Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10. CLBK?

"Mas Bhre ngapain di sini?" Pijar mengernyit, menatap Bhre yang ada di situ.

"Udah selesai?" tanya Bhre. Namun, arah pandangannya mengedar ke seluruh ruangan. Termasuk ke arah Kevin yang ada di dalam.

"Udah ...." Pijar bingung dengan ekspresi kaku Bhre.

"Kalian cuma berdua?" Bhre mencecar pertanyaan tanpa henti.

'Iya. Kevin bantu-"

"Ayo, pulang!" Tak menunggu Pijar menyelesaikan ucapannya, Bhre menarik tangan istrinya.

"Jar, besok jangan lupa berangkat pagi!" seru Kevin mengingatkan.

Pijar hanya memberi isyarat ujung jari telunjuk yang ditempelkan dengan jari jempol hingga membentuk lingkaran, lalu mengikuti suaminya turun dan keluar dari kantor.

Selama Bhre menggandeng atau lebih tepatnya menyeret Pijar keluar, Pijar tak banyak bicara. Selanjutnya pun tak ada percakapan di antara mereka. Padahal biasanya Bhre selalu ramai dan cenderung sering menyampaikan guyonan receh.

"Mas, aku bawa mobil." Pijar meringis, berusaha mengurai genggaman Bhre.

"Kamu lelah. Semalam kamu kurang tidur. Biar mobilmu di sini. Besok kamu bisa naik taksi online karena aku ada jadwal operasi pagi." Tak ada senyum di wajah Bhre. Mukanya juga terlihat lelah seolah tak tidur nyenyak.

Tak ingin berdebat, akhirnya Pijar masuk begitu saja ke dalam mobil dan duduk di sebelah suaminya. Keheningan menyapu seluruh kabin. Bahkan lagu dari media player yang sering diputar juga tak terdengar seolah merajuk, enggan memecah kebekuan.

"Mas, kenapa jemput? Tumben ...." Pijar berusaha mencari topik pembicaraan. Namun, suaminya membisu hingga dia kemudian menyerah.

Roda mobil berputar menggilas aspal ringroad Yogyakarta dengan sangat cepat saat pedal gas diinjak kuat-kuat. Saking kencangnya laju mobil yang dikendarai Bhre, Pijar harus berpegangan pada handel di sisi atas pintu. Namun, Pijar tak berani protes. Daripada berdebat di atas jalan raya, lebih baik dia menahan diri.

Akhirnya mobil sampai di rumah dua puluh menit kemudian. Saat Pijar akan masuk, Bhre menggandeng istrinya.

"Sudah pulang kalian? Kenapa lama sekali acara kantormu?" Ibu menyambut di ruang keluarga.

Pijar mengerjap. Setahu Pijar, ibu mertuanya menginap di Kaliurang. "Ibu nggak jadi nginep?"

"Nggak. Tadi ada barengan pulang. Lha kok pulang-pulang, rumah kosong. Nala juga belum bangun padahal udah mau maghrib." Ibu berdecak. "Kenapa kamu nggak ajak sekalian Nala, Le? Kalau acaranya family gathering mestinya ya semua ikut."

Pijar mengernyitkan alis, menatap Bhre bingung. Family gathering?

"Iya, Bu. Takutnya Nala kecapekan karena acaranya sampai malam," ujar Bhre sambil memasuki kamar.

Pijar pun akhirnya mengikuti suaminya. Dia masih belum bisa mencerna apa yang terjadi. "Ada apa, Mas?" Dia meletakkan lebih dulu tasnya di atas meja sebelum menghampiri Bhre yang duduk di tepi ranjang. Lelaki itu mengurai kemejanya hingga menguak kaus dalam putih ketat yang mencetak dada bidangnya.

"Selama Ibu di sini, tolong perhatikan jam pulang." Bhre bangkit dengan wajah kusut, kemudian keluar untuk membasuh badannya

Pijar termangu. Raut Bhre terlihat kuyu. Apa dia mengalami hal buruk di kantor?

Saat Pijar sudah selesai mandi dan memakai krim perawatannya, dia menghampiri sang suami yang sudah berbaring menghadap sisi luar ranjang. Padahal kalau mereka tidur bersama, Bhre selalu mendekapnya.

"Mas ...," panggil Pijar bernada manja. Dia memijat kecil lengan suaminya dan mengecup pundak kokoh itu. Ada rasa bersalah yang menyusup. Entah karena apa ....

Bhre berdeham pelan. "Cepet tidur. Kamu butuh istirahat."

Pijar menurut. Dia berbaring dan merangsek mendekap suaminya dari belakang. Dada tanpa bra di balik daster itu menyentuh punggung berotot Bhre.

"Mas ... marah sama aku?" tanya Pijar sambil mengecup leher Bhre.

Namun, pertanyaannya lagi-lagi dijawab dengan embusan angin AC yang memancar dari atas dinding.

"Mas, jawab ...."

Bhre mengembuskan napas panjang. Dia berbalik menghadap Pijar dan menyusupkan tangan kirinya di bawah leher Pijar. "Ayo, bobok." Lelaki itu masih memejamkan mata.

Tapi, Pijar tidak puas. Dia mencubit dada Bhre hingga lelaki itu memekik. "Jar! Kamu ini! Sakit tahu! Mana kena bagian sensitifku pula!" Bhre meringis sambil mengusap kasar dadanya.

Seperti anak kecil, Pijar mencebik. Mata merah Pijar karena kelelahan, menyipit tajam. "Lagian, kaya ngomong sama tembok! Ngeselin tahu!" Pijar memang paling tidak suka didiamkan Bhre. Dia sudah rela memilih suaminya dengan melawan sang mama sehingga hanya lelaki itu sandaran Pijar sekarang.

"Lah, malah nangis." Bhre mengerutkan alis. Dia menyeka bulir bening yang menggenang di pelupuk mata Pijar dengan buku jari telunjuk.

"Sapa yang nangis?" Bibir Pijar semakin mengerucut.

"Pantas Nala suka merajuk. Nurun persis dari mandanya." Bhre memeluk Pijar dengan erat dan mengecup pucuk kepalanya.

"Mas marah?" Suara Pijar teredam karena dibekap rengkuhan erat Bhre.

"Emang kamu ngerasa ada salah?"

Bhre malah main tebak-tebakan di saat Pijar benar-benar ingin tahu. Dia memejamkan mata. Sambil menghidu aroma maskulin yang manis, wanita itu mengingat kembali apa yang dia dilakukannya sehingga Bhre hanya diam saja. "Apa Mas marah gara-gara kemarin aku nolak ngelayani Mas karena aku malah lembur?"

Kekehan dari suara berat Bhre menggaung, memecah sunyi malam. "Apa aku segitu kekanak-kanakannya sampai ngambek gara-gara ndak dapet jatah?"

"Sapa tahu!" Pijar menarik tubuhnya dan menengadah menatap wajah bermata panda itu. "Tadi pagi ... Mas yang mindahin aku tidur di sini?"

"Ih, geer!" Bhre kembali memejamkan mata.

Kembali Pijar mencubit manja perut suaminya yang liat. Bhre meringis dan memegang tangan Pijar yang masih menarik kulit dengan daging perutnya. "Manda ... jangan bangunin ular tidur."

Pijar terkikik. Bhre mudah sekali terpancing. Padahal, dulu sewaktu pacaran lelaki itu terlihat santai dan santun. Mereka hanya bergandengan tangan, tanpa skinship lainnya karena Pilar selalu membuntuti untuk menjaga kembarannya. Namun, setelah menikah, Bhre ternyata sangat ganas di ranjang setelah berhasil membobol selaput dara Pijar pada hari ketujuh.

"Trus, Mas kok diem aja tadi?" tanya Pijar lagi.

Namun, sesudah itu hanya dengkuran halus yang menyahut pertanyaannya. Pijar mendesah, mengelus lembut sudut rahang tegas yang sudah terasa kasar. Dia mengecup bibir lelaki itu sambil menghirup dalam-dalam aroma mint yang masih tersisa.

"Makasih, sudah melindungi aku dari Ibu."

***

Untuk kesekian kali Bhre menguap saat melakukan tugasnya mendampingi operasi fraktur maksila post kecelakaan lalu lintas. Dia menatap kosong Vina yang terlihat cekatan melakukan pemasangan miniplate dan screw pada pasien laki-laki berusia 19 tahun. Apalagi angin AC yang berembus di atasnya seperti ingin meninabobokannya.

"Dok, pagi-pagi udah nguap aja. Dua hari ini sengaja ngosongin jadwal 'kan? Kayanya bener kejar setoran," goda Izul agar Bhre bisa melawan ngantuk.

"Setoran benih?" Vina menimpali, lalu memberi instruksi. "Suction."

Bhre berdecak. Sepertinya dia harus mengantuk agar reaksi jantungnya tak seperti kemarin. "Ya, namanya usaha. Lagian Nala udah gede." Entah kenapa Bhre sengaja mengatakan bahwa dia melakukan tugasnya memberi nafkah batin. Padahal, baru pegang sedikit saja, Pijar sudah mengelak.

Vina terkekeh. Matanya menyipit di balik google yang dia kenakan. "Usahanya yang cerdas dong. Sembur pas lahannya subur."

"Ya, 'kan, ndak pas subur juga bisa nyangkul. Itung-itung biar gembur." Kali ini suara Bhre sedikit meninggi sehingga Vina mendongak.

Tatapan Bhre bersirobok sejenak dengan Vina dan sesudahnya dokter bedah mulut itu tak menanggapi. Bhre merutuk tingkahnya. Bisa-bisanya dia ingin melihat reaksi Vina. Bhre ingin Vina tahu rasanya sakit hati karena di-ghosting dan sekarang dia ingin Vina merasakan hal yang sama.

Tapi, untuk apa? Vina bukan siapa-siapanya. Kenapa suasana hatinya begitu buruk sejak dia bangun tidur tadi?

Sementara itu semua perawat yang ada di situ seketika diam dan menatap sang dokter anestesi dan dokter bedah mulut yang terdengar adu mulut. Begitu mendengar dehaman Bhre, Yudis kembali fokus ke lapangan operasi, Izul sebagai perawat sirkuler kembali memonitor kondisi pasien dan mencatat dalam lembaran rekam medis, dan Nida menunduk menekuri peralatan operasi yang sudah ditata.

Setelah memastikan pasien stabil, Bhre buru-buru keluar dari IBS untuk melaksanakan tugasnya memantau pasien di ICU. Baru melintasi lobi, suara Vina memanggilnya, menggaung di lantai IBS. Bhre memperlebar langkah menuju tangga darurat, alih-alih melalui lift. Namun, Vina bisa menyusul setelah berlari secepat yang dia bisa.

"Bhre!" Vina menarik tangan Bhre yang membuat lelaki itu berhenti satu tangga di bawah Vina. Posisi Bhre yang berada di undakan bawah, membuat wajah mereka berhadapan.

"Apa?"

"Kamu kenapa sih?" Suara Vina meninggi.

"Ndak pa-pa!"

"Bhre, please! Jangan kekanak-kanakan gini dong!" Mata cokelat itu membeliak dan menatapnya tajam.

Mereka terdiam. Saling memandang dan berusaha menyelisik rasa yang terpendam. Bagi Bhre, mata cokelat itu selalu bisa menghipnotisnya seperti mata medusa yang membuatnya membatu.

Seperti sekarang ... Bhre hanya terpaku tanpa kata dengan segelintir memori yang menari-nari di kepala.

"Kamu nggak berubah. Kalau marah dan nggak bisa ngeluarin, suasana hatimu jadi nggak nyaman. Trus, habis itu kamu bakal diem. Kalau misal terprovokasi macem tadi, kamu bisa ngegas dan setelah itu lari."

Bhre menelan ludah kasar. Walau hanya dua tahun bersama dan setelahnya mereka berpisah selama bertahun-tahun, tapi Vina masih hafal kebiasaannya.

Bhre mendesah panjang dan duduk di undakan dengan punggung melengkung. "Kamu kenapa?" Wanita yang membalut tubuh dengan blus putih dan celana kain hitam yang dipadankan dengan sneaker putih itu duduk di sampingnya.

Bhre menatap Vina lekat-lekat. Debarannya tak lagi secepat saat mereka pertama bertemu kemarin. "Vin, kamu ke mana aja selama ini?"

Rahang Vina mengerat. Dia menunduk, menghindari tatapan Bhre yang dalam. "Kamu nungguin aku?"

Bhre mendengkus. Dia menumpukan sikutnya di satu tangga di atasnya, memandang lurus tembok pembatas tangga darurat. "Iya. Aku nungguin kamu. Tapi, itu dulu. Selama enam tahun aku nunggu, sampai akhirnya aku mutusin pacaran sama Pijar yang jadi istriku." Bhre lalu menoleh ke arah Vina. "Kamu ke mana aja?"

Vina menghela napas panjang. Matanya memerah. "Aku ... nggak bisa LDR-an."

Mata Bhre seketika membulat. "Kamu bilang ndak bisa ldr-an? Kenapa ndak ngomong? Kenapa bikin aku nungguin kamu?"

"Itu udah berlalu, Bhre! Toh kamu udah punya Pijar dan Nala," jawab Vina sendu.

"Lalu kamu? Mestinya kamu sudah ada penggantiku." Kedua alis Bhre terangkat.

"Calonku meninggal seminggu sebelum kami menikah. Aku memutuskan kembali ... untuk memulai semuanya dari awal. Tapi aku nggak nyangka bakal ketemu kamu."

Jakun Bhre bergerak naik turun. Gerak bibir Vina menghipnotisnya sehingga dia tak bisa mengalihkan pandangan darinya. "Jujur, aku kaget. Tapi juga senang karena bisa ketemu kamu. Dokter Bhre Cakrawala spesialis anestesi. Aku nggak ngira kamu masih menggenapi janjimu."

"Vin, kalau kamu jadi spesialis bedah, ntar aku yang bius. Kaya papa sana mamamu."

Bhre mengerjap. Otaknya memutar kembali memori yang terpendam. Dia ingat ... dulu ia ingin menjadi dokter agar bisa menjadi seorang spesialis anestesi seperti papa Vina yang sering bekerja sama dengan mama Vina di ruang operasi. Dan ucapan itu seolah terdengar semesta, sehingga perlahan menuntunnya berada di titik ini.

"Itu ...." Lidah Bhre tiba-tiba kaku. Dia jadi salah tingkah.

"Bhre, kamu tahu? Saat lihat kamu ... kamu nggak berubah. Wajahmu masih sama ganteng, tapi lebih terawat, dan berisi. Debaran yang udah lama nggak aku rasain, kembali muncul." Vina semakin menunduk. "Kamu ... satu-satunya orang yang bisa membuatku melupakan kesedihan itu."

Bhre menatap kosong gadis yang juga terlihat sama di depannya. Garis kedewasaan semakin menambah pesona di wajah manis Vina. "Vin ...."

Vina tergugu. Bahunya bergetar hebat. Padahal seingat Bhre, gadis itu selalu ceria dan menyemarakkan suasana. Tak berpikir panjang, Bhre memeluk Vina dan mengusap punggung perempuan itu.

"Maaf, aku ndak tahu kamu mengalami hal yang menyakitkan."

Lolongan Vina menggaung di tangga darurat. Perempuan itu pasrah dalam pelukan Bhre. Mereka seolah tertarik kembali ke masa remaja yang begitu indah ....

"Sudah lega?" Bhre mengambil sapu tangan dari saku celananya dan menyeka pipi Vina.

Vina mengangguk. Dia menangkup tangan Bhre. "Kalau kamu baik gini, gimana kalau aku CLBK?"

💕Dee_ane💕

Udah vote?

Udah komen?

Udah mulai tambah kesel sama Bhre?👀

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro