Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

MOM-Plan 08

.
.
.
.
.

Kenapa aku tak sadar kalau aku sudah membawa anak menyebalkan itu denganku. Aku yang sudah sadar langsung melepaskan tangannya dan berjalan meninggalkannya. Aku marah bercampur malu karena dia malah mengikutiku terus sampai di kantin.

"Pergilah, berhentilah mengikutiku!" Teriakku mengusirnya namun dia malah diam saja dan tak memperdulikanku dan terus berjalan mengekor di belakangku.

"Sebenarnya apa yang kau inginkan. Kenapa kau terus menggangguku. Bersikaplah seolah-olah kita tak saling kenal lalu berhentilah menyuruhku untuk belajar ini itu, karena kau bukan siapa-siapaku." Seruku marah menuntut padanya agar dia tak menggangguku dengan alasan konyol seperti itu.

"Rhein! Aku hanya ingin kau menjadi anak yang pintar dan bersikap baik saja. Aku melakukan ini karena aku sayang padamu. Setidaknya kau mendengarkanku sedikit saja. Aku akan selalu membantumu kapanpun itu." Ocehnya yang hanya mengiang-iang ditelingaku karena aku sudah bosan mendengarkan celotehannya.

"Hei, sadar diri! Kamu siapa? Kita tidak ada hubungan apapun jadi berhentilah bersikap kalau kau perduli denganku." Bentakku dan mendorong mundur dadanya untuk menggertaknya agar dia takut. Tapi dia tak bergeming sama sekali. Kenapa aku harus menghadapi orang seperti dia.

"Ok! Aku akan jujur kenapa aku melakukan itu. Jujur aku melihat kalian anak-anak nakal yang kerjaannya bermain ketika pelajaran, membolos, tidak mendengarkan guru, bisanya menyusahkan orang tua, aku begitu merasa marah karena itu. Mereka kerjaannya hanya membuat onar, membuat masalah bagi orang lain, seharusnya di usianya yang muda bisa melakukan sesuatu yang baik sehingga masa depanya pun juga baik." Jelasnya yang membuatku marah seratus persen. Apa dia sedang menyindirku. Memang siapa dia beraninya mengurusi urusan orang lain. Hanya guru yang patut bicara seperti itu bukan murid seperti dia yang sombong dan sok tau.

"Berhenti! Itu bukan urusamu pak Steffan! Hanya orang bodoh yang berpikiran seperti itu."

"Rhein! Ok, aku memang salah kalau aku terlalu mencampuri urusan orang lain. Tapi kalau dirimu, akan aku lakukan apapun agar kamu bisa berubah. Aku sangat senang jika bisa dekat denganmu."

Aku senang kalau dia bisa sadar diri kalau dia tak berhak ikut campur urusan orang lain tapi kenapa masih bersikukuh mau dekat denganku. Apa maksudnya mau dekat denganku. Apa dia mau mempermalukanku dengan membandingkanku yang bodoh dengan dirinya yang super pintar.

"Terserah kau saja!"

"Apa sekarang kau sudah memaafkanku. Apa kita bisa berteman sekarang." Aku hanya bisa menggeram meladeni anak ini. Tak ada maaf untuk anak pengganggu seperti dia.

"Tak ada maaf unt....emmzz... Sial apa yang kau lakukan. Menjauhlah dariku." Seruku marah padanya karena berani sekali dia menciumku saat aku bicara. Bahkan saling bertubrukan bibir dalamku pula. Aku tak tahu apakah wajahku sudah memerah atau malah menghitam karena malu. Aku mendorong tubuhnya cukup kuat sampai dia menjauh tiga langkah dariku. secepat kilat aku langsung membersihkan bibirku dari kotoran bibir Steffan berulang kali sampai ku rasa bersih. Aku melototinya agar dia takut. Sepertinya dia merasa menyesal dan takut denganku.

"Maaf aku tak bermaksud begitu, aku hanya tidak sadar dengan perbuatanku sendiri."

Apa!tidak sadar. Apa dia gila, melakukan itu dengan tidak sadar. Dasar mesum. Pasti dia melakukan itu karena sedang nafsu denganku. Aku bicara apa, kenapa otakku jadi gila karena di cium Steffan yang kedua kalinya.

"Dasar menjijikan!" Kata-kata itu yang bisa keluar dari mulutku. Aku antara jijik dan malu karena di cium sesama laki-laki. Menurutku itu sangat aneh sekali.

"Rhein, maafkan aku, aku tidak sengaja melakukan itu." Rancaunya berkali-kali meminta maaf sambil menghalangi jalanku.

"Rhein.... Maafkan aku!" Mohonnya sambil memegang dua lengan atasku dan menunduk melihat wajahku yang terlihat kesal. Aku malah enggan menatapnya dan memalingkan wajahku ketika dia berusaha melihat wajahku. Aku lalu melepaskan kedua tangannya dariku.

"Aku tak kan memaafkanmu. Kau telah menciumku dua kali. Taukah kamu, kalau aku tidak suka itu. Aku membencimu karena kau sudah menciumku. Lebih tepatnya mencuri ciuman pertamaku." Marahku padanya. Tapi tunggu, ciuman pertama. Ciuman pertama itu bukanya ciuman antara lawan jenis, cewek dan cowok. Jadi, kalau cowok dengan cowok tidak dihitung sebagai ciuman pertama kan. Itu benar sekali, sukurlah aku jadi tidak ternodai. Walau sedikit risih juga dicium oleh cowok.

"Rhein aku minta maaf." Ucapnya berkali-kali dengan nada yang datar. Seperti itukah kalau dia minta maaf.

"Iya... Sana pergi!" Seprtinya dia tidak akan lelah mengucapkan kata maaf itu berulang kali. Aku risih mendengarnya. Akhirnya aku mengalah agar dia mau pergi menjauh dariku.

"Tidak! aku akan ikut denganmu." Ada apa dengan anak ini.

"Tidak, aku hanya ingin sendiri." Tolakku lalu pergi.

"Aku akan menemanimu." Katanya lalu berjalan mengikutiku.

"Hahhh, aku akan membolos! Kau yakin akan membolos denganku." Tanyaku memperingatkannya kalau aku akan membolos.

"Iya, kalau denganmu aku tak masalah tuh." Apakah dia sakit, kurasa tidak. Tapi kenapa sikapnya aneh sekali. Ya sudah lah, terserah aku tak perduli.

"Ahh hahahaha, baiklah. Tapi jangan dekat-dekat denganku." Jawabku sambil tertawa kikuk dan menjauh darinya. Dia hanya tersenyum tipis menakutkan.

"Baiklah tak masalah." Serunya tersenyum lebar karena melihat tingkahku yang terlalu berlebihan.

.
.
.
.
.
.

Sekarang aku sedang mengantri mengambil makanan. Jangan salah walau belum istirahat tapi kantin juga sedikit ramai walau tak seramau saat istirahat. Seperti dalam pikiran kalian, yang ada di kantin di jam segini adalah anak-anak nakal yang melarikan diri dari pelajaran. Itu betul sekali.

Aku membolos bukan berarti aku anak nakal yang suka membully maupun merokok dan mengganggu orang lain. Aku gemar membolos hanya karena aku sedang jenuh. Tapi tetap saja imageku jelek karena sering membolos. Tak apa, yang penting aku tidak berperilaku jahat dan kejam.

"Kau yang bayar, aku tak bawa uang!" Kataku sarkas sambil melihatnya dengan wajah malu-malu tapi mau. Ternyata ada gunanya mengajaknya ke kantin, jadi ada yang membayari makananku. Kalau tidak ada dia percuma ke kantin tidak membawa uang. Aku memang bodoh.

"Iya! Rhein makan di sana yukk!" Jawabnya tersenyum tipis dan mengajakku makan dengannya.

"Apa? makan sendiri sana."

"Ahh bukanya kita sudah bawa makanan sendiri. Apa kau mau berbagi makanan denganku." Bukanya dia pintar tapi malah salah mengartikan perkataanku. Kurasa anak ini tidak tau yang aku maksud adalah kalau aku tak sudi duduk bersama dengannya.

"Ogah. Aku bilang kita makan di tempat yang berbeda, mengerti."

"Kenapa? Bukanya kita sudah baikan." Tuntutnya yang tidak mau jauh dariku.

"Belum mengerti juga. Ku bilang jauh-jauh dariku. Aku memaafkanmu bukan ingin menjadikanmu temanku. Mengerti."

"Sudah tak ada tempat lagi. Ayo ke sana." Ku tengok semua kursi, banyak yang kosong kok. Cuman setiap tempat sudah diisi minimal satu orang. Duh aku tak mau berurusan dengan orang lain yang bermasalah sepertiku. Terpaksa aku harus makan bareng Steffan.

Aku berjalan di belakang Steffan yang mengajakku ke tempat duduk yang dia pilih. Aku sudah lelah dengan Steffan dan mengiyakan apa yang dia katakan. Aku berjalan terlalu santai tanpa memperhatikan sekelilingku. Sampai kejadian naas pu terjadi.

"Ehhh..." Seruku tiba-tiba karena aku di dorong seseorang dari belakang dan makananku jatuh tumpah semua menimpa kepala seseorang. Aku tak percaya makanan gratisku hilang begitu saja dalam hitungan detik.

"Maaf!" Serunya lalu pergi. Sial dia sengaja mendorongku sampai makananku tumpah semua. Awas saja kau.

Untung aku langsung di tangkap oleh seseorang, dia melingkarkan tangannya di perutku sehingga aku tak jatuh ke depan. Ngomong-ngomong tangannya besar sekali dan berkerut, siapa dia. Aku langsung memutar badanku ke belakang untuk melihat siapa dia. Aku langsung melotot kaget. Dia dia dia pak tua itu, kenapa dia ada di sini.

"Pak tua kenapa kau ada di sini!" Tanyaku dengan suara bergetar karena kaget. Detak jantungku yang berdetak cepat seperti sedang mengikuti lomba lari keong.

"Saya hanya mau mengantar ini." Serunya datar dan menyerahkan tas belanja kecil Padangku yang langsung aku terima dengan tegang. Tentu saja aku tegang, aku berhadapan dengan seorang pembunuh yang misterius.

"Apa ini!" Tanyaku memastikan.

"Baju dan uang saku dari nyonya. Baiklah saya pergi dulu." Pamitnya lalu pergi begitu saja.

Dia datang hanya mengantar ini dari ibu. Duh kenapa jantungku jadi berdetak kencang sekali setiap ketemu pak tua itu. Ini bukan getaran cinta kan, ini hanya getaran rasa takut ketika bertemu pak tua itu. Aku tak boleh takut dengan dia. Duh bayangan wajahnya selalu memenuhi otakku. Husss, pergi pergi!

.
.
.
.
.

"Rhein kau tak apa kan?" Tanya Steffan dengan wajah khawatir.

"Iya..." Jawabku jutek.

"Rhein?" Panggil seseorang yang berada di depanku yang seluruh tubuhnya penuh dengan makananku yang tumpah tadi. Ihh menjijikkan.

"Eh kau... Kau yang melempar bola padaku kan!" Seruku lantang karena baru menyadari yang memanggilku adalah dia orang yang melempar bola sembarangan sampai kena kepalaku.

"Kenapa kamu hanya mengingat kejadian itu, apa kau tahu siapa namaku?" Tanyanya dengan mimik wajah yang menuntut aku harus mengingatnya.

"Kau? Siap, aku gak ingat! Hehehe." Jawabku cepat tanpa berfikir untuk mengingat namanya.

"Aku Mike Dalton."

"Iya terus kenapa?"

"Lihat apa yang kau lakukan padaku. Bukanya kau bisa melihatnya."

" Oh maaf aku tak sengaja. Kalau bukan karena orang itu, aku tidak akan menumpahkannya di kepalamu, jadi ini bukan sepenuhnya salahku."

"Apa kau mau mengelak. Setidaknya kau harus bertanggung jawab."

"Hehhh, menyebalkan sekali. Aku harus apa?"

"Cium aku sekarang." Apa dia gila meminta cium padaku. Apa matanya tertutup pasta yang tertumpah di kepalanya sampai dia tak bisa melihatku dengan benar.

"Hahhh. Apa kau gila. Mungkin aku salah dengar kali, kamu ngomong apa barusan." Tanyaku balik memastikan apa aku salah dengar apa yang dia katakan.

"Aku bilang cium aku." Serunya kekeuh.

"Aku pikir memang kau yang gila. Kalau kau mau dicium minta cium sama pacarmu sendiri bukan dengan laki-laki sepertiku."

Seketika aku langsung mengingat bayangan Steffan yang menciumku tadi. Pipiku pasti sudah memerah.

"Aku tak punya pacar jadi aku ingin kau menciumku."

"Kenapa harus minta cium hahh, tak ada permintaan yang lain. Aku sedang tidak ingin bercanda sekarang." Tawarku.

"Aku juga tidak sedang bercanda sekarang, aku sungguh-sungguh."

"Sana! Cium pantat ayam, yang lebih menggoda!" Bentakku lalu berjalan pergi dari hadapannya.

Kepalaku pusing harus menghadapi laki-laki seperti dia. Pertama dengan Steffan lalu sekarang dengan dia, nanti siapa lagi yang bakal membuat hariku menjadi buruk. Siapa lagi yang akan meminta ciuman denganku. Kalau perempuan dengan senang hati aku akan menciumnya. Tapi kalau laki-laki akan aku tendang sampai ke langit.

"Apa yang kau katakan. Tunggu! Ok, aku tidak akan meminta hal aneh seperti ciuman. Setidaknya kau mau membersihkannya untuk bertanggung jawab atas apa yang telah kau lakukan." Cegahnya dengan menarik tanganku agar aku berhenti. Aku berhenti dan menatapnya tak suka.

"Hanya itu kan, baiklah! Steffan kau duduklah dulu nanti aku akan menyusul." Pintaku pada Steffan tapi dia seperti enggan menurutinya.

"Tapi tap...." Protesnya yang langsung ku potong agar tak banyak penolakan yang muncul dari mulutnya yang membuatku marah.

"Sudah pergi sana!" Usirku, walaupun enggan tapi dia tetap menurut.

Aku membersihkan rambutnya serta wajahnya namun dia tak henti-hentinya memandangiku terus-menerus. Sebenarnya apa yang sedang dia pikirkan. Dari raut wajahnya sudah terlihat kalau dia tipe-tipe orang mesum. Apa jangan-jangan dia sedang berpikiran jorok tentangku.

"Berhentilah memandangiku seperti itu. Sudah selesai." Kataku dengan nada judes. Setelah selesai membersihkannya dengan tisu, aku langsung pergi meninggalkannya. Namun dia malah mengikutiku.

"Hei mau ke mana?" Tanyanya dengan memegang pundakku untuk menghentikan langkahku.

"Pergi makan, emang mau kemana lagi!" Jawabku judes.

"Ayo beli makanan lagi, kali ini aku yang traktir. Ayo ikut aku!" Ajaknya memaksa dengan menarik tanganku sampai aku mengikuti langkah kakinya. Dia menanyaiku makan ini itu dan bla bla bla. Terserah saja, asalkan bisa di makan, akan aku makan.

"Ayo duduk di sana, itu tempat favorit ku di sana tempatnya nyaman!" Ajaknya tanpa melepaskan tanganku. Ini anak maunya apa.

"Iya." Jawabku malas.

"Rhein kemari!" Aku bingung harus memilih yang mana. Steffan yang pertama kali mengajakku duduk di sana sedangkan dia terakhir. Tapi aku benci kedua-duanya aku harus bagaimana.

"Rhein?" Tanya mereka berdua bersamaan. Berasa tertangkap basah selingkuh dan sedang di minta penjelasan. Aku mikir apa sampai segitunya.

"Iya." Aku lalu berjalan duduk di depan Steffan tanpa harus memilih yang membuat pusing. Toh cuma makan saja setelah itu pergi.

"Aku ikut!" Seru Mike lalu duduk di sampingku tanpa ijin. Steffan hanya memandang tak suka padanya.

.
.
.
.
.
.

"Hallo! kenalan dulu, aku Mike dari kelas 11A, kamu Steffan kan. Jangan binggung kenapa aku tahu tentangmu. Aku tahu karena kamu cukup terkenal walau di bawahku sih, hehehe. Kau terkenal anak yang pintar dan baik, ku lihat kau tampan juga walau lebih tampan aku sih. Banyak guru-guru yang memuji-mujimu pintar bahkan Anak-anak perempuan banyak yang jatuh hati padamu. Ngomong-ngomong kau sudah punya pacar belum?" Mike mulai membuka obrolan dengan Steffan yang ujung-ujungnya tetap saja mengunggulkan dirinya sendiri. Dia terlalu percaya diri, itu membuatku geli ingin menertawakannya sekarang juga.

"Belum!" Jawab Steffan tanpa melihat Mike dan tetap mengurusi makanannya sendiri. Sepertinya dia enggan bicara dengan Mike.

"Jadi Rhein bukan pacarmu kan, bagus jadi aku masih punya kesempatan dong hehehe."

"Apa yang kau katakan!" Tanyaku kaget.

"Tak ada hehehe. Kamu kemaren mendapat nilai tertinggi satu sekolahan untuk kelas 1, dengan nilai semua seratus, waow menakjubkan kira-kira kau sepintar apa, apa melebihi Albert Einstein atau Rudi Habibi. Hahaha lupakan saja. Oh ya Rhein kamu kemarin dapat rangking berapa."

"Berrrr, apa uhhukkk uhhukkk ahhh ahhh." Kagetku sampai memuntahkan minuman yang baru saja ingin aku telan. Sakit sekali tenggorokanku, air minumnya hampir masuk ke hidungku.

"Pelan-pelan kalau minum!"

"Jangan bahas itu." Marahku sambil membersihkan mulut dan meja yang kotor terkena muntahanku.

"Lalu kita bahas apa, pacarmu? Bagaimana pacarmu, dia tampan apa lebih tampan dariku?"

Plakkkkk, ku pukul kepalanya cukup keras lalu dia mengadu kesakitan. Selain banyak ngomong dia juga menyebalkan.

"Kenapa kau memukulku." Serunya sambil memasang wajah anak anjing dengan raut sedih. Kau pikir aku akan tertipu dengan wajahmu itu.

"Karena kau gila."

"Aku tak gila. Kenapa kau selalu menghinaku gila. Hanya kau Rhein yang berani menghinaku sampai segitunya. Kalau bukan kamu mungkin sudah ku..."

"Mau apa hahhh. Bisa tidak kau diam sebentar! Suaramu seperti nyamuk yang terbang di telingaku. Dasar pengganggu." Bentakku tak suka.

"Kau merasa terganggu?"

"Sudah tahu kenapa masih tanya."

"Hahahaha kau lucu kalau sedang marah."

"Sudah diam!"

"Hahaha."

"Rhein, kira-kira kapan kita bisa belajar matematika bersama?" Tanya Steffan setelah kami selesai makan. Dia antusias sekali ingin belajar bersama denganku. Kurasa dia terlalu ikut campur dalam kehidupanku.

"Hahh kau bicara apa. Tidak ada yang namanya belajar. Apa lagi matematika." Tolakku tanpa melihat wajahnya dan sibuk melihat apa yang dibawakan ibu tadi.

"Kalian mau mengerjakan tugas kelompok, butuh bantuanku. Aku cukup pintar di pelajaran matematika lho." Seru Mike yang tiba-tiba menawarkan bantuan, aku tak butuh. Lagian pasti Steffan juga sudah pintar dan tidak butuh bantuannya.

"Kita hanya belajar bukan mengerjakan tugas kelompok." Jelas Steffan yang masih setia menunggu jawabanku.

"Jadi kalian mengadakan klub belajar. Aku boleh ikut." Tanya Mike antusias.

"Aku terserah Rhein saja." Kata Steffan yang meminta pendapatku.

"Rhein boleh aku ikut?" Tanya Mike sambil menggoyang-goyangkan badanku.

"Terserah kau saja." Jawabku tak perduli.

"Yes berarti boleh. Kapan di mulai, nanti?" Kenapa Mike banyak tanya ini itu, malas aku menjawabnya.

"Aku sudah selesai aku mau ke kamar mandi. Aku pergi dulu, terimakasih makanannya." Seruku lalu hendak berdiri namun di cegah Mike.

"Eh aku ikut!" Serunya tiba-tiba.

"Apa sih, ngikut aja dari tadi." Bentakku.

"Aku mau membersihkan rambutku yang terkena pastamu tadi, lagi pula kamar mandi kan milik umum jadi siapapun boleh masuk kan." Dia pandai sekali mencari alasan untuk mengikutiku.

"Haiss terserah kau saja."

"Rhein nanti pulang sekolah kita jadi belajar bareng kan." Tanya Steffan memastikan kalau nanti kita akan belajar bersama. Aku tentu saja tidak mau, aku tidak suka belajar.

"Aku enggak mau." Tolakku sambil memasang muka malas.

"Lho kok enggak mau, nanti cuma aku dan anak pintar ini doang dong. Aku juga enggak mau." Protes Mike yang tak mau ikut karena aku juga tidak ikut belajar.

"Rhein kamu masih ingat tidak, apa yang di katakan pak Jhonatan. Waktumu tinggal Lima hari lagi. Ku harap nanti pulang sekolah kau harus bisa."

Benar juga kalau aku tak bisa mengerjakan tes dari pak Jonathan nanti pasti pak Jonathan sendiri yang bakal mengajariku. Aku tak kan bisa menolak permintaan pak Jonathan. Apa boleh buat aku harus memilik antara pak Jonathan atau Steffan. Mending dengan Steffan saja kali ya, walaupun aku benci banget sama dia. Setidaknya dia sudah mau mengajariku.

"Ah iya iya." Jawabku akhirnya setelah melalui proses berfikir yang panjang.

.
.
.
.
.
.

Sekarang aku sudah berada di kamar mandi untuk ganti baju tanpa mandi dan gosok gigi. Badanku juga tidak bau sama sekali. Tak akan ada yang curiga kalau aku belum mandi kecuali teman satu kelasku.

"Rhein?" Panggil Mike dari balik pintu kamar mandi yang sedang aku pakai. Kenapa dia menungguku, kalau sudah selesai tinggal pergi saja dari sini.

"Ada apa!" Jawabku enggan.

"Boleh aku masuk?" Tanyanya yang membuatku kaget sampai melotot. Dasar mesum.

"Masuk saja kalau mau ku tendang, dasar mesum!"

"Aku tidak mesum."

"Lalu apa?" Jawabku jengkel.

"Aku hanya ingin dekat denganmu karena taruhan itu."

"Apa?" Tanyaku memastikan walau aku dengar dengan jelas tapi aku ingin mendengar penjelasannya tentang apa yang dia katakan tadi.

"Ah bukan itu, karena aku mau bertanggungjawab telah menyakitimu saja kok, Hahaha." Elaknya. Tanpa mengelak pun aku tau maksudnya. Taruhan yang dia bilang itu pasti taruhan saat bermain basket itu, aku masih mengingatnya dengan baik.

"Alasan apa itu, tak masuk akal. Sudah sana pergi kau tak perlu tanggung jawab dan taruhanmu itu. Apa taruhannya?" Pancingku agar dia mengaku.

"Apa kau mau membantuku!" Tanyanya takut-takut.

"Kalau aku bisa kenapa enggak."

"Taruhannya adalah menciummu."

"Apakah taruhan di lapangan basket itu."

"Iya, kalau begitu...."

Plakkkkk, "cium pantatmu sendiri."

"Auuu, sakit. Katanya mau membantu ku, kenapa malah menamparku."

"Bukanya aku sudah membantumu agar otakmu itu kembali ke posisinya."

"Rhein apa salahnya ciuman sebentar. Kita cuma harus menempelkan bibir lalu di foto untuk bukti. Setelah itu beres kita tidak akan ada hubungan apa-apa."

"Gampang ya kalau ngomong. Tapi maaf, aku jijik ciuman dengan sesama cowok."

"Kalau jijik tinggal tutup mata saja, apa susahnya. Lagi pula aku juga jijik. Kau itu sok jual mahal sekali. Kau itu menyebalkan." Umpatnya yang membuatku dipenuhi emosi, ternyata ini sifat aslinya. Tidak hanya mesum tapi kasar dan pemaksa.

Dia mendorongku sampai aku terpojok di dinding dan memegang kedua pergelanganku dan menguncinya sampai aku tak bisa bergerak. Walau aku ikut ekstra bela diri tapi kalau sudah dikunci secara dadakan seperti ini aku tak bisa berbuat apa-apa.

"Ahhh lepaskan Mike. Apa yang kau lakukan. Kau benar-benar gila. Lepaskan." Seruku sambil berusaha melepaskan diri. Namun dia malah mendekatkan badanya padaku sampai aku terpojok.

"Kalau kau tak mau ku cium aku akan menciummu secara paksa." Serunya lalu berusaha menciumku, aku menghindari bibirnya berulangkali agar tidak bisa menempel di bibirku.

"Tidak! Dasar gila! lepas! Ahhh lepas!" Rancauku saat menghindari bibirnya yang mengerucut seperti pantat ayam itu. 'Menjijikan, tidakkkk!' Teriakku dalam hati.

Bukkk, sebuah tendangan menghantam lengan Mike dengan cukup keras sampai terjatuh ke samping. Mike langsung mengerang kesakitan. Aku yang melihat dia jatuh tersungkur lalu menendangnya sekali dan mengumpat.

"Dasar baj...... Pergi kau dari hadapanku." Umpatku kesal.

"Kau selalu saja melecehkan seseorang di kamar mandi." Ku lihat itu Victor yang bicara, ternyata dia yang membantuku. Ternyata tidak hanya tampan, pintar tapi juga baik beda dengan Mike yang mesum itu.

"Kurang ajar, kau selalu menggangguku." Umpat Mike pada victor yang membantuku berdiri dengan benar. Mike lalu berdiri sambil melihatku lekat-lekat.

"Kau tak apa-apa kan Rhein?" Tanya Victor yang khawatir melihatku dilecehkan oleh cowok mesum itu.

"Iya. Terima kasih Victor telah membantuku." Kataku berterima kasih karena dia telah menyelamatkanku dari Mike. Aku lalu menarik tanyanya untuk pergi dari kamar mandi.

"Tidak apa-apa, ayo pergi."

"Rhein tunggu, bukan maksudku seperti itu, ini bukan seperti yang kau bayangkan Rhein." Teriak Mike yang tak ku pedulikan karena aku sudah benci dengan apa yang sudah dia lakukan padaku.

"Aku akan memukulnya lagi!" Seru Viktor yang melihat Mike yang mau menyusulku. Aku lalu mencegahnya karena aku tak mau ada keributan di sekolah dan berurusan dengan pak Effendi.

"Tidak usah biarkan saja." Cegahku sambil menarik lenganya, Viktor langsung menurut apa yang aku katakan.

"Kau yakin tidak apa-apa?" Tanya Victor memastikan bahwa aku baik-baik saja.

"Iya aku tidak apa-apa. Terimakasih telah membantuku."

"Iya sama-sama. Kenapa kau ada masalah dengannya?"

"Entahlah dia yang mulai. Sudah jangan dibahas. Kalau dibahas terus rasanya aku ingin membunuhnya sekarang juga. Wajahnya begitu menyebalkan dan mengotori mataku."

"Hahaha kau lucu sekali kalau marah."

"Kenapa semua orang selalu saja bilang begitu."

"Karena kamu benar-benar beda dari yang lain." Apa itu sebuah pujian. Aku senang kalau di puji, sebelumnya tak ada yang memujiku sama sekali, malah menghinaku orang yang paling bodoh di dunia.

"Kalau bukan kau yang bilang aku sudah memukulmu sekarang juga." Candaku sambil tertawa kecil.

"Hahaha, nanti mau pulang bareng?"

"Tidak usah aku nanti naik bus sekolah seperti biasa bersama teman-temanku." Tolakku dengan lembut agar dia tak tersinggung.

"Bukanya terlalu bahaya, kalau nanti dia menyakitimu lagi bagaimana. Biar aku antar, agar aman sampai rumah." Dia terlalu khawatir seperti ibuku.

"Tidak usah tidak apa-apa. Lagian aku bisa bela diri kok aku kan itu ekstra taekwondo. Jangan khawatir aku baik-baik saja." Seruku sambil menunjukan keahlianku yang malah terlihat konyol. Victor hanya menahan tawa di wajahnya melihat tingkahku yang konyol dan memalukan. Aku sendiri juga tertawa dengan tingkah konyolku.

"Kalau aku memaksa bagaimana!" Tanyanya yang membuatku terkejut dan menghentikan aksiku.

"Kau jadi sama sepertinya."

"Hahaha iya-iya aku tak kan memaksa."

Tunggu bukanya Steffan setelah pulang sekolah mengajakku belajar matematika bersama. Kalau aku pulang duluan bersama Victor, aku bisa bebas dong hari ini. Kenapa aku menolak kesempatan emas seperti ini.

"Victor tunggu!" Cegahku sambil berhenti berjalan yang membuat Victor juga berhenti.

"Ada apa?" Tanyanya bingung.

"Boleh aku tarik kata-kataku tadi. Pokonya nanti pulang bareng ya."

"Jadi berubah pikiran seperti ini ada apa."

"Tidak ada kok. Jadi tidak tawaran pulang bareng tadi."

"Tentu saja jadi dong, nanti aku jemput di kelasmu."

"Iya makasih."

"Ngomong-ngomong kau memanggilku langsung dengan nama, tidak memanggilku dengan kakak."

"Memang kenapa, kau bukan kakakku juga." Aku tidak suka memanggil orang lain dengan embel-embel kakak, adek, nyonya, nona atau yang lainya selain keluargaku. Menururku itu sangat merepotkan.

"Tidak apa-apa, aku lebih suka di panggil seperti itu. Agar kita bisa lebih akrab."

"Mungkin saja. Aku ke kelas dulu ya."

"Tidak mau makan dulu, ini istirahat pertama lho." Dia mengajakku makan padahal aku sudah makan walau dengan proses yang lama karena terganggu dua orang menyebalkan tadi.

" Tidak usah aku sudah makan kok tadi." Aku menolaknya dan menunjukann perutku yang sudah terisi makanan. Entah terlihat atau tidak yang pasti aku mengusap-usap perutku menunjukkan kalau aku sudah makan.

"Tadi?" Tanyanya heran, dia bingung mungkin karena tadi adalah jam masuk pelajaran tapi aku malah sudah makan duluan.

"Hahahaha iya tadi aku membolos. Sudah ya, sampai jumpa." Seruku lalu berjalan duluan masuk ke kelas.

"Iya!"

.
.
.
.
.
.

Aku duduk di kursiku dan menghela nafas panjang yang berat sekali. Memikirkan apa yang barusan terjadi membuat pikiranku kacau bahkan aku sampai lupa dengan tujuanku pada pak tua itu. Padahal tadi aku sudah bertemu denganya dari sekian hari aku tak bisa bertemu dengannya. Steffan ke mana? Aku tak melihatnya di kelas kupikir dia sudah pergi duluan ke kelas waktu aku tinggal di kantin tadi. Ahh mungkin dia ke perpustakaan dia kan orang yang rajin dan pintar. Kenapa aku harus mengkhawatirkannya.

"Hari yang melelahkan!" Seruku lelah.

"Kau kenapa Rheina?" Tanya Art yang melihatku beberapa kali menghela nafas lelah.

"Berhenti memanggilku Rheina!" Seruku sambil menyembunyikan wajahku di antara kedua lipatan tanganku di meja.

"Kenapa! aku menyukainya." Art malah bicara seperti itu.

"Dasar kau Art, gara-gara kau tak mau ikut membolos denganku hidupku jadi mengerikan." Sesalku karena sudah membolos sendirian. Tanpa Art mereka malah mendekatiku dengan bebas.

"Eh Rhein tadi pak Jeremy marah-marah denganmu lho. Huhh mengerikan sekali. Dan parahnya lagi saat kau pergi Steffan juga ijin tapi tak kembali-kembali. Kelas serasa neraka. Kau enak bisa keluar dengan bebas. Kita yang jadi korban kemarahannya." Tiba-tiba Crystin bercerita tentang pak Jeremy yang marah karena ulahku. Kenapa harus marah cuma kehilangan satu murid saja seperti kehilangan berlian. Teman-temanku sepertinya sedang tersiksa tadi.

"Iya dia memberi tugas susah sekali!" Tambah Gwen yang terlihat lelah setelah mengikuti pembelajaran pak Jeremy.

"Apa kau pergi bersama Steffan?" Tanya Crystin mengintimidasiku. Aku harus bohong, aku tak mau ada gosip tak sedap muncul tentangku bersama Steffan. Apa lagi mulut pencari gosip ini tak bisa di percaya 100%.

"Tidak!" Jawabku tanpa melihat wajahnya dan memasang wajah datar.

"Kau dapat ganti baju dari mana?" Tanya Art yang baru sadar kalau aku sudah tidak memakai piyama lagi.

"Tukang kebunku yang mengantarkannya."

"Ouw!"

"Rhein kau bertemu kak Victor tidak?" Tanya Crystin tiba-tiba yang membuatku kaget, dari mana dia tahu kalau tadi aku bertemu dengan Victor.

"Kenapa kau menanyakan itu." Tanyaku heran.

"Ya aku cuma pengen tahu aja." Hanya itu jawaban dari Crystin, kurasa dia tidak tau kalau tadi Victor telah menyelamatkanku dari hewan mesum Mike itu.

Tapi kenapa Crystin selalu menanyakan tentang Victor kepadaku, padahal aku tak pernah bertemu dengannya mungkin ini kedua kalinya kami bertemu dan bicara. Apa Crystin sebenarnya menyukai Victor, tapi kenapa malah bertanya padaku padahal dia kan saudaranya seharunya dia lebih tau dariku. Nanti juga ketahuan kalau Crystin menyukai Victor.

"Hehh tak penting." Seruku yang langsung di sambut wajah cemberut Crystin.

Kenapa malah sedih. Seharusnya senang kalau aku tidak dekat dengan Victor yang dia sukai. Banyak murid perempuan yang selalu curiga dan menjaga jarak padaku karena mereka takut pacarnya tergoda olehku. Ini ulah Olivia yang menyebalkan itu. Gara-gara dia Aku susah mencari cewek untuk jadikan pacar. Aku ngantuk, lebih baik tidur saja. Mungkin pikiranku bisa tenang kalau aku bisa tidur sebentar.

.
.
.
.
.
.

Aku mendengar suara keributan yang semakin lama semakin jelas dan keras menyentuh telingaku. Bahkan namaku selalu di sebut dan di panggil berulang kali. Aku lalu membuka mata dan meliat mereka, tiga wanita singa yang sedang mencariku. Ada urusan apa lagi mereka mencari.

"Di mana Rhein!"

"Hei transgender, dasar penggoda."

"Kau sudah menggoda Steffan sekarang berani menggoda kak Mike di kamar mandi pula. Dasar jalang."

"Jalang penggoda."

Mereka mengumpatiku berulangkali. Suara mereka mengganggu pendengaranku. Membuat kupingku panas berkedut-kedut sakit. Aku lalu membuka mata dan melihat dengan jelas, mereka sudah berdiri mengelilingi kursiku.

"Huhhh. Bisa tidak sehari saja kalian bertiga tidak menggangguku. Kupingku sakit mendengar suara kalian." Seruku menghadapi mereka bertiga.

"Awas saja ya, kau berani sekali berhadapan denganku." Tantang Olivia sambil menunjuk jari telunjuknya ke hadapanku dengan angkuh dan sombong.

"Lama-lama semua cowok keren di sini habis kau goda semua. Sampai kak Victor juga nempel denganmu. Kau pikir aku tidak tahu." Bentaknya lagi. Kenapa mereka harus marah padaku, aku laki-laki seharunya mereka bersikap biasa saja. Seharusnya dia cemburu dengan perempuan yang dekat dengan laki-laki yang mereka sukai.

"Kau pakai sihir apa sampai semua cowok menyukaimu."

"Dia pasti pergi ke dukun. Dasar penjilat."

Brakkk, "sudah selesai. Silahkan keluar, aku mau tidur. Jangan ganggu aku, mengerti." Aku marah dengan tuduhan yang dilontarkan mereka padaku. Aku menggebrak meja untuk menyalurkan emosiku yang hampir meledak. Kalau bukan perempuan aku pasti sudah memukul mereka semua.

"Kau pikir aku takut denganmu karena kau laki-laki." Tantangnya lagi. Kenapa berurusan dengan perempuan itu susah sekali. Mereka selalu ingin menang jika sedang bertengkar.

"Kau sudah tahu kalau aku laki-laki kenapa kau masih menuduhku menggoda laki-laki."

"Karena kau gay!" Teriaknya lantang yang bisa didengar banyak orang di kelasku. Kenapa aku dipanggil gay padahal aku tidak menyukai laki-laki sama sekali.

"Hihhhh, kalau bukan perempuan aku sudah memukulmu sampai mati." Geramku dengan mulut wanita singa ini. Aku harus pergi dari sini, aku tak mau berurusan dengan mereka. Aku pasti kalah jika adu mulut dengan mereka.

"Permisi aku mau pergi!"

"Mau pergi kemana kau gay."

"Meloncat dari gedung agar aku tak melihat wajahmu yang menyebalkan itu." Jawabku lalu berjalan pergi keluar dari kelas.

"Rheina tunggu aku ikut." Seru Art yang berlari mengejarku.

"Aku juga!" Crystin lalu menyusul kami.

"Aku ikut!" Gween pun juga ikut.

"Sepertinya aku juga harus pergi." Seru Edi yang merasa ditinggal sendirian lalu mengikuti kami.

.
.
.
.
.
.

"Apa salahku Tuhan kenapa para wanita malah membenciku bukan mencintaiku."

"Hahaha kau itu terlalu manis Rhein. Wajahmu yang campuran terasa sempurna sekali. Hanya saja yang kurang dari mu adalah otakmu yang dangkal." Timpal Edi yang memperkeruh suasana hatiku.

"Sialan kau Ed." Umpatku pada Edi.

"Hahahaha." Tawa kami bersama.

"Mau kemana kita!" Tanya Art yang baru sadar kalau kita pergi tanpa arah, tanpa tujuan. Aku juga baru sadar berjalan entah mau ke mana.

"Katakan peta! Aku peta aku peta aku peta!" Jawab Gwen dengan lucu menggunakan nada kartun Dora yang sudah lama sekali. Itu kartun jadul yang sekarang tak akan tayang lagi. Dasar penggila kartun.

"Hahahaha." Tawa kami lagi.

"Eh iya kita mau ke mana!" Tanya Crystin semangat.

"Ke kantin aja yuk." Usul Gwen.

"Aku dah makan." Tolakku karena aku sudah makan tadi. Kenapa selalu mengajakku makan, saat aku sudah makan. Kalau mengajak membolos aku senang sekali.

"Iya lagian ini masih istirahat pertama." Tambah Art yang juga sedang berfikir keras mencari solusi.

"Ke atap aja yuk." Usul Edi dengan wajah penuh bintang yang bersinar.

"Enggak mau, aku takut." Tolakku lagi aku selalu menghindari sesuatu yang berbau tinggi. Aku phobia dengan ketinggian.

"Kau Cemen banget Rhein." Cela Edi meremehkanku. Aku memang benar-benar takut ketinggian.

"Kau di tengah saja biar aku temani." Art mau menemaniku di tengah loteng yang lebih aman. Aku mau saja ke atas kalau ada teman yang menjagaku.

"Ok!" Jawabku.

.
.
.
.
.

"Temen-teman ehh lihat dehh berita hari ini, ayo kumpul." Seru Crystin berlari ke arahku dan duduk di depanku yang diikuti Gwen yang habis foto Selfi bersamanya.

"Ada apa? Jangan bilang tentang cowok-cowok keren di sekolah." Timpal Edi yang enggan berkumpul dengan kami.

"Tentu bukan. Lihat! Tadi malam di dekat alun-alun kota ada orang yang berlari mencari bantuan dengan histeris. Kalian tau tidak dia itu laki-laki yang telanjang. Dan anehnya lagi kulitnya di kupas, maksudku sekujur tubuhnya dikuliti dengan rapi. Orang-orang yang melihatnya pada takut dan menjauh darinya dan enggan menolongnya. Banyak yang berfikir itu hanya prenk orang-orang iseng demi tenar di MeTube. Tapi setelah polisi datang tenyata dia benar-benar orang yang tidak ada kulitnya. Laki-laki itu sekarang sedang di rawat di ruma sakit pusat. Kabarnya pelakunya adalah perempuan yang cantik, tapi belum di ketahui siapa pelakunya. Dan ini adalah korban yang ke tiga. Sebelumnya di temukan di distrik 4 dan taman kota. Waow mengerikan." Cerita Crystin yang sangat dramatis, sampai aku merasa ngilu mendengarnya. Dia juga melihat videonya di ponselnya dan berteriak histeris. Aku bisa mendengarnya dengan volume yang sedang.

"Apa itu benar!" Tanyaku ngeri mendengar cerita Crystin.

"Tentu saja nih lihat beritanya. Nihh gambarnya. Ohh iya ini videonya." Seru Crystin sambil menyodorkan layar ponselnya padaku dan yang lain. Kulihat videonya mengerikan seperti zombie. Ehh ada gambar warna hitam di dadanya. Apa itu tato. Gambarnya kecil sih tapi setelah ku ulangi berkali-kali dan aku amati dengan seksama itu seperti gambar lingkaran setan, lingkungan Pentagon yang berhubungan dengan pemujaan setan, iblis dan semacamnya. Pokoknya seperti itu.

"Ihhh kasihan." Seru Gwen takut melihat videonya dan memeluk lenganku untuk bersembunyi di belakangku.

"Mengerikan! Seperti di film My Skin For You. Aku masih ingat tokonya yang menguliti diri sendiri demi sang kekasihnya. Aku pikir mereka itu punya gangguan jiwa sampai mau melakukan hal ekstrim seperti itu. Seperti itu ceritanya." Pendapat Edi yang menyamakan kejadian itu dengan film yang pernah dia tonton dulu.

"Kali ini pelakunya perempuan. Apa mungkin ada kesamaan dalam Film ini yang ujung-ujungnya juga untuk wanita yang dicintainya." Tambah Crystin yang juga berfikir kalau itu memang ada kesamaan. Aku hanya terdiam sejenak memikirkannya apakah ada hubungannya dengan pak tua. Aku belum pernah menonton filmnya. Setahuku di bioskop aku tidak pernah menjumpai Film yang di maksud Edi. Itu Film berdurasi panjang atau pendek.

"Wanita memang kejam!" Seru Art geleng-geleng kepala heran.

"Tidak semua wanita seperti itu Art. Aku nyatanya tidak." Timpal Gwen yang tak mau disamakan dengan si pelakunya.

"Wah jangan-jangan kamu pelakunya." Tuduh Art bercanda.

"Rhein kau percaya padaku kan! aku tak akan melakukan hal menakutkan seperti itu." Seru Gwen panik dan berusaha membela dirinya kalau dia bukan pelakunya padaku. Art memang jahil, kasihan Gwen yang mudah sekali percaya dengan candaannya.

"Iya tentu saja. Kau kan temanku." Jawabku menenangkannya.

"Siapa tahu kalau teman kita itu adalah monster." Tambah Art yang di sambut wajah sedih Gwen.

"Rheinnnn!" Panggil Gwen melas karena ulah Art.

"Art sudah jangan mengganggunya lagi." Seruku memperingatkan Art agar dia tak mengganggu Gwen lagi dengan candaannya.

"Sebaiknya kalian para cowok-cowok tampan lebih berhati-hati jangan keluar malam. Apa lagi bertemu dengan cewek cantik, jauhi mereka untuk waktu ini agar kalian selamat." Crystin memperingatkan kami. Dia sudah seperti ibu-ibu yang suka sekali mengatur-atur kami.

"Iya!" Jawab kami patuh.

"Dan kau Rhein, sebaiknya memberi tahu Steffan dan Victor untuk berhati-hati." Tambahnya lagi yang membuatku kaget.

"Kenapa aku harus memberitahu mereka. Apa urusannya denganku." Tolakku. Aku enggan memberi tahu mereka, mereka bukan siapa-siapaku. Lagi pula mereka juga bakal tahu sendiri berita itu.

"Kau itu bagaimana, apa susahnya memberitahu mereka. Mereka itu cowok-cowok yang lebih tampan dan keren darimu. Setidaknya kau memberitahu mereka agar berhati-hati dengan perempuan cantik yang mendekati mereka."

"Iya tapi kenapa harus aku. Aku enggak mau."

"Iya tapi kamu kan dekat dengan mereka." Seru Crystin asal, mana mungkin aku dekat dengan mereka.

"Kalau tidak mau jangan di paksa." Timpal Art dengan wajah seram. Crystin lalu memasang muka menyerah walau sedikit takut.

"Iya iya." Seru Crystin menyerah.

Apa jangan-jangan wanita itu bersekongkol dengan pak tua untuk mencari mangsa. Kita lihat dari pembunuh awal yaitu bibi Laurent yang kedua nyonya Marta yang ketiga laki-laki yang tak mau di sebutkan namanya. Walaupun belum meninggal tapi dia termasuk korban juga. Kenapa aku selalu mengaitkan setiap pembunuhan pada pak tua. Pak tua pasti punya ciri-ciri khusus dalam membunuh korbannya. Kira-kira apa ya. Atau lambang itu, lambang setan mungkin. Aduh aku tak bawa ponsel lagi. Apa semua korban itu ada lambang setannya atau tidak.

"Ayo turun teman-teman, sudah waktunya masuk." Seru Edi setelah melihat jam tangannya. Waktu pembelajaran kedua sudah di mulai.

"Iya." Jawab kami serentak.

.
.
.
.
.
.

"Rhein ayo pulang!" panggil Victor dari pintu kelas, aku langsung bergegas membereskan bukuku. Aku tak mau Steffan menghalangiku pulang. Lihat Steffan sudah mulai menghampiriku.

"Ciee yang udah dijemput." Seru Crystin yang membuatku malu. Bagaimana kalau seluruh kelas menertawakanku.

"Crystin!" Teriakku marah agar dia bisa diam.

"Rheina kau pulang bareng dia." Tanya Art yang menunjukan wajah tak suka.

"Iya, aku pergi ya." Salamku pada teman-teman lalu berjalan pergi dari kelas dengan secepat kilat. Steffan sepertinya melihatku berlari pergi. Terserah yang penting aku bisa bebas darinya.

.
.
.
.
.
.

"Kau bawa mobil ke sekolah?" Tanyaku membuka obrolan di tengah perjalanan.

"Tidak sering juga. Kalau terlambat aku bawa mobil." Jawabnya masih fokus menyetir.

"Ouw." Seruku membulatkan bibirku membentuk huruf O besar.

"Kau tidak membawa mobil. Bukanya orang tuamu kaya." Seru Victor tiba-tiba yang membuatku kaget dari mana dia tahu kalau orang tuaku kaya.

"Kenapa harus bawa mobil rumahku dekat kok." Elakku.

"Iya juga tapi kebanyakan anak orang kaya di sekolah kita bawa mobil." Kenapa dia langsung menjas orang kaya selalu bawa mobil ke mana-mana, apa lagi ke sekolah.

"Aku tidak seperti mereka. Jika temanku tahu kalau orang tuaku kaya mereka tidak akan mau berteman denganku."

"Bukanya teman itu harus bisa menerima keadaan apapun temanya."

"Iya, tapi aku tak mau teman yang mau memanfaatkanku karena kekayaanku saja. Karena mereka tidak tau kalau keluargaku kaya tapi masih mau berteman denganku, aku pikir mereka teman yang sangat sempurna untukku." Ceritaku yang memang aku memilih mereka semua jadi temanku karena mereka tidak memandang statusku yang kaya, tapi mereka berteman denganku memang karena tulus dari hati.

"Tak menyangka hatimu sebesar itu." Puji Victor tersenyum padaku. Dia manis juga kalau tersenyum seperti itu. Aku mikir apa, tidak tidak tidak. Apa wajahku memerah. Pelan-pelan aku meraba pipiku apakah terasa panas karena malu. sesekali aku melihat ke arah Victor apakah dia melihat tingkahku, ternyata dia masih fokus menyetir. Syukur deh kalau dia tidak melihatnya. Aku harus mengubah topik pembicaraan.

"Kau tahu orang tuaku kaya dari mana?" Tanyaku yang terpikir dari mana Victor tahu keluargaku kaya. Padahal seluruh sekolah tidak ada yang tahu kecuali pak Jona.

"Ah itu, di majalah Mamarazi terdapat foto ayahmu, aku sering melihatnya." Jawabnya yang sepertinya tidak yakin, seperti mencurigakan. Tapi aku tak boleh berprasangka buruk dulu sebelum aku tahu sifatnya yang sebenarnya. Seperti Mike orang yang sangat mesum itu.

"Ouw, kurasa ayahku tidak sepopuler itu."

"Ahhh itu kau saja yang tidak perduli."

"Iya memang aku tak perduli dengannya. Aku tak suka dengannya."

"Kau tak boleh seperti itu, walaupun dia terlihat buruk di matamu tapi dalam hati pasti dia sangat menyayangimu." Dia menasehatiku seperti ibu. Dia baik sekali.

"Tidak mungkin." Sangkalku. Aku benar-benar tidak menyukai ayahku sendiri. Ayah sangat kejam dan jahat padaku.

"Sudah sampai!" Suara Victor yang menyadarkan lamunanku tentang ayah.

"Hahh sudah sampai? Kau juga tahu rumahku." Tanyaku bingung kenapa dia tahu rumahku juga. Apa dia sudah tau semua tentangku.

"Siapa yang tak tau rumah orang kaya nomer satu di kota kita ini." Jelasnya yang membuatku semakin curiga. Ayaku kaya tapi tak banyak di ekspor ke media sosial bahkan ayahku selalu menolak wartawan yang ingin memperoleh informasi tentang kesuksesannya. Tapi mungkin saja dia bisa tahu entah dari mana. mungkin saja ayahnya pernah kerjasama dengan ayahku atau dia pernah bertemu dengan ayahku, siap yang tahu. Sepertinya aku banyak melamun. Aku langsung membuyarkan lamunanku saat tersadar.

"Kau bicara apa. Ya sudah, aku masuk dulu ya terima kasih telah mengantarku pulang." Ucapku berterimakasih atas tumpangannya.

"Iya sama-sama."

"Sampai jumpa, hati-hati ya..." Pesanku padanya dia hanya menjawab dengan tersenyum lebar. Kurasa dia orang yang baik dan lembut tidak seperti Mike yang mesum itu.

Setelah melihat mobil hitam Victor hilang di telan jalan, aku lalu melangkah ke gerbang dan membukanya sendiri. Tapi sebelum aku membukanya, gerbang tiba-tiba terbuka dan memperlihatkan pak tua di depanku. Aku kaget bukan main sampai jantungku berhenti berdetak. Selalu saja kalau bertemu denganya jantungku selalu berdegup kencang sampai aku tak bisa bernafas.

"Apa yang kau lakukan, kau membuatku jantungan. Minggir." Bentakku sepontan karena kaget. Aku mengusirnya, tanpa bicara dia berjalan minggir dari hadapanku. Aku langsung melangkah berjalan ke dalam. Menengok ke belakang dan ku lihat pak tua itu malah berjalan keluar gerbang.

"Kenapa kau keluar pak tua." Tanyaku penasaran kenapa dia pergi.

"Saya mau pulang. Tugas saya sudah selesai." Ini jam berapa, kenapa cepat sekali selesai. Seharunya dia juga bekerja jadi satpam di rumah ini. Pak Louise kan sudah jadi supir ayah jadi dia pergi bersama ayah keluar kota. Atau aku ikuti dia pulang sampai rumahnya. Ide yang bagus.

"Ya sudah cepat pul..." Hehhh cepat sekali dia pergi, belum di suruh pergi sudah pergi duluan. Aku lalu keluar gerbang dan melihat kanan, kiri, depan rumah, ternyata dia cepat sekali perginya. Aku lalu menyipitkan mata ke arah kanan jalan dan ku lihat ada bayangan hitam berjalan menjauh. Kurasa itu dia, aku harus mengikutinya.

Dia berjalan jauh sekali, rumahnya di mana sih. dari tadi nggak sampai-sampai. Sudah mau gelap pula. Kakiku sampai pegal jalan terus, kenapa rumahnya jauh sekali. Di sekitar sini rumahnya kecil-kecil dan terawat dengan baik. Aku sesekali bertemu dengan warga di sini dan mereka baik sekali menyapaku. Duh kenapa jalanya jadi gelap begini sudah tak ada perumahan. Aku capek sekali, aku juga haus. Apa rumahnya di hutan mengerikan. Apa aku pulang saja, duhh kalau ada hantu bagaimana. Aku takut, kriikkk-ngikkk -srekkk suara apa itu. Kagetku mendengar suara khas ketika malam.

"Aku senter pakai ponsel saja. Ponsel ponsel ponselku di mana." Rancauku berkali-kali sambil merogoh saku celana dan tasku.

Setelah ku rogoh-rogoh kantong saku celana, jaket bahkan di dalam tasku tak ada ponselku. Aku baru ingat kalau aku tidak membawa ponsel ke sekolah. Jam saja aku tak pakai apa lagi ponsel. Gelap sekali Bagaimana aku bisa melihat kalau gelap sekali.

Eh tunggu di mana pak tua itu kok hilang, sekarang aku sendirian di sini. Ku tengok kanan kiri mencari-cari pak tua itu tetap saja tak ada. Hilang kemana dia. Aku sendirian disini, aku takut gelap, aku takut hantu. Kuliat di depanku ada beberapa lampu kuning menyala, itu pasti rumahnya. Memang kalau pembunuh itu rumahnya menyeramkan seperti itu. Aku lalu melanjutkan perjalananku dengan tubuh merinding melanda di sekujur tubuhku.

Tunggu, tiba-tiba bulu kudukku berdiri dengan tegak. Merinding 100%. Aku tak menyangka hampir saja pingsan di sini. Jantungku sudah bersalto ria. Air mataku mulai membasahi mataku. Rasa takut yang hebat melandaku, Aku takut sekali. Kuburan. Yang kulihat sekarang kuburan yang berada di bukit. Banyak kuburan besar di sana.

Cahaya yang aku pikir Lampu ternyata dua lilin yang di pasang di tugu masuk kuburan. Apa yang ku ikuti tadi hantu bukan pak tua. Atau jangan-jangan dia bukan manusia. Aku berpikiran ngelantur kemana-mana. Otakku sudah tak bisa berpikir dengan normal. Di mana pak tua itu, di mana? Kenapa aku sendirian di sini. Aku sendirian di kuburan. Aku sudah keringat dingin tak bisa bergerak kakiku terasa lengket di depan gerbang kuburan. Mau lari tak bisa. Wussss, angin dingin menerpa ku. Seklebet bayangan hitam ada di belakangku mondar-mandir berkali-kali. Kutengok kebelakang yang ada hanya gelap gulita.

Hihh hantu. Nafasku sudah memburu karena takut. Siapapun tolong aku aku takut.

.
.
.
.
.

[TBC]

Terimakasih sudah mau menyempatkan waktunya membaca cerita saya.

vote dan komen kalian yang saya butuhkan untuk kemajuan penulis...

See you...

.
.
.
.
.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro