2. Hukuman Kampret
“Bolehlah sesekali nekat, biar tau rasanya nikmat. Melanggar peraturan contohnya.”
- My Tower Boyfriend -
_____
Upacara sudah dimulai sejak lima belas menit yang lalu. Terasa sebentar, memang. Namun, jangan salah, sebentarnya upacara itu berbeda dengan sebentarnya menggosip di sudut kantin. Kalau menggosip, baru satu jam, terasa lima belas menit saking asyiknya. Namun, kalau upacara, boro-boro satu jam. Baru sepuluh menit saja sudah banyak yang menguap.
Lihatlah sekarang. Baru saja disuruh hormat bendera, tetapi sudah banyak yang menggoyang-goyangkan kaki dengan mulut yang terus mengeluh. Bagaimana nanti kalau kepala sekolah menyampaikan amanat? Memang sepertinya mereka tidak suka jika melihat petugas PMR hanya garuk-garuk pipi di pinggir lapangan.
Sama halnya dengan Sila beserta murid beratribut tidak lengkap lainnya, yang berada di barisan tersendiri di sebelah kiri pembina upacara, dengan badan menghadap ke sana. Raut mereka tidak jauh beda dengan baju yang mereka pakai. Untung tidak disuruh membawa kaleng sambil jongkok di lampu merah.
Namun, di antara banyaknya wajah kusut dengan pakaian serupa serta atribut yang tepasang beberapa, ada terselip satu wanita berbadan mungil dengan baju rapih bahkan berdasi di sudut kanan sana. Wajahnya tampak kusut. Ralat, lebih kusut dari yang lain, malah.
Rupanya, ada satu atribut yang minus di diri gadis ber-nametag Asila Sefia itu. Sebuah benda yang harusnya terpasang di kepala, kini tidak ada di atas kucir kudanya.
Sila mendengkus berkali-kali. Batinnya tidak henti mengabsen isi kebun binatang menandakan rasa kesalnya sudah berada di puncak ubun-ubun.
Ini semua gara-gara cowok itu! batinnya berseru, membuat pikirannya kembali berkelana ke beberapa waktu lalu sebelum dirinya berakhir di sini.
Brak!
Tabrakan tiba-tiba itu menyebabkan tubuh Sila terhuyung ke depan dengan posisi lutut dan wajah mendarat terlebih dahulu menyerupai orang sujud. Topi OSIS yang tengah ia bawa pun seketika melayang saat tangan Sila refleks terangkat. Sampai akhirnya ....
Mendarat dengan sempurna di suatu tempat!
Namun, tampaknya si empu belum menyadari akan hal itu.
Tidak lama setelah kejadian itu, suara tawa mulai menyusup ke dalam indra pendengaran Sila. Kikikan yang lebih menyeramkan dari tawa Mbak Kun itu ternyata berasal dari para siswa-siswi yang melihatnya.
Wajah Sila mulai memerah. Tangannya mengepal kuat. Napasnya naik turun seolah baru selesai lari marathon. Apa-apaan ini!
Sila berdiri dari posisinya tadi. Dirinya sedikit tersentak dan refleks memundurkan badan kala melihat tubuh tegap seseorang yang hanya berjarak satu jengkal dengan badannya.
Kepalanya menunduk, meneliti orang itu mulai dari bawah.
Sepatu sneakers hitam.
Kemudian perlahan mendongak.
Celana abu-abu yang sedikit diperketat itu mulai terlihat.
Mendongak lagi ... lagi ... dan lagi ... sampai posisi dongakan di leher Sila sudah mencapai batas maksimal, baru kemudian matanya bisa sampai ke wajah orang yang menabraknya tadi.
Mata gadis itu memicing melihat pemuda jangkung dengan topi dipakai terbalik serta gelang retro yang melingkar di pergelangan tangannya, tengah melirik juga ke arahnya.
Sila kembali memundurkan tubuh. Matanya menatap tajam cowok yang hanya menatapnya tanpa minat itu. “Lo punya mata, nggak, sih?”
Bukannya menanggapi, si cowok malah tampak santai saja. Masih stay dengan tatapan tanpa minatnya.
Melihat tidak ada jawaban yang terlontar, mata Sila kembali melotot tajam. “Woy! Malah diem! Lo jalan, mata lo di mana?"
Cowo itu mengernyit sesaat. Namun, detik berikutnya, bibir tipis itu membulat. "Oh ... jadi barusan gue nabrak lo?” Kepalanya mengangguk-angguk. “Pantes gak kerasa. Kecil, sih ... gak keliatan."
WHAT! APA TADI KATANYA?
"Bangsat! Lo yang salah, kenapa malah jadi nyalahin gue!” Mata Sila kian menyorot tajam mendengar penuturan tanpa dosa dari mulut orang di depannya itu. “Lo itu yang jalannya pake jidat! Jalan, tuh, liat yang mau dilewati, bukan hp melu--"
Ocehan Sila terhenti oleh tepukan seseorang di pundaknya. Sila menoleh, ia mendapati Riyan, tengah menatap dirinya dan selokan bergantian dengan pandangan ketakutan. "Sil, i-itu ...."
Sila mengernyit. "Itu apa?"
"T-to-topi."
"Topi? Topi siapa? Topi lo, 'kan, dipake!"
Ash! Riyan bingung. Biasanya dirinya akan blak-blakan dengan Sila, bahkan mengatakan hal-hal jorok juga di depan matanya. Namun, kenapa sekarang ia mendadak gagu begini cuma gara-gara mau bilang, 'topi lo kecemplung got!'. Padahal, kan, itu sepele, anjir!
Suara yang berasal dari podium tengah lapangan sudah mulai memekakkan telinga—menginstruksi seluruh siswa SMA Kosong Satu untuk segera berbaris di tengah lapangan sana.
Riyan mulai kelabakan. Cowok itu lebih memilih mendapat semprotan Sila dari pada terkena hukuman gara-gara tidak ikut upacara. Akhirnya, mengabaikan si pemilik yang masih menatap tajam cowok jangkung yang tadi menabrak, dirinya memilih menyeret gadis mungil itu menuju got tempat sang topi mendarat tadi.
"Ap--" Mulut yang sudah terbuka siap memprotes, seketika urung saat ekor matanya tidak sengaja melihat sang topi yang terdapat tulisan 'AS' terkulai tak berdaya di selokan tepat di depan kakinya.
"LOH! ITU ... ITU, KAN, TOPI GUEEE!”
Argh!
Sila menghentakkan kakinya tiba-tiba, membuat beberapa dari mereka sempat menoleh ke arahnya. Bodo amat!
Rasa capek sekaligus iri melihat siswa lain bisa bercengkerama dengan temannya membuat kepala Sila semakin panas! Rasa kesal Sila pada cowok itu bertambah berkali-kali lipat, sekarang.
Bagaimana tidak? Gara-gara cowok itu yang dengan seenaknya menabrak, topi Sila yang tidak berdosa itu pun akhirnya menjadi korban dengan masuk ke selokan. Hingga beginilah akhirnya, berada di barisan tersendiri karena tidak mau lagi memakai topi itu!
Ya jelas tidak maulah! Topinya saja sudah hitam jelek begitu! Tapi dalam batin Sila juga heran, kenapa tadi Riyan mau mengambil dan mencuci topi hitamnya itu, ya?
"Sst! Diem!" ucap Riyan dengan jari telunjuk di bibir.
Cowok itu kemudian mengambil topi yang sudah kuyup oleh air got menggunakan tangan, lalu mencucinya dengan air keran yang berada tidak jauh dari tempat mereka sekarang.
"Nih, pake!" seru Riyan dengan tangan menyodorkan topi Sila.
"Gak mau!"
"Lo mau dihukum?"
"Mending gue dihukum daripada pake topi itu!"
Sila menghela napas setelah mengingatnya.
Ditemani siraman kalbu dari kepala sekolah, dalam hati, Sila bersumpah, kalau dia bertemu dengan cowok tadi lagi, Sila akan balik mencemplungkan topi cowok itu hingga berakhir sama dengan topinya!
Bahkan kalau perlu, Sila tidak akan segan-segan untuk mencemplungkan si pemilik topi bersama topinya sekalian! Pokoknya tidak akan Sila beri ampun!
Berbeda dengan Sila yang mencak-mencak. Di barisan sama, tetapi banjar yang berbeda, cowok bermata sipit dengan setelan baju keluar tanpa dasi itu tampak sudah terbiasa dengan hukuman seperti ini. Hal itu terlihat dari gaya berdirinya yang santai dan tidak gelisah seperti anak-anak lainnya.
"Sst, Zam! Woy!" Tendangan kecil yang berasal dari seorang cowok berambut acak-acakan dengan sepatu merah itu terlihat mengusik cowok di depannya.
Cowok yang dipanggil 'Zam' itu pun menoleh. "Paan?"
Cowok tadi nyengir. "Nggak papa. Cuma mau manggil doang."
"Aish! Gue kepret juga lo, Rik!"
Bukannya merasa bersalah, cowok yang dipanggil 'Rik' itu malah tertawa sendiri di belakangnya. Ngeri!
Mengabaikan kelakuan absurd sohibnya, cowok itu kembali melihat ke depan.
Tidak terasa, satu jam sudah terlewati begitu saja oleh semua yang melewati upacara. Namun, ternyata hukuman para murid yang tidak beratribut lengkap itu belum berakhir sampai di sana. Mereka masih harus mengerjakan sebuah hukuman 'keramat', nanti sepulang sekolah.
Sila yang merasa badannya sudah lemas tidak bertenaga itu akhirnya memutuskan untuk mampir ke kantin terlebih dahulu guna membasahi kerongkongan yang sudah seperti Gurun Sahara.
Beruntung Sila mempunyai teman satu kelas yang selalu menjadi langganan hukuman upacara, jadi, ia tidak akan sendiri bila harus ngantin terlebih dahulu.
"Alhamdulillah ... kerongkongan gue langsung adem ...." Sila mengelusi tenggorokannya.
Melihat kelakuan aneh itu, cowok yang duduk di depannya itu memutar bola mata malas. "Lebay amat, sih, lo, Sil. Baru juga sebentar udah K.O aja," cibirnya.
Sila melirik cowok itu sinis. "Ya gue, 'kan, nggak kayak elo. Masih jadi anak baek-baek ini.”
"Iya-iya ... seterah lo, Unyil!"
Sila memutar bola mata malas. "Plis, deh, Bob. Gue itu udah Gedhe, ya.”
“Gedhe apanya? Masih unyil gini.” Bobby terkekeh melihat wajah sebal gadis di depannya. “Nggak usah monyong-monyong juga itu moncong, kali. Ayo balik!”
“Kuy-lah.”
Mereka pun akhirnya beranjak dari tempat duduk dengan tangan masing-masing membawa cup yang tadi dipesan.
Sepanjang perjalanan, Sila berjalan bersisian dengan Bobby. Cowok ber-iris hitam dengan tinggi 170 centimeter itu tampak menenggerkan sebelah lengannya di pundak Sila.
"Bob, tangan lo berat, tau!" Sila berusaha menepis lengan Bobby. "Jangan bikin minum susu tiap pagi gue sia-sia, deh!"
"Pfft!" Bobby terbahak mendengarnya. Cowok itu sengaja membesarkan tawanya di telinga Sila. Sialan memang. "Makanya cepet tumbuh, sana! Kecil mulu, sih!"
Sila mendengkus. Matanya tidak sengaja melihat topinya yang sudah tergeletak di atas tong sampah penuh. Seketika darahnya kembali mendidih.
"Pokoknya ... lo harus tanggung jawab! Gue gak akan lepasin lo sampe kapan pun!" Setelah berkata demikian, Sila kemudian berjalan cepat. Meninggalkan Bobby dengan seribu pertanyaan di kepalanya.
"Tanggung jawab? Gue maksudnya?" Bobby bergumam sembari menunjuk diri sendiri.
"Tanggung jawab? Tanggung jawab apa maksudnya?" Bobby bermonolog. Cowok itu terlihat menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.
"Apa si Unyil hamil, ya?"
(Potret Sila pas lagi cekcok sama Nizam)
©Wishasaaa
8 - juni - 2019
Repub : 19 Oktober 2021
Jangan lupa follow Instagram/TikTok @wishasaaa untuk info, funfact, meme, dan msh banyak lagi terkait cerita ini 🤗💕
Jangan lupa tinggalkan jejak, ya! mksih ❤
👇
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro