25. Pikiran Buruk Pijar
Langkah Pijar terhenti. Rona mukanya menguap saat gendang telinganya ditabuh setiap kata tanya yang terlontar dari bibir Bhre.
"Nda?"
Pijar menarik tangannya. Bayangan masa sulitnya ketika berjuang dari rasa bersalah, kesedihan karena mempunyai putri yang dikarunia kelainan bawaan serta kecemasan yang bertumpuk bila kehilangan Nala, kembali menari-nari di otaknya. Beruntung Dinar menyadari perubahannya sehingga Pijar bisa bertahan sendiri tanpa Bhre.
"Kita obrolin di rumah." Suara Pijar bergetar. Ia menunduk, menghindari tatapan Bhre.
"Oke. Sekarang, kita mau makan Korean food?" tanya Bhre terlihat sangat berusaha memecahkan kecanggungan.
Pijar hanya mengangguk dan bergegas berjalan mendahului Bhre untuk menggandeng Nala ke salah satu resto yang menawarkan Korean barbeque kesukaan putrinya.
Resto yang ada di lantai tiga mall itu sudah dipadati banyak orang. Saat mereka masuk, aroma daging bercampur bombay dan bawang yang harum dibakar, menyapa keluarga kecil itu. Seperti biasa, di mana pun dan kapan pun, Bhre akan menjadi pusat perhatian bila berada di ruang publik. Perawakan yang tinggi menjulang membuat semua mata tertuju padanya. Pandangan iri pun selalu tertuju pada Pijar yang terlihat mungil di sebelah Bhre yang kini sudah menggandengnya dan menggendong Nala.
"Lepas, Nda." Pijar mendesis sambil mengedarkan pandangan ke seluruh tempat.
"Kita duduk di pojok ya, Sweety?" Bhre tak menggubris Pijar.
"Sana aja, Nda!" Nala yang berada dalam gendongan Bhre, menunjuk ke sisi lain resto.
"Oke! Ayo, Manda." Jari Bhre semakin erat bertaut saat menarik pelan Pijar. Apa yang Bhre lakukan justru semakin menarik perhatian dan membuat mereka menjadi sorotan.
"Nda, udah deh!" Pipi berperona itu semakin memerah. Ia benar-benar tak nyaman menjadi pusat perhatian. Sejak dulu, ia malu bila mempertontonkan keromantisan di depan banyak orang.
Bhre terkekeh dan menunduk sambil berbisik. "Kamu malu-malu kalau di depan umum. Tapi kalau nggak ada orang, ganas."
Pijar menggeram karena Bhre selalu menggodanya. Terkadang Pijar merutuk sendiri tingkahnya saat bergumul dengan Bhre kalau nalarnya sudah diterbangkan lelaki itu. "Ngeselin!"
"Ganas itu apa, Nda?" Tiba-tiba Nala bertanya. Gadis kecil itu rupanya mendengar bisikan Bhre.
"Ehm, ganas itu semacam virus yang bikin tubuh lemah." Bhre menjawab sekenanya.
"Apa hubungannya sama Manda?" tanya Nala sambil menatap Pijar.
"Eee, itu … hubungannya … Manda—"
"Panda, ambil maem gih! Nala mau tteokbokki?"
"Mau! Sama kimbab, Nda," tambah Nala.
Bibir Pijar mengerucut, saat mengembuskan napas lega karena Nala sudah melupakan pertanyaannya. Bagaimana bisa Bhre bicara absurd di depan putri yang selalu ingin tahu ini dan itu? Apa Bhre tak ingat kalau Nala selalu memperhatikan ucapan dan tingkah para orang dewasa?
Pijar memilih diam untuk menyembunyikan suasana hati yang tak nyaman. Ia menjadi pemerhati interaksi Bhre dan putri mereka sambil menjepit dan memotong daging bakar yang telah matang
"Aaaa …." Bhre membuka mulut lebar-lebar dan menyorongkan separuh tubuhnya di atas meja yang membatasinya dengan Pijar.
Pijar melirik ke arah Bhre yang menanti untuk disuapi daging yang sudah dibungkus selada. "Bikin sendiri napa?" Dengan berat hati ia memasukkan bungkusan daging ke mulut Bhre hingga pipi laki-laki itu menggelembung.
"Manda, Panda kan bikinin buat Nala. Makanya Manda yang bikinin bungkusan dagingnya buat Panda," ujar Nala di sela kunyahannya.
Bhre tersenyum lebar mendapat kroni yang menyudutkan Pijar. Entah kenapa, putrinya itu selalu memihak Bhre. Padahal dialah yang lebih sering merawat Nala dari bayi hingga detik ini.
"Sambil nunggu, Panda buatin daging bungkus selada buat Manda." Bhre menjepit daging yang menguarkan aroma harum dan meletakkan di atas lembaran selada. Dia menambah kimchi dan bawang bombay lalu membungkusnya. "Aaa …."
Mau tak mau, Pijar menurut. Keromantisan yang palsu itu terpaksa ia perlihatkan di depan Nala yang tak tahu bahwa sesungguhnya hubungan Pijar dan Bhre terguncang. Bagi Pijar, kebahagiaan Nala yang terpenting saat ini sehingga apapun akan ia lakukan termasuk bermain peran menjadi orang tua yang harmonis.
"Nda, kenapa kita nggak makan fried chicken aja?" tanya Nala, kali ini menerima suapan dari Pijar yang duduk di seberang meja.
"Fried chicken di resto cepat saji nggak bagus. Bikin sakit. Nala harus makan makanan yang bergizi, biar sehat. Nala juga harus banyak makan serat seperti ini biar pencernaannya lancar." Untuk kesekian kali, Pijar memberi alasan yang sama.
"Temen-temen Nala makan fried chicken nggak sakit, kenapa Nala nggak boleh? Lagian Nala kan nggak sakit." Nala buru-buru menelan makanannya. "Panda, kenapa Nala dikasih sakit sama Tuhan? Nala pengin kaya teman-teman."
Gerakan sumpit yang menjepit daging terhenti di udara. Asap yang seharusnya terhisap oleh exhauster yang memanjang di atas panggangan justru seolah terhirup dan mengisi rongga dada Pijar hingga membuat sesak.
"Panda punya jawabannya." Bhre mengambil tisu dan mengusap bibir merahnya yang berminyak. Ia menatap Nala dengan pandangan teduh. "Nala dikasih sakit karena Nala spesial. Tuhan sayang sama Nala dan tahu bahwa Nala adalah gadis kecil yang kuat."
Suara Bhre yang tegas berhasil memorak-porandakan batin Pijar. Rasa bersalah kembali menyusup, membuat Pijar kembali merasa menjadi ibu yang tak berguna.
"Panda bersyukur punya putri secantik Nala."
Pijar mengerling ke arah Bhre. Mata lelaki itu memerah dan berkilat saat disorot cahaya lampu. Mendengar jawaban suaminya, batin Pijar kembali tercabik karena tak bisa memberikan jawaban dengan suara setegar Bhre. Pijar hanya bisa merutuk dalam hati karena menganggap dirinya adalah ibu yang lemah dan tak bisa memberi penghiburan pada Nala. Bahkan karena ketakutannya pada alat dan tindakan medis, kewarasannya terguncang hingga depresi datang mengusiknya enam tahun lalu.
"Kalau Tuhan sayang Nala, apa Nala akan mati? Katanya, Om Andi meninggal karena Tuhan sayang Om Andi."
Wajah Bhre menegang. Ia menoleh ke arah Pijar yang meremas pahanya untuk menyalurkan nyeri. Tatapan mereka bersirobok dengan sorot sendu. Memang gadis kecil mereka selalu ingat apa yang dikatakan orang dewasa dan selalu saja bisa membalikkan kata-kata mereka.
"Tuhan sayang semua orang. Hidup dan mati itu rahasia Tuhan, Sweety." Bhre meraih tangan Nala dan menengadahkan telapaknya. "Di tangan Tuhan, Tuhan sudah menuliskan rencana hidup kita. Walau kadang kita memilih jalan lain, tapi Tuhan akan meluruskannya sehingga kita balik lagi ke jalan yang benar. Nah, kalau Tuhan sudah mengepalkan tangan seperti ini, mana kita tahu 'tulisan' Tuhan. Daripada memikirkan isinya, kita jalani hidup ini pada jalur yang sudah disediakan dan selalu bersyukur atas apa yang telah Tuhan beri."
Nala menggeleng. "Nala nggak paham omongan Panda."
Pijar menghela napas panjang, lalu membuka suara. "Sayang, Panda dan Manda sebenarnya nggak tahu jawabannya. Kalau boleh milih, Manda pengin Nala sehat. Tapi, tetep aja Tuhan ngasih Nala jantung yang spesial. Jadi, kita jalani saja apa yang sudah Tuhan rancang buat kita dengan penuh syukur. Ingat materi Sekolah Minggu kemarin, kalau Tuhan nggak akan memberi cobaan melebihi kekuatan kita."
Nyatanya, semua hanya teori yang keluar dari mulut Pijar karena sejatinya Pijar tak bisa bersyukur atas apa yang Tuhan beri. Pijar sempat menyalahkan Tuhan karena membuatnya gagal melahirkan keturunan yang sehat.
***
Sepanjang perjalanan pulang, percakapan itu masih saja mengusiknya. Selama setengah, sekuat tenaga Pijar menahan diri untuk tidak menangis. Hingga akhirnya, begitu menginjakkan kaki di kamar, tangis Pijar pecah. Ia meremas kain blusnya dan sesekali menepuk dada untuk mengeluarkan ganjalan yang enggan tergelontor.
Saat Bhre masuk setelah memasrahkan Nala pada Mbok Sukini, ia menghampiri Pijar yang duduk di tepi kasur. Kini Pijar tak punya lagi benteng yang selama ini ia bangun sehingga membuatnya terlihat kuat. Tembok tak kasat mata yang menyembunyikan fakta besar bahwa ia pernah melewati masa sulit itu telah rubuh. Pijar sekarang layaknya petarung lemah yang telah kehabisan tenaga berjuang sendiri. Di hadapan Bhre, Pijar tak ubahnya seperti wanita tak berdaya.
Empat langkah panjang Bhre akhirnya mampu menjangkau Pijar. Ia merendahkan tubuhnya dan menumpukan lutut kanan di lantai dingin, lalu meraih tangan kiri Pijar yang mengepal erat. "Nda, kenapa selama ini kamu diam, Nda? Kenapa kamu ndak ngasih tahu aku soal depresi post partum itu? Bayangkan … aku jadi orang bodoh yang nggak tahu apapun tentang kamu! Suamimu!" Bahu Bhre naik turun. Tangan Pijar ditariknya di depan bibir untuk dikecup.
Ketika tatapan mereka beradu, Pijar mendapati mata Bhre memerah terlapisi bulir bening yang memantulkan cahaya lampu. Namun, hati Pijar sama sekali tak tergerak karena terlalu dalam luka yang ditorehkan Bhre. Apalagi saat laki-laki itu menyinggung lagi tentang depresi sehingga Pijar harus mendapat perawatan, detik itu juga ia semakin merasa lemah di depan Bhre dan seolah tak berharga. Rasa rendah diri kembali menyusup dan membuatnya merasa tak berguna.
Pijar mendengkus, lalu memalingkan muka dari Bhre. "Jangan lihat aku kaya gitu!" sergah Pijar. "Aku bukan orang yang harus dikasihani!"
"Nda …." Bhre menciumi tangan Pijar dan mengusapkannya ke wajah.
Saat Pijar merasakan sensasi basah di punggung tangannya, ia cepat-cepat menariknya.
"Nda, aku … aku …minta maaf. Aku nggak tahu kalau kamu sudah berjuang menahan semuanya sendiri." Bhre tergugu, meremas lutut Pijar. Kepala pria itu mendongak menatap wajah wanitanya.
"Sekarang Mas sudah tahu istrimu ini gila! Puas sekarang!" Rahang Pijar mengerat menahan gejolak emosi yang menggelegak. Ya, inilah yang Pijar takuti. Pandangan dikasihani dan pikiran dianggap sebagai istri gila membuatnya memilih menutup rapat apa yang terjadi. Kini semua sudah terbongkar dan Pijar harus siap menghadapi kemungkinan terburuk. "Kalau Mas mau pergi, silakan! Lagian Mas udah ketemu lagi sama mantan terindahnya Mas."
"Nda …." Bhre menggeleng-gelengkan kepala. "Aku ndak akan pergi. Kalau pun kamu usir pun, aku akan ada buat kamu."
"Bohong!" Kali ini Pijar tak bisa menahan suaranya. Ia merogoh tasnya dan menarikan sejenak jarinya di atas permukaan layar. "Ini! Apa ini?" Pijar menyodorkan gawainya di depan muka Bhre hingga mata lelaki itu menjuling.
Bhre menarik sedikit kepalanya dan melihat layar handphone yang menyala. Matanya membeliak saat melihat apa yang muncul di layar handphone Pijar.
"Ini …?"
💕Dee_ane💕
Part lanjutan ada di KK yak.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro