Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

24. Family Time

Pijar tersentak, mendengar ucapan Nala. Apa maksudnya? Nada suaranya terdengar seperti pesan terakhir sebelum berpisah. Persis seperti yang dilakukan Papa dulu sebelum ke surga.

"Nala ngomong apa sih? Kita kan bisa jalan-jalan seperti ini terus, setiap saat, setiap waktu." Pijar memeluk Nala erat. Senyumnya canggung menyembunyikan dada yang sesak. "Kita akan membuat kenangan indah setiap hari."

"Nala mau mati, Nda."

Kuduk Pijar seketika berdiri. Rahangnya seolah tertarik ke bumi, bertepatan dengan decitan roda yang berhenti mendadak. Pandangannya bersirobok dengan Bhre sesaat. Rona keduanya sama-sama pucat seperti mayat.

Susah payah Pijar menelan ludahnya untuk menggelontorkan nyeri, lalu mendorong pelan Nala. "Siapa yang bilang?" Suara Pijar bergetar, mencengkeram kedua bahu Nala.

"Kata Aldo kapan lalu itu. Dia cerita, dia nggak masuk karena mbah kakungnya meninggal karena sakit jantung. Berarti bentar lagi Nala mati ya, Nda? Nala kan sakit jantung?"

Batin Pijar tercabik. Matanya seketika terasa panas menguapkan kebahagiaan di sore itu. "Nggak. Beliau meninggal karena sudah tua. Nala kan masih anak-anak."

"Tapi, kenapa adeknya Bintang bisa meninggal. Dia masih bayi malah. Baru lahir pula."

Pijar gelagapan mendapati tuntutan pertanyaan Nala. Gadis kecilnya itu tak mudah puas dengan jawaban yang diberikan padanya.

"Sweety, mungkin Nala belum bisa paham omongan Panda. Tapi meninggal itu adalah sebuah misteri. Hanya Tuhan yang tahu. Manusia meninggal juga nggak lihat apa dia laki atau perempuan, kaya apa miskin, tua atau muda, dan sehat atau sakit." Bhre tersenyum. Tak ada sedikit pun raut khawatir atau sedih yang tergurat di wajah. "Selama kita hidup, gimana pun kondisinya, kita harus mensyukuri yang kita punya."

Pijar memalingkan wajah, mendengkus. Mensyukuri yang kita punya? Apakah Bhre berbuat demikian? Laki-laki itu justru melakukan hal yang sebaliknya karena bermain api dengan cinta lamanya. Tak mensyukuri bahwa Bhre punya istri yang sangat mencintai suaminya dan putri yang cerdas.

"Misteri itu apa, Panda?"

Kini giliran Bhre yang kebingungan. Ia terkekeh, mengerling pada Pijar dan memberi isyarat gerakan dagu untuk membantunya.

"Misteri itu rahasia. Hanya Tuhan yang tahu." Pijar menyahut membantu menjawab.

"Trus, kalau Nala mati, apa Nala nanti masuk surga jadi malaikat gitu? Nala anak baik kan, Nda?"

"Sekarang pun Nala sudah jadi malaikatnya Panda dan Manda."

Jawaban Bhre semakin menggerus batin Pijar. Namun, sekuat tenaga ia tetep berusaha tegar. Ia yakin, Nala akan sehat dan tetap menjadi buah hatinya.

***

Pijar menjadi lebih diam saat mereka berjalan-jalan di mall. Walau tubuh wanita itu ada di sana, tapi pikirannya seolah melalang buana. Biasanya Pijar akan mengajak Bhre untuk melihat-melihat barang-barang diskon yang ditawarkan departement store itu. Namun, barang murah yang dipajang itu kini tak membuatnya tertarik. Ia memilih menuruti Nala memasuki toko buku untuk melihat-lihat koleksi crayon serta pensil.

Sembari menanti Nala menjelajah tiap sudut toko di bagian alat tulis, Pijar melihat buku psikologi. Ada satu judul buku yang menarik perhatiannya sehingga ia mengambilnya dari rak.

"Nda, kok diem?" Bhre mendekati Pijar yang sedang memegang buku bersegel.

"Nggak." Pijar menjawab seadanya. Matanya masih tertuju pada barisan kata yang tercetak di sampul belakang. Ia tidak ingin menunjukkan pada orang di sekitarnya termasuk Nala, betapa perasaannya tak baik-baik saja detik ini. Ia sedih karena ucapan Nala sewaktu di jalan tadi dan juga memikirkan hubungannya dengan Bhre. Sejak pertengkaran semalam, sekat tak kasatmata antara mereka seolah terbentang lebar.

"Omongan Nala ... jangan dipikirin. Anak-anak memang kadang ngomong nyleneh gitu."

Tangan yang memegang buku itu mengerat. Ia melirik Bhre sambil berdesis. "Bagi Mas, Nala nggak perlu dipikir. Yang ada di otak Mas cuma bikin anak yang lebih sehat!'

Bhre terkesiap. Ia mengerjap, menatap Pijar dengan ekspresi heran. "Nda, kok ngomong gitu?"

Embusan napas kasar keluar dari hidung mancung Pijar. Ia menahan lidahnya karena tak ingin berdebat sehingga wanita itu memilih berbalik, meninggalkan Bhre. Ia cemas moodnya kacau lagi sehingga merusak hari bahagia Nala.

Pijar kemudian menghampiri Nala yang menenteng tas belanjaan. Ia melongok ke dalam tas yang sudah Nala isi dengan barang-barang kesukaannya.

"Nda, aku beli sebanyak ini boleh?" Nala memperlihatkan crayon 24 warna, pensil warna, dan buku sketsa tebal.

"Boleh. Buat Nala, apa yang nggak?" Pijar mengelus rambut Nala. Sekuat tenaga ia mengembangkan senyum demi kebahagiaan Nala.

"Nala mau belajar gambar biar Nala bisa nerusin perusahaan Opa. Ntar Manda nggak perlu kerja. Nggak perlu pulang malem lagi."

Ucapan Nala berhasil menyejukkan kegerahan hati Pijar di saat wanita itu dikuasai perasaan negatif yang tiba-tiba muncul. Ya, Nala memang selalu menjadi penghiburnya. Seperti dulu ... saat pikiran-pikiran buruk menyusup karena kinerja hormon yang tak stabil, lingkungan yang tak mendukung, serta rasa bersalah meninggalkan Mama, hanya Nala yang mampu menguatkannya.

"Biar Panda bayar." Bhre mengambil alih tas belanja yang dipegang Nala. "Habis ini kita beli tas buat Manda."

Pijar mengerut. "Buat apa?"

"Tasmu udah rusak. Itu tas yang terakhir kamu beli empat tahun lalu, kan?"

Pijar meremas kuat tali selempang tasnya. Memang tas yang ia pakai sehari-hari itu sudah cukup usang. Namun ia sayang membeli yang baru karena kebutuhan rumah masih banyak.

"Nggak perlu. Aku bisa beli sendiri," tolak Pijar. Ia berusaha menahan diri untuk tidak tergiur. Katanya kalau ada orang tiba-tiba baik, bisa jadi ia menyembunyikan kesalahannya. Apakah Bhre juga begitu?

Bhre tetap bersikeras menarik menariknya ke bagian tas bermerek yang harganya di atas satu juta. Ia melihat-lihat satu persatu koleksi terbaru yang ditawarkan. Padahal beberapa waktu ini, Pijar selalu melewati barang-barang baru karena tidak ingin tertarik membeli dan lebih memilih barang diskonan.

"Ini bagus, Nda." Bhre mengulurkan tas merah itu ke depan Pijar.

Pijar menatap nanar tas itu. Tak dimungkiri, pilihan Bhre sangat bagus. Namun, ia tak mau terjebak dalam iming-iming duniawi. Ada alasan yang membuat hari ini ia semakin kesal dengan Bhre sehingga ia tak kan mudah jatuh dalam bujuk raju sang suami. Ia bukanlah anak kecil yang akan berhenti merajuk kalau dirayu dengan permen atau hadiah. Tidak! Rasa sakit Pijar kali ini terlalu besar dan tas itu tak akan bisa mengobati rasa perihnya

"Aku nggak butuh!" Pijar mendorong tas itu.

"Tapi tasmu udah rusak. Ujung-ujungnya udah ngelupas."

"Aku masih ada tas kulit di rumah. Lagian yang aku butuhin bukan itu, Mas!" Muka Pijar sudah masam.

"Lalu, kamu butuh apa?"

Batin Pijar makin mendidih. Apa Bhre tidak tahu apa yang ia butuhkan? Ia butuh suami yang bisa menjadi sandaran jiwa lelahnya. Ia butuh Bhre mengucapkan maaf atas apa yang terjadi! Atas perselingkuhan yang membuat kepercayaan Pijar luntur.

"Aku butuh ... makan!" Kalau sudah kesal seperti ini, ia harus makan. Ia tak ingin tubuhnya ikut oleng ketika jiwanya tak baik-baik saja.

Bhre menurut. Maka, Bhre pun menghampiri Nala yang tak henti-hentinya mengagumi barang-barang yang tadi ia beli. Dibanding boneka, Nala memang menyukai aneka rupa alat gambar.

Pria itu membungkuk, membisikan sesuatu pada Nala. Setelah itu, Bhre menegakkan kembali tubuhnya, dan Nala lalu mengayunkan langkah lebih dulu meninggalkan Bhre.

"Ayo, Nda!" Bhre kemudian meraih tangan Pijar dan menggandengnya.

"Apaan sih!" Pijar berusaha melepas kaitan tangan Bhre.

Namun, Bhre semakin mempererat gandengan. Pria itu tersenyum dan menarik pelan tangan Pijar sehingga akhirnya mereka berdua berjalan beriringan di sepanjang selasar pusat perbelanjaan yang masih ramai di malam hari.

Walau tangan mereka saling bertaut, tapi hati mereka jauh terpaut. Kehidupan keras setelah kepergian Papa, membuat Pijar sadar bahwa ending happily ever after setelah menikah hanya ada di dalam dongeng. Nyatanya, alih-alih menjadi ratu di istananya, Pijar justru menjadi upik abu. Setelah semua yang terjadi, Pijar semakin sadar bahwa ia harus kuat menjalani hidup seorang diri bersama Nala. Pijar bukan lagi remaja ingusan yang akan meleleh karena gandengan Bhre, karena kini yang ia rasakan genggaman Bhre seolah ingin meremas semua bahagia yang ingin ia raup.

"Nda, nggak kerasa ya, Nala udah semakin gede."

Pijar tahu, Bhre hanya basa-basi. Mereka tak ubahnya seperti orang asing yang dipaksa bergandengan, dipaksa bercengkerama, meski tak ingin sehingga hanya bahasa sana-sini kosong saja yang mengisi ruang mereka. Tanpa ada keintiman. Dengan kepercayaan yang semakin tergerus.

Langkah Pijar akhirnya terhenti. Suasana musik deretan top 40 tak lagi terdengar. Hanya suara detak jantung yang bertalu-talu, mengisi seluruh telinga Pijar. Mata wanita itu memejam sejenak dengan dada mengembang saat menghela napas panjang.

Mengetahui Pijar terjeda jalannya, Bhre menoleh. Kedua alisnya naik. "Ada apa, Nda?"

"Rasanya ... aku pengin bercerai."

Bhre mengernyit. "Apa?" tanyanya memastikan pendengarannya tak salah menangkap lisan Pijar.

"Aku ... pengin cerai."

Kaitan tangan mereka terurai. Senyum Bhre luntur diguyur sapuan setiap kata yang terlontar dari bibir Pijar.

"Maksudmu?"

"Aku ... pengin pisah." Ide itu muncul begitu saja di otak. "Sekuat tenaga aku berusaha menjadi yang terbaik buat Mas dan Nala, tapi semua sia-sia." Pijar menatap Bhre lekat.

.

.

.

Detik waktu seolah tak berdetak. Lalu lalang orang di sekitarnya, seperti hilang dari pandangan, menyisakan mereka berdua yang saling mengadu tatapan.

"Kenapa? Apa yang sia-sia?" Suara serak Bhre seperti memecah sumbatan di pendengarannya hingga suara riuh kembali menyusup telinga dan semakin membuat kacau otak Pijar.

"Semua! Pernikahan kita, pengorbananku—"

"Apa yang sia-sia? Kita mempunyai Nala yang menjadi berkat berharga untuk keluarga ini!" potong Bhre dengan suara tertahan. Pria itu lantas memejamkan mata dan bernapas panjang. "Kita bicarakan di rumah. Sekarang, waktunya kita menemani Nala. Putri kita yang yang sangat kita sayangi."

Bhre meraih kembali tangan Pijar dan menarik tubuh sang istri. Genggamannya semakin erat membuat Pijar tak bisa berkutik.

Sejujurnya, Pijar ingin meluapkan semua amarah yang menggelegak. Namun, ia berusaha menahan letusannya karena tidak ingin membuat Nala melihat pertengkaran kedua orang tuanya di muka umum.

"Nda ...." Bhre kembali bersuara, tapi Pijar masih menatap kosong putrinya yang berjalan mendahului menuju ke tempat mainan kereta hewan. "kamu ingat waktu kita pacaran? Pilar selalu nempelin terus sehingga aku nggak bisa leluasa. Jangankan nyium, mau pegang tangan aja dia melotot!'

Pijar mendengkus. Ucapan Bhre seolah membuka kembali kotak penyimpanan kenangan yang lama tak terbuka. Masa pacaran mereka memang tak intim tapi mampu menggetarkan hati Pijar melalui pesan pendek Bhre untuk sekedar menanyakan apakah ia sudah makan. Sayangnya, setelah menikah kebiasaan itu menguap seiring kesibukan Bhre yang semakin padat.

"Pijar ..."

Kepala Pijar terangkat menatap Bhre dengan kerutan alis. Sangat jarang Bhre menyebut namanya langsung setelah Nala lahir. Bila seperti ini, biasanya Bhre ingin bicara secara pribadi. Bukan sebagai istri atau ibu dari Nala. "kenapa kamu ndak bilang kalau kamu terkena depresi setelah melahirkan Nala? Kenapa selalu saja aku jadi orang yang terakhir tahu?"

"Oleh karena itu, dari pada aku lama-lama jadi gila, lebih baik kita berpisah. Kita tetap jadi orangtuanya Nala, walau sudah nggak jadi suami istri lagi," jawab Pijar dengan nada tegas walau sebenarnya hatinya terguncang dengan setiap kata yang terlontar dari mulutnya.

"Kenapa? Kenapa kamu mikir gitu?"

💕Dee_ane💕

Nulis Bhre n fam ini tersendat-sendat banget🥲 Jadi, maapkeun kalau rada lama update. Silakan mampir di KK untuk baca lebih cepat.

Toling kasih jejaknya ya, Deers😄

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro