Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 1

Malam turun perlahan mengubah senja keemasan menjadi gulita yang pekat. Gang yang saat siang hanya diisi oleh para pedagang makanan dan pakaian, berganti menjadi tempat hiburan malam. Berjajar bar, pub, diskotik, maupun kedai khusus yang menyediakan alkohol dari berbagai merek dan tingkatan harga dengan lampu warna-warni yang menjadi penghias. Para kupu-kupu malam baik perempuan, laki-laki, maupun waria menjajakan diri sambil memanggil siapa pun yang lewat. Orang datang berpasangan atau berkelompok, menyusuri jalanan kecil sambil melihat-lihat ingin masuk ke bar yang mana.. Makin malam, makin ramai gang oleh para pengunjung yang semuanya berjalan kaki. Kendaraan diparkir di tempat yang disediakan khusus untuk pengunjung. Serombongan laki-laki berpakaian serba hitam berada di tengah gang, memantau orang-orang yang datang. Mereka berdiri di depan restoran yang menyediakan makanan Italia. Nama gang itu adalag Italiano, karena kebanyakan orang-orang yang menjadi pengelola atau penjaga berasal dari negara Itali. Tidak ada yang berani mengusik gang itu, bahkan pihak berwajib sekalipun.

Sering kali terjadi gesekan antar pengunjung, pertengkaran yang mengakibatkan pertumpahan darah, atau pun penjaga membunuh pengunjung karena dianggap melanggar peraturan. Mayat akan diletakkan di ujung gang begitu saja dan akan ada orang-orang tertentu yang membersihkannya. Aman, terkendali, dan tidak tersentuh, penguasa gang itu merasa diri mereka setengah dewa. Makin malam makin banyak pengunjung yang datang.

Di jalanan menuju pintu masuk gang, beberapa kendaraan berbaris rapi untuk masuk ke area parkir. Di sebuah sedan mewah, seorang laki-laki berambut putih memakai jas sedangkan di sampingnya, perempuan berambut biru dengan gaun mini hitam dan stoking hitam, duduk memoles lipstik ke bibirnya yang sensual. Laki-laki berambut putih membuka jendela saat dua penjaga menghentikan kendaraan.

"Identitas!" Salah seorang dari mereka bertanya.

Si laki-laki dari balik kemudi mengeluarkan kartu identitas. Diperiksa sesaat, dan si penjaga melongok ke dalam. Perempuan bergaun mini mengedipkan sebelah mata, mengulurkan jemari yang dikutek bunga-bunga ke arah penjaga itu.

"Terima kasih, Tampan."

Penjaga menerima uluran tangan dan tersenyum, mengembalikan identitas pada pemiliknya. Dengan segera, lembaran uang yang diberikan si perempuan berpindah cepat ke dalam sakunya. Di belakang sedan ada banyak mobil yang antri dan sebagian menggunakan kendaraan roda dua.

Setelah mendapatkan tempat parkir paling ujung, kedua pengunjung itu keluar dari kendaraan. Bersamaan pengunjung yang lain, mereka masuk ke dalam gang. Si perempuan sangat antusias melihat-lihat bar, sesekali mengajak pasangannya masuk ke bar untuk membeli minuman, menari, lalu melanjutkan perjalanan menyusuri gang. Tiba di depan pub yang berjarak sepuluh meter dari restoran, keduanya berhenti. Berbicang akrab dengan laki-laki penjual rokok.

"Sepertinya malam ini ramai sekali, ya?" ujar si perempuan dengan ramah.

Si penjual mengangguk, mengulurkan rokok. "Memang, semuanya lengkap dan tersedia."\

"Berapa harga rokok?"

"Empat puluh tiga."

Si perempuan mengulurkan uang. "Terima kasih."

"Jangan lupa cicipan makanan di restoran itu, Nona. Dijamin rasanya sangat enak."

"Okee!"

Setelah menerima rokok, keduanya melanjutkan perjalanan, si perempuan membuka rokok dan si laki-laki membantunya menyalakan pematik.

"Berapa banyak yang di depan," bisik si perempuan.

"Dua belas, dan sekarang menjadi lima belas."

"Berarti di dalam ada lebih dari dua puluh. Di ujung gang dan parkiran sudah terhitung semua bukan?"

"Sudah, Miss."

Perempuan bergaun mini itu adalah Amber yang sedang melakukan penyamaran. Saat ini sedang berada di depan bar bersama orang kepercayaannya. Ia mengembuskan asap ke udara, melirik ke arah orang-orang Italia yang berada tak jauh darinya. "Demitri, kita masuk ke restoran. Yang lain bisa menyusul. Sekarang, gandeng aku."

Demitri dengan sigap meraih lengan Amber dan bersikap layaknya sepasang kekasih. Memasuki restoran bergaya retro dengan bangku dan kursi kayu. Tidak banyak pengunjung yang makan, hanya beberapa laki-laki berjas hitam sedang minum anggur. Pemilik restoran laki-laki gemuk dengan celemek putih menghampiri mereka dengan buku menu. Laki-laki itu membanting menu ke atas meja.

"Pesan apa?"

Amber menatap menu sekilas. "Dua pizza, satu ravioli, dan roti bawang."

Pemilik restoran mengambil buku menu tanpa kata, dan meninggalkan mereka. Amber menaikkan sebelah kaki, tetap mengisap rokok dengan santai, menggoyangkan kepala mengikuti irama musik dari stereo. Tidak bergeming saat beberapa pengunjung datang, tiga laki-laki dan satu perempuan. Mereka tertawa-tawa dan mengobrol dengan riuh, sepertinya sedang mabuk.

"Kami pesan pizza loyang besar limaa!" Si perempuan naik ke atas meja dan berteriak. Bertubuh mungil dengan rambut hijau, perempuan itu memakai jumpsuit merah menyala. Terlihat begitu cantik dan bersinar. "Bir dingin lima!"

"Sayang, kamu sudah mabuk. Jangan pesan bir lagi." Seorang laki-laki bertubuh gempal berusaha menurunkan perempuan itu.

"Siapa bilang aku mabuk! Aku nggak mabuk!"

"Lihat, kamu jatuh! Ayo, berhenti minum dan kita pulang. Sekarang sudah pukul tiga pagi!"

"Nggak mau pulang!"

"Nanti orang tuamu marah!"

Si perempuan jatuh ke arah laki-laki lain yang lebih tua dan membuat kekasihnya marah. "Jangan sentuh dia!"

"Hei, dia yang merayuku!"

"Kau pikir aku tidak tahu kalau kau naksir dia?"

"Mana ada? Cewekmu aja yang genit!"

Rombongan itu cek-cek dan terlibat perdebatan, Amber mengamati dengan santai. Tetap merokok sambil menunggu makanannya datang. Sudah biasa kalau di tempat seperti ini ada pertikaian. Dua laki-laki mulai baku hantam sementara di perempuan berteriak tapi juga tertawa. Terlihat senang karena menjadi rebutan dua laki-laki.

"Kalian apa-apaan! Jangan ribut di sini!" Pemilik restoran datang dengan pisau besar di tangan. "Keluar! Jangan sampai pisau ini menancap di kepala kalian!"

"Jangan usir kami, aku lapar. Mau makan pizza!" Si perempuan merengek, kali ini sambil menangis. Dua laki-laki yang semula berdebat, kali ini bersama-sama menghadapi pemilik restoran.

"Pak Tua, kenapa membuatnya marah!"

"Kau ini sombong sekali. Baru juga buka restoran. Kami sanggup membayar kerugiaan!"

"Ayo, buatkan kami pizza!"

Pemilik restoran hilang kesabaran, melotot ke arah mereka dan mengayunkan pisau. "Brengsek kalian! Keluaar!"

Si perempuan berambut hijau mengulurkan kaki untuk menjegal si pemilik restoran, yang terjatuh di bawah meja. Laki-laki yang berkumpul di meja ujung beranjak dari kursi mereka. Mendatangi kelompok perempuan itu. Amber membuka rok, meraih pistol dari bagian dalam paha dan mengacungkannya pada laki-laki itu.

"Demitri! Keluar sekarang! Panggil yang lain!" teriak Amber.

Demitri bergerak sigap keluar restoran diikuti Amber, sementara perempuan berambut hijau dengan teman-temannya menyerang para laki-laki yang ada di dalam restoran. Suara teriakan pertempuran membuat para penjaga yang ada di depan restoran bersiaga tapi naas, Amber dan Demitri bergerak lebih cepat dari mereka. Dalam sekejap terjadi pertempuran antara anak buah Amber dan orang-orang Italia. Para pengunjung berteriak saat tubuh para penjaga terguling berlumuran darah.

Amber menggunakan satu tangan menembak, serta tangan yang lain meraih tubuh lawan yang terdekat. Demitri berada di sampingnya, melawan siapa pun dengan dua buah pedang pendek. Amber menyarungkan pistol, meraih pisau dari dalam lengan gaun dan mulai ikut menyerang.

"BAJINGAN! SIAPA BERANI MENYERANG WILAYAHKU!"

Suara teriakan terdengar menggelegar, berusaha menembus pertempuan. Amber menegakkan tubuh, mengusap permukaan piasu yang berlumuran darah dengan dua jarinya yang lentik. Menatap laki-laki tua yang datang dengan serombongan orang di belakangnya.

"Ah, ini dia Forto. Sepupu dari Parkin!"

Laki-laki bernama Forto mengernyit. "Kalian mengenalku dan masih berani menyerang?"

"Tentu saja. Tidak ada yang kami takuti. Kami datang memang untuk menghabisi Black Eagle yang tersisa. Forto, kau tentu tahu kalau sepupumu sudah mati bukan? Menyerah saja, barangkalai kami akan mengampunimu. Tentu saja, ada harga yang harus dibayar untuk pengampunan. Misalnya, di mana kalian sembunyikan barang-barang selundupan yang disita Parkin selama ini?"

Forto mendengkus, menatap Amber yang berdiri dengan gaun mini dan bagian depan terdapat percikan darah. Suara pertempuran dari restoran terhenti dan seorang perempuan berambut hijau dengan beberapa laki-laki keluar. Berdiri di belakang Amber dengan senjata teracung. Forto mengerti sekarang, orang-orangnya disergap dan hanya kelompok tertentu yang berani melakukan penyerangan brutal serta terbuka seperti ini.

"Siapa kalian? Apakah kalian anak buah River?" tanya Forto.

Amber mengangkat bahu. "Tidak penting kami siapa. Yang utama sekarang, kalian menyerah atau tidak akan ada satu pun yang lolos hidup-hidup dari sini!"

Mengepalkan tangan, Forto menghardik marah. "Perempuan jahanam! Berani-beraninya mengancamku! Ini adalah wilayahku dan kupastikan kalau kalian tidak akan keluar dari sini hidup-hidup! Serang mereka! Habisi, jangan sampai ada yang tersisa!"

Para pengunjung kocar-kacir saat dua kelompok bertarung. Amber bergerak dengan gesit, menusuk, menyayat, serta menikam siapa pun yang mendekat. Anak buahnya yang menyamar sebagai pengunjung, penjual rokok, pengangkut sampah, dan banyak lagi mulai berdatangan membantu. Amber memimpin pertarungan secara langsung, hingga fajar terbit kedua kelompok masih saling menghabisi. Forto melarikan diri saat menyadari kekalahan.

"Kejar dia! Jangan sampai lolos!"

Ambar berlari, diikuti oleh Demitri dan beberapa anak buahnya. Menyusuri gang yang sepi menuju area parkir. Forto menaiki motor dibonceng anak buahnya. Demitri mengambil motor entah siapa, menstarternya dan Amber meloncat ke belakang. Tidak peduli kalau roknya terangkat naik hingga ke pangka paha. Ia menembaki Forto dan merunduk saat ditembak balik. Perlu waktu lama, kejar-kejaran di jalanan raya hingga akhirnya motor yang dinaiki Forto oleng, menabrak trotoar dan jatuh.

Amber meloncat turun dari motor, mengacungkan senjata ke arah Forto. "Menyerah saja, dari pada mati!"

Forto menyeringai. "Lebih baik aku mati dari pada mengalah." Mengacungkan senjata ke arah Amber. Terdengar ledakan, peluru Demitri menembus dada Forto.

Amber berjengit, menatap laki-laki bodoh yang memilih mati. Anak buah Forto merintih di atas aspal menahan kesakitan ketakutan. Amber menyadari kalau matahari mulai terik.

"Bersihkan tempat ini!" perintahnya pada Demitri yang membungkuk.

Perempuan berambut hijau datang dengan sedan hitam, turun dan berlari mendekat. "Miss, ada panggilan dari Madam!"

Amber menerima telepon dengan tangan kiri. "Ya, Mommy."

"Amber, di mana kamu?"

"Sedang kerja."

"Bisa-bisanya kamu lupa ini hari apa?"

"Hah, memangnya hari ini hari apa?"

"Anak Bodoh! Kamu bertunangan hari ini. Cepat datang ke hotel atau kupatahkan kakimu!"

"Sial! Aku lupa hari ini tunangan!" gerutu Amber menyerahkan ponsel pada anak buahnya. "Siapkan kendaraan. Antar aku ke hotel sekarang!"

Jarak yang ditempuh cukup jauh dari area lokasi pertempuran ke hotel tempat pertunangan. Memerlukan waktu dua jam melewati jalan tol dan Amber menyesal tidak membawa pakaian ganti. Kalau pun harus mampir ke butik untuk membeli gaun, sudah tidak ada waktu. Bisa-bisa sang mama memengga kepalanya kalau terlambat.

Tiba di hotel, Amber setengah berlari menyeberangi lobi. Anak buahnya menangani penjaga yang ingin menghentikannya. Ia menaiki lift dan keluar di lantai delapan tepat di sebuah restoran. Menerobos masuk dan berteriak.

"Maaf, aku terlambat."

Semua orang tercengang dengan penampilan Amber. Memakai rok mini hitam, dengan stoking dan sepatu but. Tidak hanya itu, rambut birunya berantakan dan ada darah di gaunnya. Amber tersenyum sambil mengedarkan pandangan ke seleruh ruangan. Senyumnya memudar saat tatapannya terkunci pada satu laki-laki tampan dengan rambut agak panjang yang duduk di samping River. Laki-laki itu memakai anting-anting di telinga kiri dan berpenampilan rapi dengan jas hitam.

"Amber, kenapa diam? Ayo, duduk dan sapa tunanganmu, Jesse Livingston," seru Judy.

Seruan sang mama membuat Amber menghela napas panjang. Retak sudah masa depannya, berganti menjadi kehidupan suram. Seseorang yang keras sepertinya diharuskan menikah dengan laki-laki tampan nanti cantik seperti Jesse Livingston, Amber merasa neraka sedang menunggunya.

.
.
.
Di Karyakarsa update bab 1-5.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro