14. Salah Hari
- Belajar Kelompok -
Sahabat ada untuk membangun semangat, bukan membunuh semangat.
- My Tower Boyfriend -
🚀
***
Saat ini, Sila tengah memandangi langit-langit kamarnya yang ia hias dengan lukisan benda-benda bertema galaksi. Cat dinding berwarna campuran dari beberapa warna biru itu kian menambah kesan indah dari lukisan tersebut.
Tanpa sadar, bibir Sila tertarik ke atas saat pikirannya melayang ke kejadian tadi.
"Nizam asik juga orangnya."
"Kalo diliat dari deket, ternyata ganteng juga."
Kata-kata itu meluncur mulus dari mulut Sila.
Srketika Sila tersadar akan omongannya sendiri. Ia sedikit menampar kedua pipinya untuk menyadarkan kembali dirinya. "Ish! Kok gue jadi mikirin si tower si? Orang tengil gitu kok ganteng? Ganteng dari genteng?"
Sila memejamkan mata. Berusaha melupakan kejadian-kejadian tadi. Namun bukannya hilang, eh Nizam malah nongol di otak Sila sambil senyum-senyum sok manis. Cowok itu terlihat sangat memesona di sana.
"Eh. Ngapain lo di sini? Mana pake senyum-senyum lagi! Lo kira gue bakal baper? Big no! Mending pergi aja lo! Pergiii!" Sila menendang-nendang angin. Seoalah sedang menendang wajah menyebalkan Nizam.
Sila bangkit. Cewek itu sadar bila dirinya tengah berhalusinasi.
"AAARGH!" Sila berteriak kencang dengan tangan menggebuki bantal. Sampai-sampai, bi Surti yang baru merem, melek seketika, ketika mendengar teriakan dari mulut Sila.
"Non ... Non ... Non Sila nggak papa?"
"Non Sila nggak kesurupan kan?" tanya bi Surti panik dari balik pintu.
Sila gelagapan. Bisa-bisanya dia teriak malem-malem. Mana sampai dikira kesurupan lagi. "Eh, oh, nggak papa bi. Tadi ada kecoa terbang." Alibinya.
Bi Surti terdengar bernapas lega. "Ooo gitu. Ya udah, Bi Surti ke kamar dulu ya, Non. Kalo ada apa-apa, manggil aja."
"Iya, Bi."
"Ish. Gara-gara si Tower!"
🚀
Seorang remaja laki-laki tengah berada di balkon kamarnya dengan mata memandang bintang, tetapi pikiran menerawang kejadian-kejadian tadi.
"Itu bocah tuyul aneh, deh. Kayak punya masalah yang berat. Tapi ditutup rapat sama wajah sok cerianya."
Masih terbayang wajah Sila saat ia mengajaknya untuk pulang ke rumah. Wajah yang tadinya berseri-seri, mendung seketika ketika mendengar kata rumah. Aneh.
Ngomong-ngomong masalah tadi. Nizam jadi malu sendiri saat mengingat dirinya di warung pecel lele. Yang tadinya nggak mau duduk, jadi betah duduk dan nambah hingga tiga kali setelah merasakan rasa dari pecel lele itu. Malu-maluin banget, asli!
Ternyata Sila membawa dampak baik bagi dirinya. Sedikit demi sedikit, Perasaan yang tadinya cuman ingin iseng karna Sila lucu jika diisingen, lama-lama berubah menjadi ... ah entahlah ... Nizam sendiri tidak tahu itu artinya apa. Yang pasti, setiap di dekat Sila, Nizam merasa nyaman dan betah buat lama-lama.
Lama melamun, hingga tanpa sadar di sebelah Nizam berbaring, Sudah ada seseorang yang berdiri sambil mengamati setiap ekspresi yang Nizam keluarkan saat melamun tadi.
"Ehem! Lagi kasmaran ya, Bang?" tanya orang itu setelah sekian lama terdiam.
"Eh, Bunda." Nizam tersenyum kikuk. Ia tercyduk oleh bundanya. "Udah lama, ya, Bun?" Sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Sofi duduk di sebelah Nizam. "Siapa, ya, Kira-kira cewek yang udah naklukin hati Abang?" Alih-alih menjawab, Sofi malah balik bertanya. Membuat Nizam sedikit salah tingkah karena pertanyaannya.
"Ee-enggak, kok, Bun." Nizam mengalihkan pandangannya.
Sofi mencondongkan wajahnya. Berusaha mengamati gerak-gerik putranya itu. "Masa, sih, kok mukanya merah? Salah tingkah, lagi," tanya Sofi sambil tersenyum menggoda.
Mati gue! Kok bunda tau sih!_ gerutu Nizam dalam hati.
Nizam menghela napas. "Sebenarnya Abang juga nggak tau, Bun."
Sofi mengerutkan kening. "Kok gitu?"
Nizam kini berbalik menghadap wajah sang bunda. "Dia itu adik kelasnya Abang, Bun."
Sofi menaikan sebelah alisnya tanpa menghilangkan senyum menggoda dari bibirnya. Menunggu kelanjutan cerita dari sang putra.
"Dia cewe unik, Bun," lanjutnya.
Sofi mengerutkan kening, tanda bingung.
Nizam kini berbaring dengan bantalan paha Sofi. "Iya Bun, unik. Di saat cewek lain baru ngeliat ujung sepatu Abang aja udah pada teriak. Eh dia, boro-boro teriak, ngelirik Abang aja enggak. Malah dia berani ngatain Abang, masa." Nizam bercerita dengan wajah sebal.
Sofi mengusap kepala sang putra sambil terkekeh geli. "Emang dia ngatain abang apa?"
"Masa iya, Bun, dia ngatain abang Tower? Parah banget, kan, Bun?"
Sontak Sofi tertawa mendengar aduan sang putra. "Dia benar juga, Bang. Abang kan tinggi, kayak tower."
Nizam memutar bola matanya malas. "Bunda jangan ikut-ikutan, deh."
Sofi terkekeh. "Tapi abang kalo di deket dia rasanya gimana?"
"Nyaman," jawab Nizam tanpa pikir panjang.
Sofi mengelus kepala sang putra yang ada di pangkuannya dengan sayang. "Putra Bunda udah besar, ya?"
Nizam menaikkan sebelah alisnya. Menunggu lanjutan kalimat sang bunda.
Sofi tersenyum menghangatkan. "Abang harus tau. Perasaan timbul karna adanya rasa nyaman. Kalo Abang udah siap untuk jatuh cinta, berati Abang juga harus siap untuk segala risikonya."
Sofi mengangkat kepala Nizam dari pangkuannya agar kembali duduk. "Bang, abang harus inget. Kalo Abang bener-bener udah mantap dengan hati Abang, perjuangin apa yang pantas Abang perjuangkan. Jaga dia dengan setulus hati Abang. Jangan sampai Abang merusak apa yang belum menjadi milik Abang. Ingat Bunda, Bang ... Bunda juga perempuan. Ingat juga saat-saat abang merjuangin dia. Jangan sampai perjuangan Abang sia-sia hanya karena nafsu sesaat."
Sofi tersenyum. Ia kemudian berdiri dari hadapan Nizam. "Udah ah, Bang, Bunda ngantuk. Mau nemenin Nayla di kamar."
Sofi pun berlalu dari kamar Nizam. Meninggalkan sang pemilik kamar yang tengah mencerna semua kalimat-kalimat yang barusan cowok itu dengar.
🚀
Gubrak!
Suara itu berasal dari pintu kamar yang dibuka paksa oleh seseorang. Orang itu terlihat buru-buru keluar dari kamar dengan tas di tangan kiri dan sepasang sepatu sneakers di tangan kanan.
Baju seragam acak-acakan juga rambut yang tak kalah berantakan, semakin membuat seorang wanita paruh baya dengan celemek di tangannya itu menganga heran.
Cewek itu menyalami tangan Bi Surti dengan terburu-buru. "Bi, Sila berangkat dulu, ya!"
"Berangkat ke mana, Non?" Bi Surti bertanya heran. Ia terlihat mengambil kalender kecil di meja lalu mengamatinya.
"Ke sekolahlah!" jawab Sila sambil memakai sepatunya dengan tergesa-gesa.
"Tapi--"
"Udah, Bi, Sila nanti sarapan di kantin aja. Udah telat banget ini soalnya!"
"Tap-tapi non--"
"Udah bi, nggaka papa. Sila belum laper kok." Sila terus memotong ucapan Bi Surti. "Assalamualaikum!" Ia berlari keluar Rumah sambil menenteng kunci motor di tangan kanannya.
"TAPI INI KAN HARI SABTU NON!" Bi Surti berteriak bertepatan dengan naiknya Sila di jok motor biru laut itu.
Sila sontak berhenti lalu menoleh ke arah Bi Surti cepat. Pandangannya tertuju ke arah kalender kecil yang Bi Surti tunjukkan kepadanya.
"ANJIRR! JADI HARI INI HARI SABTU?!"
🚀🚀🚀
Siapa yang pernah kaya Sila? Ayo ngaku! :v
19-juli-2019
Repub: 29/10/21
©wishasaaa
Jejaknya gaesss!!! Terimakasih ❤
👇
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro