Bab 19
"Amber, Sayang. Kita bisa bicara baik-baik. Jangan begitu, Sayang."
Jesse meninggalkan kursinya, dengan cepat mendekati Amber yang marah. "Amber, tolong. Jangan bertindak gegabah!"
"Diam!" bentak Amber. "Kamu dan kakakmu sama saja. Sedari tadi sibuk mengulitiku. Kalian ini satu keluarga yang hebat."
"Bukan begitu, kamu salah paham," bujuk Jesse. "Aku dan yang lain nggak ada niat begitu. Sayang, letakkan pisaunya. Berbahaya!"
"Memang berbahaya tapi hanya untuk orang-orang tertentu saja."
"Amber, kita bisa bicara baik-baik!" Jesse berusaha untuk membujuk istrinya yang terlihat garang dan marah. Sedari tadi ia mencoba untuk membuat suasana tenang dan nyaman karena takut hal seperti ini terjadi. Tapi saudaranya memang kurang ajar dan suka cari masalah saja.
Johanna merintih ketakutan, masuk dalam pelukan Victor yang memucat. Yolanda bertukar pandang dengan suaminya dan sang papa. Mereka tidak menyangka kalau acara keluarga berubah menjadi pertikaian. Tidak ada yang tahu bagaimana caranya meredakan kemarahan Amber, bahkan Jesse pun terlihat ikut tegang dan kuatir.
Amber menekan ujung pisau hingga menggores kulit Jafir dan berbisik cukup keras untuk didengar semua orang. "Dengarkan aku, Brengsek! Kau boleh jadi anak tertua di keluarga ini, aku pun sama. Kita diwajibkan menjaga martabat keluarga. Apa hakmu ikut campur urusanku, hah? Kalau memang aku ingin berselingkuh dengan laki-laki lain, aku akan pastikan kalian tidak mengetahuinya. Sama dengan apa yang kau lakukan dengan perempuan muda di spa. Bukankah kalian bermesraan di sauna hingga berjam-jam?"
"Ap-apaa? Kau fit-nah!"
"Fitnah? Aku bahkan punya bukti lebih dari sekedar foto. Sebenarnya tidak ada niat ikut campur karena bagiku urusan ranjangmu tidak ada hubungannya denganku. Tapi kenapa kamu membuatku marah?"
"Kau, aaah!"
"Sakit? Bayangkan rasanya kalau ujung pisau menembus lehermu!"
"Jesse, tolong lakukan sesuatu. Maa, Paaa, Kakek, kenapa kalian tega membiarkan suamiku dalam bahaya," rintih Aria menghiba, suara tangisnya terdengar lirih dan menyayat.
"Dengar bukan? Istrimu membela dan mengkuatirkanmu bahkan setelah apa yang kamu lakukan. Jafir, aku ingatkan sekali lagi, jangan melakukan hal yang akan membuat orang lain tersinggung!"
Tidak ada yang bicara, semua orang terguncang dengan apa yang terjadi. Amber melepaskan tekanannya di leher Jafir. Mengusap ujung pisaunya yang basah oleh setitik darah. Tidak peduli pada laki-laki yang kini ambruk ke lantai sambil memegang lehernya dan terbatuk hebat.
"Dia mau mem-bunuhkuu! Apa kalian melihatnyaa? Dia gilaa!"
Amber meletakkan pisau ke tempatnya, menatap sinis pada Jafir. "Seorang Monterva sangat menghormati kesetiaan. Sebelum kau menuduhku berselingkuh, lihat lebih dulu apakah hidupmu bersih. Dasar bajingan!"
Membalikkan tubuh, Amber meninggalkan ruang makan diiringi oleh teriakan dan tangisan Aria. Tidak perlu berlama-lama berada di antara orang-orang yang memuakkan. Mungkin setelah ini pernikahannya akan hancur tapi ia tidak peduli. Ada begitu banyak pekerjaan yang harus dilakukan dan Jafir memacing kemarahannya dengan sempurna.
Kenapa Jafir dan Aria ingin menyerangnya? Kenapa mereka bersusah payah untuk menjadi musuhnya? Bukankah mereka seharusnya saling menyayangi seperti halnya saudara? Ia tidak pernah ada masalah sebelumnya dengan Jafir, tidak punya membenci Aria meskipun perempuan itu merengek dengan menjengkelkan. Manusia punya sifat masing-masing, tidak ada yang salah dengan itu tapi kenapa harus menyenggolnya?
Amber menuruni undakan depan dengan langkah cepat saat panggilan Jesse terdengar di belakangnya. Tidak ada niatan untuk berhenti dan mendengar apa kata suaminya.
"Amber! Tunggu! Kenapa langkahmu cepat sekali!"
Langkah istrinya tidak berhenti membuat Jesse berlari mengejar Amber. Meraih lengan Amber dan menahan tubuhnya.
"Berhenti kataku!"
Amber menatap suaminya, berusaha menyingkirkan cengkeraman Jesse di lengannya.
"Aku harus pergi sekarang."
"Sendirian? Tidak! Aku akan ikut denganmu."
"Why? Kamu nggak lihat di dalam ada keluargamu?"
"Aku lihat dan sudah ijin untuk pulang. Kebetulan kamu mau pergi sekarang. Ayo, biar aku yang menyetir."
Amber tidak mengerti dengan sikap suaminya. Baru saja ada masalah dan penyebab utama adalah dirinya tapi Jesse seakan tidak terpengaruh. Membawa kendaraan dengan kecepatan sedang, tidak terburu-buru tapi juga tidak pelan. Seakan menikmati setiap meter ruas jalan yang mereka lewati. Jesse menyalakan radio dan musik terdengar sayup-sayup. Lagu-lagu pop yang sedang hits sekarang. Amber berharap ada salah satu lagu Jesse yang akan berkumandang dan harapannya terkabul. Sebuah lagu balada rock dinyanyikan dengan merdu oleh suaminya. Amber mengakui kalau suara Jesse memang sangat merdu, berat, tapi menyenangkan untuk didengar.
"Lagumu bagus," pujinya.
Jesse tersenyum dari balik kemudi. "Dari dulu suaraku memang merdu."
"Bukankah sebentar lagi lagu barumu akan rilis?"
"Sabtu ini, di sebuah kafe jam tiga sore. Apakah kamu mau datang?"
Amber menoleh pada suaminya. Seakan ingin meminta penjelasan. "Kamu ingin aku datang?"
"Tentu saja, itu kalau kamu ada waktu. Mengingat betapa sibuknya kamu akhir-akhir ini. Kalian selalu pergi dari siang hingga dini hari baru kembali. Sering aku lihat ada bercak darah di lantai. Apakah itu berarti kamu berkelahi dengan seseorang dan terluka?"
"Bukan dengan seseorang, lebih tepatnya berkelompok. Darah yang kamu lihat itu kebanyakan dari senjataku dan itu bukan darahku."
"Syukurlah kalau bukan. Rasanya aku nggak akan sanggup melihatmu berdarah dan terluka setiap kali pulang ke rumah."
Rumah? Tempat mana yang disebut rumah oleh Jesse? Apakah penthouse yang sekarang mereka tempati? Amber tidak pernah menganggap tempat itu adalah rumah, lebih tepatnya adalah tempat untuk tidur dan beristirahat. Meskipun berstatus suami istri, mereka tidak pernah sarapan bersama. Makan malam pun jarang sekali dilakukan. Kebanyakan hanya bertegur sapa seadanya. Lantas, rumah seperti apa yang ada dalam angan-angan Jesse.
"Apakah kamu mengajakku bermain sex karena foto dari kakakmu?"
Jesse mengetuk-ngetuk kemudi, menatap jalanan di depannya yang tidak terlalu ramai. "Mau makan burger?"
"Makan burger? Sekarang?"
"Iya, tadi aku kurang kenyang. Sebaiknya kita makan burger sekarang."
"Memangnya kamu bisa makan di luar? Maksudku di tempat umum?"
"Tidak, tapi ada layanan yang namanya drive thru."
Jesse mengarahkan mobil ke restoran fast food di pinggir jalan. Memesan burger, kentang, serta soda untuk dua porsi. Kasir yang melayani memekik saat melihat siapa yang sedang memesan. Setelah mendapatkan makanannya, tidak lupa si kasir meminta foto. Mereka memutuskan untuk makan di halaman restoran yang sepi.
"Aku suka burger di sini. Dagingnya tebal dan tidak terlalu berminyak."
Amber menggigit burgernya dan mengangguk setuju dengan pendapat suaminya. "Lumayan enak ternyata."
"Kamu nggak pernah makan burger?"
"Makan, tapi biasanya koki yang memasak. Kalau pun sedang ada pekerjaan di luar biasanya makan burger yang dibelikan oleh Dimitri tanpa tahu apa nama restorannya."
"Hidupmu cukup nyaman bukan? Semuanya serba ada. Tapi, di satu sisi juga sangat berbahaya. Apakah tidak pernah terbersit dalam pikiranmu bagaimana kalau terjadi sesuatu?"
"Takut mati maksudmu?"
"Semacam itu."
"Pernah tapi aku coba tepiskan. Namanya takut itu manusiawi bukan? Ngomong-ngomong kamu belum jawab pertanyaanku."
Jesse menggigit burgernya dalam satu gigitan besar. Mengunyah cepat, dan berdecak nikmat. "Kalau jawaban jujur, memang iya. Malam itu aku kesal, marah, dan menganggap kamu layak dihukum."
Jawaban Jesse membuat hati Amber berdenyut tidak nyaman meski begitu tetap bungkam tanpa kata.
"Setelahnya aku merasa menyesal, bukan menyesal karena bercinta denganmu. Bukan itu jujur saja tapi karena tidak mengajakmu bercinta dengan cukup baik dan lembut. Aku merasa sebagai suami pecundang!"
Pernyataan Jesse sungguh di luar dugaan Amber. Ia menatap suaminya dan burger terlupakan di genggamannya. "Kamu nggak marah perkara kakakmu?"
"Tidak! Aku senang kamu mengancamnya. Sejujurnya Jafir memang mengesalkan! Dia selalu berusaha membuatku kesal dan menyingkir dari keluarga."
"Kenapa? Kalian bersaudara?"
"Bukan rahasia lagi, Jafir ingin menguasai perusahaan sepenuhnya. Sedangkan orang tua kami sudah membagi rata atas nama kami semua. Bagian Jafir lebih besar, perusahaan yang paling berkembang tapi dia menginginkan milikku karena menganggap aku tidak ada kemampuan untuk menjadi direktur."
"Serakah!"
"Memang, dan menurutku malam ini adalah pelajaran penting untuknya. Terima kasih, Sayang. Sudah melakukan hal besar untukku."
Panggilan mesra dari Jesse membuat Amber tercengang. Mereka saling pandang sesaat sambil bertukar senyum. Amber menggigit sisa burgernya dan menyadari kalau daginya terasa lebih lembut dan enak.
.
.
Versi lengkap tersedia di google playbook dan Karyakarsa.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro