3. Cowok Sialan
Cowok bermata sipit dengan gelang retro mengikat pergelangan tangannya itu kini tengah dalam mode malas menatap papan tulis. Biasanya, walau bagaimanapun keadaannya, cowok itu akan tetap memperhatikan meski sekadar mendengar tanpa mau repot-repot nyalin di buku tulis. Namun, setidaknya tetap mau, tidak seperti sekarang. Cowok itu terlalu malas hari ini.
Bayangkan saja, habis kena hukum karena tidak memakai atribut lengkap di bawah sinar matahari langsung, kini malah matanya disuguhi deretan angka yang amat sangat membuat iritasi mata. Tiga jam, lagi. Bagaimana tidak setres, coba?
Apalagi sekarang baru masuk jam pertama. Hm, Nizam dan kawan-kawan hanya bisa berdoa, semoga ada keajaiban.
Bel tanda pergantian jam mulai berbunyi, dengan arti lain, pelajaran Matematika tinggal dua jam lagi. Semua murid mendesah lega. Setidaknya, pelajaran ini sudah berkurang satu jam.
Namun, kelegaan mereka segera sirna kala melihat guru killer berkepala botak itu malah menuliskan dua puluh soal uraian di papan tulis putih. Samar-samar terdengar decakan. Alamat ini alamat!
"Sekarang, kalian kerjakan uraian ini beserta tugas halaman 10 sampai 12. Saya mau keluar sebentar. Jangan rame! Tugas dikumpulkan setelah jam saya selesai. Ga ada besok-besok! Paham?"
Tuh, kan?
"Paham, Pak!"
"Baik, saya pergi dulu." Setelah berkata demikian, guru berkepala pelontos dengan nickname Bendot itu pun kemudian berlalu. Meninggalkan kelas dengan murid yang tampak diam-diam mengumpat kepergiannya.
"Dasar guru killer! Masuk enggak masuk sama aja, sukanya bikin tensi darah naik!" seru Nizam—cowok bermata sipit itu—kesal.
"Kayak nggak tau guru itu aja, lo." David—teman sebangku sekaligus sahabat Nizam—menyahut.
"Nah ... lagian daripada ngerjain, mending mabar, nggak, sih?" Erik mulai menghasut. playboy cap kaleng kerupuk itu mulai membuka aplikasi game online di ponselnya.
Tadinya Erik berniat melakukan video call dengan pacar barunya di sekolah sebelah. Akan tetapi, mengingat masih jam belajar, cowok itu menjadi urung.
Lagian, kalau dirinya tidak mengerjakan tugas, kan, akan mendapat hukuman. Lumayanlah, buat tebar pesona ke dedek-dedek gemoy.
"Gas!" seru David dan Nizam bersamaan. Tanpa menunggu lama, kini ketiganya sudah larut dalam permainan. Terdengar semakin seru dengan mulut yang ikut bersorak tidak jelas. Bodo amat dengan protesan temen-temannya dan bodo amat pula dengan hukuman tidak main-main yang sudah Pak Bendot persiapkan. Kini yang terpenting, kepala mereka terbebas dengan angka-angka yang baru saja mencekik otaknya.
Sampai tanpa sadar, bunyi bel kedua setelah guru killer itu meninggalkan kelas, ternyata sudah berbunyi. Namun, selama itu pula tiga cowok bar-bar itu habiskan untuk bermain game online.
Suara dua buah sepatu yang saling bergesekan dengan lantai koridor sudah mulai terdengar dari arah luar kelas. Seolah tabuhan genderang perang, jantung semua murid yang berada di dalam kelas seketika berdetak dua kali lebih cepat. Mereka semua yakin, bahwa si pemilik sepatu itu adalah si guru botak alias Pak Bendot. Mampus!
Di saat siswa lain mulai mencari dan berebut contekan, tiga remaja yang tadi sibuk bermain game itu malah terlihat sangat santai seolah mereka sudah selesai mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru itu. Padahal aslinya, buku mereka masih putih bersih tak tersentuh tinta sedikit pun. Sangat teladan, bukan?
Pak Bendot sudah mulai memasuki kelas dengan penggaris kayu panjang berada di tangan kanannya. Melihat hal itu, kelas yang tadinya ribut, kini mendadak hening.
"KUMPULKAN SEKARANG!" sentaknya disertai pukulan penggaris dengan meja.
Dengan takut-takut, satu per satu dari mereka mulai melangkah mengumpulkan tugasnya di meja guru dengan hati-hati.
Setelah merasa tidak ada lagi yang melangkah mengumpulkan tugas, kini Pak Bendot mulai menghitung jumlah buku di mejanya. Seketika matanya mengernyit.
"Siapa yang belum mengumpulkan tugas?" tanyanya. Tanpa ragu, pandangannya tertuju ke arah tiga cowok berseragam urakan di meja paling pojok.
"Nizam, Erik, David, maju sini!"
Ketiga pemuda yang merasa namanya dipanggil itu pun maju dengan gagah dan percaya diri, seolah tidak ada masalah yang berarti. Bahkan ketika sampai di depan guru itu, bukannya takut, ketiganya malah menampilkan cengiran lebar.
"Ada apa, Pak? Tumben manggil-manggil kami bertiga. Mau minta tanda tangan, ya?" Itu celetukan Nizam. Cowok bermata minim itu memang terkenal tak segan dengan guru-guru.
Pak Ben menatap ketiganya tajam. Matanya memerah, mukanya hampir gosong saking merahnya. Bahkan jika diibaratkan film kartun, pasti di kedua telinga itu sudah keluar asap hitam tebal dari sana. Tampak sekali jika guru itu sangat kesal oleh kelakuan tiga pemuda di depannya itu.
"Mana tugas kalian?"
"Bulpen saya hilang, Pak," seru David.
"Buku saya habis, Pak," timpal Nizam
"Otak saya, sariawan, Pak!" Kini jawaban itu berasal dari Erik. Sontak, satu kelas tertawa mendengar jawaban-jawaban absurd itu. Mereka bahkan mengabaikan muka merah Pak Bendot yang sudah hampir meledak di depan sana.
"KALIAN INIII!" Pak Bendot melotot. "CEPAT PUTARI LAPANGAN LIMA BELAS KALI!"
"Eh, kok banyak banget, sih, Pak? Lima kali aja, ya? Ya?" Kedua tangan Nizam menangkup diikuti alis naik-turun.
"Malah nawar! Dikira beli cabe, apa?" Guru pelontos itu semakin melotot. "CEPAT LARI SEKARANG!"
Terkejut! Ketiga cowok itu serentak menegakkan badan. "SIAP PAK!" seru ketiganya kompak, siap melaksanakan tugas dari Pak Bendot untuk mengelilingi lapangan yang luasnya mirip dengan GBK.
***
"Semua siswa-siswi yang tadi pagi tidak beratribut lengkap, harap kumpul di depan ruang BK! Sekali lagi, untuk semua siswa-siswi ...."
"Ash, iya-iya! Berisik amat, tuh, toa!" Sila terlihat bergegas memasukkan semua barang ke dalam tas setelah mendengar pengumuman itu.
"Sil, kita pulang dulu, ya! Selamat bertugas!" pamit Idha.
"Gue juga pulang dulu, ya, Sil. Ada latihan Taekwondo." Itu Ulfa. Gadis tomboi itu sudah siap dengan jaket kulit yang membalut tubuhnya.
"Oke, guys! Hati-hati!"
"Sil, lo pulangnya naik apa?" tanya Risma, teman sebangku sekaligus sahabat Sila. Gadis berwajah imut itu terlihat sudah siap dengan tas laptop yang nangkring di punggungnya.
"Motor, dong ... kan gue bawa." Sila nyengir. Ia kemudian berjalan ke luar kelas diikuti Risma dan Bobby di belakangnya.
Jujur saja, Sila sangat malas dengan hukuman ini. Dirinya bahkan berniat bolos dan pulang sekarang. Namun, itu berat, cuy! Konsekuensinya, ia bakal dapat nilai C di raport nanti. Ya jelas Sila tidak mau, dong! Mending jalanin hukuman daripada harus dapat nilai C.
Risma terkekeh. "Gak nabrak lagi, kan?"
"Risma, ih ....” Sila mendengkus. “Jangan diingetin mulu, deh. Malu, tau!”
Risma terbahak. Pikirannya otomatis teringat dengan kejadian itu tempo lalu. "Iya, deh. Kebetulan Pak Ujang udah nunggu, nih. Gue duluan, ya! Dada, Cilaaa!"
"Dada, Cismaaa!" Sila terkekeh. Tangannya melambai ke arah Risma.
Bobby yang merasa diabaikan dari tadi akhirnya bergidik dan berakhir menoyor kepala Sila. "Alay lo, Nyil!"
"Sirik ae lo, Spong!"
Tidak perlu waktu lama. Kini dua orang tadi sudah berada di depan ruang BK. Mereka kemudian disuruh mengisi presensi hadir yang tadi pagi sudah diisi nama lengkap beserta kelas mereka masing-masing.
Sila mengeluarkan bolpoin biru dari dalam tasnya. Gadis itu kemudian melangkah ke arah meja berisi buku presensi yang sudah terlihat sepi.
Namun, baru saja tinta bolpoin Sila ingin menyentuh kertas, tiba-tiba, benda itu sudah disambar terlebih dahulu oleh seseorang. Menyebabkan garis keriting-lah yang mewakili presensinya.
"Gue dulu, ya!" ujar orang itu tiba-tiba.
Mata gadis mungil itu seketika melotot. Bibirnya pun ikut komat-kamit. Tidak salah lagi, Sila sudah siap menyumpah-serapahi orang di belakangnya itu.
Dan akhirnya ....
"Nih!"
"ELO!"
"ELO!"
Dua remaja beda gender itu melotot dengan tangan saling menunjuk. Keduanya sama-sama terkejut. Tidak menyangka akan kembali bertemu setelah kejadian tidak mengenakkan tadi pagi.
"Lo ngapain di sini!" Sila merampas kembali bolpoinnya yang berada di tangan kanan cowok itu.
"Lo sendiri ngapain di sini?"
Sila menatap tajam. "Ini semua gara-gara lo, tau, nggak!"
"Loh, kok gue?" Cowok bermata sipit itu terlihat melebarkan mata. Tidak terima dengan tuduhan yang dilontarkan gadis di depannya itu..
"Heh! Lo pikir siapa tadi pagi yang nabrak orang seenak jidat?"
Nizam mengernyit bingung. Yap, cowok penyambar tadi adalah Nizam Al Gibran. Orang yang sama dengan yang tadi pagi.
"Loh? Masa cuma karena ketabrak doang, lo jadi kehukum? Gak mungkin! Pasti tadi lo nggak ikut upacara, terus malah pergi ke kantin, ya? Hayo, ngaku lo! Lo masih bocah, gak usah sok nakal-nakal dulu, deh."
Duk!
"Gara-gara lo, topi gue kecemplung got, bego!" Sila menendang keras kaki kiri Nizam. Gadis itu rupanya sudah habis kesabaran meladeni cowok di depannya itu.
Nizam meringis. Sedetik kemudian, cowok itu terbahak mendengar sebab dari cewek di depannya ini dihukum. Anjir, random banget ini makhluk satu.
"Malah ketawa!" Sila kian sebal. Cowok ini memang menyebalkan. Rasanya, Sila ingin menendang orang di depannya ini ke Laut Antartika sekarang juga. "Pokoknya gue gak mau tau. Lo harus tanggung jawab!" tukas Sila sinis.
"Tanggung jawab? Nikahin lo, gitu maksudnya?" tanyanya dengan muka menahan tawa. Sila yakin, orang di depannya ini memang niat sekali mengerjai dirinya.
"Gara-gara lo, gue jadi nggak bisa latihan, bego!" Sila kembali menendang keras kaki cowok itu. "Pokoknya lo harus tanggung jawab! Lo harus gantiin hukuman gue!"
Nizam tampak meringis sembari mengusap tulang keringnya. "Eh bocah! Lo kuli ya? Kecil-kecil tendangan lo kuat banget. Lagian soksokan latihan. Palingan juga latihan bekel."
"Bangsat!"
"Heh! Stop njir!" tahan Nizam saat melihat Sila ingin menendangnya lagi. "Pasti lo latihan nguli, ya? Nama lo siapa, sih?"
Cowok itu menarik presensi yang masih berada di atas meja. Pandangannya langsung tertuju ke arah satu kolom yang belum diisi. "Asila Sefia, kelas 10 IPA 1."
Sila mendelik. Ia lantas merampas kembali presensi itu. "Kepo, lo!"
"Ooo adek kelas ...." Nizam mengangguk-angguk.
"Btw, tanda tangan lo simpel amat. Cuma garis keriting doang." Cowok itu berbalik. Namun, baru selangkah, dengan cepat ia membalikkan badan kembali. "Pasti itu termotivasi dari bulu kemaluan, ya?"
Setelah berkata demikian, cowok itu langsung ngacir. Meninggalkan si target keusilan dengan kikikan geli menghiasi bibirnya.
"DASAR COWOK SIALAAAN!"
(Ekspresi Sila setelah sadar. Sambil batin, "Sabar, sabar. Anak Mama Patun harus sabar biar imutnya gak ilang.")
©Wishasaaa
8 - juni - 2019
Repub : 19/10/2021
Tinggalkan jejak dulu, yuk! Thankyou!! ❤
👇
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro