Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

26. Menjaga Jarak

Bhre gagu. Ia tak bisa berkelit bahwa layar hp itu memuat gambar dirinya mengusap pipi Vina. Bahkan ada gambar lain saat ia sedang tertawa bersama Vina. "Nda ... ini? Gimana?"

"Jelaskan kenapa aku mau pisah? Bayangkan ... ketika aku banting tulang kerja keras ke sana sini buat menggenapi janjiku sama Mami ketika milih kamu, kamu malah serong! Aku nahan, Bhre! Ya, selama ini aku berusaha bertahan! Tapi, tadi pemandangan siang tadi begitu menyakitkan." Pijar menepuk dadanya yang kembang kempis dengan keras.

"Ini ... ini bukan seperti yang kamu pikirkan, Nda." Bhre berlutut dengan kedua kakinya. Tangannya mencengkeram lengan atas Pijar.

"Apa bukti ini belum jelas? Mas pikir aku buta?" Mata Pijar membeliak lebar dan pembuluh di pelipis yang menonjol berkdut seolah ingin memompa amarahnya. "Coba kamu bayangin, istrimu bekerja pagi, siang, sore. Malamnya masih ngurus anakmu. Setelah kamu datang, aku masih ngeladenin nafsumu! Setelah apa yang aku lakuin, kamu makan dan tertawa lebar di depan perempuan lain? Sementara itu, yang kudengar hanyalah geramanmu di atas tubuhku! Nggak ada tawa, nggak ada candaan konyol seperti dulu!"

Jakun Bhre naik turun. Ketika fakta tersembul di hadapannya, ia tidak bisa berkelit. Sebuah foto tak bisa bercerita. Apakah Pijar percaya dengan apa yang terjadi?

"Nda, itu ndak seperti yang kamu pikirin. Maaf, aku ... aku yang buta. Aku yang nggak sadar kamu begitu kesepian. Aku juga nggak tahu kalau kamu berjuang melawan depresi. Kupikir, kamu perempuan kuat yang justru membuat aku insecure. Membuat egoku terluka karena ndak bisa memenuhi kebutuhanmu." Air mata Bhre kembali mengalir di pipi. Selama ini, ia tak pernah menumpah air mata sesakit apapun hatinya karena ditinggalkan Vina. Perempuan yang bisa membuatnya menangis hanya Pijar dan Nala, walau selama ini ia tak ingin memperlihatkannya pada Pijar.

"Percuma. Semua udah terjadi!" Pijar sesenggukan. "Aku bertahan karena Nala. Hanya itu! Tapi, kayanya aku nggak bisa lagi."'

"Nda, aku sayang kamu. Cinta banget sama kalian. Aku ... aku ...."

"Cukup!" potong Pijar. "Sekarang aku nggak mau denger penjelasan apapun! Capek, Mas!" Pijar buru-buru bangkit dan masuk begitu saja ke kamar mandi.

Sementara itu, Bhre masih duduk bersimpuh di lantai dingin. Obrolan dengan Nala sewaktu berangkat tadi berhasil membuat batinnya merintih walaupun tadi ia berusaha untuk tak menunjukkan ekspresi pilunya. Ya, Bhre pantang menangis di depan Pijar atau Nala. Sebagai kepala keluarga yang menjadi sandaran dua perempuan di keluarga kecilnya, Bhre harus kuat. Sayangnya, apa yang terjadi baru saja, berhasil menguras air matanya. Wajah Pijar yang berduka, mengiris hati Bhre sehingga ia merasa gagal menjadi suami bagi Pijar dan ayah yang baik bagi Nala. Ketidaktahuannya tentang kondisi Pijar semakin membuatnya merasa tak berguna.

Entah kenapa, ide jalan-jalan itu bukannya membuat hubungan mereka membaik, tapi Pijar justru menjauh. Malam ini, tak ada lagi kegiatan yang menguras keringat atau sekedar obrolan ringan tentang mereka. Pagi menjelang pun, Pijar tetap membisu dan bercakap seperlunya. Setidaknya ide perpisahan itu tak lagi dibahas dan Bhre berharap akan menguap setelah emosi Pijar mereda.

"Nda, Panda berangkat dulu." Bhre membungkuk hendak mencium Pijar. Tapi istrinya itu memalingkan wajah. Bhre hanya bisa mengembuskan napas kasar tapi berusaha mengembangkan senyum. Baru kali ini Pijar mendiamkannya dan ternyata sungguh menyiksa.

Di rumah sakit pun, suasana hatinya semakin memburuk. Sewaktu rapat komite medik siang ini, ia sengaja duduk di samping Pilar untuk menceritakan kegalauannya. Sayangnya, sahabatnya itu juga berlaku dingin padanya, sama sekali tidak mengajak Bhre mengobrol.

"Pilar! Tunggu!" Bhre menahan tangan Pilar setelah diskusi siang itu berakhir.

"Opo?" sahut Pilar sengit, menepis tangan Bhre, lalu meneruskan langkahnya.

"Aku mau ngomong." Bhre tak menyerah.

"Aku mau visite neonatus, habis itu mau pulang sebelum praktik," ujar Pilar ketus.

Bhre mendengkus, menatap punggung Pilar yang menjauh. Di saat sorot matanya kosong menatap ke depan, dirasakannya tepukan pelan. Ia menoleh, mendapat Vina tersenyum padanya.

"Pilar marah?"

Bhre mengangguk. "Siapa yang nggak marah kalau saudaranya menderita gara-gara aku?"

"Kamu cinta banget sama Pijar?"

"Jelaslah! Dia istri dan ibu dari anakku."

Vina terkekeh. "Serius banget jawabnya. Semua orang juga tahu Pijar itu istrimu dan ibunya Nala."

Bhre meringis, dengan pipi memerah. Ia bersyukur Vina bersikap seperti biasa, seolah tak ada yang terjadi di antara mereka. Namun, tidak di mata orang-orang di sekitar mereka. Kasak kusuk tetap terdengar dan Bhre yakin gosip akan semakin hangat.

"Ngomong-ngomong, apa kamu masih nggak nyaman sama aku?" tanya Vina.

"Justru aku yang ndak enak sama kamu, Vin." Gesture Bhre terlihat kaku.

"Santai. Justru ketegasanmu bikin aku sadar, kalau kamu bukan milikku."

Bhre tahu Vina sangat berusaha menepis kecanggungan. Namun, lidah Bhre seperti kram sehingga ia hanya mengangguk-angguk saja. "Oh, ya ... untuk sementara aku minta jadwal diatur biar ndak bareng kamu. Kamu tahu sendiri rumornya udah makin panas. Aku ndak pengin Pilar makin kesel sama aku"

"Kamu kok keliatam suntuk begitu sih?"

Bhre mengangguk. "Iya. Pijar lagi marah. Dia ternyata ada di rumah makan yang sama siang kemarin."

Langkah Vina terhenti. "Pijar? Tapi kok nggak nyamperin?"

"Dia ndak suka bikin drama di depan umum. Jadi, dia fotoin kita aja dan nunjukin ke aku waktu di rumah. Mau aku jelasin kaya apa pun dia ndak percaya," ucap Bhre muram.

"Sori,Bhre. Aku nggak tahu-"

"Santai. Dia bukan tipe pendendam. Paling nanti malam udah baikan." Bhre berusaha menghibur diri sendiri

Rupanya, anggapan Bhre salah. Setelah melewati satu malam, Pijar masih membisu. "Nda, kok diem aja sih?" tanya Bhre. "Manda masih marah?"

Pijar mendengkus. Tangannya terulur sambil menekan sembarang tombol remote untuk memindah channel televisi . Namun, Bhre masih mengganggunya dengan mengguncang pelan lengan atas istrinya.

"Bhre, apaan sih!" Pijar menepis tangan Bhre.

"Nda, jangan marah to. Itu bukan seperti yang kamu pikirin." Bhre tetap berusaha meyakinkan Pijar.

"Bhre, jangan pikir kita masih serumah kaya gini karena aku pengin. Kalau bisa, aku bakal bawa pergi Nala dari rumah ini. Tapi aku tahan semuanya. Aku nggak pengin Nala sedih karena orang tuanya pisah," ujar Pijar ketus.

"Pisah?" Bhre membeliak. "Nda, kamu kok masih mikir gitu?"

"Aku terlalu sakit hati, Bhre. Jujur ... aku nggak percaya lagi sama kamu." Pijar menunduk, menyembunyikan wajah sendunya.

"Lalu kamu lebih percaya Kevin?" tanya Bhre.

"Karena dia selalu ada buatku. Di mana kamu ketika aku butuh banget? Bahkan selain Dinar dan Pilar, Kevin juga yang bantuin mulihin depresiku. Dia yang nemenin aku ke psikiatri, dia yang-"

"Cukup!" potong Bhre cepat. "Aku tahu aku salah karena ndak bisa selalu ada buat kamu. Aku salah karena aku mengambil keputusan ngikut pendidikan spesialis. Jadi, bilang aja aku harus gimana supaya aku bisa nebus kesalahanku?"

"Kamu cukup jadi ayah yang baik buat Nala, walau nanti kita pisah. Itu saja!"

Bhre tertegun. "Apa selama ini aku kurang cukup baik jadi seorang ayah?"

"Tanyakan itu ke dirimu sendiri." Pijar bangkit lalu bergegas naik. "Mulai sekarang, aku mau tidur sama Nala!"

Kalimat yang diucapkan dengan nada datar itu membuat kuduk Bhre berdiri. Sepertinya keluarga kecilnya benar-benar diambang kehancuran.

***

Hubungan dingin itu bertahan hingga bulan berganti. Pijar semakin tertutup hingga Bhre merasa tak bisa menjangkaunya. Tak ada senyum, ciuman sebelum bekerja, atau malam-malam penuh peluh lagi. Hidup Bhre bergulir begitu saja tanpa ada semangat yang menyala-nyala.

"Bhre, kamu kenapa?" Suara Vina berlomba dengan gerojokan air wastafel saat Bhre sedang mencuci tangan setelah operasi selesai.

Bhre terkesiap. Ia tak menyadari di sampingnya sudah ada Vina yang ikut membasuh tangan. Sejak percakapannya yang terakhir, Bhre memang berusaha menghindari Vina walau mereka sering bertemu di IBS.

"Nggak ada apa-apa. Kenapa emang?" Bhre menarik satu paper towel untuk mengeringkan tangannya.

"Akhir-akhir ini, kamu lebih diem. Pilar masih marah?" tanya Vina menggosok ujung jari-jari kanan yang mengerucut di atas telapak tangan kiri.

Bhre membisu. Sejak mereka bercakap di kafe itu, Pilar masih menjauhinya. Padahal selama ini, mereka jarang ribut. Kalaupun berselisih pendapat, tak sampai berhari-hari, bahkan hampir sebulan seperti ini.

Sebenarnya Bhre paham sikap Pilar. Saudara kembar Pijar itu begitu melindungi istrinya. Sesudah papa Sik Kembar meninggal, Pilar mengambil alih peran Papa menjadi pelindung keluarga. Pilar akan ada untuk kembarannya bila Pijar membutuhkannya. Sekarang Bhre baru tahu alasan saat Pikar. Oleh karena itu, sudah sewajarnya Pilar akan marah bila Pijar terluka. Terlebih Pilar tahu bahwa Pijar memendam depresi yang membuat Pilar sering menginap di rumah kontrakan mereka.

"Masih," kata Bhre kemudian.

"Gara-gara aku?" Vina terlihat cemas.

"Nggak, Vin. Kamu tenang aja." Mata Bhre menyipit di atas masker yang menutupi senyum lebarnya. Saat ia akan berbalik, Bhre mengurungkan niatnya. "Kamu ada acara hari ini?"

Alis Vina mengerut. "Nggak. Kenapa?"

"Aku butuh teman. Kamu mau?"

💕Dee_ane💕

Udah part 42 di KK. Silakan merapat ke sana. Authornya sembunyi lagi🤭

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro