22. Ketegasan
Malam ini, terpaksa Bhre melepas Pijar. Saat ia mengantar istrinya sampai ke depan rumah sambil menggendong Nala, langit malam suram yang tak berbintang menyambutnya seolah mengerti kegalauan batin Bhre.
Bhre menatap Kevin yang turun dari mobil, dan menghampiri Pijar dengan senyum lebar. Sorot mata cemerlang itu terlihat mengagumi ibu dari Nala yang selama ini sangat mengganggunya.
Jujur, Bhre tidak menyukai Kevin. Latar belakang kedekatan Kevin-Pijar membuat Bhre resah karena sering kali mendapati ia selalu terlambat di saat Pijar membutuhkan. Selalu saja kabar buruk datang dari bibir lelaki berdarah Batak-China-Jawa. Mulai dari Pijar melahirkan prematur, Nala yang tergolek lemah di ICU karena sesak napas, masalah kerugian perusahaan yang baru-baru ini dialami Pijar, dan yang terakhir tentang hilangnya Nala.
"Manda berangkat ya, Sweety." Pijar berjinjit mencium Nala yang ada di gendongan Bhre.
Nala membalas ciuman Pijar, lalu menahan lengan atas mamanya. "Manda, cium Panda juga. Seperti biasa kalau Panda mau berangkat."
Pijar mengerjap dan mengerling ke arah Bhre. Ia tak menyangka, selama ini ternyata Nala tahu Bhre selalu mencuri-curi kesempatan mengecup bibirnya saat akan berangkat. Seketika pipi berperona Pijar memerah. Ia terkekeh canggung sambil melirik Kevin.
Bhre tak menyia-nyiakan kesempatan. Ia menunduk dan menarik belakang kepala Pijar untuk mendaratkan bibir di dahi sang istri dengan mata terpejam. Diraupnya seluruh aroma feminin yang selama ini selalu ia rindukan.
Satu detik ….
Dua detik …
Tiga detik ….
Dan kecupannya berakhir saat Bhre menegakkan kembali tubuh dengan mengembangkan senyum lebar untuk menutupi rasa tak relanya membiarkan Pijar pergi.
"Nda, i love you. Semoga dinner-mu menyenangkan."
Pijar melengos sambil memutar tubuh. Hatinya tercubit karena baru kali ini mereka bertengkar lebih hebat dari saat Pijar mengetahui harta karunnya. Seandainya Bhre lebih peka, tentu hubungannya dengan Pijar tidak akan kisruh seperti ini. Terlebih bila mengingat ucapan Pilar sore itu.
"Pijar ngalamin depresi post partum, Bhre. Dia ngrasa nggak guna ketika ngelahirin Nala. Ia nyalahin diri sendiri untuk apa yang terjadi. Kamu tahu … sekarang kamu bener-bener udah sukses bikin Pijar terluka. Jiwa dan raga!" Kalimat itu terus terngiang di benaknya dan membuat Bhre merasa bersalah karena tidak tahu menahu tentang apa yang terjadi pada istrinya. Selama ini Pijar selalu terlihat baik-baik saja saat ia menempuh pendidikan spesialis.
Ah! Bagaimana Bhre tahu kalau ia jarang di rumah? Kalau pun pulang, ia hanya mampir tidur dan belajar.
Bhre lalu mengalihkan pandangan ke Kevin. "Vin, titip istriku ya." Bhre menekankan pada dua kata terakhir.
Kevin mendengkus sambil menarik bibir miring sehingga hampir saja Bhre mengulangi tindakan impulsifnya malam itu.
Masih basah di ingatan Bhre ketika malam itu ia melihat Kevin mengelus pipi Pijar yang ketiduran di mobil. Ingin rasanya ia memukul Kevin. Namun, ia menahan diri mengingat malam sudah cukup larut. Ia tak ingin membuat keributan di kampung karena memukuli Kevin.
Kejadian itu benar-benar tak direncana.
Bhre seolah terlempar ke masa di mana ia bertindak seperti anak kecil yang tantrum. Saat mendengar dering telepon, dan melihat nama 'Kahiyang' di situ, ia buru-buru mengangkat. Panggilan telepon Kahiyang yang masuk ke gawainya ia gunakan untuk membohongi Pijar karena darahnya mendidih melihat Kevin begitu dekat dengan Pijar.
"Ya, Vin?" Bhre melirik Pijar, untuk melihat reaksinya. "di mana?"
"Bhre, aku Mbak Kai! Siapa Vina?" Suara Kahiyang terdengar heran
"Pecah ban? Kamu di mana?" Bhre sengaja mengeraskan volume suaranya dan bergegas mengambil dompet.
"Edian cah iki! Aku ki—" Sambungan terputus setelah Bhre menyentuh tanda merah. Ia tidak ingin Kahiyang berteriak-teriak sehingga suaranya bisa ditangkap Pijar. Ya, kali ini, Bhre akan membalas kecemburuannya dengan mendatangi Kevin.
"Ya. Aku ke sana. Naik taksi online. Tunggu aku."
"Mau ke mana, Mas?" Alis Pijar mengerut.
"Mobil Vina pecah ban di jalan. Aku mau ke sana." Bhre tak berani menatap mata Pijar. Ia takut kebohongannya tercium. Ia la lalu berbalik dan menghampiri Pijar. "Kamu tidur saja …."
"Untuk apa Vina nyari Mas? Apa dia nggak ada keluarga lain? Suaminya mungkin … atau pacarnya?" Walau volume suaranya rendah, tapi ia masih bisa merasakan nada protes dalam ucapan Pijar.
"Dia di sini sendirian. Kasihan." Bhre tak menggubris Pijar. Tangannya pura-pura mencari aplikasi taksi online. Namun, ia lalu kembali ke aplikasi pesan untuk memberi kabar Kahiyang.
[Nanti aku telepon! Jangan telepon Pijar!]
"Jangan pergi!" seru Pijar cepat.
"Dia sudah berusaha menghubungi Pilar tapi nggak bisa. Dinar masih ada operasi cito. Jadi, dia menghubungi aku. Bukannya kamu juga seharian bersama sa-ha-batmu? Trus kenapa kamu larang aku bantuin temanku?" Sungguh, Bhre tak bisa menyembunyikan kejengkelan ya waktu itu.
"Teman?" Suara Pijar meninggi.
***
Lamunan Bhre buyar ketika suara Pijar kembali menabuh gendang telinganya. "Aku berangkat, ya?"
Bhre mengangguk tak ikhlas. Ia menyesal tak menyuruh Pijar berganti baju yang lebih longgar. Baju itu terlihat seksi karena menonjolkan lekuk tubuh yang sering ia jelajahi.
Selanjutnya, tersisa Bhre dan Nala di depan gerbang setelah mobil yang ditimpangi Pijar dan Kevin berlalu dan berbelok di ujung gang. Rasanya ia ingin menyemburkan sumpah serapah berbagai macam jenis binatang di Gembira Loka.
"Panda, ayo masuk!" ajak Nala.
Bhre hanya bisa mengesah dan menuruti saran Nala. Sepertinya embusan angin malam ini enggan menyapu kecemburuan yang bercokol di hati Bhre.
"Panda, Manda kok kerja terus ya? Apa uang kita kurang? Kita kan udah kaya," tanya Nala dengan pandangan polos ketika mereka berjalan menuju teras rumah.
Bhre terkekeh miris. Seharusnya memang Pijar tak perlu bekerja sekeras itu. Tapi tagihan cicilan modal awal sekolah juga masih kurang dua tahun lagi. Setidaknya masa sulit saat Bhre sekolah telah berakhir. Perlahan-lahan, Bhre bisa menghidupi keluarganya dan berusaha untuk mengembalikan uang pembelian rumah kepada mama mertuanya.
"Nala Sayang, supaya punya uang, kita harus bekerja." Bhre lalu menunjuk serangga hitam kecil yang berbaris di tepian paving di dekat sepetak taman kecil. "Lihat semut ini, mereka saja bekerja biar bisa makan, apalagi manusia."
Nala mengangguk pelan dan memeluk pandanya lebih erat. "Tapi, Nala sedih karena Panda dan Manda kerja terus dan nggak bisa jalan-jalan bareng. "
Memang karena beberapa waktu lalu Bhre kerja rodi menggantikan teman-temannya yang berhalangan, sehingga waktu Bhre untuk keluarga begitu sedikit. Untungnya, minggu ini ia mendapat kelonggaran. "Minggu ini, Panda sedikit longgar. Nala mau jalan-jalan bertiga?"
Nala mengangguk berulang. "Mau! Tapi Panda, kayanya enak kalau jalan berempat. Panda, Manda, Nala, dan adek bayi." Nala diturunkan Bhre di kasur di kamarnya. "Kenapa Nala nggak punya adik kaya Mbak Agni? Nala pengin gendong adik."
Hati Bhre mencelus. Ia juga merindukan anak kedua untuk menemani Nala. Apalagi Ibu juga sudah mendesaknya untuk memberinya cucu. Namun, masalahnya walau beberapa bulan ini ia berusaha menyemburkan benihnya tapi kenapa tidak ada tanda-tanda kabar baik yang ia dengar? Bahkan Bhre sempat mengecek spermanya karena merasa infertil. Namun, hasil pemeriksaannya pun tak menunjukkan benihnya tak bernas. Secara kualitas dan kuantitas bisa disimpulkan spermanya sangat bagus. Pergerakan kecebongnya gesit dan jumlahnya pun dalam batas normal. Oleh karena itu, kegagalan pembuahan alami yang diusahakan Bhre justru mengherankan.
Dulu, satu setengah bulan setelah menikah, Pijar sudah menunjukkan dua garis di testpacknya. Setelah melahirkan, Pijar tidak menggunakan KB dengan metode apapun. Setahu Bhre, Pijar hanya menelan pil suplemen vitamin C setiap pagi, dan Pijar selalu berpikir ulang bila menggunakan KB suntik, IUD, atau implan. Untuk mengatur kehamilan, Bhre hanya menggunakan pengaman atau bermain aman saja. Lalu, bila tidak ada penghalang pembuahan, kenapa usahanya seperti tak membuahkan hasil? Apa Pijar terlalu kelelahan sehingga persatuan sel telur dan benihnya luruh? Atau Bhre terlalu bersemangat saat menggemburkan lahan subur Pijar?
***
Kegelisahan Bhre ditangkap Vina yang sedari tadi memperhatikannya. Wanita itu menyapanya saat Bhre keluar dari ICU.
"Bhre, makan yuk?"
Bhre mengesah. Kepala menoleh ke kanan kiri melihat apakah ada yang memperhatikannya. Ia merasa dinding-dinding mengamatinya dan siap mendengarkan apapun pembicaraan mereka.
"Aku udah makan." Bhre berusaha menghindar.
"Kapan? Dari pagi kamu stand by di OK terus loh." Vina sepertinya mencari celah.
"Ada tadi dibeliin sama Dokter Pram."
Ada gurat kecewa yang tergambar di wajah eksotis itu. "Aku belum makan. Temenin aku yuk?"
"Aku … harus jemput Nala."
Vina mengesah. Bibirnya maju ke depan beberapa centimeter. "Aku tadi mau ngajak Dinar, tapi dia kaya menjauh gitu sama aku. Pilar juga nge-reject panggilanku."
"Ya udah, aku temenin. Sekalian aku mau ngomong sesuatu."
Wajah mendung itu tersapu senyum lebar. "Beneran? Ayo …."
Akhirnya mereka pergi ke tempat makan pilihan Vina di jalan Gejayan dengan menggunakan mobil masing-masing. Dari rumah sakit, mereka hanya memerlukan waktu sekitar 15 menit untuk bisa sampai di sebuah rumah makan yang menyediakan berbagai macam menu mie ayam. Walau bukan weekend, rumah makan itu ramai dipadati pembeli. Untungnya mereka tak kehabisan tempat parkir sehingga bisa tetap makan di tempat itu.
"Mau indoor apa outdoor?" tanya Vina mencari beberapa tempat yang masih kosong.
"Outdoor aja." Mereka kemudian mengayunkan langkah ke bagian luar yang masih bisa terlindung dari sengatan matahari. Pemandangan jembatan, sungai, dan bambu yang rimbun berhasil membuat pengunjung termasuk Bhre, melupakan teriknya matahari siang itu.
Mereka duduk menghadap ke arah luar, menikmati semilir angin yang berusaha menyejukkan cuaca di musim kemarau. Setelah Vina menuliskan menu, nama, dan nomor meja, ia menyerahkan pada pelayan.
"Kamu sering ke sini?" tanya Bhre, melihat Vina begitu familiar dengan tempat ini. Ia juga berusaha untuk memecah kecanggungan.
"Iya. Maklum … tinggal sendiri jadi aku udah keliling kuliner kota ini. Kalau pengin masak, paling kalau weekend aja," terang Vina. "Oh,ya, tadi kamu mau ngomongin apa?"
"Kita makan dulu." Jelas pembicaraan ini harus dilakukan setelah makan. Ia sangat hafal perangai Vina. Bila ada sesuatu yang membuatnya tak nyaman sebelum makan, ia bisa urung melahap apa yang sudah tersaji.
Untungnya Vina termasuk orang yang banyak sekali topik pembicaraan ringan yang mau tak mau sering membuat Bhre tertawa lepas.
"Jadi … kamu mau ngomong apa?" tanya Vina lagi saat makanan mereka sudah habis.
"Itu … kamu denger rumor tentang kita di rumah sakit?" tanya Bhre hati-hati.
"Oh, soal itu." Vina manggut-manggut. "Denger. Kenapa?"
"Aku … jujur, ndak nyaman. Pijar marah besar kemarin."
Vina tersenyum sambil mengaduk lemon teanya. Tatapan lurus ke arah rimbunan bambu yang bergoyang tertiup angin. "Kupikir … aku udah ngelupain kamu, Bhre. Kehilangan Mika saat kami akan menikah, bikin aku sedih banget. Dan, kamu … bisa ngisi kekosongan itu."
Bhre menatap lekat profil wajah Vina yang tulang hidungnya terlihat menonjol tinggi. "Aku udah punya istri, Vin. Aku ndak mau ngelukain Pijar ataupun Nala."
"Aku ngerti. Tapi … apa kamu nggak pernah ngerasa kaya kita balik ke zaman SMA dulu? Deg-degan kalau pegang tangan aja. Nggak lebih."
"Itu cuma reaksi kimia tubuh palsu, Vin. Kita ndak lagi remaja yang bisa diombang-ambingkan hormon!" Bhre berusaha bertahan. Melihat wajah mendung yang berkebalikan dengan cerahnya langit siang ini, membuat Bhre merasa tak enak. "Aku … cinta sama Pijar. Dalam pernikahan debaran itu mungkin terkadang hilang, tapi komitmenlah yang harus aku jaga. Jujur, aku takut ngelakuin kesalahan yang bakal hancurin semuanya. Hidupmu, hidupku, hidup Pijar, dan putri kami."
"Aku paham sekarang cerita Pilar. Ternyata kamu sesetia itu kalau sudah menjalin relasi. Katanya kamu sampai nungguin balesan emailku ya?" Vina membalas tatapan Bhre.
"Iya, Vin. Dan selama itu aku setia, berharap kamu pulang atau sekedar membalas pesanku. Tapi, inboxku kosong sejak bertahun-tahun lalu."
"Sebenarnya, bukan karena aku nggak bisa LDR-an …."
Alis Bhre mengerut. Ia memasang telinga sambil menatap gerak bibir Vina.
"Aku … diperkosa."
Rahang Bhre seketika tertarik gravitasi bumi. Tenggorokannya tercekat. Namun, ia membiarkan Vina berbicara lagi walau terselip pertanyaan di benaknya.
"Aku diperkosa tepat sewaktu kelas 3 SMA. Waktu ikut prom night, teman yang pernah aku tolak, memaksa aku." Mata Vina memerah. Ia kembali meluruskan pandangan ke arah luar agar tidak mengundang perhatian. "Gara-gara itu aku sempat depresi. Aku berhenti sekolah dan mendapat perawatan intensif dari psikiater. Dua tahun aku berjuang untuk bisa pulih dari traumaku sama cowok, sampai akhirnya aku bisa bangkit dan memutuskan untuk kuliah di kedokteran gigi. Sewaktu mengambil pendidikan residen di Jakarta, aku ketemu Mika. Awalnya aku menjauh karena merasa kotor dan takut dengan hal berbau seks. Tapi Mika mau menerima aku dan melamarku beberapa waktu lalu. Sayangnya, kami nggak berjodoh …."
"Kenapa kamu ndak cerita kalau kamu ngalami hal seburuk itu?"
"Apa kamu mau terima aku dulu? Lagian semua udah terjadi. Kamu sekarang dengan Pijar dan aku tetap sendiri." Setitik bulir bening akhirnya meleleh saat Vina mengerjap.
Sementara itu, Bhre kehabisan kata yang tepat untuk merespon semua cerita Vina yang mengejutkan. Pantas saja, tak ada orang lain selain dirinya, Pilar, dan Dinar yang bisa dekat dengan Vina.
"Vin …." Bhre menyodorkan sapu tangannya yang ditolak Vina.
"Anakmu nggak suka saputangan papanya dibawa orang lain."
Bhre menatap nanar sapu tangan yang ia genggam. Pijar menyulamkan nama 'BC' di salah satu sudutnya. "Maaf. Jangan diambil hati. Nala emang ndak suka barangnya dipinjem tanpa memberitahu."
Vina mengesah, memandang Bhre lekat, lalu membuka mulut. "Bhre, gimana reaksi Nala kalau aku ngambil pandanya dari dia?"
💕Dee_ane💕
Deeerrrrsss, makasih banget udah baca cerita ini. Semoga kalian terhibur😘😘 nulis cerita ini rada rendet yak, karena aku kangen banget nulis hisfic🤭 Jadi, lagi cari ilham nulis hisfic baru. Ada yang mau dibikinin hisfic era apa nih?
Bhre ini masih ketempelan Vina aja
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro