Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Myosotis

"Siapa kau?"

"Kalau aku bisa memilih, 'bukan siapa-siapa' akan jadi jawabanku."

***

Percakapan orang dewasa di sekitarnya membuat Gojo Satoru bosan. Akan tetapi, melihat tatapan tajam yang diberikan sang Ayah, dia mau tidak mau diam dan berusaha menjaga sikap.

Mansion Keluarga Kamiya ramai malam itu. Sebuah perayaan. Pewaris mereka yang telah lama lenyap akhirnya kembali dan menduduki posisi sebagai Kepala Keluarga. Mereka semua duduk di satu ruangan besar. Orang-orang dewasa tampak saling bercengkerama. Beberapa berbisik. Tanpa mendengarpun, Gojo bisa menebak apa yang mereka bicarakan.

Tentang Kepala Keluarga Kamiya yang baru.

Yang lama menghilang. Sampai dikira mati.

Sebelum pulang ke Jepang dengan seorang cicit. Lalu kembali mengambil gelarnya.

Tentu berita itu langsung jadi pembicaraan hangat di Dunia Jujutsu. Terlebih di kalangan para Petinggi dan Keluarga Besar. Keluarga Kamiya memang bukan keluarga sembarangan. Itu sebabnya, Gojo digeret untuk mengikuti acara ini. Sang Ayah jelas ingin terlihat baik di mata seorang Kamiya.

Jujur, Gojo tidak terlalu peduli. Prioritasnya sekarang adalah tidak mati karena bosan.

Jadi, pada kesempatan pertama yang dia dapat, Gojo menyusup keluar. Dia hampir tertangkap oleh sang Ayah jika saja Kamiya Isao—Ismawan?—tidak mengalihkan perhatian pria itu.

Gojo mungkin berhalusinasi, tetapi dia melihat Kepala Keluarga Kamiya yang baru mengedipkan satu mata kepadanya. Tersenyum geli.

Mungkin Kakek tua yang satu ini tidak buruk-buruk amat.

Udara di luar ruangan dingin. Menusuk tulangnya. Namun jauh lebih baik daripada suasana di dalam yang berat dan intens. Mencekik. Dengan orang-orang yang saling lirik. Memulas senyum palsu di atas topeng-topeng wajah yang terlalu manis.

Gojo menarik napas lega. Merasa bebas walaupun udara malam mengukungnya. Dia langsung mengambil langkah tanpa arah. Meregangkan kaki yang terlalu lama bersimpuh.

Tidak lama, anak berambut putih itu sampai pada sebuah taman. Cahaya bulan memantul di air kolam yang ada di tengah. Beriak perak seperti kalung yang dikenakan tamu-tamu malam ini.

Di dalam kegelapan, mata Gojo menyipit.

Ada seseorang berjongkok di dekat kolam itu. Tepat disamping rumpun semak berbunga kecil yang lebat. Tangan menelusur dedaunan dengan hati-hati. Dari kejauhan, bayangannya seperti tikus yang menggali celah untuk mencari makanan.

Bukankah ini terlalu malam untuk berkebun?

Karena penasaran, anak itu mendekat. Kayu kering mengerkah ketika Gojo melangkah di atasnya. Alhasil, sang sosok menoleh.

Sinar bulan menyiram wajah seorang anak perempuan.

Rambutnya hitam sebahu. Dengan mata gelap seperti langit malam. Pipi tercoreng tanah. Dia tampak terkejut. Tangan berhenti memetik daun-daun layu di semak bunga itu.

"Siapa kau?" tanya Gojo.

Gadis itu mendesah. Mengalihkan pandangan. Jari-jari lentik kembali memungkas lembar daun yang menguning dan berlubang.

"Kalau boleh memilih, 'bukan siapa-siapa' akan jadi jawabanku."

Hening.

Diam menyelimuti mereka bagai selimut kasar. Canggung. Gojo masih berdiri. Mengamati dengan seksama. Sementara, anak perempuan itu tampak lebih tertarik pada tugas di tangan.

Pada akhirnya, keheningan di sekitar mereka mulai memuakkan.

Jadi, Gojo angkat bicara.

"Kau dari salah satu Keluarga Besar juga?"

"Bisa dibilang," jawab Gadis Misterius. "Ini semua... baru, untukku."

Baru?

Gojo tidak menanggapi. Sang gadis tidak mengucapkan apa-apa lagi.

Keheningan kembali menyelimuti.

Kali ini lebih tebal dari sebelumnya.

"Myosotis."

Suara Gadis Misterius itu lirih. Nyaris tertutup gemeresak dedaunan yang dia pangkas.

"Bunga ini, namanya Myosotis."

Mata Gojo menyipit. Berusaha menangkap bentuk bunga itu dalam kegelapan.

Bentuknya berumpun. Beberapa bunga bergerombol di setiap tangkai. Bewarna biru. Satu atau dua tampak lebih gelap, nyaris ungu. Dengan putih lembut menyeruak dari pusat. Lima mahkota mungil untuk setiap bunganya.

Bentuknya tidak luar biasa.

Jika Gojo melihatnya di jalan, dia bisa mengira bunga itu tanaman liar.

Gojo ikut berjongkok disamping Gadis Misterius. Hendak memperhatikan bunga itu lebih dekat. Tidak peduli ujung kimono mahal yang dia pakai menyapu rumput dan tanah. Sama seperti jaket merah kedodoran yang dikenakan sang gadis.

Aroma floral langsung memenuhi hidungnya.

Baunya mengingatkan Gojo pada kebun setelah hujan. Seperti bunga kebanyakan, tetapi dengan sedikit kesan sitrus di atasnya. Lembut. Sama sekali tidak menusuk.

"Wangi," bisik Gojo.

Gadis Misterius terkekeh.

Tawanya mirip seperti denting bel yang jernih.

"Kau tahu, aroma bunga ini paling kuat saat sore hari."

"Sungguh?"

Dia mendapat dehuman sebagai jawaban. Ujung jari Gadis Misterius menyentuh mahkota biru mungil. Hati-hati agar tidak merusaknya.

"Namanya, Myosotis, diambil dari bahasa Yunani. Yang berarti 'telinga tikus'."

Mata Gojo yang sebiru kristal melirik ke bunga biru itu.

"Sama sekali tidak mirip, kalau kau tanya aku. Bunganya terlalu kecil."

"Heh, bukan bunganya," ralat Gadis Misterius. "Tetapi daunnya."

"Ah. Masih tidak mirip."

Gadis itu mendesah.

Diam lagi.

Yang terdengar hanya dekut burung hantu. Dan suara derik jangkrik diantara rerumputan.

"Apalagi yang kau tahu?" tanya Gojo.

Gadis Misterius mengangkat alis. "Tentang tanaman ini?"

Gojo mengangguk. Sang gadis hanya mengangkat bahu. Membenarkan jaket terlalu lebar yang melorot di pundaknya.

"Hanya satu dua fakta membosankan."

"Coba saja," sahut Gojo. "Bagiku, tidak ada yang lebih membosankan dari 'perayaan' di dalam."

Malam seakan menghangat ketika sang gadis tertawa lagi.

Lebih keras kali ini.

"Kau ada benarnya."

Gojo ingin menyahut. Tetapi—

"Satoru."

Suara sang ayah mengiris atmosfir yang tadinya nyaman.

Tegas dan tenang. Membuat tubuh Gojo menegak seperti biasa. Dia bangkit. Berbalik. Melihat sang Ayah bersedekap di belakangnya. Memberikan pandangan menghakimi ketika anak itu mendekat. Berdecih kecil melihat ujung kimono Gojo yang sekarang menjadi kecokelatan.

Namun, dia tahu menasihati sang putra tidak akan merubah apapun.

Toh, Gojo hanya akan menganggapnya seperti angin lalu.

"Siapa itu tadi?"

Pertanyaan sang Ayah membuat Gojo mematung.

Dia berbalik. Membuat rambut putihnya tersibak sedikit. Namun—

Gadis Misterius sudah tidak ada di taman.

"Bukan siapa-siapa."

***

Pertemuan kedua mereka lagi-lagi terjadi karena kebetulan.

Gojo sedang keluar bersama dengan seorang pelayan keluarga. Walaupun anak itu memprotes bahwa dia sudah cukup besar untuk pergi sendiri.

Jadi, dia melakukan apa yang selalu dia lakukan.

Kabur.

Mudah menghilangkan jejak di antara ramainya pertokoan. Dalam hitungan detik, lautan manusia sudah menelan keberadaannya. Sementara sang pelayan kebingungan mencari Tuan Muda yang menghilang layaknya ditelan bumi, anak itu sudah berbelok di tikungan jalan.

Gojo baru saja bersorak dalam hati—tentu dalam hati, dia terlalu keren untuk menjerit di tempat umum—namun, tiba-tiba—

Hujan turun.

Dan dia harus berteduh di sebuah halte kecil.

Mungkin ini karma.

Namun, apa boleh buat. Anak itu hanya bisa merutuk sembari duduk di kursi logam yang dingin. Dia sendirian, jadi tidak ada orang yang menegur sumpah serapah jatuh dari mulutnya.

Sampai dia melihat ada yang mendekat.

Diantara rinai hujan yang semakin deras, Gojo bisa melihat siluet seseorang yang berlari. Berusaha segera sampai ke tempat teduh sebelum tangis langit membasahinya.

Dan saat dia menapakkan kaki di bawah atap halte—

Rambut hitam dan mata langit malam kembali menyapanya.

"Ah, kamu."

Nadanya tidak tertarik.

Seakan dia tidak berdiri di depan Gojo Satoru.

Seorang anak yang diwanti-wanti akan menggenggam Dunia Jujutsu di telapak tangannya.

Tidak, Gadis misterius malah sibuk merapikan diri. Membuka jaketnya yang terlalu lebar. Lalu mengeluarkan sebuah buku tebal yang pasti disembunyikan di dalam sana agar terhindar dari hujan.

"Syukurlah. Tidak basah."

Sampul buku itu bergambar bunga biru yang familiar.

"Myosotis lagi?" tanya Gojo.

Mungkin sebutan Gadis Misterius kurang tepat untuk perempuan ini.

Gadis Myosotis jauh lebih akurat.

Empunya buku hanya mendesah. Tetapi tetap mengangguk. Dia duduk disamping Gojo tanpa ragu.

"Hujannya deras."

Benar.

Untung gadis itu sudah sampai.

Sekarang, hujan yang rintik-rintik berubah menjadi tirai lebat. Membuat pemandangan di sekitar halte mengabur. Layaknya lukisan abstrak.

"Aku tidak tahu satu tumbuhan bisa cukup menjadi topik satu buku," celetuk Gojo. Membuka pembicaraan.

Gadis itu terkikik. Jari berderap di atas sampul keras buku yang dia bawa.

"Yang di rumahku itu Myosotis sylvatica," terangnya. "Masih banyak myosotis lain di bumi ini."

Alis Gojo terangkat.

Rumah?

"Aku tidak ingat kita pernah berkenalan," kata Gojo.

"Oh? Apa itu perlu?"

"Aku tidak bisa terus memanggilmu Gadis Misterius di kepalaku."

Dia terkekeh sembari menggeleng. "Kalau begitu, kau duluan."

"Gojo Satoru."

Sang gadis berdehum.

"Reina."

Bunyi hujan yang keras hampir menutupi jawabannya itu. Kening Gojo mengerut.

"Hanya Reina?"

Sang gadis—Reina—hanya diam.

Tampak mempertimbangkan.

"Reina Pratama Wulandari, tapi—"

Nama itu tidak terdengar seperti nama Jepang.

"—Aku juga bisa disebut Kamiya Reina, sepertinya."

Ah.

Harusnya Gojo bisa menebak itu.

"Apa kau mau dengar fakta lain soal tanaman?"

Reina melempar senyum canggung ke Gojo. Anak laki-laki itu tersentak sedikit. Tidak menyangka akan mendapat tawaran.

Tetapi—

Dia mengangguk.

Cerita Reina tentang racun oleander hampir redam ditutup suara hujan.

Saat dia beralih ke stroberi yang ternyata bukan beri, suaranya menjadi lebih jelas.

Ketika dia bercerita tentang ukuran baobab, hujan kembali menjadi gerimis.

Dan saat dia bilang pohon oak paling sering tersambar petir, matahari kembali terlihat.

"Sepertinya sudah terang," kata Reina. Dia bangkit. Mengintip sebentar dari balik atap halte. Langit sudah kembali biru. Walau masih ada sisa-sisa awan kelabu.

"Aku harus segera ke perpustakaan. Sampai jumpa lagi."

Belum sempat Gojo menahannya, gadis itu sudah berlari menjauh. Tangan melambai. Sepenuhnya tertutup lengan jaket yang terlalu panjang.

Tepat saat itu, Gojo mendengar namanya dipanggil.

Wajahnya menjadi kecut.

"Tuan Muda! Astaga, aku panik sekali! Kupikir kau diculik—"

Ha.

Seakan ada yang bisa menculiknya.

Si pemilik surai putih tidak menghiraukan pelayan yang terengah-engah. Netra biru masih fokus kepada Reina. Yang sosoknya menghilang di ujung jalanan becek.

"Siapa itu, Tuan Muda? Teman anda?"

Gojo berdehum.

"Hanya kenalan."

***

Setelah itu—

Pertemuan mereka terlalu frekuen untuk bisa dibilang kebetulan.

Reina dan Gojo menghabiskan setiap acara di rumah Kamiya bersama. Dan dengan itu, maksudnya adalah kabur untuk menghindari obrolan kakek-kakek yang tidak menarik untuk otak muda mereka.

Lama kelamaan, Gojo berkunjung ke rumah Kamiya tanpa ada acara resmi. Hanya untuk sekedar bercengkerama. Namun, dia sendiri tentu tidak akan mau mengakui. Dia selalu berdalih bahwa perpustakaan Kamiya punya lebih banyak buku.

Padahal dia jarang sekali membaca.

Mereka malah menghabiskan banyak waktu di taman. Tidak melakukan banyak hal penting. Hanya berlarian sedikit. Atau merawat Myosotis yang tumbuh semakin lebat. Atau sekedar duduk. Reina kadang membahas apapun yang menjadi ketertarikannya saat itu.

Seperti sekarang.

Sang gadis sedang bercerita tentang kupu-kupu. Sesuatu tentang migrasi Danaus plexippus atau semacamnya.

Mereka duduk di tanah. Tanpa alas. Rumput basah menggelitiki kaki mereka. Tetapi Reina tidak peduli. Dia jarang terusik oleh lumpur yang mencoreng bajunya. Atau cacing yang menggeliat di dekat kakinya.

Tetapi—

Jika Gojo menilik ke belakang—

Reina memang jarang terusik oleh apapun.

Exhibit pertama—

Gojo Satoru sendiri.

Semua orang yang tahu barang sedikit tentang Dunia Jujutsu mengenalnya. Gojo Satoru. Anak yang lahir di keluarga besar yang dianugerahi oleh kekuatan yang luar biasa. Anak yang suatu saat akan mengguncang dunia.

Dewa diantara manusia.

Mereka yang tahu akan mundur. Memalingkan pandangan. Kadang menunduk. Menjauh dari mata biru kristal yang sedingin es. Mengikuti semua perintahnya. Dengan harapan tidak berada di ujung amarah anak itu. Beberapa dari mereka bersimpuh, bersujud, bahkan kabur.

Tapi Reina tidak.

Reina tidak pernah pergi.

Dia selalu membalas perkataan Gojo dengan tenang. Tidak terbata atau ragu. Bahkan menyelipkan sarkasme disana sini. Jika Gojo menatapnya, sang gadis menatap balik. Seakan menganggap itu tantangan.

Entah darimana semua keberanian itu datang. Mungkin karena latar Reina yang tidak murni dari Dunia Jujutsu. Atau memang hanya karena dia tidak peduli dan keras kepala.

Mungkin campuran dari keduanya.

Itu tidak penting. Intinya adalah—

Jika seluruh Bima Sakti berpusat pada Gojo Satoru—

Maka Reina ada di Andromeda.

"Satoru?"

Si rambut putih tersentak. Tidak sadar dia melamun.

Gojo tidak ingat sejak kapan namanya berubah menjadi Satoru untuk Reina.

Dan dia terkejut ketika sadar bahwa dia tidak keberatan.

"Kau tidak mendengarkan apa yang barusan kukatakan?"

Diam.

Gojo tidak berdalih. Namun juga tidak memberikan affirmasi.

Reina mendengus.

"Dasar idiot."

Kalau saja yang mengatakan itu orang lain—

Gojo pasti sudah menghajar mereka.

"Tapi, kau kelihatan tidak fokus sekali. Lebih dari biasanya. Memang apa yang kau pikirkan?"

Kamu.

"Bukan apa-apa," jawab Gojo. Dia berbaring di tanah. Menyilangkan kedua tangan di belakang kepalanya sebagai bantal. Mata menerawang ke atas.

Langit hari itu cerah.

"Tahun depan aku masuk ke SMK Jujutsu."

Dehuman kecil dari Reina. Gojo tidak bisa melihat wajah perempuan itu dari tempat dia tidur. Namun dia bisa melihat rambut hitam yang ditiup angin.

"Kadang aku lupa kau setahun lebih tua dariku."

"Apa maksudnya itu?"

Tawa terdengar.

Masih tawa yang sama seperti malam bertahun-tahun lalu.

"Heran saja, anak sepertimu ternyata lebih dewasa daripada aku."

"Apa itu ejekan? Itu terdengar seperti ejekan."

Tawa lagi.

Gojo tidak akan pernah bosan mendengar suara itu.

"Kau kejam, Reina-chan." Gojo pura-pura tersinggung. "Bukankah tidak baik bilang begitu kepada calon senpai-mu?"

Diam.

Tawa yang mengingatkan Gojo pada kerincing lonceng angin tiba-tiba berhenti begitu saja.

Bingung, Gojo mengangkat tubuhnya. Kembali duduk. Dia melirik ke Reina. Yang kali ini tidak menatapnya balik.

Aneh...

"Hei, kau tidak apa-apa?"

"Soal itu..."

Reina masih tidak menatapnya. Memilih memainkan ujung jaket merahnya. Sudah tidak selonggar dulu. Namun, lengan pakaian itu masih jatuh menutupi sebagian jari Reina.

"Aku... tidak akan menjadi adik kelasmu."

Gojo terpaku.

"Apa maksudnya itu? Apa kau akan masuk ke SMA biasa??"

"Yeah... sebenarnya..."

Gadis itu mengelus tengkuknya. Menggigit bibir. Gojo menunggu dengan tidak sabaran.

"Aku akan pulang ke Indonesia."

"Apa?"

Gojo tidak percaya ini. Matanya membelalak.

"Kenapa?"

"Kakek Buyut rindu rumah. Dan dia pikir... bagus jika kami tinggal sebentar di sana. Aku suka Jepang, sungguh. Tetapi—semua ini—"

Sang gadis memberikan gestur samar ke sekitarnya. Entah apa yang dituju. Mungkin dinding mansion. Mungkin taman. Mungkin juga myosotis yang dia sayangi.

"—Agak berlebihan."

Berlebihan.

Ya. Tidak seperti Gojo. Reina tidak lahir di lingkungan yang memberi banyak asa di punggungnya. Wajar dia merasa pening dengan semua tetek bengek geopolitik dunia ini. Belajar tentang keturunannya. Tentang teknik kutukannya. Tentang kutukan itu sendiri.

Semua itu sulit. Terlampau sulit.

Walaupun dia punya banyak waktu menyesuaikan diri di tahun-tahun yang lewat.

Dunia Jujutsu memang brutal.

Wajar jika mereka butuh istirahat.

Reina menghembuskan napas berat. Masih tidak mau mengangkat kepala untuk melihat anak laki-laki disampingnya. "Lagipula, ada baiknya kami kembali. Agar aku tidak melupakan akarku—"

"Ini akarmu," sanggah Gojo.

"Kau Kamiya. Ini adalah tempatmu."

Suaranya merendah. Mata biru mengamati Reina dengan hati-hati. Layaknya elang yang mengawasi tikus.

Tetapi dia salah.

Reina bukan tikus

"Aku memang Kamiya Reina, Satoru."

Tatapan manik hitam menusuk jiwa Gojo.

"Tetapi aku juga Reina Pratama Wulandari."

—Reina juga elang.

Sama seperti Gojo sendiri.

"Aku mau kau tinggal," kata Gojo. Dia tidak akan pernah berkata bahwa dia memohon.

"Kau harus tinggal."

Itu sebuah perintah.

Reina tersenyum masam. Gojo tahu, selalu ada trik baru di bawah lengan jaket merah yang siap menjadi kejutan. Gadis itu tidak pernah membuat Gojo bosan. Selalu melakukan hal baru. Bagai samudra dan ombak ganasnya.

Selalu tidak terduga.

Namun, kali ini 'trik' itu hanya sebuah gelengan kecil.

"Tidak bisa, Satoru. Sepertinya Kakek akan jatuh jika kami tinggal lebih lama. Dia butuh liburan. Aku juga rindu rumah."

Bukankah ini rumahmu?

"Dan aku juga ingin mengunjungi makam Ayah dan Ibu."

Ah.

Kalau soal itu, Gojo tentu saja tidak bisa membantah. Walaupun bohong kalau anak itu bilang dia tidak merasa sedikit kecewa.

Dia ini Gojo Satoru.

Siapa orang di dunia Jujutsu yang berani menolak perintahnya?

Namun, setelah dipikir-pikir—

Perempuan ini Kamiya Reina.

Jika Gojo itu Dewa. Mungkin hanya Reina yang bisa menyandinginya.

Walaupun sang gadis pasti terlalu rendah hati untuk mengakui hal semacam itu.

Mereka sama. Keduanya memiliki kemampuan yang sama mematikan. Keduanya pewaris dari dua Keluarga Besar yang bisa saling pandang mata ke mata. Nama-nama yang penting di dunia Jujutsu.

Namun, Reina selalu lebih dari sebuah nama.

Ya, dia Kamiya Reina.

Tetapi dia juga Reina Pratama Wulandari.

Gadis dari Indonesia yang tersapu dalam dunia baru. Jatuh ke lubang kelinci. Seperti Alice—dari buku Alice Adventure in Wonderland. Salah satu buku klasik kesukaan anak perempuan itu.

Lucu.

Laki-laki yang lahir di Dunia Jujutsu dengan sendok emas di mulutnya. Dan gadis yang terseret ke dunia itu setelah tragedi jatuh di pangkuannya.

Ajaib mereka bisa dekat.

Namun, layaknya Alice dan Mad Hatter.

Mereka berhasil duduk di pesta teh yang sama.

***

Hari ini hari pertamanya di SMK Jujutsu, dan suasana hati Gojo sudah jelek.

Bukan. Bukan karena dia harus masuk ke sekolah itu—walaupun itu juga faktor, dia masih tidak tahu kenapa sang Ayah berpikir ini penting. Gojo bisa belajar sendiri!—namun karena dia harusnya ada di tempat lain hari ini.

Bandara.

Benar, hari ini Reina pergi.

Dan dia malah terjebak bersama dua murid lain di sebuah kelas kosong.

Kebosanan kembali merangkulnya. Bagai teman lama yang tidak diundang. Dia mengetuk meja. Menghentakkan kaki. Kemudian menguap. Lama-lama, rasa bosan itu bisa membuatnya frustasi.

Tepat saat Gojo hampir kabur keluar, Yaga Masamichi—guru mereka—memasuki kelas.

"Maaf aku terlambat," ucapnya dengan suara tegas dan dalam. Dia melirik ke Gojo.

"Gojo Satoru, aku baru saja mengantar Ismawan-san dan Reina—"

"Apa?! Itu tidak adil!"

"—Dan dia memberikan ini padaku."

Gojo merengut. Seperti anak kecil yang tidak mendapat permen. Akan tetapi, dia menyambar amplop di tangan Yaga dengan agak terlalu antusias.

Dia mengenali tulisan kursif Reina yang lebih mirip rumput. Sulit dibaca jika kau tidak familiar. Namun, Gojo menyukainya. Rasanya seperti menerjemahkan kode rahasia.

》》》

Satoru,

Jujur, aku agak kecewa tidak akan melihatmu di bandara hari ini. Tapi Yaga-san berkata kau harus ada di sekolah. Jadi aku paham. Masih sedikit kecewa, sih. Aku tahu ini klise, tetapi aku tidak tahu kapan aku akan kembali. Jadi, biarkanlah aku menjadi klise barang sejenak.

Intinya, lewat surat ini, aku ingin mengucapkan sampai jumpa. Ya, sampai jumpa. Aku akan kembali. Jadi kau jangan menangisiku. Hubungi aku kalau kau bisa. Dengan surat atau apalah. Aku janji akan membalasnya.

Aku akan menitipkan surat ini ke Yaga-san besok. Kuharap kau menerimanya. Sampai jumpa lagi.

- Reina.

P.S. : Kudengar Yaga-san akan jadi gurumu. Tolong jangan berulah dan membuat dia mati muda (walau aku yakin ada 98% kemungkinan kau tidak menghiraukan saran ini.)

》》》

Gojo terkekeh kecil. Suasana hatinya lansung sedikit membaik.

Dia hendak memasukkan surat itu kembali ke amplop ketika dia menyadari sesuatu. Yang ada di amplop bukan hanya surat. Dengan hati-hati Gojo merogoh dengan jarinya. Lalu menarik keluar sebuah benda kecil yang tidak asing.

Setangkai Myosotis kering.

"Forget-me-not?"

Salah satu murid baru yang lain—Ieiri Shoko—angkat bicara.

"Huh? Ini Myosotis."

Ieiri mengangguk.

"Ya, itu nama latinnya. Tetapi bunga itu lebih sering disebut Forget-me-not," jelas Ieiri.

Senyuman yang muncul di bibir Gojo membuat yang lain agak terkejut. Mengingat dia sedari pagi mengeluh.

"Memangnya, bunga itu dari siapa?"

Gojo terkekeh lagi.

"Temanku."

***

Saat Gojo pulang nanti, dia akan kembali mengeluarkan tumbuhan kering tersebut dari amplop.

Lalu tersenyum.

Dia menggenggamnya dengan hati-hati. Agar tidak melumat kelopak biru kering rapuh. Kemudian meletakkan kepalannya di dada. Tepat di atas jantung yang berdetak sedikit lebih cepat.

Forget-me-not.

Jangan lupakan aku.

"Dasar kau, Reina-chan."

Dia berbisik pada bayang gadis yang sudah jauh. Mungkin sudah melintasi samudra menuju ke tanah kelahirannya.

"Mana mungkin aku melupakanmu."

***

Mansion Kamiya sekarang dijaga oleh keluarga yang melayani mereka. Keluarga Aoki.

Walapun begitu, mereka selalu membukakan pintu untuk Gojo.

Mungkin karena mereka takut pada Gojo. Atau karena malas memergokinya terus-terusan menerobos masuk ke taman dalam tanpa ijin. Mereka bahkan tidak tahu bagaimana Gojo bisa masuk.

Peluang skenario kedua jauh lebih besar.

Aoki terkenal karena mereka hanya peduli pada Kamiya. Loyal sampai keturunan terakhir.

Gojo tidak terlalu peduli. Dia senang bisa kembali di taman. Walaupun rasanya jauh berbeda. Tidak ada lagi fakta random hewan dan tumbuhan sampai ke telinganya. Atau suara tangan yang memetik daun-daun layu Myosotis.

Semuanya lebih sepi.

Akan tetapi, tempat itu masih sama menenangkannya. Dengan atau tanpa adanya Reina. Walaupun gadis itu tentu selalu menjadi elemen yang menyenangkan, taman itu masih tempat yang sama. Gojo bisa melepas penat dan pikiran di sana.

Terlebih pada saat ini.

Setelah semua yang terjadi.

Luka yang ada di lehernya sudah menghilang. Bersih tanpa sisa. Namun, kadang dia masih bisa merasakannya barang sejenak.

Mengingat bagaimana rasa mengetuk pintu maut.

Sampai dia paham tentang reversed cursed technique.

Dia selamat, tentu saja. Dia Gojo Satoru. Dia tidak akan mati semudah itu. Dan tentu dia bahagia berhasil membalas orang yang berani hampir membunuhnya. Dasar Fushiguro Toji sialan. Gojo tidak akan merindukan si bajingan gila.

Namun, bukan itu yang membuatnya gelisah. Tetapi, apa yang terjadi setelahnya.

Semuanya jatuh setelah itu.

Dengar—

Banyak hal yang terjadi pada hidup Gojo. Itu wajar. Dunia Jujutsu diisi kegilaan dan horor yang tidak bisa disandingkan dengan mimpi paling buruk manusia. Dari semua hal itu, Gojo masih bisa merasionalkan. Seaneh apapun. Segila apapun.

Kemudian—

Geto Suguru membelot.

Dan Gojo mulai mempertanyakan segala hal yang salah di Dunia Jujutsu.

Geto adalah salah satu dari sedikit orang yang Gojo percaya. Salah satu yang berani menggeret ego pria itu turun jika sudah terlalu tinggi. Diantara dia dan Geto, Gojo mengakui, moral kawannya itu lebih bagus.

Geto yang percaya bahwa Penyihir Jujutsu ada untuk melindungi manusia.

Gojo yang pernah bilang bahwa mengurus orang lemah itu melelahkan.

Jadi kenapa?

Kenapa rasanya terbalik?

Ini semua terasa surreal.

Pembicaraannya dengan Geto masih terngiang. Diantara keramaian Shinjuku, dia seakan hanya bisa mendengar suara mantan temannya.

Gojo mendesah. Kaki menendang kerikil kecil. Membuatnya melayang dan jatuh di dekat semak myosotis yang masih rimbun. Keluarga Aoki menjaganya dengan baik.

Ada kupu-kupu hinggap di salah satu rumpun bunga biru itu. Sayapnya oranye bergurat hitam. Dengan aksen titik putih.

Kupu-kupu Monarki.

Danaus plexippus.

"Kudengar kau mati."

Suara itu membuat Gojo tercekat.

Tidak terbata, tanpa ragu, dengan bumbu sarkasme.

Pria itu berbalik. Dan dia tidak berimajinasi.

Reina memang ada di sana.

Sudah dua tahun. Gadis itu berubah sekaligus tidak. Masih lebih pendek dari Gojo. Walau kini jaket merah memeluk tubuhnya dengan benar. Tidak lagi terlalu longgar. Matanya masih sama. Gelap berbintang. Namun, sedikit lebih tua. Seakan ada galaksi baru berdiam di sana.

Gojo merindukan mata itu.

"Bagaimana perasaanmu?"

Kalimat itu datar. Seperti menanyakan cuaca. Wajah gadis itu sama datarnya. Tetapi Gojo lebih suka begitu.

Dia benci dikasihani.

"Sepertinya kau sudah tahu."

"Kau benar."

Sang gadis mengangkat bahu.

"Tapi kau sedih bukan karena kau hampir mati, kan?"

Sedih?

Apa Gojo terlihat sedih?

Dia tidak menangis. Wajahnya datar. Mulutnya membentuk garis lurus. Posturnya tegak dan tidak goyah.

Tapi dia memang merasa sedih karena Geto.

Apa Reina bisa membaca ekspresi netralnya sebaik itu?

Sang gadis mendengus. Dia mengambil langkah maju. Tangan terulur.

Gojo tanpa sadar mengaktifkan Infinity. Refleks aneh yang dia lakukan akhir-akhir ini. Dia tidak ingin ada orang mendekat. Tetapi—

Tangan Reina menembus ketidakterbatasan diantara mereka.

Pria itu tersentak. Lalu tersadar.

'Pemurnian' seorang Kamiya bisa mengahapus 'Ketidakterbatasan' seorang Gojo.

"Satoru."

Namanya bergulir lembut di bibir Reina. Tangan sang gadis menyentuh pipinya.

Terasa hangat.

"Terkadang, tidak masalah jika kau menjadi manusia."

Dan emosi Gojo remuk.

Gojo Satoru. Yang Terhormat.

Dewa diantara manusia.

Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama—

Emosinya membuncah.

Dia meringsek maju. Meraih tubuh mungil Reina. Melingkarkan tangan ke gadis itu. Memeluknya ke dalam tubuh besar yang terlalu dingin.

Posisi mereka canggung. Gojo harus membungkuk untuk bisa mendekap sang gadis. Wajahnya dibenamkan di pundak Reina. Namun, dia tampak tidak keberatan. Gadis itu mengistirahatkan tangan di punggung Gojo.

Mereka diam di posisi itu selama beberapa saat. Sampai akhirnya pelukan mereka lepas. Reina langsung menggandeng tangan si rambut putih. Mengajaknya masuk ke rumah.

Keduanya duduk di sofa. Masing-masing memangku secangkir teh herbal yang dibuatkan oleh seorang Aoki. Gojo menaruh pipinya di atas kepala Reina. Melamun. Sementara televisi menampilkan tayang ulang kartun dengan cerita fantasi.

Ada bercak air di bahu Reina.

Sang gadis tidak mengatakan apapun.

***

Reina mengantar Gojo untuk mencari Fushiguro Megumi. Mereka menemukannya sedang pulang sekolah. Berjalan sendirian dengan tas hitam tergantung di punggung.

"Kau... Fushiguro Megumi-kun, benar?"

Anak itu berbalik. Alisnya menukik.

"Siapa kau? Atau lebih tepatnya... apa-apaan wajahmu itu?"

"Hanya berpikir, wajahmu mirip dengan ayahmu, itu saja."

Reina menendang tulang keringnya.

***

Itu hari yang cerah di Tokyo, saat Gojo berjalan menuju pertokoan ramai. Dia berhenti di depan toko bunga. Baru saja hendak masuk ketika—

"Gojo-sensei!"

Dia menoleh. Melihat Itadori, Fushiguro, dan Kugisaki mendekat. Dia melambaikan tangan santai untuk menyapa mereka.

"Pagi kalian," ucapnya. "Lucu melihat kalian di sini."

"Ini hari libur, Sensei!"

Ya.

Agak aneh melihat murid-muridnya tanpa seragam. Tetapi mungkin aneh juga melihat guru mereka tanpa penutup mata yang sudah menjadi trademark pada titik ini.

"Sensei mau pergi ke toko bunga?" tanya Kugisaki. Matanya membulat. "Siapa yang meninggal, Sensei?"

"He? Memangnya membeli bunga itu harus karena ada yang mati?"

"Yah, aku tidak mau percaya kalau Sensei punya pacar."

"Hei!"

"Itu untuk Reina-san?"

Suara Fushiguro memutus pertengkaran Kugisaki dan Gojo. Guru mereka itu tersenyum lebar.

"Kau benar Fushiguro. Muridku memang pintar!"

"He?! Jadi Sensei benar punya pacar?!"

"Bukan, Kugisaki," ralat Fushiguro. "Reina itu—"

Si anak berambut hitam terdiam. Dia melirik ke Gojo. Baru menyadari bahwa dia tidak pernah bertanya tentang status sang guru dan wanita yang membantu merawatnya itu.

Gojo sendiri juga terdiam.

"Reina itu..."

Bukan siapa-siapa.

Kenalan.

Teman.

Reina itu...

Reina.

Seorang gadis indonesia yang jatuh ke lubang kelinci. Seorang Penyihir Jujutsu. Seorang Kamiya.

Reina itu banyak hal.

Tetapi, yang paling penting—

Dia gadis yang berani berdiri disamping Satoru.

Dia orang yang ada untuk Gojo. Orang yang bisa menyainginya dalam berbagai aspek. Orang yang dihormati, disayangi, dan ingin selalu dilindungi oleh Gojo.

"Reina itu..."

Gojo tersenyum.

"Orang yang berharga untukku."

***

Dia sampai di bandara tepat ketika speaker mengumumkan pesawat dari Indonesia yang mendarat.

Gojo bersungut-sungut ketika Reina bilang akan pulang waktu itu. Tetapi, sang wanita hanya menjitaknya—Gojo masih sebal sang gadis secara teknis kebal terhadap Infinity—lalu menyuruh lelaki itu agar tidak bersikap kekanakan.

Jadi, disinilah dia sekarang.

Menunggu kepulangan wanita itu tengan sebuket bunga biru yang akrab untuk mereka.

"Satoru!"

Mendengar namanya, dia berbalik.

Langsung disapa oleh rambut hitam. Mata yang bersinar bagai tumpahan bintang di langit malam. Dan tawa yang jernih seperti dentingan bel.

Dan Gojo menyambutnya dengan tangan terbuka.

"Selamat datang kembali."

Myosotis yang dia ulurkan tampak cerah.

Secerah senyum mereka berdua.

***
.

.

.

.

.

.

.

.

fin

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro