chapter 4
"Pulang aman, Dar?" Dinda bertanya pada Dara, mereka bertemu di pantri.
"Aman. Kenapa emang?"
"Tadi pagi ada anak sipil pada ngomongin lo, katanya semalem balik sama anak baru," jelasnya seraya menunjuk ruang sipil di sebelah pantri.
"Anak sipil?" Seingat Dara, ia hanya bertemu Nadia di lobi, itu pun tidak berlangsung lama karena wanita itu pergi lebih dulu. "Kenapa jadi ngomongin gue? Apa urusannya sama mereka?"
"Lho?" Dinda menatap Dara, temannya itu menaikan sebelah alisnya, membuat Dinda berdecak. "Lo nggak tahu kalau Ardi udah jadi fav person anak sini di hari pertama dia masuk?"
Dara tertawa. "Sumpah? Sekurang perhatian itukah mereka?" Ia memegang perutnya karena geli.
"Lo nggak percaya?" Ingin sekali Dinda menutup mulut Dara dengan draft di tangannya. Mereka baru sampai di ruangan dan Dinda langsung menghempaskan bokongnya pada kursi.
"Duh, gimana, ya." Dara berdehem, menahan tawanya. "Bukannya gue meremehkan Ardi, tapi kayaknya dia nggak ngapa-ngapain, deh? Nggak bikin kehebohan. Kenapa mereka sampe sebegitunya?"
Kali ini, Dinda betulan menggeplak mulut Dara dengan draft miliknya. "Lo ke mana aja, sih? Belom sempet dia perkenalan sama kita, tu orang udah telat masuk gara-gara bantuin Bu Hani yang mau lahiran di lobi pas paginya! Lobi masih sepi itu lho, dan dia berinisiatif nganter Bu Hani ke rumah sakit dan nunggu sampai suaminya datang," jelas Dinda gregetan. Kadang, ia heran dengan temannya yang tidak peduli pada sekitar. Berita seramai itu saja Dara tidak tahu.
Dara memang sempat mendengar pagi itu bu Hani—arsitek senior—yang baru sampai di lobi merasakan perutnya kontraksi dan air ketubannya pecah saat itu juga. Namun, ia tidak mendengar berita tentang siapa yang membawa wanita itu ke rumah sakit atau membantunya mencari ambulans. Dan saat itu, Dara juga sudah keburu merasakan mulas di perutnya karena mendapat kabar bahwa ia satu tim dengan Rio. Jadi, jangan salahkan dirinya yang tidak tahu menahu tentang itu semua karena perasaannya jauh lebih tidak karuan hari itu.
"Lo bayangin deh, gimana cewek-cewek nggak kagum sama dia? Istilahnya kan Ardi belum kenal sama Bu Hani, nggak tahu dia anak DirgarsiTeam atau bukan, tapi pertolongannya berharga banget." Ia kembali bersuara, menyadarkan Dara yang masih merenung. "Belum lagi dia tuh soft spoken, mukanya manis, sopan banget lagiii. Mata lo aja yang ketutupan jeleknya cowok lo!"
Wanita itu merenggut sebal. Pacarnya lagi yang kena. "Gue bawa salad sayur. Mau cobain, gak?"
"Nggak!" tolak Dinda dengan kasar. Wanita itu langsung membenarkan letak duduknya menghadap monitor.
Sialan. Dara berdecih. Ia mengambil iPad dan beberapa dokumen yang ia perlukan, lalu menuju ruang meeting. Ia akan presentasi di depan timnya pagi ini setelah mengumpulkan kebutuhan klien dan menggambar sketsa dasarnya bersama Ardi kemarin.
Di ruangan itu baru ada Rio yang sedang memasang proyektor. Saat langkahnya akan berbalik, pria itu lebih dulu melihatnya. Mau tak mau Dara melanjutkan langkahnya memasuki ruang meeting dengan berat hati, ia sengaja memilih duduk di kursi paling jauh dari tempat pria itu.
"Kamu betulan pulang sama anak baru itu?" Suara Rio memulai percakapan mereka pagi ini.
"Iya." Dara menjawab tanpa sungkan. Lagipula, pria itu bahkan tidak mengejarnya, sekadar minta maaf atau membujuknya untuk masuk ke mobil dan mengantarnya pulang seperti niat awalnya.
"Oh..., jadi kamu pergi bukan karena marah sama aku, tapi karena memang mau pulang sama dia?"
Dahi wanita itu berkerut dalam. Apakah ini sinyal pertengkaran? Bahkan ini masih pagi dan mereka berada di lingkungan kantor. Apa Rio lupa dengan maklumat pria itu sendiri yang mengatakan tidak boleh ada seorang pun yang tahu hubungan mereka? Lalu, kenapa dia memancing keributan?
"Kamu kenapa, Dara?" tanya pria itu.
"Menurut kamu, aku harus tunggu hujan reda di lobi sementara pacarku nggak minta maaf atau membujukku buat pulang sama dia?" Dara membalikkan pertanyaan.
Rio melipat tangan di dada, lengan kemejanya yang sudah digulung itu memperlihatkan jelas otot tangannya dibalik kain itu. "Jangan kekanakan Dar, aku bicara baik-baik."
Lihat betapa menyebalkan raut wajah dan nada bicaranya. Padahal Dara sedang tidak ingin melanjutkan pertengkaran mereka semalam.
"Kamu yang pergi dan nggak menjawab panggilanku semalam."
Bahkan pria itu tidak mengiriminya pesan sejak Dara memutuskan meninggalkannya di basement hingga pagi ini. Dan tanpa tedeng aling Rio menuduhnya sengaja ingin pulang bersama Ardi alih-alih sadar akan kesalahannya sendiri. Lalu, siapa yang kekanakan di sini?
"Harusnya kamu lebih dewasa dalam bersikap. Apa kata orang yang lihat kamu pulang sama dia?"
"Memang apa kata orang?" Dara menantangnya. "Apa salah aku pulang sama Ardi? Yang mereka tahu aku dan Ardi sama-sama single. Kalaupun ada gosip aku dekat sama dia, itu kan cuma asumsi mereka."
Terdengar helaan napas dari pria itu. "Kamu ini... kenapa keras kepala sekali?"
Dara itu semakin dituduh, semakin tertantang. Disebut keras kepala begitu tentu membuatnya ingin lebih melihat Rio tambah kesal. "Kamu sendiri kan yang mau backstreet?"
"Tujuanku bukan itu," tegasnya.
"Jadi cuma kamu yang boleh mesra-mesraan sama cewek lain?"
Rio mulai menghampiri Dara di kursinya. "Mesra-mesraan? Sama siapa? Kapan?"
"Kamu pikir aku nggak tahu kalau semua karyawan jodoh-jodohin kamu sama Nadia? Wanita itu suka sama kamu, dan kamu sama sekali nggak keberatan dengan sikap yang dia kasih ke kamu." Dara meninggikan wajahnya.
Setelah pria itu sampai tepat di samping meja Dara, tangannya terulur meraih dagu pacarnya, mengusap bibir bawahnya dengan gerakan lembut. "Mulut ini udah mulai berani melawan," katanya.
Dara masih terduduk kaku di sana, membiarkan tangan Rio bermain di bibirnya, lalu merangkum wajahnya dengan satu tangan. Wajah pria itu mendekat, hanya beberapa senti saja bibir mereka berjarak.
Suara pintu berdecit membuat Rio menegakkan tubuhnya, Dara memundurkan kursinya menjauhi pria itu. Mereka sama-sama terkejut. Sial, Rio hilang kendali. Padahal tidak biasanya ia begini. Ia selalu menjadi yang paling profesional saat bekerja.
"Eh, sorry. Saya pikir belum ada orang." Nadia berdiri di depan pintu, menghalangi beberapa orang yang akan masuk.
Rio berdehem. "Masuk aja. Meeting mau dimulai."
Semua anggota sudah menempati kursi masing-masing. Ada Nadia yang duduk di sebelah Rio, lalu di susul Hanif, Anggia dan Risma di seberangnya, kemudian Dara dan Ardi duduk bersebelahan di meja paling ujung. Rio mulai membuka rapat pagi ini dengan membahas rancangan kasar yang mereka buat, lalu Dara dan Ardi menjelaskan desain dasar yang mereka buat. Ardi mengganti slide pada layar laptop, sedangkan Dara menjelaskan tugas yang kemarin ia kerjakan.
Sementara leader mereka menatap layar dengan tatapan kosong. Ia sama sekali tidak menyimak penjelasan Dara karena pikirannya sibuk dengan sikap cerobohnya. Juga memerhatikan bagaimana Ardi menatap Dara. Sebagai pria, ia jelas tahu tatapan itu dan apa maksudnya. Hanya melihatnya saja sudah membuat Rio kesal.
"Jadi, gimana pak Rio?" tanya Dara.
"Pak Rio?" Nadia mengetukkan bolpoinnya pada lengan pria itu.
"Hm? Kenapa?" Rio menatap Nadia dengan bingung.
"Ada pertanyaan Pak?" tanya Dara.
"Oh, nggak. Meeting sampai sini aja. Untuk yang sudah saya jelaskan bisa kalian diskusikan lagi."
Mereka bernapas lega.
"Untuk Dara, saya ada perlu dengan kamu saja."
Mereka mulai melirik wanita yang sekarang memilin ujung roknya cemas. Apalagi ini?
***
Halooo, ketemu lagi sama donat. Semoga donat bisa konsisten update dan ide mengalir terus yaaa.
Biar makin semangat vote + komen dulu dong, sayangku 🌟💬
02/12/24
♡ donat
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro