Bab 16
Amber membiarkan bibirnya dilumat dan dipagut, dengan benak penuh pertanyaan. Apa yang terjadi dengan Jesse? Kenapa menciumnya seperti orang yang sedang dilanda kemarahan. Ia bisa merasakan kalau ciuman kali ini sangat berbeda. Tekanan dari bibir mereka yang menyatu, embusan napas yang terasa panas dengan emosi yang seolah terlampiaskan dari setiap kecupan. Apakah terjadi sesuatu yang membuat Jesse menggila? Amber mengangkat tangan dan menekan pundak Jesse, bersiap untuk mendorong suaminya lalu pergi tapi kata-kata Jesse membuatnya mengurungkan niat.
"Kenapa Amber? Takut dengan kemesraan yang aku berikan? Jangan bilang kamu tidak merasakan apa pun dari sini." Jesse mengusap dada Amber dengan berani, bibirnya mengecupi leher yang jenjang serta cuping telinga. "Aku hanya ingin melihatmu bergairah, kenapa kamu tidak tunjukkan padaku?"
Tantangan yang kurang ajar, Amber ingin sekali memukul mulut Jesse demi menghentikan perkataan serta provokator laki-laki itu. Ia tidak takut akan kemesraan atau pun cumbuan yang diberikan suaminya. Ia mengerti kalau kecupan yang sedang terjadi sekarang tidak lebih dari kontak fisik belaka. Tidak ada yang istimewa dari lidah yang kini menjilati leher serta telinganya dan membuat bulu kuduknya meremang. Menahan diri untuk tidak berkelit memang membutuhkan kemampuan super karena itu sama saja meruntuhkan harga dirinya. Terbiasa menjadi pemimpin yang disegani, sebuah ciuman harusnya tidak membuatnya goyah.
"Bagaimana, Sayang? Suka dengan sentuhanku?"
Amber bertanya-tanya apa yang akan terjadi selanjutnya kalau membiarkan Jesse tetap menggerayanginya. Apakah mereka akan bercinta di atas piano ini, atau cumbuan berakhir dalam keadaan marah tapi bergairah. Sejujurnya tubuhnya sendiri bereaksi keras pada sentuhan Jesse. Ia ingin menolak tapi tubuhnya justru berkhianat. Dengan mendekat, tanpa sadar paha membuka, dan tidak menolak saat resleting gaunnya diturunkan. Mereka suami istri harusnya tidak masalah kalau melakukan hubungan sexual bukan? Lalu apa yang menahannya? Amber masih sibuk bertanya-tanya hingga tidak menyadari gaun yang tanggal ke lantai. Lengan Jesse membalik tubuhnya hingga menghadap piano dan ia dipeluk serta diusap dari belakang.
"Istrin yang pintar dan cantik, aku menyukaimu yang pasrah seperti ini," bisik Jesse di telinga Amber. Jemarinya menyelusup masuk ke dalam bra dan meremas dada yang mengeras. Ia menyukai sensasi dari ujung jemarinya yang menyentuh puting yang menegang. Deru napas Amber yang terdengar sedikit berat. Apakah istrinya tidak menolak sentuhan karena merasakan hasrat yang sama dengannya? Jesse ingin mencari tahu. "Apakah kamu benar-benar ingin merasakan dijilati, Sayang?"
Amber tersentak, menoleh dengan heran. "Apa katamu?"
Jesse tersenyum dengan mata menyiratkan nafsu. "Dijilati, kamu harus diam kalau ingin merasakan itu."
"Sial! Apa yang kamu lakukan?" teriak Jesse saat bra dan celana dalamnya dilucuti dengan cepat. Ia membalikkan tubuh untuk mendorong tubuh suaminya tapi Jesse sudah bertindak cepat dengan membuka pahanya dan mengusap dengan jemari.
"Cantik sekali dan lembab, Amber kamu juga menginginkan ini." Jesse kembali menciuma Amber dengan jemari mengusap vagina Amber. Membelai, menggoda, dan menekan dengan sentuhan yang menimbulkan sensasi panas serta memabukkan. Ia ingin Amber merasakan sentuhannya tanpa mampu untuk berkelit. "Basah sekali, Sayang. Ayo, pejamkan mata dan nikmati saja."
Jesse tidak dapat menyimpan senyum kepuasannya saat melihat Amber menggigit bibir dengan paha membuka serta membiarkan jarinya bergerak. Ia bisa mencium aroma alkohol yang samar dari bibir istrinya. Apakah pengaruh alkohol atau karena selesai bercumbu dengan laki-laki lain yang membuat istrinya tersulut gairah hanya karena sentuhannya? Makin banyak pikiran berkelebat dalam benak, disertai kecurigaan dan kekesalan membuat Jesse bergerak makin gila. Amber adalah istrinya, miliknya, seharusnya hanya dirinya yang berhak membuat Amber berteriak penuh nafsu dan bukan orang lain. Ia melepaskan jemari dari vagina sang istri lalu menurunkan tubuh dan berjongkok lalu mengecupi pangkal paha istrnya.
"Argh, apa ini?" desah Amber. Mencengkeram kepala serta rambut Jesse yang berada di selangkangannya. Apakah ia sudah gila membiarkan dirinya dikecup serta dijilat seperti sekarang. Bibir serta lidah yang bergerak liar membuatnya terpelanting oleh nafsu. "Jesse, sadarlah!"
Cercauan tidak jelas dari istrinya tidak membuat Jesse berhenti. Ia tetap mencumbu, menyelimuti istrinya dengan gairah yang panas. Kejantanannya sendiri sudah menegang hingga nyaris menyakitkan di balik celana dalam.
"Ah, aku, aaah!"
Teriakan Amber yang penuh damba membuat Jesse tersenyum. Ia bangkit sambil mengusap bibir dengan punggung tangan, membuka resleting celana dan menurunkannya. Meraih tangan Amber dan memasukkan ke dalam celana dalam.
"Giliranmu, Sayang. Tolong, berikan aku sentuhan dengan jemarimu yang lentik itu."
Mereka saling pandang saat Amber meremas kejantanan Jesse yang menegang. Ia mengusap perlahan dan tersenyum saat melihat suaminya mengernyit. Apakah gairah sudah menyelubungi Jesse hingga ekpresinya terlihat seperti orang yang kesakitan?
"Oh, tanganmu enak sekali, Sayang."
Perkataan Jesse memicu keangkuhan Amber. Ingin merasakan bagaimana seorang laki-laki seperti Jesse terjatuh karena nafsu. Ia terus mengusap, mengocok, membelai serta mengucap ujung kejantanan yang menegang dan mengeluarkan cairan basah. Sama seperti dirinya, Jesse pun terperangkap dalam nafsu.
"Kamu menyukainya?"
"Ehm, sangat."
"Apa yang kamu suka?"
"Semuanya, Sayang. Ciuman dan sentuhanmu."
"Kenapa?"
"Nggak ada alasan khusus. Suka saja."
Mereka saling melumat dengan jemari saling mengusap satu sama lain. Tidak ada yang peduli apakah sex masuk dalam perjanjian pernikahan atau tidak. Jesse membuka celananya lalu mengangkat tubuh Amber dan membaringkannya ke sofa. Menunduk untuk melumat bibir dan menindih dengan posesif. Nafsu sudah mengusai mereka dan saat ini yang dibutuhkan adalah bersatu dalam letupan asmara yang menggila.
Siapa yang tadi memulai ciuman dan sentuhan, tidak ada yang bisa mengingatnya. Amber membuka paha lebar-lebar dan merasakan bobot tubuh suaminya. Ia merangkul leher Jesse, menenggalam diri dalam ciuman yang memabukkan. Terengah saat bibir Jesse mengisap puting dada yang menegang. Kemana perginya harga diri dan rasa marah yang seharusnya ia tunjukkan pada Jesse. Kenapa justru pasrah seperti sekarang.
Sungguh gila rasanya sebuah sentuhan dari dua orang yang tidak mengenal satu sama lain dengan baik, mampu memberikan sensasi yang gila dan memabukkan. Rasanya ciuman jauh lebih manis dari krim soda, dan lebih memambukkan dari alkohol. Apakah dirinya yang terlalu bodoh dan linglung atau Jesse yang sangat mahir dalam membangkitkan gairah sex?
Amber tidak bisa mengingat kapan terakhir dirinya dibuat seperti sekarang. Terlentang dalam keadaan telanjang, dibelai dan diciumi seluruh tubuh hingga berpeluh. Jemarinya sendiri tanpa sadar terus menggenggam kejantanan Jesse. Sepertinya ia siap untuk menerima tubuh Jesse sepenuhnya.
Mengangkat wajah dari dada istrinya yang menggoda, Jesse melepaskan genggaman Amber di kejantanannya yang menegang. Ia mengusap bagian dalam paha Amber yang basah dan mengulum senyum.
"Sudah siap, Sayang? Kalau sudah, kita lakukan sekarang."
Tidak memberikan kesempatan pada Amber untuk berpikir dua kali serta melakukan penolakan, Jesse memosisikan diri di tengah. Melumat bibir Amber sambil melakukan penetrasi. Mencoba menyatukan diri mereka dalam gairah dengan coba-coba, sampai akhirnya benar-benar masuk dan terdengar desahan dari bibir Amber.
"Sakit?" bisiknya.
"Sedikit," jawab Amber sambil menggigit bibir.
"Kalau begitu aku akan pelan-pelan."
Awalnya Jesse memang bergerak pelan, keluar masuk dengan menahan tenaga agar tidak berlebihan. Tapi kehangatan serta legitnya tubuh Amber membuatnya lupa diri. Ia bergerak makin cepat, keluar masukl dengan kekuatan penuh dan setiap gerakan membuat tubuh mereka berpeluh.
"Ah, eanknya. Sayang, kamu benar-benar enak," erang Jesse sambil terus bergerak.
Amber sempat menahan diri untuk tidak banyak bereaksi. Ingin membiarkan suaminya bergerak sendiri tapi sayanganya sulit dilakukan. Setiap kali kejantanan suaminya bergerak cepat, gairahnya ikut melambung dan akhirnya pinggulnya pun ikut bergerak tanpa sadar.
"Ya, Sayang ...."
Erangan Jesse bercampur dengan desahan Amber. Mereka tanpa sadar bergerak lebih cepat seolah saling menuntut kepuasan satu sama lain. Amber tanpa malu-malu lagi ikut mengerang, membiarkan suaranya keluar dari tenggorokam dan memenuhi ruangan.
Ia tidak mengerti bagaimana ciuman coba-coba bisa berakhir dengan percintaan yang dasyat. Amber masih bingung, kenapa sebuah sentuhan biasa berubah menjadi penyatuan diri yang gila dan panas. Ia mengangkat pinggul, mencengkeram kejantanan Jesse dan tidak dapat menahan senyum saat mendengar makian keras.
"Siaal! Enaaknyaa!"
Tidak ada yang ingin berhenti, Jesse terus bergerak untuk mengisi tubuh istrinya dan Amber menerima dengan kehangatan. Bibir saling melumat dengan pinggul bertemu pinggul. Jesse sempat mengangkat tubuhnya sebentar, membalikkan tubuh Amber yang basah oleh keringat. Membuka paha dan memasuki dari belakang. Sebuah posisi yang sungguh menyenangkan karena bisa melihat bagian belakang dari tubuh istrinya yang sexy. Pinggul yang padat dan berisi, pinggang yang kecil, dada yang pas di dalam genggamannya. Amber adalah jelmaan dewi pemilik raga yang sempurna.
Amber menggenggam ujung sofa seiring dengan gerakan Jesse di belakang tubuhnya. Posisi seperti ini membuatnya terlihat rentan dan lemah, ditunggangi, diisi, dan pasrah tanpa bisa melawan. Nyatanya, posisi seperti ini juga yang menbuatnya berteriak karena setiap kali Jesse penetrasi, ia bisa merasakan panas yang menghujam langsung ke inti tubuhnya.
Tidak ada yang menghitung berapa lama waktu berlalu, mereka saling mengisi dengan kekuatan penuh dalam percintaan serta sex yang panas. Saat Jesse mencapai puncak, melenguh, dan ambruk ke atas tubuh istrinya. Amber sendiri tidak dapat menghitung, berapa kali mengalami kepuasan. Napas memburu dengan tubuh berpeluh, keduanya berbaring di sofa dengan mata nyalang menatap langit-langit.
"Terima kasih," gumam Jesse dalam keheningan.
"Untuk apa?" tanya Amber heran.
"Untuk malam ini dan semuanya, terima kasih."
Amber menghela napas panjang dan memiringkan tubuh menghadap ke sandaran sofa. Ia tidak mengerti kenapa harus mengucapkan terima kasih setelah sex, apakah itu berarti sesuatu atau sekedar ucapan saja? Tidak ada kata terucap, mereka melepaskan lelah dalam jeda keheningan yang panjang..
.
.
.
Di Karyakarsa sudah ending.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro