Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 17

Setelah percintaan yang menggebu-gebu malam itu, hubungan mereka tidak berubah tetap dingin dan menjaga jarak. Keduanya seakan enggan untuk memulai percakapan atau sekedara menyapa lebih dulu. Amber sibuk dengan pekerjaannya, berkeliling dari satu bar ke bar, memasuki banyak wilayah berbahaya yang dihuni para penjahat bersama anak buahnya. Untuk mencari keberadaan barang-barangnya serta menemukan sisa-sisa anak buah Black Eagle. Jesse sendiri punya jadwal yang tidak kalah padat menjelang perilisan single dan video klip. Manajernya sudah membuat jadwal dari mulai wawancara di radio, televisi, hingga majalah. Tidak hanya itu, jadwal pemotretan serta promosi lagu pun sangat penuh hingga tiga bulan kedepan. Sebagai suami istri mereka bertemu di penthouse dalam waktu yang tidak direncanakan. Terkadang pagi saat sama-sama bangun tidur, ataupun malam selepas bekerja. Sebuah pernikahan yang aneh tapi tidak ada protes dari bibir mereka. Sepakat untuk memenuhi perjanjian hingga satu tahun lamanya.

Amber selalu beranggapan kalau menikah bukanlah prioritas dalam hidupnya. Ia suka melihat rumah tangga yang harmonis, contohnya orang tuanya dulu semasa papanya masih hidup dan sekarang melihat bagaimana adiknya membangun rumah tangga yang bahagia bersama Siera. Iri dan dengki dengan kebahagiaan River apakah pernah terbersit dalam pikiran Amber? Sama sekali tidak. Ia justru bersyukur adiknya menikah dan mempunya dua bayi lucu untuk ditimang.

Sering kali saat bertemu sang mama, ia akan menyempatkan diri ke rumah River dan menjenguk dua keponakannya. Mereka adalah bayi-bayi yang menggemaskan dengan dua bola mata yang besar, tubuh yang berisi, serta wajah yang imut. Amber bisa berlama-lama bersama mereka hanya untuk menggumi keimutan si kembar saat tidur. Tapi tidak pernah terpikir untuk punya anak sendiri. Setidaknya tidak bersama Jesse yang menurutnya bukan suami idaman.

"Apakah melelahkan punya dua bayi untuk diasuh dan disusui?" tanya Amber pada Sierra yang sedang menyusui bayi laki-lakinya, sementara si bayi perempuan sedang berada di luar kamar dan diasuh oleh Levin serta Atoki.

Siera menggeleng, mengusap dahi anaknya yang mungil. "Bagaimana aku bisa merasa lelah sedangkan yang aku lakukan hanya menyusui. Menggendong mereka pun hanya sesekali saja. Siang dan malam ada begitu banyak orang yang menjaga bayi-bayiku. Sama sekali tidak melelahkan. Justru menyenangkan karena aku harus bersaing dengan anak buah suamiku untuk menjaga bayiku sendiri."

Amber tergelak, menbayangkan betapa posesifnya anak buah River pada anak tuan mereka. Si bayi nyaris tidak pernah lepas dari gendongan dan pelukan orang-orang.

"Jangan sampai mereka membuat keponakanku menjadi manja."

"Kak, aku juga takut demikian. Aku tahu mereka sayang, tapi menurutku sangat berlebihan. Jangan sampai mereka memanjakan bayi-bayiku sampai tidak bisa tumbuh menjadi anak yang mandiri."

"Hei, aku rasa River tidak akan membiarkan itu terjadi. Aku tahu adikku, sangat disiplin dan keras."

"Semoga anak-anak kami kelak bisa belajar disiplin dari papanya. Ngomong-ngomong, bagaimana dengan pernikahanmu? Tidak terasa sudah dua bulan kalian menikah?"

Amber menghela napas panjang, merebahkan diri di atas ranjang dan mengamati Siera yang menepuk-nepuk lembut punggung si bayi sebelum merebahkan ke dalam box. Wajah yang cantik bahkan tanpa riasa, Sierayang dulunya adalah perempuan dengan karir serta kepemimpinan tinggi, kini menjadi istri sepenuhnya. Tidak pernah protes saat ditinggal River untuk bekerja. Mungkin memang seperti itu seorang istri semestinya bertindak. Amber sendiri tidak sanggup membayangkan harus menuruti perintah Jesse dan patuh pada apa pun yang diinginkan suaminya. Kepatuhan karena memang peraturannya seperti itu dan bukan karena cinta, bukanlah impiannnya.

"Tidak ada yang menarik dari pernikahanku dan Jesse. Kami bahkan tidak mengerti apakah kami ini pasangan suami istri atau tidak."

Siera mengernyit mendengar perkataan kakak iparnya. Setelah anaknya terlelap, ia duduk di tepi ranjang menatap Amber dengan keheranan.

"Maksudnya tidak mengerti itu seperti apa? Aku dulu menikah dengan River juga bukan karena hubungan cinta, tapi kami akhirnya bersama sampai sekarang."

Amber menggeleng perlahan. "Entahlah, aku tidak mengerti."

"Mungkin kalian memerlukan waktu untuk saling mengerti. Kak, kamu sangat sibuk, suamimu juga begitu. Tidak heran kalau kalian kurang komunikasi."

"Bisa jadi memang kami kurang komunikasi atau justru tidak berminat saling berkomunikasi."

Menelaah jawaban-jawaban yang keluar dari bibir kakak iparnya, Sier seakan bisa menarik satu garis lurus untuk menyimpulkan apa yang terjadi di antara Amber dan Jesse. Ia bukan pakar dalam hubungan rumah tangga, tapi sepertinya sedikit mengerti di mana letak masalahnya.

"Kak, kamu harusnya memberi kesempatan pada suamimu untuk mendekatimu, dan begitu pula sebaliknya. Aku dulu jatuh cinta pada River karena dia baik dan memanjakanku. Kenapa kamu nggak memberikan kesempatan yang sama pada Jesse untuk memanjakanmu?"

Komunikasi dan saling memanjakan, sepertinya dua hal itu adalah saran yang indah terdengar tapi sangat sulit dilakukan. Setidaknya bagi pasangan yang baru menikah dan sebelumnya tidak saling mengenal. Amber bahkan sudah merasa pesimis untuk bisa melakukan saran dari Siera. Tidak mengerti bagaimana sebuah rumah tangga harusnya dibina, dari awal pernikahan ia sudah tidak yakin akan berhasil. Meskipun dipaksakan untuk tetap bersama selama dua bulan ini, nyatanya tidak lebih dari laki-laki dan perempuan yang hidup bersama saja. Tanpa ada ketertarikan dan cinta.

Selesai bercakap dengan adik iparnya, Amber menuruni tangga menuju pantai yang terbentang di hadapannya. Suasana senja yang keemasan dengan debur ombak dan pasir putih adalah pemandangan yang selalu membuatnya terpukau. Meskipun dirinya sudah ribuan kali melihat hal yang sama tapi rasaanya tidak akan pernah sama.

Amber meminta anak buahnya untuk tidak mengikuti selama dirinya berjalan-jalan di pantai. Menanggalkan sepatu, ia membiarkan telapak kakinya menyentuh permukaan pasir yang lembut. Relaksasi bagi syaraf-syaraf di kakinya dan memang menyenangkan. Satu sosok yang datang dari kejauhan membuatnya mengernyit. Ia seperti mengenali laki-laki itu dan dugaannya tidak salah. Makin mendekat, terlihat jelas kalau itu adalah Jesse. Amber heran dengan kemunculan suaminya yang tiba-tiba di area rumahnya.

"Jesse, sedang apa kamu di sini?"

Jesse menghentikan langkah, menatap istrinya yang sedang berjalan di atas pasir tanpa alas kaki. Sepertinya ini pertama kalinya mereka bicara sambil menatap satu sama lain setelah sex yang panas di atas sofa. Jesse berdehem lalu mengangkat bahu.

"Aku datang karena undangan Mommy. Dia memintaku untuk makan cemilan."

Amber melongo. "Mommy mengajakmu makan cemilan?"

Jesse mengangguk. "Benar, dan ternyata saat tiba di sini Mommy sedang pergi. Barusan kepala pelayan menitipkan pesan kalau Mommy kemungkinan tidak bisa datang tepat waktu."

"Hei, kenapa tidak bertanya dulu padaku? Mommy sedang keluar kota. Tentu saja dia tidak bisa datang tepat waktu."

Keduanya bertukar pandang lalu tercengang bersamaan dan tanpa sadar tertawa. Masing-masing tidak ada yang mengerti hal lucu apa yang mereka tertawakan tapi menyenangkan bisa berbagi gembira.

"Apakah Mommy mengelabuhiku?"

"Ehm, bisa jadi dia ingin kamu sekedar berkunjung saja."

"Mungkin begitu, tapi dilihat-lihat tempat ini memang indah. Mungkin kamu benar, Mommy hanya ingin melihatku bersantai di sini."

Mereka berdiri bersisihan menatap pantai yang indah dengan debur ombak yang menenangkan. Tanpa kata, hanya berdiri berjejeran dan membiarkan tubuh bermandikan cahaya matahari sore.

Jesse melirik istrinya yang wajah dan tubuhnya terbiasa cahaya. Rambut Amber yang hitam tampak berkilauan, dengan titik keringat bermunculan di wajah dan leher. Ia meneguk ludah, teringat akan percintaan beberapa hari lalu dan titik keringat membangkitkan kenangan. Lenguhan berbaur dengan desahan dan hasrat yang menggoda. Amber dengan tubuh ramping dan wajahnya yang cantik tanpa senyum adalah bentuk sempurna dari seorang perempuan.

Satu panggilan datang ke ponsel, Jesse menjawab segera. "Iya, Ma."

Suara perempuan terdengar dari ponsel. "Jesse, bisakah kamu membawa istrimu pulang untuk makan malam bersama?"

"Kapan?"

"Malam ini?"

"Eh, aku akan tanya dulu. Nanti aku kabari, Ma."

"Usahakan, ya? Dari semenjak kalian menikah belum pernah berkumpul bersama kami."

"Oke-oke, nanti kami usahakan."

Amber menatap suaminya lekat-lekat dengan pandangan bertanya. Sikap Jesse yang gugup dan serba salah sepertinya menunjukkan kalau sesuatu yang penting sedang terjadi.

"Ada apa?"

Jesse memasukkan ponsel ke dalam saku jaketnya. "Apakah kamu ada pekerjaan malam ini?"

"Tidak! Kenapa memangnya?"

"Orang tuaku mengundang kita makan malam. Bagaimana? Apakah kamu mau?"

"Boleh, kebetulan aku sedang tidak ada rencana apa apa malam ini."

"Mau pulang dulu untuk berganti pakaian?"

"Nggak usah, di rumah sini banyak pakaian ganti."

Jesse menunggu di ruang tengah sambil bermain piano, sementara istrinya mandi dan berganti pakaian. Raven datang menyapa dan keduanya terlibat obrolan tentang musik. Jesse tertarik dengan piasu yang dipegang oleh adik iparnya.

"Pemberian Kak Amber, milik seorang gembok narkotika yang berhasil dikalahkan."

Ujung pisau yang berukiran naga dengan bilah yang panjang dan tajam, Jesse mengagumi keindahan dari benda berbahaya itu. Sayangnya ia tidak terlalu mahir dalam bela diri, kalau tidak mungkin akan berusaha untuk mendapatkan benda-benda seperti ini.

"Kalian bicara soal apa?"

Amber menuruni tangga, dan Jesse menatap kagum pada istrinya. Awalnya ia mengira Amber akan memakai gaun praktis seperti yang selama ini digunakan, berupa terusan mini warna hitam ataupun merah. Ternyata dugaannya salah. Istrinya tampil feminim dengan gaun malam warna biru langit yang panjangnya mencapai mata kaki dan mengembang di tubuhnya.

"Cantik sekali kakakku," puji Raven.

Amber tertawa lirih. "Terima kasih adikku."

Jesse ingin mengucapkan pujian yang sama. Tapi mulutnya terkunci. Mengawasi istrinya tanpa kata dengan dada berdebar. Perempuan cantik dan feminin ini adalah istrinya, entah kenapa saat kesadaran itu menghantamnya menimbulkan rasa malu dalam hati dan Jesse tidak ingin Amber tahu kalau dirinya merasakan itu.
.
.
Cerita menegangkan ini akan tersedia di google playbook besok..siapkan pulsa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro