Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7. Ibu Mertua

Ada yang menanti keluarga Cakrawala?

Jangan lupa vote n komen ....

💕💕💕

Nala mengerjap. Kepalanya meneleng ke kiri, menatap pandanya yang mengungkung Manda. "Panda sama Manda lagi ngapain?"

Seketika dua orang dewasa itu menoleh ke arah pintu yang terbuka. Melihat Nala dan Mama ada di sana, spontan membuat Pijar mendorong kuat Bhre bertepatan dengan lelaki itu melepas tangannya.

Wajah Pijar merah padam seperti kepiting rebus. Buru-buru ia menangkup blus, menyembunyikan bra. Sementara, Bhre langsung turun dari tempat tidur, membungkuk sedikit menyapa Mama.

Tatapan tajam Mama terarah pada Bhre seolah ingin mencabik laki-laki itu. Namun, Mama tetap tenang dan memanggil Pilar.

Tak sampai semenit, Pilar datang. Pria itu mengerutkan alis keheranan saat mendapati Mama yang rautnya sudah sangat tegang.

"Nala main dulu sama Om, ya?"

Suara Mama yang lembut justru membuat kuduk Pijar merinding. Pijar serasa ingin mencegah putrinya menjauh sehingga kini dia tak terjebak di ruangan bersama Mama yang menatap nyalang pada mereka.

"Ma, sa—"

"Aku bukan mamamu! Kenapa kamu ke sini? Diam-diam seperti pencuri pula! Ah, iya, kamu memang pencuri! Kamu mencuri anakku! Ternyata pendidikan tinggi ndak bikin attitude-mu baik!" ujar Mama ketus. Kedua tangannya bersedekap saat berjalan ke arah Bhre yang berdiri di sisi ranjang.

Dan, plakkk!!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri Bhre. Seketika Pijar yang masih duduk di ranjang melompat turun dan bersimpuh di lantai sambil memegangi kaki Mama. "Ma, jangan! Dia papanya Nala!"

"Mama menyayangi Nala karena anak itu ndak bisa milih orangtuanya! Tapi, Mama benar-benar ndak bisa melihat laki-laki ini! Laki-laki yang memisahkan Mama dan putri Mama!"

Bhre hanya diam dengan separuh pipi yang merah. Sementara Pijar meraung sesenggukan memohon Mama agar tidak kalap.

"Kamu tahu bagaimana bingungnya Pijar karena Nala ngedrop saat kamu pergi ke Perancis untuk seminar! Dan, istrimu memilih memendam semuanya agar kamu ndak kalut di negeri orang!"

Lagi-lagi … Selain keterlambatan Bhre sewaktu Pijar melahirkan, peristiwa tiga tahun lalu kembali diungkit Mama.

"Ma! Pijar mohon …. Ini semua salah Pijar karena nggak bisa jagain Nala waktu di kandungan dan nggak ngecek makanan Nala sehingga Nala sesak." Pijar meraung. Bahunya naik turun digetarkan rasa bersalah.

Dengan tenang, Bhre berjongkok dan mendekap Pijar dari belakang. Matanya memerah dan berkaca-kaca. "Saya tahu saya salah, Ma. Saya tidak bisa menepati janji saya. Tapi, saya berusaha akan menjadi suami yang baik untuk Pijar dan papa yang baik buat Nala."

Kepalan tangan Mama mengerat. Wanita berumur lima puluhan tahun itu mendongak dengan dada kembang kempis. Setelah menghela napas panjang, Mama berkata, "Kalian … keluar dari rumah ini!"

Bhre menurut dan mengurai tangan Pijar yang merangkul erat kaki Mama. Dia membantu Pijar yang masih sesenggukan untuk erdiri. Sedangkan Mama berlalu begitu saja dari hadapan mereka.

Tangis Pijar pecah saat pintu yang menutup kembali berdentum dengan keras. Bhre hanya bisa memeluk istrinya dan mengusap punggung Pijar berulang seolah ingin menghapus perih. "Bukan salahmu, Nda. Aku yang salah."

Pijar menggeleng. Dalam isaknya, dia menjawab, "Aku … aku yang salah! Aku yang bikin Nala seperti itu!"

Bhre mengecup pucuk kepala Pijar yang hanya setinggi dadanya. "Kita pulang. Biar Mama beristirahat."

Selama perjalanan, tak ada suara dari keluarga kecil itu. Nala sudah tertidur di pangkuan Pijar yang masih sesekali meneteskan bulir bening. Lagu anak-anak yang ceria berbanding terbalik dengan suasana kabin yang diselimuti aura mendung. Masing-masing sibuk dengan pemikiran dan pemahamannya.

***

Pijar tersentak saat mendengar alarm gawainya berbunyi nyaring. Dia membuka mata dan mendapati dirinya berbaring sendiri di ranjang luas ini. Harusnya Pijar sudah tidak terkejut, bila mendapati dia ditinggalkan di kamar ber-wallpaper merah muda itu karena panggilan operasi yang mendadak sering sekali Bhre dapatkan.

Seperti biasa, sebuah memo dengan tulisan seperti sandi rumput tergeletak di nakas sebelah meja.

Nda, aku ada panggilan on call. Selamat beraktivitas pagi ini ^.^

Pijar mendengkus. Bila mendapati catatan kecil setelah mereka memadu kasih, wanita itu seperti wanita panggilan saja. Dari lubuk hati Pijar, ingin rasanya dia bangun dengan Bhre masih memeluknya. Tapi, risiko profesi suaminya ternyata harus ikut dia tanggung.

Gawai berdenting. Suara pesan masuk khusus terdengar nyaring, membuat jantung Pijar berdebar seketika. Alisnya mengernyit karena notifikasi itu merupakan bunyi pemberitahuan khusus untuk pesan Ibu. Tak menunggu lama, dia lalu meraih gawainya dan membuka aplikasi pesan.

[Ibu]
[Ibu mau ke Yogya hari ini. Tadi, Ibu telepon Bhre ndak bisa. Kamu bisa jemput Ibu di stasiun?]

Pijar menelan ludah kasar. Belum selesai urusan dengan Mama, ibu mertuanya datang pada waktu yang tak tepat. Namun, tetap saja dia mengetikkan balasan. "Nggih (Ya), Bu."

Pesan Ibu terakhir, mengabarkan akan tiba di Yogya pukul 11.00. Pijar pun menyanggupi dan berjanji akan menjemputnya nanti.

Namun, saat jam digitalnya sudah menunjuk angka 10.30, rapat dengan klien belum juga usia. Beberapa kali Pijar melirik jam yang melingkari tangan kirinya. Seharusnya dia memperhatikan semua hal yang dikatakan kliennya tentang permintaan custom furniture untuk resto BBQ.

"Saya pengin furniturenya cozy buat pengunjung dari anak sampai orang tua. Untuk bagian sini, saya ingin interior dinding yang instagramable."

Pikiran Pijar melayang ke Stasiun Tugu. Seperempat jam lagi, Ibu akan tiba. Tidak akan mungkin menembus padatnya kota Yogya dalam waktu seperempat jam menuju ke stasiun mengingat dia berada di daerah Kaliurang.

"Gimana, Bu? Bisa ready kapan? Saya minta desain dan RAB-nya dua hari ini sudah jadi."

"Siap, Pak. Kami akan usahakan."

Kevin, sang direktur pemasaran, mengerjap. Dia menyikut Pijar. Dengan gerakan bibir, dia berkata, "Gila? Dua hari?"

Pijar tersentak menyadari kesalahannya. Bisa-bisanya dia menyetujui membuat desain dan rencana anggarannya hanya dalam waktu dua hari! Padahal, dia harus lebih dulu survei bahan untuk mendapatkan barang yang murah tapi berkualitas.

Sayangnya, Pijar tak bisa menjilat ludah sendiri karena takut dicap tidak profesional. "Bisa! Pasti bisa!" ujarnya pada Kevin yang lebih untuk menyemangati diri.

Seperti yang bisa Pijar duga, dia terlambat. Saat turun dari mobil, tak ada lagi kerumunan orang yang menanti penumpang. Pijar memutuskan menunggu di serambi luar sambil berusaha menghubungi Ibu.

Beberapa kali nada hubung terdengar, tapi hingga suara itu berakhir, tak ada jawaban. Dia mencoba sekali lagi dan tetap saja Ibu tak menjawab panggilannya. Memang dia terlambat satu jam, tapi karena tak ada kabar dari Ibu, Pijar berpikir ibu Bhre menunggunya.

Untuk ketiga kali, Pijar menelepon. Tetap saja, nada hubung yang tertangkap telinganya. Dia lalu menghubungi Mbok Sukini untuk menanyakan apakah Ibu sudah tiba di rumah. Sayangnya pembantu rumah tangganya itu mengatakan tak ada siapapun yang datang.

Di saat Pijar kalut, gawai Pijar berdering. Namun, decakan kemudian terlontar kala melihat nama dan foto Kevin terpampang di gawainya.

"Jar, tim desain nggak sanggup. Masih ada kerjaan yang harus segera diselesaiin dalam waktu deket ini," kata Kevin dari speaker gawai Pijar. "Kubilang, itu mustahil. Emang kita Bandung Bondowoso yang mau bangun seribu candi dalam semalam?"

"Iya! Kita Bandung Bondowoso! Puas! Aku nggak mau tahu, desain kelar! Kalau nggak sanggup, aku yang akan kerjain!" Pijar kesal. Emosinya meletup tak memedulikan semua orang yang ada tempat penjemputan itu melihat ke arahnya.

"Gila apa? Nggak mungkin kamu sendiri! Kamu nggak tidur? Ini desain sama RAB loh! Salah kasih harga, kita rugi!"

Lonceng tanda kereta berangkat berdentang kencang. Mau tidak mau, Pijat sedikit berteriak menjawab Kevin. "Aku bakalan bikin klien satu ini puas. Jaringannya cukup luas. Kalau kita bisa memenuhi ekspektasi mereka, perusahaan kita bakal maju!"

"Tapi—"

Obrolan mereka terputus saat pemberitahuan pesan datang. Suara samar Kevin yang memarahinya, tak dihiraukan karena dia lebih mementingkan membaca pesan Ibu.

"Ibu sudah sampai. Tadi dijemput Bhre. Nggak perlu repot jemput Ibu."

Seketika mata Pijar membeliak. Dia mengeratkan rahang dan meremas ponsel. Dadanya kembang kempis menyadari ibu mertuanya selalu mempersulitnya.

💕Dee_ane💕

Pernah mumet ngadepin mertua? Aku beruntung banget dapat mertua yang sayang sama aku😊

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro