9. Terlambat
- Terlambat -
"Panik amat, Neng?"
Mendengar suara itu, Sila segera menolehkan kepalanya ke asal suara. Seketika matanya melebar ketika mendapati seorang cowok bermata minim tengah mengisap rokok di sampingnya.
"Anjir! Perasaan di mana-mana ada elo mulu, sih!" omel Sila dengan tangan mengibas-ngibas di udara.
"Jodoh kali."
Sila menoleh dengan raut wajah kebingungan. Gadis itu tidak mendengar apa yang Nizam katakan.
"Lo mau masuk, apa mau nungguin pak satpam bukain?" tanya Nizam sambil menginjak puntung rokoknya.
Sila mengernyit. "Emang kalo mau masuk lewat mana?"
"Mau? Ayo ikut!" Tanpa menunggu persetujuan, Nizam langsung menarik tangan Sila menuju ke tempat yang ia maksud.
Keduanya sampai di tempat tujuan, yang ternyata terletak di belakang sekolah. Mata Sila seketika melotot kala disuguhkan dengan tembok kokoh menjulang tinggi dengan lumut-lumut yang menempel di kanan kirinya. Sila kira bakal ada pintu rahasia, atau setidaknya lubang kecil yang biasa buat cowok-cowok di novel bolos. Eh ternyata ... begini doang?
"Lo duluan. Takutnya ilang kalo terakhir."
Sila tidak menggubris. Ia sibuk melihat tembok tinggi di hadapannya sambil menelan ludah kasar. "Seriusan gue panjat nih tembok?" Mata Sila melirik ke arah Nizam.
"Iya. Bisa gak lo?" tanya Nizam. Ledekan terlihat jelas di wajahnya. "Makanya, tumbuh ke atas, dong. Jangan ke samping!"
Sila mengepalkan kedua tangan erat. Ia sudah siap melayangkannya ke muka tengil Nizam. Namun, tiba-tiba niatnya ia urungkan menjadi mengelus dada. Sila tidak ingin bermasalah lagi dengan cowok tengil di hadapannya itu.
"Sabar, Sil. Orang sabar pantatnya lebar. Eh, rejekinya jembar."
Nizam yang melihat tingkah konyol Sila kembali tertawa. "Bentar, gue cariin tangga dulu," ucapnya dengan sisa-sisa tawa. Ia pun kemudian berlalu entah ke mana.
Selang beberapa menit, akhirnya Nizam datang dengan membawa tangga di kedua tangannya. Cowok itu segera memosisikannya menjadi bersandar di tembok berlumut. "Udah naik!"
Tanpa banyak protes dan tanya, Sila mengikuti perintah Nizam. Sebelah kakinya terangkat ke atas anak tangga pertama. Namun, saat Sila akan memijakkan kakinya lagi di anak tangga ketiga, seolah teringat sesuatu, gadis itu langsung merapatkan roknya dengan pandangan menoleh ke bawah.
"Jangan ngintip, woy!" teriaknya kepada Nizam yang tengah mengedarkan pandangan.
Nizam memutar bola mata jengah. "Iya, iya. Gak napsu juga, gue. Orang badan kecil gitu!" cibirnya.
Sila mengembuskan napas lega. Ia tidak menggubris dan mulai konsentrasi menaiki anak tangga satu per satu.
Perlahan tapi pasti, akhirnya Sila sampai di puncak tembok kokoh itu.
Bukannya segera turun, Sila malah tampak celingukan di atas sana. "Eh, ini gue turunnya gimana?"
"Kan ada pohon mangga, lo panjatlah!" jawab Nizam tanpa mendongak.
"Oh, iya, ding."
"Dasar bege! Udah cepet!" perintahnya. Menit berikutnya ia kembali bbertanya, "Udah belom?"
"Dah!" Suara Sila terdengar dari balik tembok.
Mendengar itu, Nizam segera mengambil tangganya dan malah menidurkannya di samping tembok.
Tanpa memakan banyak waktu, kini Nizam sudah ada di hadapan Sila. Cowok itu memanjat pagar tanpa bantuan tangga.
Mendengar suara berdebum, Sila seketika menoleh. Cewek itu menjengkit ketika matanya mendapati Nizam yang sudah berada di depannya. "Buset! Cepet amat! Loncat apa manjat, sih?"
"Nizam gitu loh!"
Setelah berkata demikian, Nizam langsung menarik pergelangan tangan Sila tanpa memedulikan si empu yang terkejut akan gerakan tiba-tibanya.
Mereka berdua mengendap-endap. Menempelkan diri di sisi tembok, dan berjongkok di semak-semak kala mata mereka menangkap sosok guru. Terus seperti itu hingga keduanya sampai di bangunan gedung F.
Inilah yang paling berat. Di sana terlihat Pak Ben yang tengah membawa penggaris kayu andalannya sembari berkeliling. Selain menjadi guru Matematika, Pak Bendot juga merangkap menjadi guru Bimbingan Konseling di sekolah ini.
Saat guru itu hendak mendekat, buru-buru keduanya berjongkok agar tidak terlihat.
Berhasil! Pak Bendot berjalan melewati mereka begitu saja.
Namun, saat keduanya hendak beranjak dari sana, kaki Sila tidak sengaja menginjak ranting pohon yang ada di bawahnya.
Kretek!
Sontak kepala pak Bendot langsung menoleh ke sumber suara. "SIAPA DI SANA?"
"Kabuuur!"
Nizam segera menyeret tangan Sila menjauh dari sana. Mereka berdua lari tunggang langgang tidak tentu arah.
Tidak peduli. Kini, yang ada di pikiran keduanya hanya satu, MENGHINDARI KEJARAN PAK BENDOT!
Tidak tentu arah ... tidak tentu arah.
Jalan ini lagi ... jalan ini lagi.
Lima kali, Sila, Nizam, juga pak Bendot bermain kejar-kejaran memutari gedung F yang luas ini.
Keduanya sampai tidak sadar jika langkahnya malah sampai di atap sekolah. Pak Bendot sudah tidak terlihat mengejar lagi. Mungkin guru itu sudah kelelahan diputar-putar oleh kedua muridnya ini.
"Kok ke sini, sih?" tanya Sila dengan dahi mengernyit.
"Emang mau ke mana? Ke kelas? Entar lo dihukum sama pak Ben di jemur di bawah tiang bendera, mau? Ya ... kalo gue, sih, ga pa-pa," ucapnya sambil berbalik badan, pura-pura ingin pergi.
"Eh." Sila mencekal lengan Nizam. Membuat cowok itu diam-diam menahan senyumannya. "Di sini aja deh, nggak pa-pa," lanjut Sila.
Nizam melirik ke arah tangannya. "Modus kalem, Neng?"
Refleks Sila menarik tangannya menjauh. Gadis itu membuang muka dengan pipi merona.
"Cie, salting ...," ledeknya.
"Nggak! Udah, ah."
"Mau megang lagi juga gak pa-pa. Jangankan di tangan, yang lain juga boleh, kok," goda Nizam sambil mengerlingkan mata genit.
"NIZAAAM!"
Nizam tergelak. Cowok itu terlihat sangat puas menjaili Sila. Mulai hari ini, hobi gue gangguin lo Asila Sefia.
***
Setelah bel istirahat berbunyi, Sila memutuskan untuk pergi ke kelas. Cewek itu mengedarkan pandangan dan menemukan Risma tengah duduk di bangku mereka.
Sila satu bangku dengan Risma. Sedangkan Ulfa satu bangku dengan Idha. Kali ini Sila duduk di bangku pojok depan, karena setiap minggunya kelas ini selalu pindah bangku 'yang belakang biar ngerasain rasanya di depan' katanya. Jadi, otomatis Sila lebih dekat dengan Risma daripada sahabat yang lainnya.
"Ris!" panggilnya.
Risma menoleh, matanya langsung menatap sebal ke arah Sila. "Dari mana aja lo, Siiil? UKS lagi?" tanyanya.
"Gue telat," ujarnya sambil cengengesan.
"Seriusan? Kok lo bisa masuk tanpa dihukum? Kan biasanya yang bukain Pak Satpam pas istirahat, terus diserahin ke Pak Ben. Kok lo enggak? Lo lewat mana?" tanya Risma bertubi-tubi dengan mata memicing.
"Nanyanya satu-satu, dong, Ris! Kan bingung gue jawabnya gimana!" omel Sila dengan bibir mengerucut sebal.
"Nggak ada pengulangan. Gue aja udah lupa sama yang gue bilang."
"Lah, lupa? Yaudah, ga usah nanya aja."
"Ih, Sila ... cepetan! Gue udah kepo tingkat dewa iniii!"
Sila tergelak. "Haha, Iya deh. Ututu, sahabat gue ngambekan ya?" Sila memonyongkan bibirnya sambil menarik pipi Risma. "Gue tadi ketemu Nizam pas di depan gerb--"
"Kak Nizam kapten basket itu?"
Sila memutar bola mata malas. "Iya, ih, dengerin dulu makanya."
"Terus-terus?"
"Dia bantuin gue masuk lewat belakang sekolah biar gak kena hukuman," lanjutnya.
"Eh, seriusan?"
Sila memutar bola mata. "Emang ekspresi gue kayak orang becanda?"
"Iya, deh. Yang abis ditolongin the prince of school," ledek Risma. Sedetik kemudian matanya memicing. "Tapi kok lo gak langsung masuk kelas?" tanyanya.
"Gue sama Nizam tadi hampir ketangkep sama Pak Ben. Jadi, kita ke rooftop dulu sambil nunggu bel istirahat bunyi. Itung-itung cari aman," jawab Sila sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Risma berdehem. Senyum jail mengembang di bibirnya. "Ehem-ehem! Cari aman apa mau pedekate sekalian, nih?" Risma menaikkan sebelah alisnya dengan tangan menoel-noel pipi Sila.
"Apaan, sih, Ris ...."
"Acieee, mukanya merah tuh!"
"Enggak! Udah, ah. Ngantin aja, yuk. Laper nih gue ...," ucap Sila berusaha mengalihkan pembicaraan. "Eh, Ulfa sama Idha mana? Kok gak keliatan ujung rambutnya?" tanya Sila dengan mata menyapu ruang kelas.
"Tadi, sih, katanya mau ke toilet. Palingan sekarang udah di kantin."
"Yaudah, susul, yuk!"
***
IKUT YUK!
24/10/2021
Instagram/TikTok @wishasaaa
Jangan lupa jejaknya ya...😘💖
👇
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro