Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

(10) Bersama (end)

"Hey! Apa yg kau lakukan?! Gila, ya?!" Seorang bocah gembul berteriak marah kala [Nama] kecil mengambil semua balonnya, dan menerbangkannya ke udara. "Huwaaa! Balon-balon ku!"

[Nama] tak acuh. Perlahan menghampiri bocah laki-laki lain yg meringkuk di sudut tembok, dengan kedua tangan menutup telinga. Tubuhnya bergetar. Angin meniup beberapa helai rambut coklat dengan sejumput perak di balik topi itu. Kepalanya terangkat balas menatap [Nama] dengan mata sembap.

"Kau--auch!" Ucapan [Nama] terhenti, kepalanya menoleh, mendelik tajam pada bocah gembul tadi yg melempar sepatu ke punggungnya.

"Dasar pengganggu! Cewek aneh! Ganti semua balonku!"

"Kau tidak punya kaca di rumah, ya? Kau yg pengganggu!" balas [Nama], berbalik menghadap, menendang sepatu tadi. Bocah itu tersentak, menggeram kesal. Memang benar tadi dia mengganggu Hali, menakuti cowok bertopi itu dengan memainkan balon dan meledak-ledakannya.

Tapi peduli amat. "Ya terus? Terserah akulah. Kau seharusnya gak usah ikut-ikutan!"

"Ya terus? Terserah akulah, kalau mau ikut-ikutan!" [Nama] menjulurkan lidah. Semakin berdesir lah darah si bocah gembul, apalagi ketika gadis itu menusuk-nusuk perutnya dengan ranting. "Nih, balon mu masih sisa satu, juga. Yg paling besar, pula. Gak terbang semua. Aku gak perlu ganti rugi, dong?" Nyengir.

Si bocah gembul mundur, memeluk perutnya. Gigi bergelatuk tanda emosi sudah di puncak. Tapi [Nama] tak berhenti di situ. "Ya, bagus. Pegang perutmu erat-erat biar gak meletus atau terbang kayak balon lain."

"Dasar body shimmer!"

Alis [Nama] naik, di pandangnya tubuh sendiri dari tangan sampai kaki, lalu tersenyum lebar. "Oh, kau mengatakan tubuhku berkilau? Terimakasih."

Si gembul menganga, menggeleng cepat. "Bukan, bukan itu yg ingin ku bilang! Yg ingin ku bilang, kau... body swimming!"

"Kalau begitu tubuhku langsing, dong."

"Akhh! Bukan ituuu! Maksudnya kau itu body... body... Ah! Bodo amat." Kakinya menghentak pergi, memungut sepatu dan sejenak memberi tatapan tajam pada mereka berdua. "Awas, kau!"

[Nama] hanya melambai, kembali menghampiri bocah bertopi itu, yg kini memandangnya dingin lalu memalingkan wajah. "Kau pasti juga mau mengejek kenapa laki-laki sepertiku takut balon bukan?" Suaranya pelan.

"Wah, buruk sangka." [Nama] menggeleng, berdecak. "Aku tidak akan bilang begitu. Semua manusia kan punya ketakutan masing-masing. Kecuali jika kau alien jahat, baru aku akan mengejek mu kenapa bisa takut dengan balon."

[Nama] ikut duduk di samping cowok itu, tersenyum simpul. "Kau tahu, aku sendiri takut dengan... Ah, tidak. Jika ku beritahu, nanti kau akan menggunakannya untuk menakuti ku."

Bocah itu tak memalingkan wajah lagi, tatapan dinginnya memudar, samar berganti geli. "Sekarang kau yg buruk sangka padaku."

Tertawa [Nama] mendengarnya. Dan tersenyum tipis Hali kala teringat masa kecilnya, ketika mengantar bocah TK yg tersesat kini berlari riang menghampiri ibu guru.

"Astaga, Syauki, Bu Guru sangat khawatir denganmu, tau! Kau ini, suka sekali keluyuran jika sedang jalan santai," omel wanita berkerudung merah muda itu. Si bocah hanya terkekeh, tak merasa bersalah. "Terimakasih Pak Hali, sudah membantu Syauki lagi."

Hali menggeleng, "Tak masalah. Sudah tugasku." senyum tipisnya tak hilang. "Dan Yaya, kau ini seperti dengan siapa saja. Tidak usah memanggil ku dengan 'pak'."

"Kau kan sedang bekerja. Sekalian juga aku ingin memberi contoh pada anak-anak bagaimana memanggilmu," jawab Yaya. Itu benar juga. Anak-anak TK sekitar 14 orang termasuk Syauki itu, mengelilingi Hali dengan tatapan kagum dan penasaran. Mereka memanggil-manggil, bertanya berbagai hal polos pada Hali. Salah satunya bahkan berani memainkan ujung seragam polisi itu, yg langsung di tegur ibu guru mereka. "Roni, kau tidak sopan!"

Hali tidak terlalu masalah, dia juga mengobrol dengan Yaya dan bermain sebentar dengan anak-anak, sebelum kembali ke patroli. Dan [Nama] melihat hal itu ketika taksi yg dia gunakan melintas melewati sekolah. Mereka tampak serasi. Seperti sepasang suami istri yg memiliki kehidupan harmonis, pikirnya.

[Nama] juga tahu, jika Yaya itu mantan Hali dulu saat SMA, cerita teman kuliah [Nama]. Mengingatnya membuat perempuan itu tersenyum pahit. Antara karena kasihan pada Hali, atau pada diri sendiri.

---

19.05, saat Hali melihat jam arloji yg melingkar di pergelangannya ketika dia baru pulang ke rumah. Topi polisi itu di taruh di atas meja. Jarinya menyisir rambut ke belakang, menghela panjang. Tadi jalanan macet, belum lagi tugasnya bertambah karena harus mengejar beberapa perampok yg melakukan aksi di siang bolong. Hali lelah.

Kakinya melangkah menuju dapur, ingin mengambil air minum. Ekspresinya datar seperti biasa, sampai matanya sedikit membelalak ketika melihat [Nama] tertidur berbantalkan lengan di atas meja makan. Di atas meja itu, sudah tersaji berbagai hidangan. Ayam bakar. Sayur bening. Tahu, tempe, dan udang goreng. Tak lupa minuman coklat Tok Aba yg sudah dingin karena terlalu lama di diamkan.

Pantas tadi Hali mencium bau harum saat menuju dapur. [Nama] melakukan itu semua? Untuknya? Well, masakan [Nama] akhir-akhir ini memang jadi lebih baik.

Senyum tipis terukir di bibir Hali, merasa bersalah tadi sempat lupa jika sudah punya istri. "Nama]... Hey, bangun." Dengan pelan pria itu menggoyangkan lengan si wanita, tapi tak bangun juga. Kepalanya di tepuk, pipi di towel-towel dengan sendok, tetap saja hasilnya sama. Hanya lenguhan kecil yg Hali terima, dengan mata si perempuan tetap terpejam sempurna.

Hali menghela. Dia putuskan untuk menunduk, mendekatkan wajahnya pada [Nama]. "My Dear, bangun...." bisik Hali. Nafas hangatnya yg berbau mint menerpa kulit [Nama], sontak membuat perempuan itu terbangun dan melayangkan serangan.

Untung saja Hali sempat menghindar. Refleknya semakin bagus sejak menikah. Ada manfaat lain juga dia bersama perempuan ini yg mudah terkejut, dan melakukan serangan tanpa aba-aba jika berhubungan dengan laki-laki.

"Kau mengagetkan ku!" ucap [Nama], menenangkan jantungnya yg tadi mencelus tak terkira.

"Maaf. Apa aku menghancurkan mimpi indah mu?" Hali menarik kursi dan duduk di seberang.

"Ti-tidak juga. Justru kau menolongku kabur dari mimpi buruk."

"Apa itu ucapan terimakasih?"

"Terserah kau menganggapnya bagaimana," [Nama] menjawab datar, membenarkan posisi duduknya. "Kau... sudah makan malam?"

"Sebenarnya sudah--"

"Dengan Yaya, ya?"

"Huh?" Hali cengo mendengarnya. Nada suara [Nama] tetap sama, tapi entah kenapa terasa ada yg salah.

"Ku dengar tadi siang Yaya mengajakmu makan-makan di rumahnya."

Oh... Sekarang Hali tahu. Meski dia cukup terkejut [Nama] bisa tahu soal itu. Well, siswi terbaik jurusan bahasa memang tidak bisa di remehkan. Mereka tau ucapan seseorang dari jauh hanya dengan melihat gerakan mulut. "Iya, benar. Tadi dia mengajak ku," jawab Hali, dan bisa di lihat wajah istrinya itu sedikit masam. Ini kesempatan bagus untuk menggoda. "Kenapa? Kau sepertinya tak suka. Cemburu?"

[Nama] menghela, menggeleng kecil. Seharusnya Hali tidak mengatakan itu, tentu [Nama] tak suka, cemburu. Lihatlah tangannya itu, di penuhi luka-luka, pasti akibat memasak. Susah payah dia membuatkan makanan, suaminya ternyata justru makan di rumah mantan. "Hali..., Aku sudah memikirkan ini sejak lama."

"Hm? Memikirkan apa?" Sambil meminum coklat, dia memandang [Nama] yg tak mau balas menatapnya.

"Jika kau sudah lelah padaku, kita bisa bercerai saja."

Byuur!!

"Mreeow!!" Terjengkit Kusnaedi ketika Hali tiba-tiba menyemburkan minuman ke samping, mengenai kucing mereka.

Pria itu terbatuk, matanya membelalak tak percaya. "Kau bilang apa? Ulangi." Hali membersihkan mulutnya dengan tisu pemberian [Nama].

"Ku bilang, jika kau lelah padaku, ayo bercerai saja. Kau tahu, sifatku menyebalkan. Bukan istri yg baik, yg tak bisa memberimu kesenangan. Tak bisa memberimu anak banyak seperti yg ayahmu harapkan."

Hali melongo. Apa godaan tadi terlalu parah sampai istrinya itu tiba-tiba bicara seperti ini? "[Nama]...."

"Aku tak apa. Kau akan lebih bahagia dengan perempuan lain."

Terdiam Hali, kala tatapan [Nama] kini menghunus lurus padanya. "[Nama], apa kau mengatakan itu karena tak ingin lagi bersamaku? Atau karena menyayangiku?"

Perempuan itu diam, kembali memalingkan wajah.

"Baiklah, ku rasa keduanya." Hali bangkit. "Dengar, [Nama], soal yg tadi, aku hanya bercanda. Aku memang sudah makan di rumah Yaya, tapi hanya sedikit. Masih bisa makan malam denganmu. Tidak bisa ku tolak masakan istriku yg enak." Hali mengarahkan mata ke arah lain sejenak, merasa sedikit malu dengan ucapan terakhirnya.

"Aku tidak mempermasalahkan soal itu."

"Tapi hal itu juga jadi pendorong mu mengutarakan hal ini, bukan?" Dia melangkah menghampiri istrinya, berdiri di samping dengan satu tangan bertumpu di sandaran kursi, di belakang [Nama]. "Kau tahu, setiap 2 kali setahun, kami mengadakan reuni agar persahabatan tetap terjaga. Rumahnya bergantian. Dan bukan hanya ada aku serta Yaya di sana. Adik-adik ku, Gopal, Ying, Fang, bahkan Papa Zola juga ada."

"Oh...." Sekarang [Nama] paham. But still, bukan hanya karena hal itu jadi pendorong dia mengatakan soal perceraian. Tapi soal....

"Kau merasa bersalah padaku?" Ya, soal itu. Jika sebelumnya dia ketus demi menjaga diri akibat takut dengan laki-laki, akhir-akhir ini perasaan tak pantas bersama Hali lebih menggerogoti.

"[Nama], maafkan aku selama ini kadang menggodamu dengan hal yg kau takutkan itu. Ujian ku sepertinya terlalu berlebihan." Pria itu sedikit menunduk, agar bisa melihat wajah cantik istrinya dengan lebih jelas. "Dan aku tak masalah dengan kau yg selalu memarahi ku setelahnya, toh itu memang pantas untukku."

"Kau perempuan kuat." Bibirnya tersenyum tipis. Tangan Hali mengusap pelan puncak kepala [Nama], membuat perempuan itu mendongak bingung. Ya, [Nama] kuat. Dengan semua trauma dan ketakutan itu, dia tetap menginjakkan kaki di bumi, bukannya bunuh diri.

"Hubungan bukan selalu soal bercumbu, aku tak masalah kita tak bisa melakukan itu. Aku lebih menginginkan kau merasa nyaman denganku. [Nama] yg tersenyum, tetap di sisi ku saja sudah cukup untukku."

Ucapan Halilintar begitu lembut, seperti tatapannya. Entah kenapa jantung [Nama] kembali berdegup tak karuan. Dan Hali mengatakan hal lain lagi, yg sukses membuat perempuan itu tersenyum perlahan. "Berjanjilah [Nama] selalu bersamaku, dengan tetap menjadi dirimu. Let's fighting this world together, shall we?"

Kepala [Nama] mengangguk, mengaitkan kelingkingnya seperti ajakan Hali. "Mesin kulkas mu rusak, ya? Atau di ubah Doraemon jadi mesin gulali?" goda [Nama] sedikit mengejek, setelah selesai menautkan jarinya, menyeringai tipis. Karena jarang sekali Hali bicara panjang lebar, manis pula.

Pria itu tersenyum kesal, memutar bola mata dan kembali ke kursinya. "Ku rasa. Terserahlah. Setidaknya aku bukan matahari sepertimu yg selalu pandai melelehkan momen romantis."

"Sebenarnya perkataan mu cukup murahan."

"Biarin. Daripada kau, tsundere, sering tidak mau mengutarakan perasaan yg sebenar."

"Kau juga tsundere, Pikachu."

"Itu dulu, sekarang sudah berkurang!"

"Tetap saja artinya kau juga tsundere!"

Kusnaedi, sambil menjilati tubuh, menatap datar pada kedua majikannya yg berdebat. Jika dia bisa bicara, mungkin dia akan bilang, "jodoh cerminan diri. Mereka real soulmate sejati." Ya, semoga. Dan ku harap mereka juga jodoh di kehidupan lainnya.

[End]

Yes!! Akhirnya tamat! Lama banget ya, setahun lebih kayaknya. Hahaha. Parah.

Maaf sebesar-besarnya ya, kalau ada tulisanku yg bikin kalian gak suka. Ini cuma fiksi. Ambil baiknya, buang buruknya.

By the way, itu chapter² sebelumnya biarin aja yak, tulisannya begitu. Malas ngerevisi. Ehe.

Bye~!

Ily ♡

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro