rumah Steffan dan dinyatakan hilang sampai hari senin karena sudah tiga hari ini belum ada kabar. Kemungkinan terburuk kalau Leana telah di culik oleh orang lain atau kemungkinan lain dia sengaja membuat janji palsu dan pergi dengan orang lain. Bagaimana menurut bapak, apakah kita bisa lapor ke polisi segera! Silahkan bapak memberikan komentar." Bu Diane memulai pembicaraan dengan bertanya pada pak kepala sekolah.

"Baiklah, terima kasih sebenarnya untuk hal ini sekolah tidak bisa melakukan apa-apa karena kewajiban kita hanya di lingkungan sekolah di luar itu sudah tugas orang tua yang membimbing dan mengawasi anaknya. Jadi mohon maaf untuk ibu sekeluarga kalau kita tidak bisa membantu semaksimal mungkin. Tapi karena melihat ada murid yang menghilang kami pun juga harus bertanggung jawab dan akan membantu sebisa mungkin. Jika ada yang di butuhkan silahkan katakan, kami akan membantu sebelum benar-benar melaporkannya ke polisi. "

"Tapi bagaimana dengan anak saya. Dia sudah empat hari menghilang entah ke mana. Satu-satunya bukti yang saya tahu adalah dia meminta ijin pergi ke rumah temanya yaitu Steffan untuk menyalin pembelajaran kemarin dan belajar dengannya. Selain itu aku tidak tahu lagi."

"Sebelumnya apakah Leana sudah sering ke rumah Steffan?" Tanya pak kepala sekolah dengan tegas. Aku tidak fokus dengan mereka yang aku lihat dan aku pikirkan hanya pak tua itu. Hanya dia. Sampai dia menatapku balik. Aku masih bertahan menatapnya dengan sinih tapi dia hanya menatapku sekilas. Di seperti menghindari tatapanku, hemmz atau jangan-jangan dia yang sudah menculik Leana. Dari tingkahnya yang tenang dia terlihat menyembunyikan sesuatu. Tentu saja dia menyembunyikan sesuatu yaitu jati dirinya yang seorang pembunuh.

"Kalau itu, Leana hanya waktu itu saja minta ijin pergi ke rumah Steffan." Jawab ibunya Leana sambil menahan air matanya agar tidak mengalir.

"Steffan, menurutmu berapa kali Leana pergi ke rumahmu?" Pak kepala sekolah terus menimpali Steffan dengan pertanyaan. Aku hanya diam saja tidak mau ikut campur dengan urusan mereka. Aku hanya melirik pak tua itu berkali-kali. Wajahnya datar seperti biasanya. Dia sekarang hanya fokus melihat ke arah Steffan tapi tidak melihatku sama sekali yang duduk di samping Steffan. Kenapa aku jadi sebel ya karena pak tua tidak mau melihatku barang sekilas saja seperti tadi.

"Belum pernah! Bahkan untuk janjian itu dia juga tak pernah datang. Aku tidak pernah membawa teman ke rumah kecuali Rhein." Seperti biasa dia sangat tenang dalam menjawab semua pertanyaan yang ditanyakan kepadanya. Aku juga tidak menuduhnya menculik dan membunuh Leana karena aku sendiri sedang bersamanya kemaren. Walau wajah dan sikapnya yang tenang bisa jadi hanya sebuah akting tapi aku yakin dia bukan pembunuhnya.

"Hem jadi begitu, apa kau tahu tempat-tempat di sekitar rumah mu yang terlihat berbahaya. Yang dimaksud bahaya di sini adalah mungkin banyak preman atau orang jahat berkeliaran di sana."

"Ada dua kalau tidak salah. Di jalan dekat mini market dan terowongan. Aku pikir tempat itu yang sering ditongkrongi anak-anak nakal atau orang-orang aneh." Hemm yang jadi ancaman menurutku pak tua itu dia kan tinggal di lingkungan kita. Aku frustasi kenapa pak tua itu juga tak melihatku.

"Tunggu! Sebelumnya Leana tidak pernah pergi ke rumah Steffan. Apakah kau memberikan alamatmu ke Leana?" Seruku menengahi. Nah pak tua menjatuhkan matanya padaku. Aku berhasil menarik perhatiannya. Duh senangnya.

"Tidak! Tapi dia bilang tahu rumahku." Steffan menjawab dengan nada bingung.

"Nah itu mungkin saja dia belum pulang juga karena nyasar. Dia nyasar ke tempat yang jauh dan mungkin saja baterai ponselnya habis dan tidak bisa menghubungi yang lain. Jadi Leana mungkin saja sedang mencari bantuan untuk pulang kembali." Tebakku dengan bangga.

"Pemikiran yang konyol sekali Rhein." Seru Steffan bermuka datar. Dan ku lihat semuanya orang bermuka sama menanggapi omonganku. Huhh percuma saja jika aku bicara tidak ada yang mau percaya.

"Mungkin saja bisa seperti itu, otakku tidak pernah salah." Kukuhku yang tak mau kalah.

"Lebih baik kau duduk dan menutup mulutmu rapat-rapat. Ini masalah serius jangan asal menebak." Seru pak Effendi memarahiku. Terserah saja aku tidak perduli toh bukan urusanku.

"Apa salahku aku hanya mengungkapkan pemikiran ku aja. Mungkin saja itu benar." Gerutuku karena pendapatku tidak diterima sama sekali.

"Hahaha pemikiranmu terlalu dangkal." Seru Steffan menghinaku.

"Jangan menghinaku."

"Lebih baik kita serahkan kepada polisi, biarkan polisi menyelidiki tempat-tempat di dekat rumah Steffan yang terbilang rawan terjadi kejahatan. Bahkan biarkan polisi yang akan melacak kemana perginya Leana. Baiklah kasus ini akan di serahkan ke polisi dan kita sebagai kebijakan dari sekolah akan membantu bila diminta keterangan. Rapat ini di tutup sampai di sini, saya kepala sekolah yang akan menghubungi polisi. Pihak keluarga Leana di mohon bisa sabar menunggu informasi yang akan datang. Sekian dari saya terima kasih atas perhatiannya, saya permisi Dulu karena saya sedang ada urusan." Pak kepala sekolah pergi dengan pak tua. Ada urusan apa mereka berdua. Aku harus mengikuti mereka berdua dan mencari tahu apa yang mereka ingin lakukan.

"Mari pak silahkan."

Di tengah perjalanan pak kepala sekolah dan pak tua pergi aku memanggil pak tua untuk menanyakan kenapa dia bisa ada di sini bahkan dia bisa bersama pak kepala sekolah, apakah hubungan mereka.

"Hei pak tua!" Panggilku dengan nada mencibir. Dia berhenti dan memunggungiku. Lalu dia menatapku sekilas tanpa bicara dan dia pergi mengekor di belakang kepala sekolah.

Dia malah pergi begitu saja padahal aku sudah memanggilnya, aku kan majikannya. Seharunya dia menjawabnya. Kira-kira ada urusan apa yah sampai pak tua ada di sekolahku. Aku jadi penasaran ada hubungan apa pak tua dengan kepala sekolah.

............
.
.
.
.
.
.
.............

Sekarang aku di kelas sedang pusing memikirkan tentang pak tua itu. Kira-kira ada urusan apa pak tua itu dengan kepala sekolah. Apakah mereka berteman atau menyangkut masalah Leana. Hemmz yang mana yamg benar.

"Rheina, kau sibuk mikirin aku ya!" Seru Art yang tidak aku pedulikan, dia selalu mengganggu acara berfikirku yang sangat sakral.

"Rheina? Katakan padaku apa yang sedang kau pikirkan tentang aku. Apa aku tampan dan seksi? Ototku juga sudah lumayan terbentuk, mana yang kau suka." Seru Art menunjukan gerakan yang memperlihatkan otot-otot yang menurutku sudah terbentuk sempurna. Aku jadi iri, badanku masih kerempeng seperti biasanya. Padahal aku sudah makan banyak dan minum susu suplemen agar ototku terbentuk. Apa ada yang salah denganku, atau aku cacingan. Aku rasa aku sehat, jangan sampai aku kena cacingan, iyuhh menjijikan.

"Kau membuatku sakit perut Art!" Tukasku malas meladeni Art yang membuatku iri.

"Kau kenapa! Aku sedang menunggu cerita darimu! Kenapa tadi kau di panggil ke ruang BK." Art terlihat antusias mendengar ceritaku, padalah biasanya dia malas mendengar ceritaku.

"Hemm, sebenarnya ini tentang Leana!" Aku mulai bercerita.

"Leana kenapa? Ini ketiga kalinya dia tidak masuk sekolah." Ya itu maksudku.

"Ya itu masalahnya. Leana tidak masuk sekolah bukan karena sakit tapi karena Leana hilang."

"Hahh?! Kok bisa? Lalu apa hubungannya kau dan Steffan di panggil, apa kalian ada hubungannya." Tebak Art tanpa dipikir dahulu.

"Hubungan apa yang kau maksud. Aku tidak memiliki hubungan dengan Leana bahkan di kelas saja jarang bicara. Dia malah lebih dekat dengan Steffan." Sangkalku dengan emosi.

"Lalu kenapa kau juga dipanggil."

"Itu karena Steffan. Dia membuat janji dengan Leana tapi Leana tidak datang. Namun kemaren aku malah bertemu dengan Steffan dan belajar di rumahnya." Jawabku menjelaskan kronologi kenapa aku bisa terseret dalam masalah Leana.

"Hahh kau pergi ke rumahnya, aku iri sampai sekarang kau tidak pernah pergi ke rumahku."

"Kau tak pernah mengundangku dodol."

"Kalau begitu pulang sekolah main ke rumahku ya."

"Tidak! Rhein akan belajar nanti setelah pulang sekolah denganku." Steffan tiba-tiba menyela dan nada bicaranya seolah dia adalah bos di sini.

"Steffan? Aku ingin main, jangan ganggu aku!" Usirku agar dia pergi dan tak mengajakku belajar lagi.

"Kau harus belajar, waktumu tinggal dua hari. Kau harus bisa menghadapi tes dari pak Jhonatan. Dia bilang sebentar lagi ayahmu pulang dan kau harus menyiapkan nilai yang bagus untuk ayahmu. Aku tidak memaksamu jika kau tidak mau aku juga tidak merasa rugi sama sekali. Lebih baik kau pikirkan lagi." Kata-katanya membuatku emosi. Sejak kapan dia bisa mengancamku seperti itu. Dasar kalian orang-orang pintar yang menyebalkan. Dia lalu kembali ke tempat duduknya lagi.

"Aku tidak menyukai cara bicaranya. Aku benar-benar ingin memukulnya. Sejak kapan kalian mulai dekat." Seru Art dengan raut muka tak suka dengan Steffan.

"Entahlah, sepertinya aku tidak bisa ke rumahmu hari ini. Mungkin setelah aku menyelesaikan urusanku dengan Steffan aku bisa main ke rumahmu." Aku benar-benar tidak bisa main untuk waktu ini. Berurusan dengan Steffan sangat melelahkan.

"Kenapa kau begitu tertekan!" Art menatapku dan merangkulku. Mungkin dia simpati melihat raut wajahku yang jelek karena banyak masalah.

"Jika menyangkut ayahku aku tidak bisa berbuat apa-apa. Jadi maaf kalau aku menundanya."

"Tidak apa-apa yang pasti kau akan ke rumahku kan." Jawabku dengan nada lemas.

"Tentu saja kami akan ke rumahmu." Tiba-tiba Crystin ikut bergabung dengan kami.

"Aku tidak mengajakmu." Raut wajah Art seperti enggan mengajak Crystin main ke rumahnya.

"Ehh kenapa kau hanya mengajak Rhein, kami juga ingin ikut main ke rumahmu." Cibir Crystin yang semangat sekali ingin bermain ke rumah Art.

"Mengajak kalian itu membuat kantongku kering." Tolak Art enggan berdebat dengan Crystin.

"Hahaha, tidak apa-apa kan baru sekali ya kan Rhein." Crystin malah merayuku agar Art mengijinkannya ikut.

"Iya. Oh ya sayangku Edi di mana. Dia janji akan membawakanku sesuatu." Langsung terlintas dipikiranku tentang makanan yang aku pesan pada Edi.

"Aku di sini. Aku membawakan oleh-oleh untuk kalian. Sebenarnya aku mau memberikannya saat istirahat terakhir karena kalian yang meminta jadi aku berikan sekarang." Edi yang duduk di belakang lalu mengeluarkan kantong dari tasnya yang ku duga adalah oleh-oleh untuk kami. Wahh, Edi memang baik.

"Wahh kau memang baik sekali Edi, terimakasih. Aku ambil yang ini, sepertinya enak." Seru Crystin yang langsung memilih sendiri oleh-oleh yang dibawa Edi. Aku dan Art masih mengobrak-abrik Kantung plastik yang di bawa Edi namun apa yang aku inginkan tidak ada sama sekali. Katanya dia mau bawakan kesukaanku, tapi mana enggak ada.

"Ini untukmu Gwen, aku menemukannya karena pamanku habis liburan ke Jepang. Ambillah mumpung aku masih baik hati." Edi memberikan kotak kecil yang lucu di dalamnya terdapat miniatur atau apalah itu yang mirip dengan karakter Hatsune Miku.

"Wahh Hatsune Miku, aku suka. Hahaha terimakasih Edi." Gwen menerimanya dengan senang. Aku pikir Edi emang sengaja beli itu untuk Gwen.

"Ciye ciye ada yang bahagia nih. Aku tahu kau memang sengaja membelinya untuk Gwen." Crystin mulai menggoda Edi.

"Tidak! aku mendapatkan hadiahnya dari pamanku." Edi masih menyangkalnya. Aku hanya tersenyum melihat tingkahnya yang lucu karena ketahuan kalau dia memang perhatian dan suka dengan Gwen.

"Terserah sih walaupun kau menyangkalnya aku tahu kalau itu memang untuk Gwen Hahaha." Crystin malah tertawa girang dan membawa oleh-oleh edi yang paling banyak. Mumpung ada kesempatan kali ya dia bisa mendapatkan makanan gratis.

"Ed punyaku mana, kenapa aku obrak-abrik dari tadi tidak ada." Seruku sedih karena yang aku pesan tidak ada.

"Oh punyamu itu langka jadi aku sisihkan sendiri. Ini buatan ibuku. Aku tidak bisa membelinya karena itu jajanan khas Jawa tanpa pengawet. Aku takut busuk di jalan." Aku langsung meraih kotak itu dan memakannya, rasanya manis dan enak.

"Ini enak kok, aku suka. Makasih ya."

"Rhein, Karena kau tidak bisa main ke rumahku sebagai gantinya ayo kita lomba makan samyang." Art tiba-tiba berbicara dan menantangku berlomba makan samyang. Itu bukanya mie pedas dari Korea yang sangat terkenal.

"Hahhh apa? Samyang! Itu makanan Korea buka." Gwen nampak kaget dengan makanan itu.

"Iya, enak lho." Crystin bilang kalau itu enak. Bukanya kita pernah makan itu bareng-bareng tentu saja aku tau rasanya. Enak sih tapi pedas.

"Bukanya itu pedas sekali. Tapi tidak apa-apa sih aku suka. Di kantin ada makanan khas Korea kan. Banyak anak-anak yang gila Korea jadi makanan Korea sangat laris di sini." Gwen ternyata juga menyukai mie pedas itu. Aku tidak terlalu suka tapi aku enggak menolak kalau diajak makan itu.

"Aku juga ikut lomba ya." Crystin unjuk diri untuk ikut lomba bareng aku dan Art. Tanpa meminta pun kami akan makan bersama-sama, aku akan mentraktir mereka makan.

"Kalau mau ikut, bayar sendiri." Art malah bercanda.

"Kau selalu jahat padaku."

"Hei hei hei tenang saja aku yang akan bayar semua. Semua ayo makan samyang rame-rame." Seruku mentraktir mereka makan. Aku selalu mentraktir mereka makan walau tidak sering, karena aku takut kalau mereka tahu aku anak orang kaya, mereka akan  merasa kecil hati dan tidak mau berteman denganku. Mendapatkan teman seperti mereka itu sangat langka, jadi harus dijaga dengan hati-hati.

"Rhein memang hebat." Mereka semua menyorakiku tapi aku hanya tersenyum senang bukan bangga.

..........
.
.
.
.
.
.
..........

"Duhhh perutku sakit. Aku tak menyangka kalau kalah dari Crystin. Dia wanita super." Seruku setelah kembali ke kelas dari Kantin. Aku habis dua mangkuk samyang. Sedangkan Gwen hanya 1 magkuk, Edi 3 mangkuk, Art 3 mangkuk, dan Crystin 4 mangkuk. Dia benar-benar kuat, bahkan perutnya enggak merasa mules seperti aku. Crystin memang hebat.

"Setidaknya kau kalah dariku." Art nampak bangga karena dia bisa mengalahkanku, kami hanya selisih satu mangkuk. Awas saja nanti aku yang akan mengalahkanmu.

"Terserah saja, perutku panas." Aku masih memegangi perutku yang panas dan dadaku yang sedikit sesak. Apa karena aku sarapan sedikit jadi perutku sakit seperti ini.

"Duh kenapa malah mules kayak gini. Biasanya aku tak sesakit ini ketika makan makanan pedas, tapi sekarang. Tidak. Aku akan ke kamar mandi dulu." Gerutuku sambil mengelus perutku yang terasa tidak nyaman alias sakit perut.

"Mau ku antar!"

"Tidak perlu. Apa kau akan menunggu orang yang lagi buang air besar. Menjijikkan. Aku pergi dulu." Jawabku lalu berlari ke kamar mandi.

Aduh kenapa perutku mulas sekali. Aku sudah tak tahan ke kamar mandi. Akhirnya aku sudah sampai di depan pintu kamar mandi. Tapi ada yang aneh kenapa pintunya tidak bisa di buka. Kenapa harus di tutup segala. Apakah kamar mandinya penuh sampai di tutup segala. Kenapa lebay sekali seperti perempuan. Auw perutku sakit sekali. Aku sudah tak tahan aku sudah memeras perutku menahan rasa sakit senada dengan raut wajahku yang begitu jelek. Aku menggedor-gedor pintunya agar ada yang mau membukanya.

"Hey buka pintunya aku mau masuk. Buka pintunya. Cepatlah aku sudah tidak tahan. Buka pintunya apa kalian tuli setidaknya sisakan satu kamar mandi untukku. Auw ku mohon buka pintunya. Buka cepatlah buka." Teriakku kesetanan.

Semua suara aku keluarkan agar ada yang mau membuka pintu kamar mandi tapi setelah aku memaksa dan menggedor-gedor dengan sangat kencang lalu perlahan pintu itu terbuka. Aku langsung saja menyerobot masuk mendorong orang yang sedang membukakan pintu untukku.

"Kenapa lama sekali, aku sudah tidak tahan! Di mana kamar mandi yang kosong?" Tanyaku pada beberapa anak yang bermuka garang yang menatapku dengan aneh tidak berkedip sedikitpun.

Kenapa tidak ada yang menjawabku sama sekali. Aku mencari-cari kamar mandi yang kosong dan ada satu yang terbuka aku hendak memasukinya tapi aku melihat ada tiga orang di sana. Yang dua sedang memegangi satu anak yang sedang meringkuk di bawah di depan wajah wc.

Apa ini sedang ada pembulian. Anak yang di bawah itu wajah dan kepalanya basah kuyup, dia memutar kepalanya dan melihatku. Dia tampak sesenggukan menahan tangis. Matanya merah. Aduh kasihan, sebenarnya aku tidak mau berurusan dengan anak nakal di sekolah ini, tapi melihatnya membuatku berdesir ngilu ingin menolongnya.

"Hei kalian apa yang kalian lakkuu... Ah aouw perutku ......" Tiba-tiba perutku sakit lagi. Ah aku tidak tahan. Maafkan aku tidak bisa membantumu kali ini. Aku harus mengurusi diriku Sendiri dulu.

"Aduhhh aouw perutku sakit di mana kamar mandi yang kosong." Lalu anak-anak nakal itu semua menunjuk kamar mandi cewek dengan wajah merah merona. Sial. Apa mereka gila, apakah aku harus ke kamar mandi cewek. Aduh semua kamar mandi cowok tertutup semua pasti penuh. Bodo amat lah kamar mandi siapapun, cewek maupun binatang aku tidak perduli yang penting bisa mengeluarkan seluruh isi perutku yang menyakitkan. Aku berlari keluar kamar mandi cowok lalu masuk ke kamar mandi cewek yang terlihat beberapa cewek sedang berdandan di wastafel. Kamar mandinya kosong semua aku langsung masuk ke kamar mandi paling ujung dekat pintu masuk. Dan mengeluarkan semua yang membuat perutku sakit. Sial pantatku panas dan perih. Perutku juga rasanya tidak nyaman. Aku membersihkan diriku dan menunggu sejenak mungkin saja nanti perutku mulas lagi nanti aku harus terbirit-birit ke kamar mandi lagi. Bersantai di sini dulu saja toh masih sepi sebentar lagi jam masuk pelajaran, masuk telat sedikit tak apa toh sudah biasa.

"Ah sepertinya perutku sudah mendingan." Aku berdiri dan membenarkan celanaku untuk kembali lagi ke kelas tapi....byurrrrr. aku menganga tak percaya. Apa aku sedang dibully sekarang. Aku merasa geram. Bayangkan saja aku disiram dengan isi tong sampah yang kebanyakan air minum dan pembalut cewek yang tak dicuci. Aku tak bisa membayangkan betapa kotor dan baunya aku. Aku membuka pintu kamar mandi dengan geram. Aku melihat dua cewek sedang menyilangkan ke-dua tanyanya di dada siap menantang.

"Apa yang kalian lakukan!" Ucapku geram.

"Aku hanya memberimu pelajaran karena sudah berani mendekati Steffan. Kau benar-benar menjijikan, auu ada bau busuk di sini. Dasar tong sampah. Hahahaha." Tawanya dengan angkuh. Siapapun tidak ada yang mau berurusan dengannya.

"Tong sampah memang bau Oliv. Hahaha."

"Aku bukan tong sampah." Seruku sambil membuang semua sampah yang menempel di badanku.

"Katakan padaku dengan jujur Rhein. Katakan kalau kau bukan cowok." Bentaknya dengan suara melengking.

"Apa yang kau tanyakan. Aku memang cowok." Jawabku dengan emosi juga. Kenapa cewek ini bertingkah aneh dan menyebutku cewek terus-menerus. Apakah mereka tidak bosan menggangguku yang cuwek ini.

"Kau pasti cewek yang menyamar menjadi laki-laki untuk mendekati Steffanku sayang. Awal bertemu denganmu kau berambut panjang dan memakai baju cewek. Apa aku bisa kau bodohi seperti itu."

"Tidak lah, aku ini cowok tulen." Sangkalku lagi, waktu itu kan cuma taruhan dengan Steffan, sampai aku harus berdandan seperti cewek.

"Sepertinya dia tidak akan mau mengaku. Di benar-benar kukuh."

"Rhein pasti nama asli mu Rheina bukan Rheinallt. "

"Apa yang kalian katakan. Kenapa kalian bicara omong kosong seperti itu. " Aku menutup pintu dan mengguyur badanku dengan air sampai basah kuyup. Bau sampah juga sedikit demi sedikit menghilang. Aku kaget bukan main pintu kamar mandi di buka paksa oleh kedua wanita itu. Apa yang akan mereka lakukan. Mereka menatapku dengan angkuh. Lalu mereka meraba-raba tubuhku ingin membuka bajuku. Ah apa mereka ingin mencabuliku. Ini sangat menakutkan aku tidak suka wanita yang bringas.

"Apa yang kalian lakukan? tidak! Jangan sentuh aku!" Seruku sambil menghalangi tangan-tangan lentik dan nakal itu menarik dan membuka paksa kaos dan jaketku.

"Ayo cepat buka bajunya aku ingin memastikan kalau kau itu benar perempuan dan bukan laki-laki. Kenapa susah sekali." Serunya masih kukuh menyebutku perempuan.

"Kyaaa kenapa dia ngeyel sekali. Aku pegang tanyanya, Oliv angkat kaosnya."

"Tidakkkk! Apa yang kalian lakukan cewek-cewek cabul. Menjauhlah dariku." Aku ingin memukul mereka, tapi aku tidak bisa melakukan sesuatu yang kasar pada mereka berdua karena mereka adalah cewek. Walau mereka berusaha kasar padaku aku tidak bisa menyakiti mereka. Bagaimanapun aku tidak bisa menyakiti seorang cewek walau dia sejahat apapun itu. Aku sekuat mungkin menghalangi tangan-tangan kecil nan lentik itu menyentuh tubuhku. Tapi tangan yang kecil dan ramping itu punya caranya sendiri untuk bisa mencapai tujuannya. Aku langsung menelan ludah dan mataku melotot kaget. Desahan keluar seketika karena sensasi aneh muncul tiba-tiba.

"Arkh..." Desahku karena terkejut ada sengatan aneh mengalir dalam tubuhku. Aku tak percaya kedua tangan lentik Olivia menyentuh kedua putingku dan memencetnya tanpa melepaskan ya. Aku langsung kaget dan terangsang hebat karena malu. Benda pusakaku mencuak membentuk tenda yang kokoh. Kedua wanita itu mematung dengan wajah memerah dan mulut menganga. Awalnya mereka menatap kedua tangan Olivia yang masuk ke kaosku dan berhenti di sana. Lalu dua pasang mata itu mengalihkan pandanganya ke tenda yang tak sengaja terbuat. Aku hanya menutup mulutku antara malu dan Olivia yang tak melepaskan kedua tanyanya dari putingku.

"Kyaaaaa...." mereka berdua berteriak karena sudah tersadar dan langsung pergi meninggalkan aku sendirian yang membisu di kamar mandi. Mimpi apa aku semalaman bisa medapatkan kejadian memalukan seperti ini. Aku seperti tidak ada harganya jadi cowok. Aku lalu merenung sebentar, setelah tersadar aku keluar kamar mandi dan kembali ke kelas.

.........
.
.
.
.
.
..........

Aku kembali dengan keadaan basah kuyup dan bau sampah menyengat di seluruh kelas. Kelas ramai menertawakanku yang basah kuyup seperti terkena badai topan yang dahsyat. Aku merasa badanku tidak bau lagi tapi teman-temanku semua menutup hidung karena bau. Seharunya bau sampahnya bisa berkurang karena aku mengguyurnya dengan air.

"Apa yang sedang terjadi padamu!" Tanya pak Herry dengan tampang sangarnya.

"Tidak ada, aku akan berganti baju olahraga dulu pak." Jawabku tanpa sopan santun.

"Kyaaa apa Rhein sedang dibully. Liat badanya berantakan, basah kuyup, dan bau auwwww baunya."

"Rhein sangat bau, iyuuuh kau Bau sekali Rhein. Apa kau habis mandi di kandang babi."

"Akan ku bunuh kalian semua kalau mengataiku sembarangan." Seruku mengangkat tangan seperti memegang palu yang siap menghantamkanya ke mereka untuk menggertak agar tutup mulut dan tidak mengataiku lagi karena aku sedang dalam mood yang buruk.

"Aku tidak bisa mentolerin tindakan pembully-an. Katakan padaku siapa yang melakukan semua ini. " Tanya pak Herry dengan tampang marah. Yah kalau dia tahu kalau aku dibully cewek bisa jatuh harga diriku, bahkan aku baru saja dicabuli seorang cewek. Aku tidak bisa mengatakannya.

"Tidak ada yang membulliku pak. Aku saja yang sedang ceroboh. Aku tadi sakit perut karena kebanyakan makan samyang dan lari terbirit-birit ke kamar mandi yang tak sengaja menabrak orang sampai aku terjungkal ke tong sampah. Alhasil aku bercengkrama dengan sampah-sampah di kamar mandi. Aku langsung menyelesaikan sakit perutku lalu mengguyur seluruh tubuhku untuk menghilangkan baunya. Bukanya sudah tidak bau. Apakah aku masih bau." Ceritaku yang aku sendiri sedang berfikir untuk mengarang cerita untuk mencari alasan.

Awalnya pak Herry tidak percaya sama sekali tapi teman-teman sekelas menyakinkannya karena mereka selalu bilang kalau aku itu ceroboh, bodoh, dan terlalu ambisius. Yah walau aku juga sudah mengakuinya. Aku sadar diri kalau aku ini memang sebenarnya tidak pantas dilahirkan karena aku tidak membawa keberuntungan sama sekali.

Aku selalu diikuti rasa sial dalam hidupku. Walaupun aku sudah berhati-hati sekalipun kesialan pasti mengikutiku. Sebenarnya aku ini salah apa dulunya sampai aku menjadi orang yang tak berguna sama sekali. Hahhh aku tidak mau memikirkannya lagi, sudah capek aku beribu-ribu kali memikirkan hal itu tetap saja tidak ada jalan keluar. Aku hanya berdoa setidaknya berikan satu keberuntungan padaku. Itu saja.

............
.
.
.
.
.
.
............

Hariku begitu melelahkan. Aku ingin pulang ke rumah secepatnya dan tidur dengan nyaman.

"Rhein, bisakah kau tunggu aku sebentar di kelas. Aku ada urusan sebentar dengan pak Effendi, jadi jangan coba-coba kabur. Aku hanya sebentar."

"Iya! Cepat sana pergi mumpung moodku hari ini sedang kacau."

"Baiklah. Aku akan cepat kembali, apa kau akan merindukanku."

"Hanya orang gila yang menanyakan hal itu."

"Aku akan kembali."

Kenapa dia tidak pergi-pergi, menyebalkan sekali bikin moodku jadi hancur lagi seperti tadi. Kapan aku punya hari yang tenang. Setiap hari pasti ada masalah muncul. Memang dalam hidup pasti ada cobaaan dan masalah. Tapi tak sebanyak diriku kan. Aku merutuki diriku sendiri.

Aku menghela nafas panjang memandang luar jendela dengan gusar. Mataku langsung tertuju pada seseorang misterius yang sedang berjalan di bawah sana. Siapa lagi kalau bukan pak tua. Pak tua yang misterius itu aku selalu penasaran dengan kehidupannya.

Tidak tidak tidak, aku berfikir apa. Kenapa aku berubah pikiran sekarang, misiku sekarang adalah mengungkap kalau pak tua adalah seorang pembunuh, aku yakin akan hal itu. Aku penasaran dengan kehidupannya yang berarti ada hubungannya dengan identitas pak tua.

Kenapa aku masih galau tentang itu. Lihat dia seperti karakter jahat dalam film. Postur tubuhnya yang tinggi sedikit bungkuk karena usia. Rambutnya yang sedikit gondrong, acak-acakan, berminyak, kotor, dan jadul banget modelnya. Wajahnya yang tegas dengan sedikit brewok menghiasi rahang bawah dan sedikit kumis yang terlihat tua. Beberapa rambutnya terlihat sudah ada sedikit uban. Cara berjalannya, seperti model eh bukan seperti pembunuh bayaran di film-film. Apakah dia seorang pembunuh bayaran, tapi di usianya yang tua bukanya dia sudah pensiun kalau jadi pembunuh bayaran. Tapi bagaimana jika dia malah lebih handal dari pembunuh bayaran yang masih muda.

Ya ya ya sekarang aku sudah berpikir terlalu jauh tentang pak tua sampai aku bingung mana yang benar untuk diri pak tua itu. Pakaiannya yang berlapis-lapis dan tebal itu masih sempat bersandar di bahunya yang lebar. Dari pengamat ku dia begitu menawan.

Apa aku sudah gila? Mungkin saja karena di otakku hanya ada wajah pak tua itu. Secepatnya aku harus mengungkap misteri ini.

"Kau terlalu banyak melamun." Seru Steffan yang mengagetkanku memandangi pak tua dari atas bahkan sosoknya sudah hilang dari sana.

"Hemm, ada urusan apa dengan pak Effendi?" Tanyaku padanya yang Lama sekali menemui pak Effendi.

"Hanya masalah tentang Leana." Jawabnya singkat.

"Bagaimana kabarnya. Apa dia sudah ditemukan." Tanyaku lagi karena ini berhubungan dengan Leana.

"Aku belum tahu, tapi aku diminta memantau ponselku terus mungkin saja Leana memberikan pesan kepadaku jika dia masih hidup. Yang terpenting sekarang adalah kita belajar. Ada seseorang yang menitipkan surat untukmu."

"Dari siapa? Apakah seorang cewek, apa dia penggemarku atau dia menembakku dengan sepucuk surat cinta. Auw romantis sekali." Kataku senang sambil menerima surat berwarna pink dengan gambar hati berwarna merah.

"Baca aja!"

Aku membuka dan membaca surat yang terlihat cantik itu. Warna amplopnya pink, lucu sekali dia pasti imut. Aku membuka dan membacanya. Tulisanya acak-acakan seperti anak Tk dan yang paling menyebalkan dan bikin aku mual adalah pengirim suratnya. Hilang harapanku untuk memiliki pacar yang cantik dan imut. Yang mengirim adalah si makaroni (Mike) itu. Aku langsung meremas surat itu sampai berbentuk bola kecil dan melemparkannya dari jendela. Steffan hanya tersenyum kecil padaku.

"Kau menyebalkan!"

"Ahh capeknya aku akan pulang dan makan strawberry lagi." Aku meregangkan tubuhku agar otot-ototku lurus lagi. Rasanya lelah sekali. Akhirnya selesai juga belajarnya.

"Ayo pulang bareng!"Steffan mengajakku pulang bersama, dan aku enggan pulang bersamanya.

"Enggak, aku mau pulang sendiri." Tolakku dan langsung berdiri bersiap pulang.

"Rumah kita searah, ayo pulang bareng. Aku akan mengantarmu pulang, aku bawa sepeda motor." Tawarnya lagi, yah tak apa sih pulang bareng kalau dia bawa kendaraan sendiri. Setidaknya aku tidak capek lagi berjalan sampai rumah.

"Baiklah kalau kau memaksa."

"Rhein?" Panggil seseorang di depan pintu kelas.

"Ahh Victor! Ada apa?" Jawabku kaget, ternyata Victor sodaranya Crystin.

"Aku menunggumu!" Aneh, kenapa dia bicara seperti itu padaku.

"Kenapa kau menungguku! Apa kau butuh sesuatu padaku."

"Tidak! Aku hanya akan mengantarmu pulang saja. Kau tidak keberatan."

"Iya tapi aku..." Jawabku terpotong karena bingung harus bagaimana. mereka menawariku tumpangan dan aku tidak menyukai keduanya, mana yang harus aku manfaatkan untuk saat ini.

"Yah ini sebagai rasa teimakasihku pada keluargamu karena sudah membantu keluargaku." Tiba-tiba Victor berbicara tentang keluargaku.

"Membantu, apa maksudnya." Tanyaku penasaran.

"Apa kau tidak tahu kalau kakakmu Robert itu dijodohkan dengan kakakku."

"Enggak tuh!" Jawabku santai.

"Dulu mereka pacaran dan karena perusahaan ayahku sedang mengalami penurunan, ayahmu membantu perusahaan ayahku dan tak sadar kalau kakakku Jennifer adalah pacar dari kakakmu. Dan mereka bersepakat untuk menjodohkannya." Terangnya yang sebenarnya aku tidak terlalu percaya, karena kak Robert sama sekali tidak cerita soal Jennifer sama sekali. Apakah kak Robert merahasiakannya dariku, tapi kenapa.

"Hei benarkah kok aku tidak tahu." Timpalku yang memang aku tidak tahu sama sekali dan kenapa Victor baru memberitahuku sekarang.

"Aku ragu kalau kau tahu Rhein, Karena kau itu orang yang tak pernah perduli dengan kehidupan di sekitarmu. Kau itu terlalu cuek, malas, bodoh, dan...."

"Kau tidak usah ikut-ikutan...'' Bentakku pada Steffan yang membuatku emosi.

"Biar hubungan keluarga kita bisa semakin akrab kita harus membangun hubungan yang baik kan. Aku akan selalu membantumu sebagai calon kakak ipar. Ayo kita pulang, sekarang kita adalah keluarga tidak perlu sungkan."

"Aku bingung!" Aku berusaha menolak sih karena aku agak tak suka cara bicaranya Victor. Walaupun mereka berdua begitu menyebalkan dan aku benci mereka tapi aku lebih memilih bareng sama Steffan.

"Rhein kau bisa pulang dengan Victor, aku tidak mau mengganggu masalah keluarga kalian. Aku akan pulang sendiri dan mampir ke toko sebentar. Aku akan pulang duluan, sampai jumpa." Steffan lalu pergi begitu saja tumben dia tidak bersikap menyebalkan seperti biasanya. Terserahlah yang penting aku bisa pulang.

Akhirnya aku pulang dengan Viktor, dalam perjalanan dia bercerita banyak tentang kehidupannya bahkan tentang sekolah kami. Aku hanya menimpali omongannya seperlunya tak banyak, karena aku malas bicara sekarang. aku benar-benar capek. Tak lupa dia bercerita tentang kemesraan kak Robert dengan Jennifer kakaknya Victor. Hanya dengan mendengar ceritanya saja aku merasa sangat iri dengan Jennifer. Kak Robert memang orang yang baik dan romantis. Aku saja selalu dimanjakannya, hahahaha beda dengan kak Everyn.

........

......

.
.
.
.
.
.
.
.
.

TBC ....

Jangan lupa tinggalkan jejak👣 berupa vote dan comen😋 .....see you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro