(9) Lato-Lato
Rasanya waktu berlalu dengan cepat. Sudah 5 bulan berlalu setelah pernikahan [Nama] dengan Hali. Kini mereka sedang pindah rumah karena [Nama] sudah mau tidur dengan suaminya, walaupun harus ada penghalang di tengah mereka berupa guling.
Rumah besar dengan nuansa putih tiga lantai itu lantas membuat [Nama] menganga. Sudah besar, halaman nya luas pula. "Gila! Gede banget! Ini kalo Hali mati rumahnya jadi punyaku, 'kan? Kalo di jual berapa ya?"
"[Nama], aku mendengar nya."Hali menatap istrinya dengan datar. Gadis itu tersentak, sadar kalo tadi bicara di mulut, bukan di hati.
"Kalo aku mati, kamu jadi janda. Emangnya mau?"
"Mau mau ajalah, kalo jadi janda kaya mah."Nyengir tanpa dosa. Hali memutar bola matanya masuk kedalam rumah sambil menyeret dua buah koper.
"Sabar Hali.. dia istrimu, jangan ditembak. Sabar.."
---
Setelah cukup lama beberes rumah, dua sejoli itu sekarang tengah dalam perjalanan menuju supermarket untuk mengisi kulkas mereka yg kosong melompong. Hali menggandeng tangan [Nama], berulang kali gadis itu melepasnya tapi tetap saja ujung-ujungnya di genggam oleh Hali.
"Aku bisa jalan sendiri, tau!"
"Gak. Tar ilang, atau malah berhenti gara-gara liat mainan kayak tadi."[Nama] berdecih. Tadi ia memang sempat berhenti saat melihat ada orang yg jual mainan. Tapi ini berbeda, itu terlihat menarik karena banyak bocil-bocil yg berkerumun sambil main latto-latto di dekat orang itu.
Dan sekarang [Nama] kembali berhenti saat melihat ada bocil yg memainkan latto-latto lagi. Hali menatap istrinya, menepuk puncak kepala [Nama] sampai gadis itu sedikit tersentak. "Kamu mau mainan itu?"
"Hah? Enggak, aku cuma liat doang. Emangnya nggak boleh?"
"Oh, kirain mau main itu juga."masuk kedalam supermarket, [Nama] memasang wajah datar mendengar tanggapan Hali. "Dasar gak peka!"
---
"Berisik banget sih, bocil latto-latto!"ucap [Nama] yg tengah berada di balkon atas lantai dua. Ia tengah menatap bocah-bocah yg ada di jalanan sambil menyeruput es coklat.
"Bukannya kamu suka bunyi latto-latto?"Hali mendekat, berdiri di samping istrinya. "Suka darimana? Malahan aku pengen musnahin semua mainan itu. Berisik."
"Hm.. gitu. Padahal udah ku beliin."
"Hah? Mana?"[Nama] menatap suaminya dengan cerah. Hali memberikan mainan itu pada [Nama]. Lihat? Suaminya itu bukannya tidak peka, malah dia sangat peka karena tau arti dan maksud dari setiap ucapan istrinya.
Gadis itu kalo ngomong memang suka di bolak-balik. Bilangnya gak mau, padahal dalam hati pengen banget. "Ih, gimana sih, cara mainnya?"[Nama] kesal, berulang kali ia mencoba tapi tetap tidak bisa bertahan lama.
"Benerin dulu, letak talinya. Bodoh banget."
"Iya deh, si paling pintar. Aku mah apa atuh? Cuma otak uang."
"Udang!"
"Gak, bener kok uang."
"Terserah."itu kenyataan karena [Nama] selalu memikirkan uang di kepalanya. Hali lebih mendekat, memegang tangan istrinya, membenarkan tali lato-lato yg terlilit. "Nah, udah. Kalo pas main itu keseimbangannya dijaga."
"Oke."[Nama] kembali mencoba, ia memainkannya nya dulu dengan perlahan, setelah cukup lama, barulah ia memainkannya dengan cepat. Senyum manis terukir di wajahnya. "Wih, bisa! Lihat nih Hali!"
"Iya."Hali tersenyum tipis. Suara latto-latto yg nyaring itu cukup membuat ia terganggu, tapi tak apalah, yg penting [Nama] senang. Gadis itu berteriak, menatap ke arah bocil-bocil yg ada didekat halaman rumahnya.
"Weh, bocil-bocil! Mau adu latto-latto gak? Yg menang kakak beliin PS!"
"Mau kak! Mau!!"
---
"Hali, beliin mereka PS."ucap [Nama] menunjuk empat orang bocah laki-laki yg ada didekatnya. Hali memasang wajah datar, ia sudah menduga kalo gadis itu akan kalah. Lagian, baru bisa main langsung ngelawan counter terkuat di muka bumi, ya pasti kalah lah!
Hali menghela nafas, ia menyerahkan lebih dari 50 lembar uang kepada bocah-bocah itu. "Beli sendiri."wajah mereka langsung sumringah, berlari keluar dari rumah Hali.
"Makasih kak! Kak [Nama], tar kita by one lagi, yak!"
"Jangan [Nama]."
Gadis itu mengangguk dengan malas, duduk di sofa lalu menyalakan tv. "Iya iya. Lagipula aku udah dapat pelajaran hari ini."
"Pelajaran apa?"
"Jangan pernah melawan bocah latto-latto kalo gak mau malu."
"Bagus lah."[Nama] memasang wajah datar. Hali duduk didekatnya, meraih tangan [Nama] yg penuh dengan memar. "Kenapa tangan kamu?"
"Kutukan latto-latto. Tadi jidatku juga kena, kayaknya bentar lagi benjol."
"Emang udah benjol."
"Hah?! Serius?!"gadis itu cepat-cepat mengambil cermin kecil, ia tersentak ketika melihat sebuah lato-lato pindah ke dahinya. "What the heck?! Huaa.. jidatku yg mulus, anj1ng!"
"Mulut."
"Lato-lato sialan! Kau boleh lukai tanganku, tapi tidak dengan wajah mulus ku! Gimana nih..?"
"Gak papa, lucu kok."Hali terkekeh sementara [Nama] tersenyum kesal."Seneng ya, liat istrinya menderita."
"Enggak. Sini, biar ku kompres."Hali menepuk-nepuk sofa menyuruh [Nama] duduk. Ia menaruh es batu kedalam kantong plastik lalu mengompres dahi [Nama] dengan perlahan. Gadis itu menatap wajah tampan suaminya yg cukup dekat. Wajahnya sedikit memerah. Entah kenapa ia merasa semakin lama sifat Hali jadi lebih lembut dari biasanya, wajahnya juga tidak terlalu dingin lagi.
Tapi beda kalo sama orang lain. Kalo dengan orang lain ia akan irit bicara sambil menatap dengan malas. "Kenapa natap terus?"
"Enggak, bingung aja. Akhir-akhir ini kamu jadi lebih banyak bicara, ya? Wajah kamu juga gak terlalu dingin lagi. Berubah banget."
Hali tersenyum tipis. Ia sudah selesai lalu lanjut mengobati tangan [Nama] yg memar. "Kamu juga lumayan berubah. Kenapa?"biasanya [Nama] selalu cuek dengan Hali, marah hanya karena hal kecil dan selalu menatap suaminya dengan tajam. Tapi sekarang tidak lagi. Ya, walaupun sifat pemarah nya itu masih ada.
"Entahlah, kadang aku ngerasa kayak kenal kamu udah lama. Jadi kadang aku.. emm.."[Nama] menggaruk pipinya sambil menatap ke arah lain. Wajahnya memerah sementara Hali mengangkat satu alisnya. "Kadang apa?"
"Kadang aku merasa nyaman, sama.. kamu."ia menunduk. Hali tersenyum. Menyadari itu, [Nama] langsung mengangkat kepalanya. Dalam pikirannya takut kalo Hali akan besar kepala setelah bicara seperti itu. "Tapi kadang-kadang aja, ya! Kadang-kadang! Tetep aja lebih banyak keselnya!"
"Soalnya kan, gara-gara nikah sama kamu, aku harus membuang cita-cita ku yg pengen jadi rich aunty."[Nama] memanyunkan bibirnya. Hali mengangguk sambil terkekeh kecil. "Iya iya."ia mengusap kepala [Nama]. Sebenarnya Aarav menikahkan [Nama] dengan Hali bukan hanya karena permintaan istrinya, tapi ia juga berharap kalo sifat anaknya itu bisa berubah karena serumah dengan teman masa kecilnya.
Dulu setelah [Nama] selesai berobat selama lebih dari satu tahun, ia benar-benar suram. Selalu diam dan marah hanya karena hal kecil, apalagi dengan laki-laki. Tak terhitung berapa kali gadis itu ingin mengakhiri hidupnya. Melukai diri sendiri, bahkan sampai meminta kepada Tuhan untuk memanggilnya setiap dia menangis.
Aarav benar-benar tidak bisa melihat putrinya seperti itu. Ia terpaksa mengikuti saran dokter untuk memberikan nya obat penenang yg memiliki efek samping menyamarkan ingatan.
Setiap hari Aarav menyuruh [Nama] untuk meminumnya sampai gadis itu memakan lebih dari 7 keping obat sekaligus. Ia ingin bunuh diri lagi, tapi itu tidak berhasil karena hanya overdosis dan berakhir hilang ingatan.
Niatnya ingin membuang kenangan buruk walaupun kenangan manis ikut memudar, tapi masa depan tidak ada yg tau.
"Buat apa jadi rich aunty kalo kamu udah punya aku? Kalo kamu mau beli sesuatu, bilang aja."Setidaknya sekarang [Nama] sudah mendapatkan laki-laki yg menyayanginya dengan tulus. Rela melakukan apapun agar dia bisa senang.
Andai ada obat yg bisa mengembalikan kenangan manis, Hali pasti akan membelinya. Tak peduli meskipun harus menghabiskan setengah hartanya.
"Beneran aku boleh beli apa aja?"
"Iya."Hali mengangguk. [Nama] tersenyum iblis. "Kalo begitu aku mau beli lima tas Diol!"
"Iya. Beli aja."[Nama] menganga. Wajah suaminya sangat santai seakan tidak mengeluarkan uang sepeser pun. Yah, dia memang punya banyak uang karena pekerjaan dan cafe coklatnya yg ada dimana-mana. Tapi lima tas Diol? Kau bahkan bisa naik haji sekeluarga dengan uang sebanyak itu!
"Beneran nih, aku boleh beli? Kayak ada yg janggal."[Nama] menatap suaminya dengan curiga. Hali hanya menatapnya sambil tersenyum. [Nama] kenal dengan senyuman itu, ia langsung terdiam mengalihkan tatapannya ke tv. "Gak jadi. Diriku lebih mahal daripada tas Diol."
Hali kalah lagi. Berapa uang yg harus ia keluarkan agar bisa mendapatkan [Nama] sepenuhnya?!
[Bersambung]
Bye bye~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro