Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

18. Arisan Keluarga

Pijar mengurai rangkulan Kevin. Dengan terhuyung, ia berusaha bangkit dari duduknya.

"Nda, Nala ...."

Bhre tak lekas menjawab. Wajah muramnya berkebalikan dengan cuaca cerah di luar sana. Ia mengedarkan pandangan ke beberapa orang di situ. Ada Kevin, Banu, dan Robi yang masih setia menemani Pijar.

"Ayo, pulang," kata Bhre dingin.

"Tapi, Nala ...."

"Nala ada di mobil. Tadi dia nelepon aku, tapi ndak aku angkat karena masih di OK. Pas aku dapat telepon dari Kevin sesudah operasi, aku jadi kalut trus Vina yang nawarin nyetir. Selama perjalanan aku berusaha hubungin hpmu dan pas diangkat Nala, dia bilang sama omnya. Katanya karena telepon aku nggak diangkat, dia telepon Pilar dan minta ditemenin. Pilar ke sini bawa dia ke kafe es krim sambil nungguin kamu selesai. Ya udah, aku langsung ke sini."

Suara datar Bhre membuat Pijar bergidik. Walau suaminya terlihat ramah menyapa semua pria yang ada di situ, tapi tatapan sedingin es itu sangat bertolak belakang dengan kegerahan siang hari ini. Namun, mendengar jawaban Bhre setidaknya Pijar boleh bernapas lega.

Setelah bercakap sejenak dengan orang-orang yang ada di situ, mereka berpamitan. Tak lupa Pijar menghampiri Kevin. "Vin, sekali lagi makasih."

Kevin tersenyum. Tangannya terulur menghapus pipi Pijar yang masih basah terkena air mata dan keringat. "Udah, sekarang pulang, trus istirahat. Keloni Nala aja, nggak usah bapaknya."

Pijar terkekeh antara miris dan geli melihat ekspresi Kevin. Sahabatnya itu selalu bisa menghiburnya. Di saat Bhre memberikan tatapan dingin dan wajah datar ketika menghampirinya tadi, Kevinlah yang justru memberikan pelukan hangat sama seperti ketika baby Nala hendak terlahir di dunia.

Belum sempat Pijar membuka mulut untuk menjawab Kevin, seruan Bhre menyeruak. "Pijar, ayo!"

Pijar menoleh ke arah Bhre. Ia lalu memberikan cengiran canggung pada Kevin. "Aku duluan, ya. Ati-ati di jalan."

Saat Pijar hendak berlalu, Kevin menahan tangannya. Langkah Pijar terhenti. Ia pun menoleh dengan kernyitan alis. "Ada apa?"

"Pijar ..." Ucapan Kevin menggantung di udara. Ia melirik Bhre yang bercakap dengan Vina, kemudian melanjutkan kalimatnya. "kamu harus janji bahagia sama Bhre. Kalau sampai dia bikin kamu sedih, aku janji bakal ngrebut kamu dari dia!"

"Ish, ngaco! Apa yang sudah disatukan Tuhan, nggak bisa diceraikan manusia! Dah!" Hati Pijar tercubit. Betulkah yang ia katakan? Atau sebenarnya kalimat itu semata-mata hanya untuk menghiburnya? Melihat kedekatan Bhre dan Vina yang bahkan menjemput Nala bersama, firasat Pijar sebagai seorang istri meraung. Pondasi kepercayaannya terkikis seiring langkah yang mendekati suaminya dan memperjelas tawa serta senyum Bhre yang selama beberapa hari ini tak ia lihat.

"Maaf, ya, Dok. Jadi ngrepotin," ucap Pijar basa-basi.

"Nggak kok. Kebetulan tadi pas Mas Kevin telepon, saya lagi bareng sama Dokter Bhre."

Susah payah Pijar menelan ludah. Apa definisi 'lagi bareng' ini? Kenapa Vina seolah menempel pada Bhre setiap daat setiap waktu? "Saya masuk dulu."

"Loh, Mbak di depan saja."

"Nggak usah. Mbak Vina aja yang di depan. Saya mau nemenin Nala yang lagi bobok di belakang." Pijar lalu membuka pintu SUV hitam Bhre dan masuk ke kabin di mana Nala berbaring di jok dengan pulas. Pilihannya duduk di belakang memang ia sengaja karena Pijar tak ingin Nala dekat dengan Vina.

Sepanjang perjalanan, Pijar hanya bisa duduk termenung menatap keramaian kota Yogyakarta di sore hari. Sesekali ia melirik Bhre yang bercakap riang dan sesekali tertawa menyambut cerita-cerita Vina, seolah di mobil itu hanya ada mereka berdua. Bahkan Bhre seperti melupakan kejadian yang membuat hati Pijar hampir patah berkeping karena khawatir kehilangan Nala.

Rasanya roda mobil berputar begitu lambat. Ingin Pijar membuka pintu dan berlari ke luar, karena tak sudi melihat ekspresi Bhre yang bisa mengembangkan senyum lebar di depan Vina. Hatinya yang patah semakin perih dijejali pikiran buruk. Kenapa senyum dan tawa itu bukan untuknya?

Pijar merintih dalam hati. Beruntung ada Nala yang saat ini berbaring berbantalkan pahanya. Setidaknya sang putri bisa menjadi pelipur lara batinnya.

"Mbak Pijar pendiem banget ya? Nggak ada suaranya?" Pertanyaan Vina terdengar seperti sang pemilik mobil yabg sedang memberi tumpangan.

Sekilas pandangannya bersirobok dengan Bhre melalui kaca spion tengah. Ia hanya tersenyum ketika Pijar menoleh. Pijar benar-benar enggan menjawab pertanyaan itu. Apalagi senyum yang memperlihatkan deretan gigi putih yang kontras dengan kulitnya itu, terlihat memuakkan di mata Pijar.

Akhirnya setelah mengantar Vina ke rumah sakit karena ia akan kembali praktik sore, mereka melanjutkan perjalanan. Kebisuan masih merajai seluruh kabin hingga kendaraan itu terparkir di carport rumah pemberian Mama untuk Pijar dan Bhre.

"Nala, bangun. Sudah sampai." Pijar menggoyang badam Nala.

"Manda ...." Nala menegakkam tubuh sambil menggosok mata.

Bhre membuka pintu pintu sisi kiri mobil, lalu menjorokkan badannya. "Ayo, Sweety, kita turun. Panda gendong?"

Tentu saja tawaran itu tak ditolak Nala. Anak kecil itu lalu berbalik dan hinggap di tubuh kekar sang papa. Sementara itu, Pijar masih duduk membeku di tempatnya, menatap nanar Bhre dan Nala.

"Ayo, Nda, ada yang mau Panda bicarakan "

Pijar menurut dan berjalan di belakang Bhre sambil membawa tasnya dan kepunyaan Nala, tanpa suara. Sesampainya di kamar, ia tak bisa duduk dengan tenang menanti Bhre yang tak kunjung masuk. Wanita itu berjalan hilir mudik di dalam kamar berwallpaper motif bunga berwarna pink. Kekhawatirannya bila Bhre marah membuatnya semakin gelisah.

Derik pintu terbuka menguak Bhre yang mengayunkan langkah masuk. Ia menaruh waist bag-nya, lalu menghampiri Pijar.

"Kenapa kamu sampai kehilangan Nala?" Kalimat ini menjurus langsung, tanpa ada basa-basi. Alih-alih menenangkan Pijar seperti yang Kevin lakukan, Bhre seolah menyalahkannya karena tidak becus menjaga Nala.

"Maaf ...." Pijar menunduk sambil menggigit bibir erat. Bahunya mulai naik turun, menggetarkan sesal.

Bhre menarik tubuh Pijar ke dalam pelukannya dengan erat. "Kenapa kamu susah diberitahu? Kalian hartaku. Jantungku kaya mau lepas waktu dikasih tahu Nala ilang." Bhre mengangkat dagu Pijar dan mengecup bibir istrinya dengan lembut.

Bagi Pijar, kecupan itu terasa hambar. Tak ada lagi getar. Yang ada, ciuman itu seolah mengisap semua kepercayaannya dan menyisakan ruang batin yang hampa.

"Nda, tadi pagi Ibu telepon. Beliau mengingatkan besok ada arisan. Sama Ibu bilang supaya kita-"

"Aku ngerti. Aku mandi dulu. Badanku lengket," potong Pijar cepat. Hatinya tercubit karena dalam kondisi seperti ini Bhre seolah mengejar target agar bisa mendapatkan kabar baik bulan depan.

Bhre tersenyum. "Bareng?"

Pijar enggan berdebat. Walau penat, ia membiarkan Bhre membuntutinya dan pastilah ia tahu apa yang terjadi di dalam sana nantinya.

***

"Manda, bangun ...."

Bisikan dan ciuman di pucuk kepalanya membuat kelopak mata Pijar yang berat terbuka. Sekarang ia berada dalam dekapan hangat Bhre yang masih tak membalut tubuh dengan selapis kain pun karena terlalu lelah dengan pergumulan mereka.

"Hari ini Minggu, kan? Lima menit lagi, ya? Masih ngantuk." Pijar kembali membuka mata.

"Kita harus ke gereja pagi. Habis itu ada acara arisan di Klaten."

Pijar berdecak dalam hati, saat mengingat hari ini akan bertemu ibu mertuanya. Padahal sewaktu awal menikah dan hamil, rumah Klaten adalah rumah yang ia rindukan karena Ibu memperlakukannya seperti putri sendiri.

Baru saja Pijar akan memejamkan mata, ketukan memburu menabuh gendang telinganya. "Manda, Panda! Bangun! Kita ke tempat Yangti."

Seruan renyah itu langsung menguapkan kantuk Pijar. Ia bahkan melupakan badannya yang nyeri karena semalam tenaganya terkuras akibat perlakuan Bhre.

Buru-buru kedua orang dewasa itu menegakkan tubuh. Bhre bergegas turun dari ranjang dan mengambil baju dari lemari karena semalam setelah mandi bersama, ia langsung menggiring Pijar ke peraduan mereka. Sementara itu, Pijar memilih untuk segera mandi agar bisa membasuh tubuh yang lengket karena keringat dan cairan cinta mereka berdua.

Begitu keluar dari kamar mandi sesaat kemudian, Bhre dan Nala masih ada di situ, bersenda gurau di ranjang. Nala terkikik mendengarkan cerita konyol Bhre yang entah bagian mana lucunya. Memang sejak kedatangan Vina, tak ada lagi hal yang bisa membuat Pijar tertawa lepas karena ulah Bhre. Kemunculan Vina mampu membuat Pijar meragukan semua sikap Bhre padanya dan pada Nala. Apakah semalam mereka bercinta dengan cinta? Atau apakah Bhre benar-benar menyayangi Nala yang tak sempurna?

Seperti rencana semula, keluarga kecil Bhre bertandang ke Klaten untuk mengikuti arisan keluarga di rumah Bulik Mar. Akhir-akhir ini, Pijar tak nyaman bila disuruh berkumpul dalam keluarga besar Bhre. Tapi pertemuan setiap tiga bulan sekali itu membuatnya mau tak mau berinteraksi dengan keluarga yang konon katanya masih keturunan ningrat.

Tempat arisan kali ini berada di rumah Bulik Mar yang lokasinya tak jauh dari pabrik gula Gondang Winangoen. Ketika mereka sampai di sana, mereka disambut Kahiyang yang menyempatkan pulang ke Klaten. Sejak hamil anak kedua, kakak perempuan Bhre yang tinggal di Jakarta itu memang jarang pulang.

Begitu turun dari mobil dan melihat anak-anak Kahiyang, Nala menarik ujung blus Pijar. "Nda, aku mau main sama Mbak Agni, ya?"

Pijar mengangguk lemah karena sebenarnya ia ingin Nala menemaninya. Namun, ia tidak mungkin melarang Nala bermain dengan sepupunya. Terlebih mereka lama tidak bertemu.

Setelah memastikan Nala bermain di tempat yang aman di gazebo depan rumah, ia menyusul Bhre masuk. Kahiyang yang menggendong bayinya tersenyum lebar menyapa Pijat. Wajah bulat wanita yang sedikit lebih pendek darinya itu semakin berisi.

"Mbak kapan datang? Nggak ngabari pula kalau pulang." Ada nada protes dalam suara Pijar sesudah mereka berpelukan.

Kahiyang terkekeh, memperlihatkan kawat giginya. Pipi gembulnya membuat matanya tenggelam. "Mas Satria udah hari Kamis datangnya karena ada urusan kedinasan. Trus aku sama anak-anak baru nyampe Jumat malam. Kebetulan mereka kan Sabtunya libur. Jadi biar bisa refreshing gitu di tempat neneknya."

"Tumben?" Alis Pijar mengerut. Selama ini, Kahiyang memang jarang ikut arisan. Paling setahun sekali, atau dua kali paling banyak.

Senyum Kahiyang yang menjadi jawaban reaksi Pijar. "Gimana kabarmu?" Wanita berambut ikal itu balik bertanya.

Jawaban apa yang harus Pijar katakan. Buktinya, beberapa waktu ini Pijar tidak baik-baik saja karena urusan perusahaan. Namun, Pijar menutupi semua dengan tarikan bibir tipis. "Baik."

Kakak ipar Pijar merangkulnya. "Jadi istri yang juga seorang ibu itu, pasti akan berusaha baik-baik saja. Tapi sebenarnya ... " Kahiyang menepuk dadanya dengan kepalan tangan kanan. "ambyar."

Pijar memberi cengiran lebar karena merasa Kahiyang tahu apa yang ia alami dan rasakan. Namun, ia tahu Kahiyang juga mengalami pengorbanan berat karena harus melepas pekerjaannya yang menjanjikan sebagai ASN demi bisa mengikuti suaminya ke manapun ditugaskan.

Kahiyang lalu mengantar Pijar untuk menemui Ibu yang sedang membantu Bulik Mar di dapur. Namun, saat ia baru saja menapakkan kaki di tempat itu, alih-alih mendapat sapaan hangat, ia justru hanya dihadiahi tatapan sekilas. Bahkan Ibu menolak disalami Pijar dengan alasan tangannya masih sibuk mengelap gelas. Untuk mencairkan rasa canggung, Pijar pun mengambil kain dan membantu ibu untuk mengeringkan gelas yang masih basah di dalam kotak.

Dua wanita itu kemudian duduk bersisihan, tanpa ada yang membuka mulut. Hanya suara desis air yang direbus, mengisi kebisuan mertua dan menantu. Keriuhan para tetangga Bulik Mar yang bercakap tentang cerita sinetron televisi, tak menarik perhatian keduanya. Seharusnya Pijar terbiasa dengan kekakuan itu. Tapi, tetap saja Pijar merasa tak nyaman dengan aura dingin yang melingkupi mereka, seolah ia terjebak di kutub utara.

Dehaman Ibu memicu debar di dada Pijar. Detik berikutnya, Ibu berkata, "Kamu lihat kakak iparmu. Dia itu dulu sudah menjadi ASN 100%. Tapi demi bisa berkumpul sama suami yang berpindah-pindah, Kahiyang milih ngalah buat ngurus Agni."

Telinga Pijar berdenging. Walau suara Ibu lirih, tapi ia merasa volumenya begitu kencang seperti berbicara di depan pengeras suara. Tangannya semakin kencang menggenggam gelas untuk menyalurkan perih hati karena disinggung di depan beberapa orang yang tak mengenalnya, walau mereka sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. "Saya kerja juga buat bantu keluarga, Bu. Kalau saya nggak kerja, Mas Bhre nggak bisa jadi seperti sekarang. Lagian kondisi tiap keluarga beda. Bang Satria bisa menjamin kesejahteraan lahir batin Mbak Kay." Pijar sudah tak bisa lagi menahan diri karena Ibu mulai membanding-bandingkan dengan Kahiyang yang selalu dipuji-puji sebagai istri teladan yang patut disayang suami sesukses Satria yang menjadi kepala seksi di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Gerakan tangan Ibu terhenti. Ia meletakkan gelas dengan gerakan halus walau lirikannya begitu tajam seolah ingin mencabik Pijar. Bibir tipisnya seperti tak bergerak, tapi desisannya berlomba dengan siulan ceret yang mengepulkan uap. "Kamu ... sombong sekali! Apa begitu cara kamu menjawab ibu mertuamu? Berapa hutang Bhre? Dari biaya sekolah sama rumah itu?"

Mata Pijar membeliak. Ia melirik ke kanan kiri, berharap tak ada yang peduli dengan pertengkaran terselubung mereka. "Ya Tuhan, Bu! Saya itu ikhlas buat buat keluarga saya. Kenapa Ibu bilang gitu? Di depan banyak orang lagi?" Pijar berusaha merendahkan suaranya.

Ibu memutar badan, menghadapi Pijar. "Kamu ini! Ibu pikir kamu anaknya nurut. Ndak tahunya pinter nglawan! Apa sikapmu juga kaya gini ke suamimu?"

"Bu, Pakde datang. Nyariin Ibu tuh. Ibu di dalam aja. Biar urusan dapur dikerjakan sama yang muda-muda." Beruntung pemberitahuan Kahiyang datang tepat waktu, sehingga tak terjadi perdebatan panjang.

Selepas Ibu berlalu dari dapur, Pijar bisa mengembuskan napas dengan kasar untuk membebaskan dada yang sesak. Ia meremas tepian meja karena perbincangan tadi seperti menghisap tenaganya.

"Dek, kamu bisa bantuin ngupas semangka habis ngelap?" Kahiyang tersenyum lebar. Tatapanny penuh arti.

Hati Pijar mencelus. Apakah Kahiyang sengaja menyelamatkannya dari Ibu?

💕Dee_ane💕

Part panjang nih. Semoga betah.
Di KK sudah sampe part 23.
Jangan lupa vote dan komennya

Simbok sama Pijar ngapain tuh?



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro