Coping 3
"Musim dingin adalah satu-satunya musim kita dapat bertemu".
Ada yang bilang kalau kau berdoa di hari pertama hujan turun, doamu itu akan dikabulkan. Jadi, hari ini selama seharian penuh, aku terus berdoa-lagi-kepada Tuhan supaya aku bisa bertemu dengan Mama secepat mungkin. Aku tidak punya cukup waktu untuk terbang ke Indonesia di sela-sela study, sehingga satu-satunya sela study yang bisa aku gunakan untuk bertemu Mama di Indonesia hanyalah saat aku tengah libur yang jatuh di musim dingin.
Sayangnya, tahun lalu aku tidak berhasil bertemu dengan Mama. Padahal, aku mendapat libur ekstra saat itu. Akan tetapi, hari-hari liburku itu harus diisi dengan badai musim dingin terparah selama satu dekade ini. Sehingga, meskipun ada hari dimana badai musim dingin itu reda, Papa tetap melarangku untuk terbang ke Indonesia.
Malamnya, dengan langkah gontai, aku berjalan pulang ke rumah. Pandangan putih akibat salju yang mulai menumpuk tebal pun menambah sendu suasana hatiku. Mungkining lesunya, Nyonya pemilik toko kue di ruko lantai satu sampai iba melihatku. Alhasil, tanganku jadi penuh dengan beberapa kantong kue buatannya yang super lezat. Beberapa jam kemudian, saat Papa pulang, aku memakan kue pemberian Nyonya tadi selepas makan malam. Di sela-sela kegiatanku memamah biak roti lezat itu, Papa beranjak dari kursi, dan memberiku selembar amplop berwarna cokelat.
Amplop itu aneh. Sangat aneh sampai membuat jantungku berdebar lebih kencang dari pada biasanya. Setelah aku melihat ke dalam, ternyata amplop itu berisikan satu tiket perjalanan pulang-pergi ke Indonesia.
"Papa tidak ikut?" tanyaku kemudian. Papa hanya menggeleng kecil sambil mengusap puncak kepalaku.
"Aku menginap sendirian di rumah Bibi, dong?"
"Besok Papa temani pergi ke toko oleh-oleh, ya? Bibi pasti senang kalau kau membawa oleh-oleh untuk keluarganya."
"Sekalian beli bunga untuk Mama?" tanyaku.
Papa tersenyum, kemudian berkata, "Boleh."
Kemudian kami terdiam. Aku masih hanyut dalam pikiranku antara senang dan sedih. Karena, lagi-lagi, Papa tidak bisa ikut terbang ke Indonesia untuk bertemu Mama.
"Masih ingat jalan ke pusara Mama?" tanya Papa tiba-tiba.
Aku menggeleng pelan.
"Kalau begitu, besok minta tolong kakak sepupumu untuk mengantar ke pusara Mama, ya? Jangan pergi sendiri seperti dua tahun lalu."
"Iya, Pa," jawabku lirih karena malu. Setelahnya, telepon rumah berbunyi. Kurasa, itu telepon dari rekan bisnis Papa. Terlihat dari air muka Papa yang langsung berubah serius saat lawan bicaranya bersuara.
Meninggalkan Papa yang masih berbincang di telepon, aku pun beranjak untuk segera bersiap tidur. Walaupun besar kemungkinan kalau malam ini tidurku tidak akan nyenyak. Karena, akhirnya, setelah dua tahun lamanya, aku bisa bertemu dengan Mama kembali. []
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro