Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11. Kontrol

Sejak Bhre menjemput ke kantor, Pijar merasa hubungan mereka seperti berjarak. Bhre sering pulang malam dan sudah pergi saat Pijar bangun. Kalaupun di rumah, Bhre akan selalu menghabiskan waktu bersama Nala dan suaminya pun tak minta jatah untuk dilayani.

Beberapa malam ini, entah kenapa Pijar ingin melewati malam bersama Bhre. Sudah seminggu mereka tak bergumul, dan hal itu membuat Pijar merasa aneh. Walau biasanya Bhre sibuk, tetapi dia selalu meminta jatah setiap ada waktu. Paling tidak, dua kali seminggu Bhre akan mengajaknya bercinta.

Pijar hanya bisa mengembuskan napas panjang karena tidak pernah sebingung ini. Walau Bhre terlihat biasa, tapi Pijar merasakan ada yang lain. Apakah suaminya benar-benar marah karena penolakannya malam itu?

Pijar meringis meremas perutnya. Melihat bercak kemerahan di sprei, dia tahu bahwa tamu bulanannya sudah datang. Wanita itu teringat kata Dinar bahwa saat haid adalah waktu yang tepat untuk memasang IUD. Namun, sisi hati yang lain menolak. Dia terlalu takut dengan tindakan medis. Apalagi saat melihat tubuh bayi Nala yang baru lahir dipenuhi alat, Pijar semakin phobia dengan jarum suntik.

Seperti biasa pesan yang ditulis tangan Bhre tergeletak di nakas samping tempat tidur. Pagi, jangan lupa kontrolin Nala.

Pijar mendesah. Hanya tulisan cakar ayam Bhre yang menyapanya. Ya, setidaknya Bhre masih ingat untuk berkomunikasi dengannya mengingat semalam Bhre baru pulang tengah malam dari seminar di luar kota.

Tak ingin melupakan tugas bulanannya, Pijar pun menjemput Nala untuk kontrol bulanan ke dokter spesialis jantung anak. Selama perjalanan menuju ke rumah sakit, Nala melakukan aksi tutup mulut. Anak kecil itu bahkan membuang muka. Baru ketika mobil terparkir manis di parkiran atas, Nala menoleh ke arah Pijar dan membuka suara.

"Manda, Nala nggak mau ketemu Om Bagus!" Nala meremas seatbelt yang melintang di dada dengan erat dengan bibir yang memberengut.

"Kenapa, Sayang? Om Bagus pasti kangen sama Nala." Padahal kontrol selama ini, Nala tidak pernah membuat drama. Anak itu selalu kooperatif mengikuti apapun prosedur yang diberikan padanya. Namun, sebenarnya Pijar memahami kebosanan Nala yang setiap bulan harus unjuk muka ke dokter spesialis anak konsultan jantung.

Nala menggeleng kencang. "Nala pengin ke sekolah. Sekarang ada pesta sekolah."

Pijar menghela napas, berusaha meraup kesabaran. Kalau misalnya ada Bhre di sini, pasti semua akan lebih mudah. Dia lalu menyandarkan punggung di sandaran jok. Pandangannya nanar tertuju pada laki-laki yang menggendong anaknya dan wanita berhijab hijau tosca berjalan di sampingnya. Dalam hati, Pijar juga ingin Bhre bisa menemani seperti itu. Ia pun ingin dikuatkan karena setiap kali  ada tindakan untuk Nala saat pemeriksaan bulanan, rasanya dia ingin meraung karena tidak tega badan kurus itu ditusuk-tusuk jarum. Namun, Nala selalu berkata, "Nala nggak pa-pa, Nda. Manda jangan nangis."

"Nala, Manda janji setelah ini kita akan jalan-jalan," ujar Pijar.

Bibir mungil itu mencebik. "Nala pengin main sama teman-teman."

"Please, Sayang. Hari ini jadwal kita kontrol, karena Om Bagus besok mau ke Inggris."

"Nggak mau! Nala juga pengin tahu gimana pesta sekolah! Manda jahat!" Nala melepas sabuk pengamannya dan menarik handel pintu mobil.

Seketika mata Pijar membeliak. Gerakan cepat Nala saat melompat dari mobil, tak bisa dia ikuti. Pijar lalu keluar dari mobil tanpa membawa apapun karena lebih mementingkan Nala.

Tanpa melihat ke kanan kiri, Nala terus berlari tanpa tujuan. Sementara itu, dari jauh Pijar melihat truk yang melaju cukup kencang dari bawah melalui kaca tikungan. Pijar mempercepat langkah dan berharap anaknya tidak berbelok ke kiri.

Jantung Pijar berdetak kencang seiring derap kaki yang menapak lantai parkiran. Dia tahu, bila berhasil menangkap Nala, dia yang justru akan tertabrak. Tapi, demi buah hatinya, Pijar rela asal Nala selamat.

"Nalaaaa!!!" Pijar meloncat menggapai tangan Nala, lalu menarik dan memeluk sang putri hingga tubuh keduanya berguling. Suara klakson dan decitan truk pengambil sampah medis menyeruak, memancing perhatian orang-orang.

"Bu, bahaya ngerti ga? Areke mbok dijaga baik-baik. Malah keluyuran ga jelas! Yo opo se?" Orang di sebelah sopir itu bukannya turun tapi malah memaki dan memarahi Pijar dengan logat khas Surabaya.

Sementara itu, masih melindungi kepala Nala, Pijar yang bersimpuh di lantai gedung parkiran yang kotor hanya meminta maaf sambil membungkuk.

Seorang tukang parkir kemudian mendekat, hendak menolongnya. "Ibu nggak pa-pa? Ada yang luka?"

Pijar menggeleng, tanpa suara.  Tatapannya nanar, sementara pelipisnya dibanjiri peluh. Sapaan tukang parkir yang sudah hafal dengan Nala karena gadis kecil itu sering memberi kue bekalnya, bagaikan angin lalu.

Tangan Pijar bergetar memeluk erat Nala dan sesekali telapak dinginnya mengusap lengan Nala. Dia mendorong pelan Nala, dan memindai setiap detail tubuh Nala untuk memastikan putrinya baik-baik saja. "Kamu nggak pa-pa, Sayang? Mana yang sakit?"

Nala menggeleng. "Manda berdarah …." Telunjuk kurus itu mengarah ke dahi yang tertutup poni.

Pijar mengusap pelan dan terlihatnya cairan merah yang membuat kakinya semakin terasa lunglai seolah tak bertulang. Pijar benci darah. Cairan merah itu seolah mampu membuatnya kehabisan napas seperti tenggelam. Tanpa sadar, air matanya mengalir di pipi.

"Manda nggak pa—" Ucapannya menggantung di udara kala Pijar mendapati Bhre berjalan bersisian dan menggandeng tangan Vina. Seketika hati Pijar terasa ngilu seperti dicambuk sembilu melihat senyum mereka begitu merekah, berkebalikan dengan air matanya dan Nala yang mengucur deras.

Tak ingin Nala melihat papanya menggandeng perempuan lain, Pijar kembali memeluknya. "Manda nggak pa-pa, Sayang." Walau ia berusaha untuk tidak menangis, tapi air matanya tetap meleleh di pipi. Padahal kepalanya tak lagi terasa nyeri karena rasa sakitnya berpindah ke dada yang terasa ditusuk-tusuk.

Pijar masih memperhatikan gerak-gerik Bhre yang kemudian menyadari keberadaannya. Lelaki itu seketika melepas gandengan Vina dan ekspresi cerah wajah Bhre menguap begitu saja.

"Manda, maafin Nala! Nala janji bakal nurut Manda!" Nala sesenggukan dipeluk erat Pijar.

Sementara itu. Bhre berlari begitu mengetahui istri dan anaknya bersimpuh di lantai. Baju Pijar sudah kotor dan robek di sisi jahitan lengannya.

"Manda, Nala!" Bhre berjongkok dengan lutut kanan menumpu di lantai.

Nala menoleh dan memeluk papanya. "Panda, Manda luka. Manda berdarah gara-gara Nala!"

Bhre masih bingung. Dia berusaha menenangkan putrinya yang menangis histeris. Memang Nala paling tidak bisa melihat mamanya terluka atau menangis.

"Oh, ternyata ibu ini istri Dokter Bhre?"

Bhre mengangguk pelan. Dia lalu bangkit sambil menggendong Nala. Sedangkan Vina yang ada di belakang Pijar berusaha membantu wanita itu berdiri.

Hati Pijar semakin tercabik. Ditolong masa lalu Bhre? Tidak! Harga diri Pijar terlalu tinggi. Melihat senyum mereka yang merekah cerah, membuat batinnya seperti diremas-remas. Pijar mendengkus. Selama ini … Bhre memang terlihat menjauh karena sedang nostalgia dengan masa lalunya? Bagus sekali! Beruntung luka itu menyamarkan air mata kesedihannya. 

"Aku … nggak pa-pa." Pijar berusaha mengulas senyum walau dadanya terasa nyeri dan sesak. Ditepisnya pelan tangan Vina dan sekuat tenaga dia berdiri walau kakinya seolah tak bertulang. Ia pun mengusap pipi basahnya, tak ingin terlihat lemah di depan Vina.

Vina merogoh tasnya dan mengulurkan saputangan biru yang sangat dia kenal. Saputangan Bhre. Bagaimana bisa saputangan itu ada di tangan Vina?

Pijar menatap nanar saputangan itu sambil melirik tajam suaminya. Tatapannya seolah berkata, "Kenapa barang ini ada di tas wanita itu?"

"Nggak pa-pa." Pijar menyeka darah yang semakin deras itu dengan punggung tangannya.

"Itu saputangan Panda? Kenapa ada di tempat Tante Vina?" Bahkan gadis sekecil itu tahu bahwa barang sang papa dibawa orang lain.

Vina gelagapan. Dia hanya bisa memandang Bhre.

"Kembalikan!" Nala merebut saputangan itu. "Manda yang menyulam saputangan itu sendiri!"

"Nala …." Pijar menggeleng walau batinnya bersorak. Nala memang tidak suka barangnya dipinjam sembarangan tanpa sepengetahuannya. Apalagi bila dibuat dengan perjuangan. Namun, Nala tetap mengambil dan memberikan pada Pijar.

Dada Pijar makin sesak kala menghidu aroma feminin di saputangan itu. Ia tak menyangka Bhre memberikan sapu tangan yang ia sulam dengan cinta qkan diberikan orang lain.

"Manda nggak pa-pa, Sayang. Kasih ke Tante. Saputangan itu hanya sama saja. Buat apa Panda pinjamkan ke Tante Vina? Iya, kan, Nda?"

Jakun Bhre naik turun. Suasana di situ begitu canggung. Melihat Pijar terhuyung dengan sigap Bhre menyokong tubuh yang bergetar itu. "Nda, kita obatin dulu lukamu."

Tak ingin membuat drama, Pijar hanya mengangguk dan mengikuti Bhre yang membantunya berjalan.

Sesampainya di IGD, sesudah Bhre meminta perawat untuk menyiapkan peralatan, dia memasuki bilik kosong yang tirainya terbuka. "Kamu berbaring dulu. Aku periksa." Bhre mendudukkan Nala di brankar.

Pijar menurut. Badannya tiba-tiba saja sangat letih, karena kehabisan tenaga agar tidak meledak emosinya. Namun, Pijar hanya bisa meremas celana kain yang sudah kotor yang terseret di lantai tadi.

"Lukamu harus dijahit."

Dokter umum yang berjaga menyusul ke bilik merah. "Bisa saya bantu, Dok?"

"Biar aku saja yang melakukan tindakan. Tolong siapkan alat." Bhre terlihat panik.

"Bhre, kita ada jadwal operasi." Vina yang mengikuti dari belakang, mengingatkan.

"Tapi …."

"Udah, Mas. Tinggal aja. Ada yang lebih butuh Mas daripada aku. Masih ada dokter jaga di sini juga." Pijar memang tak ingin melihat Bhre sekarang. Hari ini dia seolah mendapati jawaban akan sikap suaminya selama ini. Namun, dia tak ingin terlihat cengeng seperti remaja yang patah hati dan membuat drama untuk mendapat perhatian Bhre sementara ada pasien yang menanti untuk dilayani. "Ambilkan saja tas dan berkas Nala di mobil."

"Kamu duluan aja," kata Bhre pada Vina. Lalu ia membungkuk, dan menyeka pipi Nala yang masih dibanjiri air mata. "Sweety, Panda ambil tas Manda dulu. Nala temani Manda, ya?"

Jari kecil itu meraih ujung lengan kemejanya. Nala menggeleng. "Panda masih mau pergi pas Manda sakit gini? Bukannya Panda bilang, pasien butuh Panda. Manda sekarang juga pasien, Panda."

💕Dee_ane💕

Nah loh, omongan Bhre dibalikin🤧 Ada yang punya krucil sekritis Nala?

Ada yang udah benci banget sama Bhre?

Kuy dukung Pijar dengan vote n komen😘

Mau daily update?


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro