15. Sang Penyelamat
Hati Pijar semakin mendung ketika mendapat kabar buruk dari Kevin setelah beberapa hari mereka berusaha mencari tempat penyuplai bahan yang lebih murah dari harga penawaran. "PT. Adhika Elok kena masalah hukum?" Pijar masih berusaha menyangkal. Setahu Pijar perusahaan penyuplai multiplek itu sempat memberikan dokumen penawaran yang harganya lebih miring dibanding perusahaan Pak Afan. Hanya saja, karena sudah bekerja sama lebih dulu dengan Afan Jaya, maka Pijar hanya menyimpan dokumen itu. Setelah mengetahui harga-harga melambung, Pijar dan Kevin mengumpulkan semua dokumen suplier dan membandingkan penawaran termurah untuk kembali dihubungi.
"Iya. Perusahaan itu ada sengketa pembayaran utang dengan pabrik hingga ke ranah hukum, makanya nggak lagi beroperasi," terang Kevin dengan wajah kecewa.
"Padahal, hanya itu satu-satunya harapan kita untuk mengejar supaya kita nggak rugi." Pijar tak bisa menutupi kekalutannya. "Trus gimana, Vin? Perjanjian kerja sama udah aku teken nih." Wajah Pijar semakin pucat mengetahui mereka belum menemukan vendor dengan harga yang setara atau lebih murah. Padahal kayu lapis jenis multiplex ini menjadi bahan baku utama dalam desainnya.
"Masalahnya, harga barangnya sendiri sudah naik, Jar. Kalau pun dapat murah, kita nggak bisa dapat harga yang setara sama harga yang ada di anggaran."
"Paling nggak, kita bisa meminimalisir kerugian, Vin!" Nada suara Pijar meninggi.
"Mau nggak mau, kita harus hunting ke pabrik. Siapa tahu di sana bisa lebih murah," usul Kevin, berusaha menenangkan Pijar.
"Tapi kalau di pabrik, pasti sudah diangkut sama distributor resmi mereka atau perusahaan suplier lainnya. Dan jatuhnya juga ada minimal jumlah pembelian. Ah, kenapa kemarin kita nggak konfirm harga terbaru sih?" Pijar mulai gelisah.
"Udah! Semua kan udah terjadi. Ngeluh juga nggak nyelesaiin masalah. Sekarang, daripada bingung, ayo kita mulai hunting. Dari semua vendor di Jogja ini, kita coba cek harganya dulu. Kalau nggak pas sama budget, baru kita terpaksa keliling untuk beli bahan yang termurah sesuai spek yang kita bikin." Pijar tahu, Kevin berusaha tenang. Tapi, sorot mata lelaki itu tak bisa berbohong saat mencangklong tas Pijar dan menarik tangan wanita itu, sehingga Pijar terpaksa bangkit dan mengikuti Kevin.
Seharian mereka berputar mencari tempat penyedia multiplex yang murah. Namun, lagi-lagi mereka harus menelan kekecewaan.
"Vin, aku curiga dulu Papa juga salah perhitungan kaya gini. Makanya rugi gede banget. Belum lagi, ada perusahaan suplier yang nipu Papa. Papa ngirim duit dulu, tapi barang nggak dikirim." Pijar menyandarkan punggung lelahnya di sandaran jok mobil.
"Maaf, ya, Jar. Harusnya kemarin kita nggak asal comot harga kayak ini." Raut Kevin terlihat sangat bersalah.
"Yaaa, udah kejadian ini. Sekarang kita harus cari cara gimana kita perbaikin keadaan daripada kita keluar uang untuk pembatalan kontrak." Pijar mendesah. "Salahku juga nggak fokus."
"Seandainya kamu mau nerima aku, kamu nggak perlu pusing kaya gini, Jar," ujar Kevin sambil tersenyum menggoda.
Ucapan Kevin seolah memutar kran air mata hingga akhirnya tangisnya meluap. Ya, ia pusing. Walau ia ingin menahan keluh, tak dimungkiri Pijar sangat lelah. Seandainya saat ini ada Bhre, Pijar akan sangat senang. Tapi, bukan pelukan suami yang menenangkan isaknya, melainkan sang sahabat yang mengecup pucuk kepalanya seolah ingin mengisap lelah di batinnya.
***
"Nda, bangun!"
Pijar terkesiap ketika mendapati suara Bhre yang berdiri di samping mobil yang pintunya terbuka. Seingat Pijar, tadi ia masih di jalan raya Solo-Jogja. Ternyata ia kini sudah sampai di depan rumahnya.
"Panda?" Pijar mengerutkan alis sambil mengerjap berulang. Ia lalu menengok ke arah Kevin yang masih duduk di depan kemudi.
"Tumben pulang cepet, Bhre?" sapa Kevin pada Bhre. Walau terkesan ramah, aura yang menyelubungi mereka berhasil membuat kuduk Pijar meremang.
"Feeling aja. Takut istriku kamu apa-apain," sahut Bhre dingin.
"Udah yuk. Ngantuk nih. Makasih, ya, Vin," ujar Pijar, mendorong Bhre untuk memberi jalan saat ia akan turun dari mobil.
"Sama-sama. Nite."
Sapaan perpisahan Kevin disambut lambaian tangan Pijar. Ia bahkan tidak menunggu Kevin berlalu dari depan rumah dan masuk begitu saja ke rumah.
"Nda, sebaiknya kamu ndak usah kerja lagi. Untuk apa kamu kerja banting tulang kaya suamimu ndak ngasih nafkah. Kasihan Nala!"
Baru saja Pijar duduk, Bhre sudah berceramah. Padahal sebelumnya laki-laki itu jarang menyinggung soal pekerjaannya. "Aku capek. Mau istirahat. Aku juga mens, jadi tolong ... jangan bikin aku tambah kesel."
"Bobok aja. Aku mau bilang Mama supaya kamu melimpahkan perusahaan sama orang lain atau kalau perlu jual saja!"
"Apa? Menjual? Mas tahu kan arti perusahaan itu buatku?" Nada Pijar meninggi. Mata yang mengantuk seketika terbuka lebar.
"Tapi apa perusahaan itu senilai harga sebuah keluarga! Kamu ... kamu ...." Wajah Bhre kembang kempis sambil menunjuk wajah lelah Pijar yang memelotot. Sebuah panggilan dari gawai Bhre mendistraksi perdebatan mereka.
Pijar mendengkus. Selalu saja ada panggilan yang menginterupsi komunikasi mereka.
Buru-buru Bhre mengangkatnya dan menyapa orang yang menelepon. "Ya, Vin?"
Seketika jantung Pijar serasa ingin berhenti mendengar nama yang seharusnya jangan sampai terlontar dari bibir sang suami.
"Pecah ban? Kamu di mana?" Jeda menyambut ketika Bhre mendengarkan jawaban sang penelepon. Bahkan lelaki itu terlihat terburu-buru mengambil dompetnya. "Ya. Aku ke sana. Naik taksi online. Tunggu aku."
"Mau ke mana, Mas?" Alis Pijar mengerut. Suasana hatinya semakin kacau melihat reaksi Bhre.
"Mobil Vina pecah ban di jalan. Aku mau ke sana." Bhre berbalik dan menghampiri Pijar. "Kamu tidur saja ...."
"Untuk apa Vina nyari Mas? Apa dia nggak ada keluarga lain? Suaminya mungkin ... atau pacarnya?" sahut Pijar protes walau ia masih berusaha menekan ekspresi cemburu yang bisa mengalun melalui kata-katanya.
"Dia di sini sendirian. Kasihan." Bhre tak menggubris Pijar. Tangannya sibuk mencari aplikasi taksi online.
"Jangan pergi!" seru Pijar cepat.
"Dia sudah berusaha menghubungi Pilar tapi nggak bisa. Dinar masih ada operasi cito. Jadi, dia menghubungi aku. Bukannya kamu juga seharian bersama sa-ha-batmu? Trus kenapa kamu larang aku bantuin temanku?"
"Teman?" Suara Pijar meninggi.
Namun, belum sempat Pijar meluapkan kemarahannya. Bhre keluar dari kamar meninggalkan Pijar yang lelah jiwa raga seorang diri.
Pijar membeliak. Ia mengambil bantal dan melemparnya ke pintu yang tertutup. Ingin rasanya ia berteriak. Tapi yang ada Pijar hanya menggigit kuat bibir yang bergetar.
Padahal, malam ini Pijar ingin berbaring sambil dipeluk Bhre. Ia menginginkan pijatan di pinggul yang nyeri ketika tamu bulanannya datang. Pijar merindukan dekapan hangat suaminya dan bisikan lembut untuk mendukung usahanya mempertahankan perusahaan yang sedikit banyak berjasa menjadikan suaminya berada di posisi ini. Namun, Bhre memilih Vina, teman sejawat mantan Bhre yang kini menghantui rumah tangganya.
Dalam kesendirian, Pijar hanya bisa terduduk lemah di tepian ranjang. Blus yang dikenakannya sejak pagi itu masih melekat di badan. Rasanya ia tak punya tenaga untuk sekedar melepas baju dan membasuh badannya. Namun, ia harus mandi, karena pembalutnya sudah tak bisa lagi membendung darah haidnya.
***
Sejak Bhre keluar dari kamar, ia tak pulang. Lelaki itu tak tampak batang hidungnya menjelang pagi. Bahkan gawai Bhre pun tak bisa dihubungi. Pijar mengembuskan napas kuat, menatap wajah pucat yang kini tertutup bedak dan berbalut plester.
Begitu memastikan penampilannya rapi, Pijar melangkah ke luar kamar. Wanita yang membalut tubuh langsingnya dengan blus merah muda dan celana hijau muda itu menghampiri putrinya yang sudah memakai seragam putih berbentuk kerah pelaut dan rok oranye kotak-kotak.
"Manda! Kemarin Manda ke mana?" tanya Nala menerima kecupan sang mama.
"Manda ada urusan kantor. Gimana, Sayang? Bukannya Panda yang jemput Nala?" Pijar meraih gelas dan menuangkan air dari teko. Matanya meneliti makanan yang terhidang di meja.
"Iya. Sama Tante Vina. Kami makan di mall, Nda."
Seketika air dari gelas meluber ketika Pijar mendengar ucapan Nala. "Sama Tante Vina?"
"Iya. Tante Vina baik loh, Nda. Tante Vina beliin aku stiker, pensil, boneka."
Rahang Pijar mengerat. Semalam Bhre marah tapi ternyata dia berani mengajak Vina menjemput Nala?
Sesampainya di kantor, pikiran Pijar semakin carut marut. Selain karena tidak bisa memejamkan mata sedetik pun karena menanti Bhre di teras depan, obrolan dengan putri kecilnya menambah buruk suasana hatinya. Padahal, pekerjaan hari ini masih menumpuk karena ia belum mendapatkan bahan baku utama untuk proyek yang sudah ia tanda tangani kontraknya.
Walau lelah, Pijar harus bertahan dengan tumpukan pekerjaan. Meski pinggangnya meraung, ia masih setiap duduk untuk menggoreskan desain interior dapur yang akan ia kirimkan pada salah satu kostumer. Bahkan sudah waktunya makan siang, Pijar tetep bergelut dengan pekerjaannya.
"Jar, kamu nggak enak badan? Mukamu pucat banget." Kevin berjalan memutari meja untuk memperlihatkan progress proyek klinik, siang
Pijar berdecak pelan, sambil menarikan stylys di layar i-padnya. "Biasa. Lagi haid."
Bibir Kevin membulat sambil mengangguk paham. "Oh, ya, barusan aku sudah dihubungi lagi direksi pemasaran dari pabrik yang kita datangi. Dia mau memberikan barangnya dengan jumlah dan harga yang kita tawarkan."
Mata Pijar melebar. Ia mendongak menatap Kevin yang berdiri di samping kanannya. Gerakan stylusnya terhenti di tengah layar. "Beneran? Kemarin kayanya mereka nggak mau kasih barangnya."
"Iya sih. Tadi pagi aku lobi lagi. Awalnya mereka nggak mau, eh, siang tadi mereka telepon katanya setuju dengan permintaan kita. Bahkan mereka bisa antar barangnya hari ini."
Mendengar ucapan Kevin, Pijar bisa bernapas lega. Seolah tambang yang beberapa hari ini membebat dadanya terurai begitu saja. "Thanks, God! Kapan pembayarannya?"
"Aku sudah minta bagian keuangan membayar dpnya. Kamu tenang aja pokoknya," kata Kevin dengan senyum lebar.
"Vin, makasih, ya. Gimana kalau nggak ada kamu?"
"Sudahlah, kamu tenang aja!" Kevin menepuk bahu Pijar.
Pijar membalas senyum Kevin. Sesaat kemudian ia baru menyadari Kevin memakai masker. "Kamu kenapa, Vin? Kok pakai masker."
"Flu. Mungkin kecapekan. Oh, ya ... hari ini aku mau meninjau proyek di dinas pendidikan sekalian nyari costumer baru."
"Oke, Vin. Makasih ya ...." Senyum Pijar mengembang menatap punggung sahabat baiknya. Seandainya hati wanita itu bisa bergetar untuk Kevin, pasti urusannya lebih mudah. Tapi, hati Pijar untuk Bhre yang ternyata masih menyimpan hati untuk Vina.
Sekali lagi, Pijar mencoba untuk menghubungi Bhre. Namun, matanya membola saat mendapati suara feminin yang ia kenal.
Vina?
💕Dee_ane💕
Lanjutan ada di KK yak😋
Bhre mulai😱
Ti-ati kena uler ... ntar gatelen🤭
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro