Bab 14
Mereka berada di lantai dua dan saat Amber serta Jesse sudah duduk, musik kembali terdengar dan pengunjung bergembira seperti semula. Manajer restoran dan kepala koki mendatangi mereka, bertanya tentang menu makanan tertentu yang ingin disantap dan Amber menyerahkan semua pada mereka.
Satu sampanye terbaik dihidangkan, berikut cemilan serta hidangan dalam jumlah yang beras. Para pegawai restoran membungkuk di depan meja Amber dan bersama-sama mengucapkan selama untuk pernikahan mereka.
"Ini adalah sambuta khusus dari kami, Miss. Semoga Miss Amber dan Tuan Jesse bisa menikmatinmya."
Amber mengucapkan terima kasih, begitu pula Jesse. Banyak pengunjung dan pegawai restoran yang terpesona melihat seorang penyanyi terkenal ternyata menjadi suami dari pimpinan mereka. Wajah mereka menyiratkan keinginan untuk berfoto dengan Jesse tapi tidak satu pun yang berani bertanya.
"Enak sekali ini," puji Jesse sambil mencecap sup pembuka berupa kaldu kental dengan jagung serta udang.
"Memang, aku suka supnya."
"Dilihat sekilas seperti diskotik, ternyata restoran kelas atas karena masakannya juara. Apakah hotel ini milik River atau dia hanya mengelolanya."
"Milik River, keluarga Orieska menjadi patner saja. River itu paling pintar dalam mengelola bisnis."
"Lain kali aku harus mengajak River berdiskusi. Aku suka konsep tempat ini. Suasannya, makanannya, dan dekorasi klub yang bagus dan tertata rapi."
Selama makan, pujian tidak lepas dari bibir Jesse sedangkan Amber lebih banyak diam. Ia minum sampanye dan secara tidak sadar membuat dirinya mabuk. Saat makanan belum habis, Amber sudah tergeletak di sofa dalam keadaan teler. Tersenyum pada suaminya dengan wajah memerah.
"Kenapa hari ini aku terus menerus minum alkohol? Menjengkelkan sekali." Berusaha untuk duduk tegak, Amber menyalakan rokok tapi jarinya gemetar. Tidak menolak saat Jesse membantunya menyalakan pematik. "Thanks suamiku."
Kata-kata Amber membuat Jesse tertegun karena baru pertama kali mendengar dirinya dipanggil suami dengan lembut seperti itu. Berikutnya ia sadar kalau Amber sedang mabuk dan memilih untuk menandaskan makanannya. Menikmati steak yang empuk dengan daging sedar berkualitas terbaik.
"Aku lihat wajahmu penuh luka. Apa yang terjadi?"
Amber melambaikan tangan. "Ehm, banyak hal. Penyergapan, penyerangan, tembakan, dan darah."
Jesse menyimpan kengeriannya mendengar cerita istrinya. Ia tidak habis pikir melihat istrinya bercerita dengan begitu mudah. Apakah Amber tidak merasa takut sedikitpun berada di dunia yang keras dan penuh pertumpahan darah. Sering kali Jesse ingin bertanya soal itu tapi memilih untuk tetap menyimpan pertanyaannya dalam hati. Tidak ingin ikut campur dalam kehidupan istrinya.
"Ada yang mati?" tanya Jesse sambil bergidik ngeri.
Amber mengangguk, mengisap rokok dengan muram. "Beberapa anak buah dan aku merasa bersalah pada mereka."
"Kenapa? Karena mereka mati?"
"Benar, tidak seharusnya nyawa mereka hilang kalau saja aku lebih teliti, lebih waspada dan tidak menganggap enteng keadaan apa pun. Mereka layak mendapatkan kehidupan yang baik di luar sana."
"Bukankah mereka sudah tahu resikonya saat memilih untuk mengabdi padamu?"
"Memang, tetap saja rasanya menyakitkan. Orang-orang itu datang ke keluargaku dalam keadaan putus asa. Sebagian ingin mendapatkan uang demi keluarga. Tidak sedikit yang memang ingin merasaka. Dunia mafia yang gemerlap. Orang tuaku menyeleksi dengan ketat, menyekolahkan mereka yang pintar dan membiarkan sebagian yang memang ingin menjadi pengawal. Orang tuaku menganggap mereka bukan anak buah melainkan anak asuh. Karena itu selalu ada acara untuk pengucapan doa bagi mereka yang telah tiada. Dunia ini keras dan aku masih tidak terbiasa dengan itu."
Hati Jesse tersentuh, melihat Amber yang bicara lirih penuh kesedihan. Air mata menitik di pipi dan dengan cepat disapu dengan punggung jari. Seorang perempuan yang biasanya terlihat tegar serta garang, ternyata mempunya sisi lembut.
Jesse tetap mengunyah, menikmati hidangan di meja. Malam ini ia sedang tidak ingin bicara, dan memosisikan diri sebagai pendengar yang baik. Jarang-jarang ia bisa bersantai di luar, makan dengan bebas tanpa ada orang-orang yang menganggunya. Biasanya, saat ia muncul di tempat publik misalnya restoran atau bar, maka banyak orang yang akan meminta foto bersama. Sekarang ini, tidak ada yang berani meminta itu dan membuat Jesse senang. Hidangan nyaman, sampanye yang nikmat, musik yang menghentak, dan perempuan sexy yang sedang mabuk. Kombinasi luar biasa dari malam yang panjang.
Satu panggilan masuk ke ponsel Jesse, dari kakaknya. Dengan cepat Jesse menolak, mengirim pesan kalau sedang tidak menerima panggilan. Setelahnya satu pesan masuk di ponselnya.
"Minggu depan ke kantor, ada hal penting yang harus kita bicarakan."
Jesse menghela napas panjang, merasa enggan untuk menbalas pesan dari Jafir. Tapi mengingat sikap kakaknya yang suka menuntut, bisa jadi akan timbul masalah kalau ia menolak. Ia membalas dengan satu pesan singkat sebelum mematikan ponsel. Saat ini, sedang tidak ingin bicara atau berkirim pesan dengan siapa pun.
Manajer restoran mendatangi mereka, meminta maaf berkali-kali sebelum bertanya apakah Jesse berkenan untuk menyanyi.
"Para pengunjung melihat kedatang Tuan dan mereka ingi melihat Tuan bernyanyi di sini. Kalau sekiranya menganggu atau membuat repot, tidak masalah kalau tidak bisa Tuan."
Jesse menatap istrinya yang terkikik. Entah apa yang membuat Amber senang. "Bagaimana menurutmu? Apakah aku harus bernyanyi di sini?"
Amber mengangguk. "Tentu saja! Pengunjung pasti senang, dan aku pun ingin mendengar suaramu secara langsung."
"Baiklah, aku akan menyanyi."
Jesse turun ke lantai dasar di mana grup band sedang bermain. Tepuk tangan menggema di restoran saat pembawa acara mengatakan kalau Jesse akan tampil. Amber berdiri di pagar lantai dua bersama Dimitri yang menjaganya agar tidak jatuh. Berteriak sambil bertepuk tangan untuk menyemangati suaminya.
"Selamat malam semua, satu lagu romantis aku persembahkan untuk istriku!"
Layaknya suami yang romantis, Jesse melayangkan kecupan jarak jauh pada Amber yang ada di atas sebelum mulai menyanyi. Suara Jesse yang indah dan merdu, membius semua orang tidak terkecuali Amber. Ia sering mendengar lagu-lagu Jesse diputar di radio saat melakukan perjalanan darat tapi tidak pernah mendengar secara langsung. Ternyata sangat merdu, dan hampir tidak ada beda dengan rekaman. Amber menahan napas dari awal lagu hingga penghujung. Menikmati irama, melodi, serta vokal yang menyatu dengan indah. Hatinya tanpa sadar tersentuh.
"Suara Tuan Jesse benar-benar merdu, Miss," puji Dimitri.
Amber mengangguk. "Kau benar, tidak heran kalau dia dinobatkan sebagai king of vokal. Apa kau menyukai lagu-lagunya?"
Dimitri mengakui tanpa malu. "Saat tahu kalau Tuan Jesse akan menikah dengan Miss Amber, saya mulai mendengarkan lagu-lagunya dan sangat suka."
"Seleramu bagus, Dimitri karena aku pun suka."
Mereka pulang dari restoran dalam keadaan gembira. Jesse berusaha memapah Amber yang mabuk parah, tapi ternyata sulit melakukanya. Saat melihat Dimitri ingin menggendong istrinya ia melarang.
"Dimitri, biar aku yang menggendong istriku. Bisakah kau menyetir?"
Dimitri membungkuk. "Baik, Tuan."
Amber terkikik saat Jesse mengangkatnya dalam gendongan. "Aduh, aku merasa seperti princes digendong seperti ini."
"Kamu memang princes," jawab Jesse.
"Mana ada princess gemuk seperti aku? Kamu pasti merasa berat'kan?"
Jesse memutar bola mata, mengangkat Amber menuju kendaraan. Istrinya sama sekali tidak berat, dan berlebihan kalau mengatakan Amber gemuk.
"Nggak berat sama sekali."
"Benarkah?"
"Iya, kamu bisa makan dengan lebih teratur dan akan tetap ringan seperti sekarang."
Amber memeluk suaminya dengan erat, tidak menolak saat dibantu masuk ke mobil. Ia ingin muntah dan Jesse sama sekali tidak jijik membantunya mengambil tisu serta memijat kepala. Tiba di penthouse, Jesse lagi-lagi menggendongnya kali ini punggung. Dengan telaten membantu Amber rebah di ranjang.
"Senangnya tiba di rumah," erang Amber. "tubuhku sakit, kepalaku pusing, dan perutku mual."
Jesse mengambil obat pereda mabuk dan memberikan satu butir pada istrinya dengan segelas air. "Minum ini dulu biar nggak pusing."
Amber minum dengan patuh, kembali rebah serta pasrah saat Jesse melepas sepatunya. Ia mengamati suaminya dengan mata buram dan senyum terkembang.
"Kamu baik, seperti adaik-adikku. Mereka juga mengurusku kalau aku mabuk. Sekarang River sudah menikah dan digantian Dimitri."
Jesse duduk di samping ranjang, mengusap rambut Amber yang basah karena keringat. "Aku bukan adik atau pun pengawalmu."
Amber mendesah. "Kamu suamiku."
"Syukurlah kalau kamu masih ingat. Sekarang pejamkan mata dan tidurlah. Kamu butuh istirahat."
Mengulurkan tangan Amber menarik lengan Jesse dan mendekatkan kepala mereka lalu mengecup bibir suaminya. "Terima kasih, suaramu indah sekali."
Jesse tersenyum. "Kamu suka melihatku menyanyi?"
"Ya, suka sekali. Dimitri juga suka."
Senyum lenyap dari bibir Jesse karena lagi-lagi Amber menyebut nama pengawalnya. Ia mengusap wajah Amber lalu melumat bibirnya. Tidak peduli kalau istrinya sedang mabuk. Di dunia ini tidak ada suami yang suka kalau istrinya menyebut nama laki-laki lain meskipun pernikahan mereka hanya pura-pura. Selama masih terikat, maka Amber hanya boleh menyebut namanya saja.
Jesse menyudahi ciuman mereka saat mendengar dengkur lembut dari bibir istrinya. Ia meletakkan kepala Amber ke bantal dan berbisik lembut di telinga.
"Suatu saat, aku ingin menciummu dalam keadaan sadar tanpa pengaruh alkohol. Tidur yang nyenyak, Amber Orieska. Salah, namamu sekarang Amber Livingstone."
.
.
Di Karyakarsa update bab 60.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro