Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

20. Ketahuan

Sesudah Bhre meninggalkan Pijar, ia kemudian mencari Kahiyang terlebih dahulu. Ia menyusul ke kamar belakang, di mana kakak perempuan Bhre satu-satunya itu sedang menyusui bayinya.

"Mbak ..," sapa Bhre yang masih berdiri di ambang pintu. Kahiyang mendongak, menatap adiknya. "bisa temenin Pijar. Badannya kayanya nggak nyaman."

"Yakin cuma nggak nyaman badannya, Dek?" Pandangan Kahiyang kembali beralih ke bayinya sementara tangan kanannya masih memegang dada kirinya.

"Maksud, Mbak?"

"Ibu nyuruh dia berhenti kerja. Tadi. Hubungan mereka nggak sebaik yang kamu lihat loh." Kahiyang berdiri, lalu menutupi dadanya dengan selendang, dan berjalan menghampiri Bhre. "Apa kamu tahu, Bhre?"

Alis Bhre menukik tajam, mengikuti gerak-gerik Kahiyang yang memanggil anak perempuannya dan kemudian menghilang saat masuk ke kamar. Ia tak mengerti arah ucapan Kahiyang. Bukankah selama ini Pijar baik-baik saja?

Tak ingin membuang waktu, Bhre kemudian bergegas mencari Nala. Namun, baru selangkah kakinya mengayun, suara Ibu yang memanggil, menggema. Bhre menoleh dan terpaksa berbalik menghampiri Ibu.

"Pijar kenapa?" tanya wanita yang rambutnya banyak dihiasi warna keperakan.

"Oh, itu ... dia kecapekan."

"Kecapekan?" Mata Ibu membeliak lebar. "Ibu sudah bilang suruh jaga kesehatan. Ini kan yang Ibu bilang ke dia terus menerus supaya dia keluar dari kerjaan dan fokus ngurus Nala! Gimana Nala punya adik kalau begini?" Ibu menggeleng-geleng dengan raut kecewa. "Susah memang punya mantu orang kaya! Duit mulu yang dicari."

Jakun Bhre naik turun. Akhirnya ia paham maksud Kahiyang. Selama ini Ibu menyampaikannya dengan nada halus tanpa kesan emosi, sehingga apa yang diucapkan dianggap nasihat bagi Bhre. Kini ia sadar bahwa ada gelegak rasa tak nyaman di hati Ibu terkait istrinya.

Mendengar perkataan Ibu, Bhre tak bisa berkata-kata. Ia seperti memakan buah simalakama. Bila membela Pijar, Ibu akan menganggapnya anak yang melupakan ibunya. Tapi bila membela Ibu, Pijar pasti akan mengecapnya sebagai suami anak mami. "Nggih, Bu. Nanti biar saya kasih tahu mandanya Nala." Hanya itu jawaban terbaik Bhre dalam bahasa jawa kromo inggil.

Untuk sementara, Bhre letakkan dulu pikirannya tentang ucapan Kahiyang. Ia harus mencari Nala yang menurut beberapa anak berada di kali belakang rumah. Kaki Bhre melangkah cepat dan lebar menuju tempat yang ditunjukan. Beberapa menit kemudian, tampaklah Nala duduk berjongkok sedang mengelus anak kucing kampung berwarna telon.

"Sweety ...." Peluh Bhre mulai merembes karena disengat terik matahari.

Nala mendongak dengan alis yang menyatu. Kalau berekspresi seperti ini, Nala persis sekali dengan mandanya. Namun, gadis itu melengos tak membalas sapaan Bhre. Bibirnya maju ke depan yang justru terlihat menggemaskan.

Bhre lalu mendekat dan berjongkok di depan Nala. Ikut dielusnya kucing telon yang sedang dipegang putrinya.

"Cantik ya kucingnya?" Pancingan Bhre tak mempan. Mulut Nala masih mengatup.

Pria berusia 32 tahun itu memutar otak, mencari cara agar Nala tak lagi merajuk. Sementara kepalanya merangkai kata, desir angin yang cukup kencang dan meong-an kucing, mengisi keheningan mereka.

Bhre berdeham, menatap Nala yang bercakap dengan anak kucing itu. "Nala tahu kenapa Manda marah?"

Nala membisu.

"Nala Sayang, kalau ada yang ajak bicara Nala harus mendengar. Kalau ditanya, Nala jawab."

Nala mendengkus dan mendongak. "Tapi, Manda sekarang cuma diem kalau diajak omong Nala! Nala nanya, nggak dijawab!"

Jakun Bhre naik turun. Apakah ucapan Nala betul? Akhir-akhir ini Bhre jarang bercakap dengan Pijar karena kesibukannya. "Masak Manda kaya gitu?"

"Ya sudah kalau nggak percaya! Suka-suka Panda aja!"

Bhre mengernyit. Kalimat terakhir Nala sepertinya baru didengarnya sekali ini. Pasti Nala terpengaruh teman-temannya di sekolah. "Kok suka-suka Panda?"

"Habis Manda ngeselin! Panda juga lebih ngeselin!" Mata Nala memerah. Air matanya mulai menggenang di permukaan bola mata.

"Kenapa?"

"Nala pengin jalan sama Panda dan Manda?" Isakan Nala menyeruak di antara kata-kata yang terlontar dari bibir merahnya.

"Manda lagi sibuk, Sayang. Kemarin kan, kita jalan-jalan."

"Tapi bukan sama Manda. Itu kan sama Tante Vina!" Nala tetap berdalih.

"Bukannya waktu itu kamu seneng banget bisa makan dan jalan-jalan ke mall, terus dibeliin boneka Tante Vina."

Nala menggeleng. "Nala seneng. Tapi ... tapi ... Nala tetep pengin sama Manda. Tante Vina bukan Manda! Nala pengin Manda sama Panda ngajak jalan-jalan. Kaya teman-teman Nala." Bahu Nala sudah bergetar naik turun. Ia mengusap pipinya dengan tangan kanan hingga membentuk garis hitam karena tangannya penuh debu. "Nala pengin Manda kaya mamanya Adel, Vian, sama Aristo. Bisa antar jemput, sering ngajak ke mall, masak-masak kue."

Rahang Bhre mengerat. Otot pipinya kaku saat ingin mengembangkan senyum. "Nala pengin Manda ndak kerja? Di rumah terus jagain Nala?" Tangan Bhre terulur mengelus rambut Nala.

Dengan polosnya Nala mengangguk. Sebenarnya ia sependapat dengan Nala. Tapi mengingat pertengkaran mereka, Bhre tahu bahwa keinginan Nala sulit terwujud. Terlebih karena Pijar benar-benar keras kepala kalau menyangkut urusan perusahaan.

Tak dimungkiri, Bhre sendiri tidak ingin Pijar terlalu dibebani oleh berbagai macam urusan perusahaan yang membuat Pijar melalaikan Nala. Apalagi akhir-akhir ini Pijar terlihat sibuk sampai-sampai hampir kehilangan Nala.

"Oke. Nanti Panda bilang sama Manda."

Mata Nala membola, senyum lebar yang cerah menyapu mendung di wajah. "Bener, Nda?"

Bhre mengangguk. Bahkan ia mengulurkan jari kelingking untuk mengikat janji.

"Janji ya, Nda?" Nala menautkan kelingking mungilnya ke kelingking yang sebesar telunjuknya.

"Apa Panda pernah ndak nepati janji?" Alis Bhre naik ke atas.

"Sering! Pas kita mau jalan-jalan, Panda malah ke rumah sakit." Mata Nala menyipit.

Bhre terkekeh. Miris. Memang benar kata Nala, ia sering ingkar janji. Apa yang sudah direncanakan buyar begitu saja karena tuntutan profesinya."Nala marah?"

"Sempet. Tapi, Manda bilang Nala harus bangga punya papa kaya Panda yang bisa nyelamatin orang sakit."

Batin Bhre digulung nyeri. Ternyata Pijar selalu mendukung profesinya dengan menenangkan Nala sehingga ia bisa bekerja dengan tenang. "Nala bangga ndak punya papa kaya Panda?"

"Bangga! Banget!"

"Jadi, Nala tahu kenapa Manda marah ke Nala?" Bhre kembali topik setelah bisa memperbaiki mood Nala.

Nala mengangguk lemah.

"Coba Nala jawab," pinta Bhre.

"Manda marah karena Nala makan rambak," jawab Nala lemah.

"Trus kenapa Nala ndak boleh makan rambak?"

"Nggak sehat."

Bhre menjentikkan jari. "Betul! Dan kalau Nala makan makanan ndak sehat, Nala bisa sakit dan bisa bikin Manda Panda sedih. Nala mau Manda Panda sedih?"

Nala kembali menggeleng. "Nala ... Nala nggak mau Manda sedih. Nala nggak suka lihat Manda nangis!"

"Maka dari itu, kita pulang sekarang. Habis itu minta maaf sama Manda karena udah melanggar aturan keluarga Cakrawala. Ngerti?" Bhre menatap lurus mata sang putri. "Satu lagi, jangan bikin Manda sedih dan nangis kaya tadi ya?"

Nala mengangguk lemah.

Bhre tersenyum sambil membentangkan kedua tangan. "Sini, peluk Panda!"

Nala menurut, melupakan kucing yang berlari menjauh, untuk memeluk sang papa, lalu mereka pun beranjak meninggalkan tempat itu.

***
Setibanya di rumah, para tamu arisan sedang melahap makanan yang disajikan. Alih-alih bergabung dengan yang lain, Bhre langsung masuk ke dalam kamar.

Kaki Bhre terhenti dalam jarak dua langkah dari tempat Pijar berbaring. Pijar sudah sendirian di situ, berbaring menghadap tembok. Tubuhnya bergetar, karena isakan yang masih tersisa. Setelah diamati, Bhre baru menyadari istrinya terlihat layu. Aura ceria tak lagi melingkupi Pijar.

"Ayo, Nda! Panggil Manda!" bisik Nala yang digendong Bhre.

"Nda, Manda ...," panggil Bhre sembari duduk di tepi ranjang. Ia menurunkan putrinya. "Nala mau bicara nih."

Nala melirik pandanya. Ia menggigit-gigit bibir sambil memainkan tautan jari di depan perut. "Manda ..." Suara Nala bergetar. "maaf. Nala salah."

Pijar berbalik. Matanya sembab dan kemerahan. Bhre menebak istrinya itu pasti habis menangis. Ia menarik tubuh Nala ke pelukannya. "Manda yang salah. Manda seharusnya nggak marah. Manda ... Manda ...." Pijar menggigit bibir untuk menahan kata yang ingin keluar.

Nala menggeleng berulang. "Manda nggak salah. Nala yang salah. Nala bikin Manda nangis terus."

Bhre menatap kedekatan dua perempuan beda generasi yang penting dalam hidupnya. Matanya perlahan panas karena digulung perasaan haru sekaligus sesal karena hatinya sempat bergetar dengan perempuan lain. Bagaimana Bhre bisa mengakhiri semuanya ketika ia tak bisa menghindari Vina?

Detik itu, Bhre dirundung rasa bersalah. Terlebih diamnya Pijar selama perjalanan seolah mencekik batinnya. Padahal, bila Bhre bersama Vina, gadis itu akan berceloteh panjang lebar dan melontarkan gurauan hingga kabin ini terasa ramai. Sangat bertolak belakang dengan sunyinya ruangan di mobil itu sekarang. Apalagi, AC yang menyembur dari dashboard seolah ingin semakin membekukan kabin.

Kalau seperti ini, Bhre bisa-bisa lebih nyaman bercakap dengan Vina! Bisa gawat, kalau itu terjadi!

***

Bhre tak berhenti mengembuskan napas kasar saat berjalan cepat ke tempat Pilar yang ingin menemuinya. Walau badannya ada di antara keriuhan pasien yang sedang mengantri menggunakan mesin pendaftaran mandiri, pikirannya tertuju pada Pijar.

Masih basah di ingatan Bhre, menjelang subuh tadi suara isakan mengusik lelapnya. Ia lalu terbangun dan mendapati Pijar duduk di depan meja rias, menatap kosong bayangan wajah yang berurai air mata di cermin.

Sewaktu Bhre bertanya, hanya jawaban aneh yang terlontar. "Aku pilek kok, Mas. Mungkin karena kemarin pas arisan kebanyakan minum es."

Tentu tak semudah itu Bhre percaya. Jelas-jelas ia melihat beberapa tisu yang berceceran di bawah meja rias setelah Pijar masuk ke kamar mandi.

Bhre lalu meraih gawainya untuk mengecek pesan. Tak ada pesan masuk di nama kontak terpin-'Manda', 'Yangti', dan grup OK. Di bawah tiga kontak itu, nama kontak Vina tersemat.

[Pagi, Bhre. Aku masih di Jerman nih. Kamu mau oleh-oleh apa?]

Bhre spontan tersenyum, melihat gambar Vina selfi di samping sungai Rhein.

[Terserah. Tiati, jangan kecantol cowok bule.]

Emoticon tertawa membalas pesan Bhre. Sambil menunggu jawaban, karena Vina sedang mengetik, ia mengecek pesan lainnya.

Pilar
[Aku mau ngomong! Harus empat mata. Jam berapa kamu ada jam kosong?]

[Jam 3 sore ntar. Ada apa?]

Pilar tak menjawab pertanyaannya. [Temui aku ntar jam 15.00 di tempat biasa kita nongkrong.]

Tidak biasanya Pilar memberikan pesan pendek. Terlebih Pilar sepertinya ingin membicarakan masalah serius.

Setelah menyelesaikan tugasnya, Bhre buru-buru keluar untuk menemui Pilar. Kembaram istrinya itu sudah ada di salah satu sudut kafe ketika Bhre masuk. Ia lalu menghampiri dan menyapanya hangat. "Ngopo, Bro?"

"Pesen dulu. Baiknya yang dingin biar nggak tambah gerah."

Alis Bhre mengerut. Sambil mengecek daftar menu, ia melirik sekilas ke Pilar. "Sok misterius banget. Ono opo?"

Namun, Pilar tetap bungkam sampai Bhre memesan es cappucino. "Bhre ...."

Kedua lengan Bhre yang terlipat di dada ditumpukan di atas meja. Kedua alisnya terangkat. "Lar, nggak cocok kamu sok misterius gini!" Bhre melemparkan canda.

"Kamu bener ada apa-apa sama Vina?"

Seketika senyumnya tertahan dan perlahan memudar. Jantungnya terpompa cepat oleh kalimat Pilar yang diucapkan dengan ekspresi datar. "Maksudmu?"

"Apa bener kata Dinar kalau kamu ada apa-apa sama Vina?" Bibir yang hampir tak bergerak itu mendesis.

"Dinar bilang apa?" Suara Bhre bergetar. Tenggorokannya seolah tercekik kata-kata sahabatnya.

"Dinar cerita semuanya! Tentang kamu yang pelukan dan gandengan sama Vina!" Kini suara berat Pilar meninggi hingga mengundang perhatian sekitarnya.

"Peluk ...?" Bhre tak bisa berkelit. Ia memang memeluk Vina waktu di tangga hanya karena ingin menenangkannya. Tapi gandengan?

"Apa? Bener kan kamu masih nyimpen rasa sama Vina?" Pilar meneguk lemon squashnya hingga hanya meninggalkan es kristal. "Kamu ngerti nggak? Aku awalnya nggak percaya rumor itu. Aku pikir kita bertiga emang deket karena satu almamater SMA. Ternyata di belakangku, kalian sering barengan ... bukan untuk urusan kantor!"

"Lar ... aku bisa jelasin."

"Bisa jelasin?" Mata Pilar membeliak. "Beberapa waktu lalu, Dinar cerita ke aku tentang kamu. Tapi aku pikir dia berlebihan, sehingga kami bahkan berantem karena aku belain kamu. Ya ... Bhre, aku percaya kamu cinta mati sama kembaranku! Tapi, ternyata ... enggak! Setelah itu, aku dengar rumor para perawat yang selalu aku sangkal. Tapi ternyata aku salah. Pas kalian jemput Nala sewaktu Nala ikut Pijar, aku sadar, kalian masih saling suka."

Susah payah Bhre menelan ludahnya untuk menggelontorkan keterkejutan. "Lar ...."

"Aku sahabatmu, Bhre! Aku ngerti sorot matamu pas ngobrol sama Vina, persis sewaktu Bhre remaja yang kasmaran!" Pilar berusaha menekan suaranya sekuat tenaga. "Jujur aja!"

Kali ini percuma beralibi. Ia dan Pilar terlalu dekat sehingga mereka bisa membaca bahasa tubuh yang tersirat. Bhre hanya memalingkan pandang, menghindari tatapan intens Pilar yang mengeratkan kepalan tangannya. Keriuhan musik kafe memudar berganti suara jantung yang berdentum memenuhi telinganya.

"Kamu tahu kenapa kita ketemu di sini?" tanya Pilar datar yang kemudian dijawabnya sendiri. "Karena kalau kita sendiri ... berdua ... aku yakin rahangmu remuk! Aku nggak pengin Nala tahu, pandanya laki-laki brengsek!"

Pilar selanjutnya berdiri. Tapi, sebelum ia melangkah, ia menunjuk muka Bhre. "Oh, ya, ada sesuatu yang harus kamu tahu." Pilar menunduk dan mengatakan hal yang membuat telinga Bhre seketika berdenging.

💕Dee_ane💕

Jangan lupa vote and komen yak. Di sebelah, udah sampai part 28.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro