Bab 18
Orang tua Jesse menyambut mereka dengan baik, sang mama bahkan dengan terang-terangan memuji penampilan menantunya. Mengagumi gaun yang dipakai Amber beserta aksesorisnya yang sederhana tapi elegan.
"Gaunmu cantik sekali? Di mana membelinya?" tanya Yolanda. Mengusap permukaan gaun yang lembut dengan modelnya yang kekinian dan cantik.
"Ma, ini hadiah dari seseorang," ucap Amber dengan tidak enak hati karena melihat mertunya mengagumi gaunnya dengan sedikit berlebihan. "Kalau Mama mau nanti aku minta buatkan."
Yolanda menegakkan tubuh. "Apakah dia perancang terkenal?"
Amber mengangguk dan menyebutkan satu nama. "Cukup terkenal bukan?"
"Bukan hanya cukup tapi sangat terkenal. Tidak heran memang, karena perancang itu hanya melayani orang-orang tertentu dan keluarga Monterva memang istimewa."
Sebenarnya bukan karena keluarganya yang istimewa tapi perancang itu adalah anak buah dari sang kakek. Keluarga Montera sedari dulu suka mengangkat anak dari kaum miskin dan pinggiran, menyekolahkan dan mengarahkan sesuai bakat. Amber tidak mungkin mengatakan pada mertuanya kalau dari dokter, hingga pejabat di kota ini adalah anak buah orang tuanya. Termasuk beberapa artis yang merupakan rekan kerja Jesse. Lebih mudah seperti sekarang, membiarkan nama keluarga Monterva tetap misterius dan tertutup.
Yolanda menggandeng Amber menuju meja makan yang berada di halaman belakang. Di sana sudah ada Jafir dan istrinya, Aria. Johanna yang duduk berdampingan dengan Victor, serta si adik bungsu yang terlibat percakapan dengan si kakek. Jesse sendiri duduk di samping sang papa, menyesap anggur sambil mendengarkan setiap ucapan yang keluar dari bibir orang tuanya. Sepertinya seseorang sedang ditegur.
"Sebagai kepala keluarga, semestinya kamu bertindak lebih bijaksana Jesse. Bagaimana bisa kamu membiarkan para perempuan itu mengejarmu, hah!"
Amber yang duduk di samping Jesse mendengarkan percakapan mereka dalam diam.
"Nggak ada yang seperti itu, Paa!"
"Jangan membantah! Setiap hari selalu ada gosip baru tentang kamu. Pacaran dengan ini, tidur dengan itu, dan membuatku gatal saat membacanya!"
"Itu hanya gosip, bukan kenyataan. Untuk apa dipikirkan?"
"Mudah bagimu bilang begitu, tapi apa kamu pernah memikirkan perasaan istrimu? Apa kamu pertanya tanya bagaimana rasanya menjadi Amber?"
Jesse memutar bola mata dan mencondongkan tubuh untuk berbisik pada istrinya. "Memangnya kamu peduli aku pacaran dengan siapa?"
Amber mengangguk. "Tentu saja."
"Kenapa?"
"Karena status kita. Seorang istri tidak akan suka kalau sang suami mencoreng nama baik."
"Jadi, kalau kamu tahu aku pacaran dengan perempuan lain mau apa?"
"Ehm, menurutmu apa?" Amber bertanya sambil mengusap paha suaminya di bawah meja. Sentuhan ringan dengan jemari bergerak mengancam ke arah selangkangan Jesse dan membuat laki-laki itu bergidik. "Bagaimana? Sudah mengerti?"
Jesse menyingkirkan tangan istrinya dari selangkangannya. Tanpa diancam pun ia sudah tahu konsekuensi kalau berbohong pada Amber. Sebelum istrinya menghukumnya karena berselingkuh, bisa-bisa ia mati duluan di tangan Dimitri. Satu persatu anak buah Amber akan mencincangnya karena dianggap sudah menodai nama baik Amber. Jesse tidak dapat membayangkan betapa sakitnya kalau sampai itu terjadi.
"Aku bukan takut karena ancaman tapi memang tidak ingin melakukannya. Sekali aku bilang kalau kita menikah berarti harus setia."
Gumaman Jesse diterima dengan senang hati oleh Amber. "Bagus, terkadang harga diri harus dijaga oleh kita sendiri."
"Padahal kamu nggak mau aku selingkuh bukan karena cinta tapi takut malu bukan?"
"Benar sekali, kamu pintar suamiku."
Jesse memilih untuk tidak melanjutkan percakapan soal perselingkuhan. Tidak ingin menjadikan urusan rumah tangganya menjadi bahan obrolan keluarga. Lagi pula papa dan kakeknya cukup galak soal ini. Ia tidak mau membuat masalah dengan mereka. Sedari tadi sang kakek yang sibuk mengobrol dengan adiknya, tapi tatapannya tertuju padanya dengan tajam.
Saat hidangan pertama disajikan, terdengar debat lirih antara Aria dan suaminya. Amber yang secara kebetulan duduk di samping Aria mencoba menebalkan telinga. Tidak ingin menguping urusan orang lain tapi suara percakapan mereka cukup nyaring. Ia heran karena orang yang lain seakan tidak terpengaruh.
"Tidak seharusnya kamu berbuat begitu, Jafir!"
"Tolonglah, Sayang. Kenapa membesar-besarkan masalah?"
"Bagaimana aku nggak protes? Dia itu sepupuku?"
Amber diselamatkan oleh Johanna yang berdehem dan mengajaknya bercakap dari seberang meja. "Amber, bagaimana rasanya menikah dengan bintang terkenal?"
Sebuah pertanyaan basa-basi dan Amber menjawab dengan santai. "Sejauh ini tidak banyak rasanya."
"Kenapa? Karena kalian tidak pernah terlihat bersama di muka publik?"
"Benar sekali. Kalaupun kami berada di lingkungan atau acara yang sama secara tidak sengaja, kami memilih untuk bersikap tidak mengenal satu sama lain."
"Hei, sikap apa itu? Kalian suami istri. Amber, tidak semestinya kamu berbuat begitu?" sela Aria dengan mencela. Matanya menatap Amber tajam dan menguliti. "Aku tahu kamu perempuan pekerja dan hebat tapi seorang istri sudah semestinya menghormati sang suami!"
Tidak perlu menanggapi celaan dari perempuan yang sedang mencari perkara dengan orang lain. Aria dengan sengaja melimpahkan kekesalannya pada sang suami dengan mencela Amber. Bisa saja Amber membalas celaan itu dengan kata-kata yang tidak kalah kejamnya tapi memilih untuk diam. Makan steak dan minum anggur dalam diam. Aria memang tipe perempuan cerewet dan menyebalkan.
"Kakak Ipar, sebelum kamu mencela istriku lebih baik selesaikan dulu masalahmu dengan kakakku!"
Jesse buka suara untuk mendebat Aria. Tidak suka istrinya diserang.
"Jesse, aku membelamu!"
"Dari apa? Istriku sendiri? Tidak perlu. Amber tidak pernah mengekang dan ikut campur pekerjaanku itu sudah sesuatu yang bagus. Sebaiknya kita urus masalah masing-masing. Kami bisa menangani masalah rumah tangga kami sendiri!"
Aria melongo lalu mencebik dan mencemberuti piringnya. Jesse sendiri menahan jengkel karena orang-orang terlalu ikut canmpur dengan kehidupannya. Lagi pula ia sedang berusaha menyelamatkan hidup Aria. Kakak iparnya itu tidak tahu betapa berkuasanya Amber. Dalam sekali perintah rumah ini bisa hancur berkeping-keping oleh anak buah Amber. Aria harus berlajar menahan diri kalau tidak ingin mati konyol.
"Makan yang banyak, jangan minum anggur terus." Amber yang tersentuh dengan pembelaan suaminya, meletakkan sepotong daging yang sudah dilumuri bumbu ke atas piring Jesse. Tersenyum saat suaminya mengambil daging yang diberikan dan memasukkan ke dalam mulut. "Mau lagi?"
Jesse mengangguk, menatap steaknya yang masih utuh di atas piringnya sendiri."Aku paling malas memotong daging."
"Tukar kalau begitu, punyaku sudah terpotong semua."
Sebenarnya hal yang dilakukan Jesse itu sesuatu yang lumrah. Memang seharusnya seorang suami membela istri tapi Amber yang tidak menyukai sikap Aria serta Jafir. Merasa kalau keduanya memang sudah semestinya diberi pelajaran.
Saat Jesse dengan lahap memakan daging yang sudah diiris Amber, semua orang yang ada di meja menatap bergantian pada Jesse dan Amber, mencoba menilai apakah sikap keduanya itu tulus atau dibuat-buat. Victor, kekasih Johanna dengan terang-terangan memuji keharmonisan keduanya.
"Semoga kalau kita menikah nanti bisa seperti mereka, Sayang," ucap Victor dengan penuh harap.
Wajah Johanna berseri-seri saat mendengarnya. "Iya, Sayang. Aku berharap hal yang sama."
Aria meletakkan pisau dan garpu, menggeleng dengan tidak suka atas sikap Jesse serta Amber. Ia sedang berselisih paham dengan suaminya, semestinya mendapatkan dukungan bukan malah dicela seperti sekarang. Mengamati cara Amber yang mengiris daging dengan cekatan lalu meletakkan di piring Jesse, membuatnya sangat muak. Apakah salah kalau dirinya membela Jesse? Bukankah seorang kakak memang harusnya begitu? Rupanya kebaikannya tidak diterima dengan baik oleh adik iparnya.
Tidak juga tidak habis pikir dengan sikap Amber. Bukankah perempuan itu kaya raya dan mandiri, semestinya bisa punya kemauan sendiri termasuk memerintah suaminya, kenapa terlihat sangat melayani Jesse. Apakah ada hal yang diinginkan perempuan itu? Karena cinta saja semestinya tidak cukup untuk membuat perempuan menjadi patuh. Contoh nyata adalah dirinya sendiri.
Dulu awal menikah suaminya juga sayang dan cinta, tapi setekah kelahiran anak pertama secara lambat laun cinta itu menghilang. Meskipun masih bersikap mesra satu sama lain, tidak bisa dipungkiri kalau ada sesuatu telah berubah. Bisa jadi semua pasangan sama, Amber dan Jesse pun sama karena itu ia hanya perlu menunggu meskipun dengan kesal.
"Kenapa diam saja?" tegur Jafir pada istrinya.
Aria mencengkeram pinggiran meja dan melontarkan lirikan tajam pada suaminya. "Kau diam saja saat istrimu dipermalukan!"
"Sayang, kamu ikut campur urusan mereka."
"Dasar sialan!"
Menolak untuk menghabiskan sisa makannya, Aria meraih gelas berisi anggur dan meneguknyan hingga tandas. Mendengarkan pembicaraan di sekitar meja dengan muak. Selama ini ia selalu menjadi menantu nomor satu di rumah ini dan kedatangan Amber mengubah segalanya. Aria muak pada suaminya yang selalu diam saat dirinya ditindas. Kesal pada mertuanya yang tidak lagi berada di pihaknya dan marah pada Amber serta Jesse. Makan malam yang lezat tidak lagi terasa nikmat di mulutnya.
Saat makan malam berakhir dan peralatan diangkat digantikan oleh buah serta anggur, obrolan berpindah menjadi masalah serius. Jassen yang masih kuliah memilih untuk ke kamar, tersisa yang lain tetap dengan minuman mereka. Sang kakek mengajak Amber berdiskusi, Jesse beradu argumen dengan sang mama dan semua orang tercengang saat Jafir berujar keras untuk adik iparnya.
"Amber, beberapa hari lalu aku melihatmu duduk berduaan dengan seorang laki-laki di bar. Siapa dia? Cukup tampan dan aku perhatikan sikap kalian sangat akrab satu sama lain."
Semua pandangan tertuju pada Amber yang memegang gelas dengan tenang. Di sampingnya bahu Jesse menegang. Rupanya begini cara ribut antar suadara yang hubungannya tidak baik. Tidak pernah merasakan ketegangan seperti ini baik dengan River maupun Raven. Selain karena sibuk, urusan mereka tidak pernah merambah hal pribadi. Masing-masing mempunyai pekerjaan dan masalah yang harus diselesaikan dan saat bertemu lebih suka mengobrol santai ataupun rapat. Tidak ada pertikaian antar saudara kecuali melibatkan piasu, pedang, ataupun pistol.
Amber mendongak ke arah Jafir. "Apakah ada masalah kalau aku mengobrol dengan laki-laki lain?"
Jafir tersenyum sambil menelengkan kepala. "Tanpa kamu tanya harusnya kamu tahu kalau itu tidak benar bukan? Bagaimana bisa seorang perempuan yang sudah menikah bicara intim dengan laki-laki lain?"
"Kalau suamiku tidak masalah, kenapa itu jadi masalah untukmu?"
"Amber, suamiku bertanya. Kenapa kamu marah?" sela Aria. Senang karena ada masalah untuk menyudutkan adik iparnya.
Amber menggeleng. "Tidak ada yang marah di sini."
"Benarkah? Jesse juga? Karena aku pernah memberikan foto-foto tentangmu dan laki-laki lain pada adikku. Sepertinya dia tidak menunjukkan padamu. Luar biasa bukan?"
Jafir tertawa lirih begitu pula Aria. Mereka saling pandang dan secara terang-terangan menatap Amber dengan menghina. Amber melirik suaminya yang menegang, mengerti tentang sex yang saat itu mereka lakukan. Rupanya, Jesse sedang menghukumnya. Sungguh keluarga yang sempurna dengan orang-orang munafik yang menyebalkan. Ia tidak mengerti kenapa orang memuja-muja pernikahan karena baginya memuakkan.
Bangkit dengan amarah di dada, Amber menarik pisau kecil yang tersemat di paha. Tanpa diduga meraih bahu Jafir dan menghantamkan tubuhnya ke meja. Menekan lehernya dengan piasu terarah ke sana. Semua orang menjerit, terutama Aria dan Johanna. Nino, sebagai kepala keluarga menghela napas panjang. Amber terlihat bagaikan dewi perang yang sedang marah.
.
.
.
Tersedia di google playbook.
https://play.google.com/store/books/details/My_Wife_Is_Gangster?id=dZsPEQAAQBAJ
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro